Pesantren Darul Ulum yang berdiri cukup besar di Dusun Gembolo, Desa Purwodadi, Gambiran, Banyuwangi ini, tak bisa terlepas dari KH. Syamsul Mu'in Kholid selaku pendirinya. Ada cerita panjang yang melatarinya. Tak serta merta lantas membesar sendiri.
Kiai kelahiran 13 Juni 1931, di Desa Wringinputih, Kec. Gambiran itu, merupakan putra dari Kiai Abdul Jalil. Orang tuanya tersebut merupakan perantauan dari Kediri yang mengadu nasib sebagai petani di Banyuwangi.
Namun, kebersamaan antara ayah-anak itu, tak berlangsung lama. Saat usia 8 tahun, sang ayah berpulang kehadirat Sang Kholiq.
Syamsul Mu'in kecil kemudian diasuh oleh Mbah Abdul Syarif dari Sambirejo. Di bawah asuhan beliaulah, pendidikan Syamsul Mu'in ditanggungnya. Setelah menamatkan pendidikannya di Sekolah Rakyat (SR), lalu dilanjutkan ngaji di PP. Darussalam, Blokagung, Tegalsari.
Di pesantren asuhan Kiai Syafa'at itu, ia dikenal sebagai santri yang ta'dhim dan bersuara merdu. Tak ayal ia pun menjadi santri kesayangan sang kiai. Di sana, ia belajar hingga 1954.
Kemudian pulang ke kediaman Rofiatul Bariroh di Mojosari, Tegalsari yang tak lain adalah istrinya yang dipersunting setahun sebelumnya.
Di kediaman mertuanya itu, Syamsul Mu'in tinggal cukup lama. Hingga dikaruniai tiga orang anak. Namun, di sana, upayanya untuk mengembangkan ilmu agama tak kunjung mendapatkan momentum. Akhirnya, ia pun memberanikan diri untuk berpindah tempat tinggal.
Tempat pertama yang ditujunya adalah Kampung Kalongan, Desa Gambiran. Akan tetapi, di tempat baru ini hanya berlangsung satu tahun. Kondisi keamanannya yang rawan membuat tak kerasan. Lalu, ia berpindah lagi ke Gembolo, Desa Purwodadi.
Di Gembolo ini, ia tinggal di bekas kandang kuda milik Haji Ma'ruf. Lalu, tanah tersebut diwaqafkan untuk membangun masjid. Di bawah asuhan Kiai Syamsul Mu'in, tempat itu kian diminati para santri.
Selang dua tahun, tepatnya pada 5 Maret 1963, telah berdiri pesantren Putri di sana. Dari sinilah cikal bakal Pesantren Darul Amien bermula.
Seiring waktu, pesantren tersebut berkembang pesat dengan berbagai lembaga pendidikan formalnya. Sampai beliau meninggal pada 24 Maret 2011, telah ada TK dan MTs Darul Amien yang berdiri.
Lalu, di bawah tampuk kepemimpinan putranya yang pertama, KH. Damanhuri, ditambah dengan SMK. Santrinya pun semakin pesat. Dari awal hanya 6 orang, kini ada ratusan santri putra putri yang berasal dari pelbagai daerah. (*)
[Diolah dari tulisan Mita Dwi Utami, "Biografi KH. Syamsul Mu'in Kholid Gembolo Gambiran Banyuwangi" yang diunggah di website SMK Darul Amien]
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Pesawat Sriwijaya Jakarta-Pontianak dengan kode penerbangan SJ182, mengalami kecelakaan sore ini, mengingatkan pada peristiwa 64 tahun silam. Tepatnya 27 Desember 1956. Kecelakaan pesawat yang dialami oleh KH. Idham Chalid.
Pria kelahiran 27 Agustus 1922 di Setui, Kalimantan Selatan tersebut, mengalami kejadian mencekam tersebut, saat terbang dari Bandara Polonia, Medan. Ia yang kala itu menjabat Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia usai menghadiri Muktamar ke-21 Nahdlatul Ulama.
Seusai Muktamar, pengurus NU dari Jawa pulang dengan mencarter kapal laut Tampomas yang legendaris karena berakhir dalam kondisi terbakar itu. Sedangkan Kiai Idham yang merupakan seorang pejabat tinggi masih bertahan di Sumatera Utara. Ia mengurus perihal gejolak politik di sana.
Buku "Mengislamkan Jawa" karya M.C Ricklefs yang diterbitkan oleh @serambi ini, ada sedikit kejanggalan. Angklung Banyuwangi didefinisikan seperti halnya angklung sunda.
Foto: google
Coba baca di footnote no.67 ini. Dalam teks yang dimaksud adl angklung dari Banyuwangi. Tapi, definisi di footnote "untuk memunculkan bunyi, angklung harus digoyangkan".
Padahal angklung Banyuwangi untuk membunyikannya harus dipukul seperti di video ini:
Asal-usul nama Banyuwangi kerap dikaitkan dengan legenda Sritanjung - Sidopekso. Sebuah kisah yang telah ada beratus tahun lamanya. Sejak masa Hindu-Budha. Namun, seiring waktu, nilai2 Islam turut mewarnai epos tersebut.
Menurut Prijono dalam "Sri Tanjung, Een Oud-Javaasech Verhaal (1938)", kisah Sritanjung dikarang oleh Citragotra sekitar tahun 1500-1600. Yakni, masa dimana Hindu masih menjadi agama mayoritas dan mempengaruhi berbagai unsur kebudayaan. Tak terkecuali dunia kasusastraan.
Sebagaimana diketahui, proses berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) tak semata sbg sebuah perwujudan dr gairah pergerakan. Yg mungkin hanya berkutat pd serangkaian rapat & kajian. Mendirikan NU lebih komplek. Ada serangkaian konfirmasi spiritual yg harus dilakukan oleh para pendirinya.
Tidak hanya melibatkan Syaikhona Kholil Bangkalan yang sudah teramat populer. Namun, juga terdapat sejumlah laku spritual lainnya. Di antaranya adalah dengan bertirakat di makam Sunan Ampel di Surabaya. Hal ini sebagaimana dimuat dalam majalah Mimbar No. 7 Tahun I.