Pesawat Sriwijaya Jakarta-Pontianak dengan kode penerbangan SJ182, mengalami kecelakaan sore ini, mengingatkan pada peristiwa 64 tahun silam. Tepatnya 27 Desember 1956. Kecelakaan pesawat yang dialami oleh KH. Idham Chalid.
Pria kelahiran 27 Agustus 1922 di Setui, Kalimantan Selatan tersebut, mengalami kejadian mencekam tersebut, saat terbang dari Bandara Polonia, Medan. Ia yang kala itu menjabat Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia usai menghadiri Muktamar ke-21 Nahdlatul Ulama.
Seusai Muktamar, pengurus NU dari Jawa pulang dengan mencarter kapal laut Tampomas yang legendaris karena berakhir dalam kondisi terbakar itu. Sedangkan Kiai Idham yang merupakan seorang pejabat tinggi masih bertahan di Sumatera Utara. Ia mengurus perihal gejolak politik di sana.
Setelah mengurus hal tersebut, pada 27 Agustus, Idham hendak balik ke Jakarta. Ia meminta tolong kepada Letkol Djamin Ginting untuk menyediakan pesawat. Kebetulan ada pesawat Garuda Indonesia Airways (GIA) yang sempat ditahan oleh separatis "Dewan Gadjah".
"Boleh saja untuk bapak, cuma kapal terbang itu harus diperbaiki dulu. Ya, seada-adanya montir saja untuk memperbaikinya," ujar Djamin Ginting sebagaimana ditulis di buku "Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid (2008)".
Kiai Idham mencoba untuk mencari opsi lain. Ia mengirim telegram ke Jakarta untuk didatangkan pesawat ke Medan. Namun, tak ada satu pun pilot yang berani terbang dan mendarat di Medan. Kondisi yang bergejolak rawan terjadi penembakan ataupun pembajakan pesawat.
Akhirnya, pesawat yang sedang rusak itu pun menjadi pilihannya. Dengan seadanya, pesawat tersebut dipaksa untuk terbang. Kiai Idham terbang bersama pengurus NU lainnya yang tersisa. Termasuk Rais Aam KH. Wahab Chasbullah.
Pesawat yang dinaiki oleh Kiai Idham dan rombongan tersebut berjenis Convair yang dikeluarkan oleh Consildated Vultee dari California, Amerika Serikat. Dalam sejarahnya, pada dekade 50-an, Garuda Indonesia menggunakan tiga jenis pesawat Convair.
Ada Convair 240 yang diperkenalkan pada 1952 dan berakhir pada 1965. Ada juga Convair 340 yang dipergunakan perdana untuk mengangkut jamaah haji pada 1952. Pesawat ini, beroperasi hingga 1968. Dan, yang terakhir adalah Convair 440 yang digunakan pada 1956-1970.
Tak ada keterangan Convair seri keberapakah yang digunakan oleh Kiai Idham. Dalam biografinya tersebut, hanya tertulis berkapasitas 40-50 seat dengan mesin baling-baling. Besar kemungkinan yang dinaiki adalah pesawat Convair 340.
Pesawat lepas landas dengan lancar. Namun, baru sepuluh menit di atas udara mulai terjadi permasalahan. Ada asap mengepul di salah satu sayapnya. Kepanikan segera melanda. Pilot segera mengambil tindakan. Ia berkomunikasi dengan pihak bandara.
Para kiai yang berada di dalam pesawat, tentu saja merapal doa. Bisa jadi sejak sebelum naik pesawat tersebut. Memohon keselamatan kepada Allah SWT.
Berkat doa dan upaya keras dari pilot, pesawat yang terancam na'as itu dapat diselamatkan. Setelah cukup lama berputar-putar tak jauh di atas bandara, Convair tersebut berhasil mendarat. Semua penumpang, termasuk Kiai Idham dan Kiai Wahab pun masih diberikan umur panjang.
Seandainya pesawat tersebut tak bisa diselamatkan, tentu saja peristiwa itu akan menjadi catatan paling kelam dalam sejarah penerbangan Indonesia. Para putra terbaiknya yang berada dipuncak karirnya harus kembali kehadirat Ilahi.
Perasaan kehilangan yang mungkin tak akan pernah terobati sepanjang zaman bagi warga Nahdlatul Ulama. Rais Aam dan Ketua Umumnya wafat dalam kecelakaan pesawat.
Sekitar tiga jam, kerusakan pada sayap pesawat berhasil diperbaiki. Pesawat pun kembali siap diterbangkan. Dengan segenap tawakal dan setangkup doa, para penumpang kembali naik. Kiai Idham pun demikian.
Pesawat terbang cukup lancar. Transit di Padang & Palembang sebelum mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta. Sekitar 4 jam waktu tempuhnya. Kiai Idham pun segera melanjutkan perjuangannya. Ia dijemput ajudan istana untuk segera menggelar rapat kabinet.
Waba'du, mari kita doakan bagi semua penumpang pesawat Sriwijaya SJ 182 dan keluarganya diberikan yang terbaik. Amin. (*)
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Pesantren Darul Ulum yang berdiri cukup besar di Dusun Gembolo, Desa Purwodadi, Gambiran, Banyuwangi ini, tak bisa terlepas dari KH. Syamsul Mu'in Kholid selaku pendirinya. Ada cerita panjang yang melatarinya. Tak serta merta lantas membesar sendiri.
Kiai kelahiran 13 Juni 1931, di Desa Wringinputih, Kec. Gambiran itu, merupakan putra dari Kiai Abdul Jalil. Orang tuanya tersebut merupakan perantauan dari Kediri yang mengadu nasib sebagai petani di Banyuwangi.
Buku "Mengislamkan Jawa" karya M.C Ricklefs yang diterbitkan oleh @serambi ini, ada sedikit kejanggalan. Angklung Banyuwangi didefinisikan seperti halnya angklung sunda.
Foto: google
Coba baca di footnote no.67 ini. Dalam teks yang dimaksud adl angklung dari Banyuwangi. Tapi, definisi di footnote "untuk memunculkan bunyi, angklung harus digoyangkan".
Padahal angklung Banyuwangi untuk membunyikannya harus dipukul seperti di video ini:
Asal-usul nama Banyuwangi kerap dikaitkan dengan legenda Sritanjung - Sidopekso. Sebuah kisah yang telah ada beratus tahun lamanya. Sejak masa Hindu-Budha. Namun, seiring waktu, nilai2 Islam turut mewarnai epos tersebut.
Menurut Prijono dalam "Sri Tanjung, Een Oud-Javaasech Verhaal (1938)", kisah Sritanjung dikarang oleh Citragotra sekitar tahun 1500-1600. Yakni, masa dimana Hindu masih menjadi agama mayoritas dan mempengaruhi berbagai unsur kebudayaan. Tak terkecuali dunia kasusastraan.
Sebagaimana diketahui, proses berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) tak semata sbg sebuah perwujudan dr gairah pergerakan. Yg mungkin hanya berkutat pd serangkaian rapat & kajian. Mendirikan NU lebih komplek. Ada serangkaian konfirmasi spiritual yg harus dilakukan oleh para pendirinya.
Tidak hanya melibatkan Syaikhona Kholil Bangkalan yang sudah teramat populer. Namun, juga terdapat sejumlah laku spritual lainnya. Di antaranya adalah dengan bertirakat di makam Sunan Ampel di Surabaya. Hal ini sebagaimana dimuat dalam majalah Mimbar No. 7 Tahun I.