Salah. Saya gak belain Pemda. Persentase PEN hny pembuka. Bahasannya adalah bagaimana PEN masuk ke finansialisasi. Coba baca twitnya sampai selesai tmsk ajakan kpd orang yg paham soal finansialisasi utk mengkatalogkan apa saja dlm dana PEN yg berubah menjadi itu.
Bapak minat?
Selama ini studi spt itu justru sayangnya banyak dilakukan scholar luar negeri. Walaupun orang Indonesia, tapi institusinya bkn di Indonesia. Misalnya Abidin Kusno soal finansialisasi hak hunian layak. Atau Gavin Shatkin, soal infrastruktur.
Nah harusnya ada jg hasil dr sini.
Lalu dianalisa lagi apa yg mungkin berubah sesudahnya? Apakah menghasilkan rejim finansial baru? Kalau terkait dgn PEN Pemda, terutama Pemda dgn APBD besar (dan PDB besar), apakah akan mengubah hubungan ekosospol Pemda dan Pusat?
Ini arahnya. Bukan soal detil.
Setiap kejadian besar akan menghasilkan perubahan besar. Lihat krisis 2008. Alokasi dan “kreativitas” pada PEN pun bisa meninggalkan jejak bahkan mengubah sesuatu.
Misalnya (sayanynya) masih konteks Pemda, dlm hal ini DKI. Apakah krn transformasi PEN mejadi alat finansial malah justru “mempermudah” DKI utk membiayai anggaran yg tdk ada hubungannya dgn misi PEN. Apa coba justifikasi bayarin stadium BMW sampai 1.1T pakai pinjaman PT SMI?
Jadi saya ngomong konsep dan transformasi serta (contohnya) perubahan relasi, ini orang2 pada jawabin atau komen balik soal detil2 APBN - yg sama sekali gak saya bahas.
Ya lost in translation BAPAK IBU.
Soal gak ada “makan siang gratis” itu artikel yg saya kasih menunjukkan referensi ke sana - walau konteks global. Siapa pemenang sesungguhnya dr krisis dan penanggulangan krisis ini?
Apakah di Kemenkeu gak ada kajian kritis spt di atas?
Ya acap kali kajian spt itu “kekiri2an” sih ...
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Dan plis plis, janganlah menormalisasi bangun jam 2.50/3.50 subuh demi sampai kantor pada waktu tertentu.
Kondisi spt ini adalah kesalahan panjang kebijakan terutama di tata ruang, serta produk ketimpangan ruang.
Konsep Hak atas Hunian Layak pun menjamin kehidupan berkualitas
Terpaksa dan tanpa pilihan sebingga harus melakukan perjalanan pulang pergi di atas 2 jam itu sbtlnya bisa dikatakan kondisi huniannya tak layak. Kelayakan hunian dlm konsep Hak Asasi itu gak cuma dilihat dr bahan bangunan dan toilet, tp dr infrastruktur pendukung juga.
Dan btw, Indonesia sudah ratifikasi tuh Konvensi Hak Ekososbud, dmn ada Hak atas Hunian Layak.
Dan tetap konsisten sampai hari ini, bahwa “missing middle” 4-6 lt yang sangat jarang di Jakarta adalah salah satu solusi utk regenerasi Jakarta yang lebih inklusif dan lestari.
Housing the Millenials... bisa dilihat studi Rujak soal “missing middle”.
Dan kami juga identifikasi mana saja kawasan di Jakarta Pusat yg “under-utilised”. Misalnya sebagian besar lahan di Bendungan Hilir, masak coba koefisien lantai bangunan cuma sebesar 1.2 (artinya hny memungkinkan bangunan tunggal 2 lt - sulit utk jadi flat 4 lt).
Total dana PEN 695,2 triliun.
Berapa yang diberikan untuk Pemerintah Daerah?
Ternyata hanya 23.7 Triliun. Sekitar 45% dari 23.7 T itu malah dibuat menjadi PINJAMAN kepada Pemerintah Daerah via PT SMI. Bahkan utk "anaknya" sendiri: tdk ada makan siang gratis di saat pandemi.
PT SMI: PT Sarana Multi Infrastruktur.
Kebetulan namanya sama dengan Bu Menteri. Tapi memang sih Bu Menteri dulu salah satu konseptor dan "bidan" yg melahirkan PT SMI.
Yang "kerennya", (no. 1 yg 10T) pembayaran kewajibannya diperhitungkan dari DAU/DBH yg memang hak daerah (tapi Pusat "telat" transfer). Walau bunga 0%, tapi kena provisi 1% dan pengelolaan.
Ya 1% dari 10T tetap LUMAYANLAH!
DKI, Jabar, Jateng dan Jatim kalau mau gratiskan vaksin tapi APBD ngepas bisa kali tuh diakali dengan: 1. Dana infrastruktur di APBD dialihkan minjam ke PT SMI, toh jaminannya konon DBH pusat ya? 2. Alokasi infrastruktur di APBD dialihkan ke vaksin. 3. Yg PBI tetap pusat.
Tapi tragis amat ya kalau beneran Pemprov2 pada “ngutang” ke PT SMI tahun 2021/2, demi bayarin vaksin warganya ... tragis karena tanggung jawab Pemerintah Pusat benar2 dilempar ke daerah 😅.
Astra Zeneca 4 USD. Yah anggap aja sama kutipan sana sini di NKRI bisa jadi USD 6.
Peserta PBI DKI konon 4.7 jt (anjir banyak amat). PBI katanya Pusat yg tanggung.
Non PBI jadi 5.3 jt orang.
Jadi butuh 450 M. Dipotong aja itu anggaran Disperum 1-2 thn.
Pengen ngutip jumlah aspiring middle class & middle class dr laporan Bank Tanpa ATM ini, tp hadeuh infografiknya rada ancur.
Debat soal vaksin bayar gak bayar sbtlnya berat bagi kelas AMC (aspiring middle class), yg disenggol dikit krisis bisa jatuh miskin.
Brp byk AMC ini?
Ini perbandingan kelas ekonomi Indonesia di 2016.
Berturut2 paling bawah: 1. Poor 2. Vulnerable 3. Aspiring Middle Class (paling besar) 4. Middle Class 5. Yg kek garis tebal: Upper Middle Class.
Nah no 1-3 bisa bayar vaksin gak? No 2&3 blm tentu terjaring vaksin gratis
Apa sih definisi AMC - aspiring middle class yg adalah mayoritas Indonesia? Ya udah gak miskin dan gak rentan, tapi belum aman secara ekonomi. Apalagi kena pandemi.
Yg gini2 sekali lagi ndak masuk PBI dan blm tentu mampu bayar vaksin.
Ku ndak tahu apakah di 19 kota lain penerima Sustainable Transportation Award apakah netijen2nya pada berisik2 teu puguh 😅😅
Penghargaan ini diberikan kepada kota (pendaftar) yg memiliki kebijakan progresif dan kemajuan dlm periode waktu tertentu (18 bln?).
Ku bisa menerangkan bbrp kota penerima dan kebijakan transportasi apa yg mrk lakukan di masa itu yg akhirnya bikin kota tsb menang.
Bogota, penerima award 2005. Enrique Penalosa walkotnya memperkenalkan BRT secara ekstensif dan jalur sepeda. Dan Trans Millenio ini yg menginspirasi Bang Yos utk membangun TransJakarta. Terlepas dr byk yg ragu pada kebijakan Bang Yos.