Ku ndak tahu apakah di 19 kota lain penerima Sustainable Transportation Award apakah netijen2nya pada berisik2 teu puguh 😅😅
Penghargaan ini diberikan kepada kota (pendaftar) yg memiliki kebijakan progresif dan kemajuan dlm periode waktu tertentu (18 bln?).
Ku bisa menerangkan bbrp kota penerima dan kebijakan transportasi apa yg mrk lakukan di masa itu yg akhirnya bikin kota tsb menang.
Bogota, penerima award 2005. Enrique Penalosa walkotnya memperkenalkan BRT secara ekstensif dan jalur sepeda. Dan Trans Millenio ini yg menginspirasi Bang Yos utk membangun TransJakarta. Terlepas dr byk yg ragu pada kebijakan Bang Yos.
Seoul, penerima award 2006. Baru selesai dgn menghancurkan jalan layang dan bangun Cheonggyecheon yg terkenal itu. Kiri kanannya diprioritaskan utk bus.
Juga sukses mengintegrasikan 200an (!!) perusahaan bus di 2002 dlm satu manajemen.
Aku mejeng ya di foto 🤣.
New York City, 2009. Bloomberg sukses melakukan pedestrianisasi di berbagai wilayah New York, misalnya Times Square. Juga Bryant Park dll.
Di bawah foto before after ya.
Tp subway nya masih parah, ampe sekarang
Btw bukan krn Bloomberg saja ya. Banyak organisasi yg mendorong pedestrianisasi Times Square serta revitalisasi banyak tempat pertemuan lalin dan orang.
Btw, kayaknya Highline gak termasuk di sini, krn blm selesai.
Medellin, 2012. Kenapa? Karena cable car nya mulai sukses terintegrasi dengan transportasi berbasis bis. Selain itu pada titik akses ke cable car jg dikembangkan ruang publik.
Knp cable car, krn kontur di Medellin curam dan terjal.
Lalu, London di 2008.
Saat itu London lagi dipuji2 akan kesuksesannya menerapkan congestion pricing (sejenis ERP), dan mengurangi kemacetan serta berhasil memindahkan orang ke transportasi umum spt bus dan subway.
Di jalan sempit pun bisa meliuk2 tuh bus. 😅
Cukup ya 5 saja. Saya sengaja pilih dari 5 kota yg berbeda konteks, tersebar di 4 wilayah berbeda.
Bahkan kebijakannya pun beragam. Dr congestion pricing sampai cable car. Dr hancurin jalan layang sampai pedestranisasi.
Namun mrk pny kesamaan: mendorong mobilitas yg lestari.
Saya sdh tinggal di Jakarta usia 17 th (cuma cabut 2 th pas sekolah+ kerja di Sydney). Ngerasain dr diturunin tengah jalan, dijambret di metromini, kesandung di trotoar, dll.
Jg rasakan dlm 18 bln penumpang TJ berlipat ganda dr 500rb jadi 1jt. Parkir sepeda muncul di Halte saya.
Selama 16 th saya tinggal di kompeks saya, akhirnya saya bisa naik angkot biru dan itu terjadi ketika si angkot di 2019 bergabung dgn Jaklingko. Sebelumnya, males beut.
Jadi ya memang ada kemajuan pesat dlm 18 bln, walau tetap msh byk sekali hal yg perlu diperbaiki.
Bukan berarti kota peraih penghargaan sdh anteng2 aja & terbaiq terus. NYC msh hrs struggle di urusan prioritas pesepeda serta perbaikan subway. Namun 3 thn ke belakang, mrk jg meningkatkan pelayanan bus. Baru pny jalur khusus bus yg geunah di bbrp tempat. Senengnya bkn main mrk.
Jadi ya penduduk DKI mari gunakan momentum Jakarta sebagai pemenang STA Award itu utk mendorong terus perbaikan dan peningkatan layanan.
Ada orang yg apreasiasi dan terbantukan kok kalau transportasi publik kita jadi lbh baik.
Siapa? Ya kita sendiri.
Keributan kalian ini sungguh tak substantif. Bahkan beberapa bego banget, misalnya mengangkat proyek2 yg bertentangan dgn prinsip sustainable transport.
Smtr aku mah rada watir kalau DKI dpt penghargaan, kira2 pembesar2 di Dinas dll jadi jumawa dan anti kritik gak?
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ya jika kerjaannya sbg Project Manager NCICD ya akan jualan bahwa obat paling manjur adalah bikin pompa sebesar2nya, bikin tanggul setinggi2nya, lebarkan sungai dan beton, alirin secepat2nya ke laut.
Maksud hati mencari tulisan lama soal banjir yg dimuat di media. Eh malah nemu nyinyiran orang yg pakai argumen Project Manager NCICD 🤣.
Yang tak pernah dijawab oleh Project Manager NCICD: 1. Pompanya mau sebesar apa utk menarik air 13 di wilayah dgn topografi spt Jakarta? 2. Dlm skemanya, mana soal penghentian land subsidence - pdhal ktnya perlu NCICD krn subsidence? 3. Kalau temboknya gagal gmn (dan udah pas)?
Perlu berpikir panjang soal masa depan mobilitas di kota pasca pandemi. Memang korelasi lemah antara penyediaan transportasi publik dgn kemacetan. Namun kebijakan pembatasan kend bermotor bisa menaikkan okupansi transportasi publik.
Yang bermasalah adalah persepsi yg terbangun di masa pandemi, transportasi publik dianggap berresiko - walau sampai hari ini belum ditemukan cluster akibat transportasi publik.
Pembatasan penggunaan kend pribadi pasti akan mendapat tantangan casual yg ringan dgn bawa isu pandemi.
Utk mengurangi kemacetan: Pembatasan penggunaan kend bermotor itu kebijakan yg dpt terimplementasi dlm jangka pendek. Kemungkinan berhasilnya pun situasional. Lain dgn kebijakan terkait ketataruangan. Lbh fundamental, namun lebih panjang prosesnya.
Keduanya bisa melengkapi.
Melihat perdebatan bbrp hari ini di linimasa nya kang @Outstandjing itu menarik. Ada diskusi (atau ngotot2an kadang hina2an ke si akang) soal tinggal bersama orang tua.
Tapi sbtlnya kebanyakan alasan itu rerata kontekstual dan personal, kadang dipengaruhi budaya.
Saya yg usia 20-30 thn an tegas banget gak mau tinggal bareng ortu.
Tapi ketika satu persatu mertua meninggalkan kami, dan melihat kondisi sekarang pandemi dan orang tua. Skrg saya mempertimbangkan utk bagi waktu lbh byk tinggal bersama ortu. Bagi waktu Cirebon-Jakarta.
Dan naga2nya 99% yakin bakal bagi waktu Cirebon-Jakarta - sambil misu2 kenapa bikin kereta cepatnya bkn yg jurusan Jakarta-Surabaya sih!
Toh bisa remote di bbrp hari.
Tp sekali lagi ya ini keputusan personal banget. Gak bisa sama dgn misal yg keluarganya kurang harmonis.