[Rilis] Pemerintah makin mempersempit ruang kebebasan berkumpul dan berserikat dengan mengeluarkan Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol & Atribut serta Kegiatan FPI.
Dengan menggunakan UU Ormas sebagai dasar hukum yang berbahaya bagi demokrasi.
Pembubaran seperti ini tidak efektif untuk mengatasi kekerasan sipil, memprovokasi kebencian, bahkan menggerogoti sendi Demokrasi.
Pernyataan bahwa organisasi yang tidak memperpanjang atau tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), dalam hal ini, FPI sebagai organisasi yang secara de jure bubar, tidaklah tepat.
Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945.
Terkait larangan penggunaan simbol dan atribut FPI, Pasal 59 ayat (4) UU Ormas melarang penggunaan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi separatis atau organisasi terlarang.
Namun, UU Ormas sama sekali tidak memberikan definisi ataupun penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan organisasi terlarang. Yang secara de Facto dapat menimbulkan mispersepsi atau pemahaman yang rancu bagi masyarakat luas.
Penjatuhan sanksi, pelarangan kegiatan, ataupun pembubaran organisasi secara sepihak oleh negara dengan menggunakan UU Ormas sebagai dasar hukum, sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, membatasi kebebasan sipil, serta berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi.
Pembubaran seperti ini secara jangka panjang tidak efektif untuk mengatasi kekerasan sipil, provokasi kebencian, dsb, bahkan menggerogoti sendi-sendi demokrasi Indonesia. Mungkin justru akan membuat bom waktu.
Juga ketiadaan mekanisme hukum, menunjukkan penindakan secara subjektif . Terlebih, tindakan yang diambil dari keputusan secara sepihak oleh Negara, kerap memunculkan stigmatisasi pada individu atau kelompok tertentu yang kemudian mendapat tindakan sewenang-wenang.
2 hari jelang Natal 2020, Danpuspomad menyatakan perkembangan 4 kasus yg melibatkan anggota TNI di Papua.
Kekerasan serta diskriminasi oleh TNI terhadap warga Papua masih sering dijumpai dan oleh karenanya perlu disikapi dengan sangat serius oleh Negara.
[sebuah utas]
4 kasus yg dimaksud ialah pembakaran rumah dinas kesehatan, penghilangan paksa & pembunuhan terhadap 2 warga bernama Luther Zanambani & Apinus Zanambani, penembakan Pdt. Yeremia Zanambani serta penembakan gembala Gereja Katolik. 4 kasus ini terjadi di Hitadipa, Sugapa.
4 kasus ini menunjukkan bahwa pendekatan militeristik dengan dalih menyiasati Kelompok Kriminal Bersenjata perlu dievaluasi. 4 kasus ini menghilangkan nyawa korban warga sipil.
Penegakan hukum pidana masih harus jadi pendekatan utama yg dipilih oleh Negara atas situasi di Papua.
Extra judicial killing sangat berbahaya bagi keamanan & hak hidup kita semua.
Kepolisian apalagi Negara (cc: Presiden @jokowi) harus bisa mengusut tuntas peristiwa secara jelas & akuntabel!
Meskipun di internal Polri sudah berlaku Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, namun mandat aturan tersebut tidak diterapkan dengan baik.
Dalam beberapa kasus hasil pemantauan KontraS, selama tiga bulan terakhir terdapat 29 peristiwa extrajudicial killing atau pembunuhan di luar proses hukum yg mengakibatkan 34 orang tewas.
Penanganan aksi massa oleh Kepolisian di era Presiden @jokowi penuh kekerasan seperti saat aksi #TolakOmnibusLaw & #ReformasiDikorupsi, Bawaslu 21 - 23 Mei. Apa bedanya dengan Orde Baru, Pak?
Polisi klaim ada evaluasi, tapi kok terulang lagi & lagi?
Kami baru saja meluncurkan Laporan Bhayangkara ke-74. Laporan ini menyoroti sejumlah hal, seperti relasi kuasa dan kultur kekerasan, keterlibatan polisi dalam pandemi, dan polisi-polisi dalam jabatan sipil. Sila akses laporannya pada tautan berikut: kontras.org/2020/06/30/lap…
Tahun 2019, publik dihadapkan pada berbagai bentuk represivitas aprat kepolisian dalam sejumlah aksi, seperti #ReformasiDikorupsi, aksi menengang rasisme di beberapa daerah. Namun, nihil dalam pengungkapan pelaku kekerasannya.
Praktik penyiksaan juga terjadi pola berulang yg ditujukan untuk mendorong pengakuan. Selain itu, lokasi penyiksaan terjadi di ruang terbuka. Pola berulang yg tidaj terselesaikan memunculkan pola baru, yakni penyiksaan siber.
“Pengangkatan Prajurit TNI dan Perwira Polri Aktif Sebagai Pejabat BUMN Melanggar Hukum”
Sepanjang tahun 2020, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah mengangkat setidaknya 2 prajurit aktif TNI dan 3 perwira aktif Polri menjadi komisaris utama dan komisaris di masing-masing BUMN.
Kami memandang pengangkatan perwira aktif TNI-Polri dalam jajaran BUMN juga bertentangan dengan semangat reformasi seketor keamanan dan prinsip profesionalisme yang seharusnya dijadikan landasan dalam pengelolaan negara termasuk di institusi TNI dan Polri serta BUMN.
Persidangan Kasus Penyerangan Novel Baswedan Penuh “Sandiwara” yang Memperolok Hukum
Sandiwara hukum yang selama ini dikhawatirkan oleh masyarakat akhirnya terkonfirmasi. Penuntut pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta hanya menuntut dua terdakwa penyerang Novel Baswedan satu tahun penjara.
Tuntutan ini tidak hanya sangat rendah, akan tetapi juga memalukan serta tidak berpihak pada korban kejahatan, terlebih ini adalah serangan brutal kepada Penyidik KPK yang telah terlibat banyak dalam upaya pemberantasan korupsi.