Ketika sikap toleran menjauh dari cara kita hidup, radikal sebagai akibat cara kita berpikir mendekat dalam dekat jangkauan menggoda. Selalu bertaut dalam gerak seirama. Di sana ada korelasi tak dapat dihindar.
Rasa tak suka-ku, menuntut tindakan kongkrit. Bukan sekedar alenia dalam kalimat dan narasi sebagai tanda.
Hantam! Pukul! Musnahkan! Dan lalu chaos terjadi sebagai akibat.
Dalam kekacauan, pikiran jernih bukan pilihan. Refleks sebagai reaksi, jauh lebih mudah terjadi & nalar kita tak bertanya lagi tentang pantas atau tidak.
Dalam kacau kita bersama, selalu tercipta peluang bagi "liyan" (pihak ke 3).
"Siapakah gerangan dia memancing di air keruh?"
Kaum oportunis si pemilik naskah. Ide dan gagasannya hanya berputar pada puas diri dan kelompoknya. Mereka menjadikan diri sebagai dalang dan kita, para bodoh pemakan janji adalah wayang dalam genggaman dua tangannya dan layar memberi visual secara terbalik dalam remang cahaya.
Menjadi apa bukan pilihan wayang. Pun demikian ketika mendapat apa dibuat tanya, dalang punya jawab.
Dan lalu kita bertanya, pantaskah?
Bukan pada dalang kita harus, pada nurani kita punya. Namun, masihkah dia ada? Turut rusakkah dia kini?
Entahlah.., namun dia yang 6 tahun lalu hadir, tampak berpeluh meski tanpa keluh terdengar dari mulutnya. Dia mencoba dan selalu mencoba menemukan jejak hilang arif kita sebagai bangsa.
Jalin menjalin masalah dan lurus jalan harus dibentangkannya sangat membuat kepayahan. Dia masih tak berkeluh.
Dua pohon besar sebagai penghalang telah dibuat roboh. Bukan itu penghalang sesungguhnya, itu hanya benteng dimana mereka senang bersembunyi.
Itu hanya alat agar terlihat kokoh dan garang.
Konon, pohon kedua itu demikian besar dan angkuh hingga banyak pendahulunya lebih senang memutarinya ketika harus lewat. Bukan menebang karena kokoh dan kuat batangnya.
Sangat mungkin dia belum mati. Jalinan akarnya sudah terlalu kuat membuat ikatan hingga kembali tumbuh adalah apa yang kini harus disikapinya.
Akankah sang dalang akan menanam pohon baru atau membuat pohon itu kembali hidup, drama memang masih berlangsung.
Wayang baru dgn lakon baru akan terus dibuat.
"Sekuat apa dalang itu hingga 6 tahun waktu panjang telah dilaluinya & peluh masih harus diteteskannya?"
Kusut telah diurai, penghalang telah dibuat roboh, jalan lurus telah dibentangkannya, dan kini dia mengajak kita ikut serta.
Cabut semua benih bibit tak baik sebelum dia menjadi liar. Itulah makna Perpres No. 7 tahun 2021yang baru saja dibuatnya.
Perpres itu berbicara tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme.
Kebijakan itu sendiri berisi sekitar 125 rencana aksi yg harus dijalankan oleh lebih dari 20 kementerian dan lembaga.
Presiden mengajak semua komponen masyarakat terlibat tanpa terkecuali. Dulu, itu masalah BNPT, hari ini kita diajak.
Perpres itu mengajak kita terlibat menjadi mata dan telinga negara atas potensi terjadinya tindakan bersifat ektrimisme dan kekerasan.
Cabut semua bibit dan benih tak baik di sekolah, tempat kita bekerja, lingkungan rumah kita sebelum dia tumbuh apalagi berbuah. Laporkan!
Terlihat sepele, namun bukankah demikian konsep tentang pencegahan?
Dulu, kita pernah abai terhadap hal sepele seperti toleran terhadap tips kecil saat membuat KTP atau surat keterangan apapun di instansi, hasilnya budaya korup menjadi milik.
Dulu, kita pernah berlaku dengan menganggap sepele tentang bagaimana penetrasi intoleransi di sekolah dan hari ini, sekolah negeri justru digunakan sebagai tempat penyemaian.
Dulu, kita toleran dengan hal sepele seperti saat pemilihan Ketua RT, RW, OSIS hingga Ketua Senat
Mahasiswa harus terkait agama dengan sang calon, kini segala hal harus dibuat dan selalu dikaitkan dengan agama.
.
.
Demikianlah kita berkembang dan tumbuh menjadi besar karena dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana.
Tak ada kesia-siaan atas kecilnya kebaikan kita tumpuk, demikian pula tak ada kesia-siaan menolak hal kecil yang tak baik demi besar kita yang lebih baik.
Kita diajak berperan sesuai kapasitas kita dalam masyarakat.
Tak selalu harus peran besar, peran kecil pun adalah tentang bersama membuat bingkai yang lebih besar bagi kebersamaan kita sebagai satu Indonesia.
