Truk penyerok salju dengan bak isi garam peleleh salju (buat ditabur di jalan) sudah stand by menyambut badai salju hari ini. Roda dipasang rantai biar ngga kepleset.
Dulu waktu kecil liat penyerok salju gini di komik2, jadi pengen nyetir - kayaknya satisfying gitu nyerok gundukan salju mbukain jalan.
Pada ngantri groceries jelang badai. Panjang barisannya tapi tertib & lancar, 10 menit udah di kasir. Orang sini malah kasih space buat manula yg mau ikutan antri (Here, you can take my space)
Sering ledekan2 mereka yg merasa udah jadi orang kota, macam:
- ih medhok kyk orang kampung
- jangan jongkok malu2in
- makannya cuma tahu tempe
itu sebenernya malah nunjukin mereka belum upgrade wawasan & pergaulannya, masih lokal masih dalam kandang.
Ketika sudah upgrade global, banyak main dng lingkungan di luar kandang, baru menyadari medhok itu shows heritage, jongkok itu skill khusus yg banyak orang luar ngga bisa, tahu tempe menu organik yg lagi populer buat alternatif makanan sehat & para vegan.
Kalo udah upgrade global, banyak yg dianggap malu-maluin itu sebenernya nunjukin kultur kampung halaman sudah lebih maju dibanding negara2 barat. Londo baru mulai makan tahu tempe, belajar yoga untuk bisa jongkok, belajar diverse dng mendengarkan logat berbagai bangsa.
Jaman SMA, temen sebangku meninggal karena kecelakaan. Dengan temen2, gue langsung ke rumahnya bawa handycam. Gue rekam suasananya, termasuk ayahnya yang menangis histeris. Juga wajah temen gue yang terbaring kaku.
Sampai rumah, videonya gue edit untuk dipertontonkan di sekolah. Bokap ngelihat apa yang gue edit. Dia cuma komen "Not, seumpama salah satu keluarga kita ada yg wafat terus ada orang yang merekam suasananya, diedit & dipertontonkan ke banyak orang. Gimana rasanya?"
Gue berkilah bahwa videonya dibuat murni untuk mengenang sang temen yg wafat. Bokap nanya lagi "Gimana rasanya suasana duka keluarga kita direkam & dipertontonkan ke banyak orang?"
Ketika apa yang kita post di social media jadi viral, kita mesti siap dng berbagai konsekwensi. Viral itu seperti membukakan pintu air dari berbagai sumber. Siap dengan berbagai bentuk tanggapan, dari positif sampai yang nyinyir cibir dng alesan ngga jelas.
Satu postingan kami ada yg viral lagi. Masuk 9gag dan udah ketebak komentarnya berwarna-warni. Gue bacain satu satu buat dipelajari, terutama komentar-komentar negatif.
Kebayang, komentar-komentar ngga genah ini kalau dibaca anak-anak remaja bisa bikin minder atau ngga pede.
Atau mereka yg minderan, ngga siap dengan komentar negatif, ngga siap untuk filter mana yg layak diserap dan tidak.
Tahap-tahap keterbatasan hidup kami: 1. Kuwait.
Belajar jauh dari keluarga, menghadapi dunia asing. Belajar bahasa, adaptasi dng alam & kultur orang-orangnya, bersiasat supaya ngga bosen krn Kuwait itu kecil & hiburannya itu-itu aja.
2. New York.
Setelah beradaptasi dalam 'gelap' di Kuwait, kembali beradaptasi dengan silaunya berbagai pilihan & kesempatan di NYC. Ketika semuanya bisa memungkinkan, kami jadi overwhelming, ngga fokus, overstimulated spt anak kecil yg ngga bisa diam, selalu excited.
Di chapter ini kami belajar, banyak pilihan pun bisa menjadi keterbatasan baru. Belajar utk memilah memilih, mana yang terbaik. Sesuatu yg mudah & menyenangkan, bukan berarti yang terbaik. Bukan buat kami, tapi anak-anak kami dan masa depan mereka.
Gue minta supaya saat show, bagian yg ada animasi gue direkam, karena akan gue jadikan portfolio, sekalian jadi lampiran untuk perpanjangan visa kerja di AS. Bagi gue itu sudah sepadan apalagi karya gue dipake artist sekaliber dia. Credit valuenya besar utk ukuran visa gue.
Dia & timnya setuju. Setelah show mereka mengirim video ini. Ini adalah bentuk apresiasi di luar materi (uang). Tidak cukup dengan itu, wujud apresiasi lainnya adalah kiriman swag ini, lengkap dng tanda tangan artistnya, Norm Cook.