Demi Indonesia yang lebih baik, Kenapa Tidak?
.
.
.
Ketika sebagian saudara kita menghina atas tak pantas bangsa ini pernah mampu membangun Candi Borobudur, mereka berteriak sebagai peninggalan Nabi Sulaiman. Ramai mereka berkunjung dan berteriak dengan segala dalilnya.
Tak pantas bangsa primitif tidak kenal Tuhan dan penyembah berhala batu dan pohon besar memiliki karunia sebesar itu. Mampu membuat bangunan sehebat candi Borobudur. Hanya bangsa terpilih dengan para nabinya berasal saja itu boleh.
Ratusan tahun sudah dia tersembunyi dalam tebal lumpur pasir akibat gunung Merapi dan bisikannya justru didengar si asing yang kita panggil sebagai penjajah. Raffles, Gubernur Jendral Inggris di Jawa mendapat karunia itu.
Siap, lugas, pintar dan sangat mengerti kemana institusi Kepolisian pada era modern ini harus bergerak, sepertinya terpampang sangat jelas pada cara sosok ini.
Paling tidak, ini terlihat dengan sangat jelas dari banyaknya pujian anggota Komisi III DPR RI ketika Calon tunggal Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo memaparkan makalahnya yang berjudul
"Transformasi Menuju Polri Yang Presisi" pada uji kepatutan atau fit and proper test Rabu 20 Januari 2021.
.
.
PRESISI adalah singkatan Prediktif, ResponSibilitas dan TransparanSi.
Bukan SBY tak pandai lantas kita memuji banyak langkah strategis Jokowi dengan sebutan pintar yang telah membuat negeri ini bergerak pada langkah benar.
UU No 4 tahun 2009 tentang batubara dan mineral bumi yang menjadi acuan langkah Jokowi dan kemudian sukses adalah peraturan yang dibuat pada era SBY. SBY telah memberi peninggalan UU baik dan Jokowi sebagai penerus, melihat dan melaksanakannya.
UU itu memerintahkan negara untuk tidak menjual mineral bumi secara gelondongan atau mentah, atau apa adanya. Harus ada nilai tambah. Harus ada unsur diolah terlebih dahulu sehingga memiliki nilai lebih dan keuntungan pun dapat lebih maksimal.
KILAU TONGKAT KOMANDO SANG JENDRAL
.
.
.
Untuk Pembaca Yang Tabah
.
.
Orang-orang besar mulut itu kini mulai terhempas pada pinggiran jurang dalam dan tak berujung. Tanpa daya, mereka terpojok dan menunggu ajal.
Adakah tangan asing akan meraihnya, pertunjukan lebih dramatis sepertinya sangat mungkin terjadi. Moment sempurna, sedang ditunggu.
Itulah alasan kenapa Jendral Listyo Sigit Prabowo harus menjadi Kapolri.
Disamping prestasinya yang hebat, dia adalah orang paling mengerti bahasa Presiden Jokowi. Bukan hanya verbal, gesture hingga gimmick Presiden dimengertinya.
Kecepatan eksekusi dari perintah Presiden akan berjalan sangat efisien adalah akibat logis atas lancarnya komunikasi.
Pak Mahfud ngetuit tentang Calon Kapolri yang lagi ramai dibicarakan netizen dengan ilustrasi tebak-tebak buah nangka alias spekulasi.
"Belum ada yang tahu siapa calon Kapolri kita sebab Presiden masih mempertimbamgkan secara seksama siapa paling tepat untuk jabatan tersebut." Demikian bunyi sambungan dari cuitan beliau.
Spekulasi memang menjadi ramai karena ada Komjen Listyo Sigit Prabowo dengan segala kurang lebihnya.
Namun bila kita mencermati kebiasaan Pak Mahfud, ini semacam kode. Ini semacam clue yang dapat dirunut dari benerapa petunjuk sebelumnya.
KOMJEN LISTYO SIGIT PRABOWO KAPOLRI?
.
.
.
Ketika ditunjuk sebagai Kabareskrim di tahun 2019, tanda-tanda bahwa Komjen Listyo Sigit akan menduduki Trunojoyo 1 semakin tampak jelas. Alasan utamanya adlh, Presiden sang pemilik prerogative sangat dekat dgn mantan Kapolda Banten ini.
.Sangat dekat, kenal dengan sangat baik, dan tentu saja prestasi pernah dia capai adalah modal positif tak banyak dimiliki oleh para pesaingnya.
Menangkap Joko Tjandra buron kakap tahunan itu mungkin dapat dijadikan salah satu rujukan dia berpreatasi.
Namun alasan itu tak sehebat pengaruh dari rasa nyaman Presiden karena mengenal Listyo dgn baik.
Ini posisi sangat penting bagi Presiden. Posisi sangat vital keberadaan dukungan aparat pada orang nomor 1 di Indonesia tersebut maka prerogative melekat pada jabatan Presiden.