Ketika sebagian saudara kita menghina atas tak pantas bangsa ini pernah mampu membangun Candi Borobudur, mereka berteriak sebagai peninggalan Nabi Sulaiman. Ramai mereka berkunjung dan berteriak dengan segala dalilnya.
Tak pantas bangsa primitif tidak kenal Tuhan dan penyembah berhala batu dan pohon besar memiliki karunia sebesar itu. Mampu membuat bangunan sehebat candi Borobudur. Hanya bangsa terpilih dengan para nabinya berasal saja itu boleh.
Ratusan tahun sudah dia tersembunyi dalam tebal lumpur pasir akibat gunung Merapi dan bisikannya justru didengar si asing yang kita panggil sebagai penjajah. Raffles, Gubernur Jendral Inggris di Jawa mendapat karunia itu.
Ramai mereka berpolemik tentang hebat anak manusia mampu pernah membangunnya dan mereka bertanya siapa?
Perlahan dan pasti, dinasti Syailendra yang hidup pada abad 8 ditetapkan sebagai sebab terbangunnya candi spektakuler dan terbesar di dunia tersebut.
Ternyata, negeri jajahan Belanda dan Inggris ini dulu pernah sangat maju.
"Manusia dengan budaya bagaimanakah mampu membangunnya?"
Kali ini, bukan penjajah mendapat kesempatan, para penambang pasir menerima takdir.
Tahun 2008 para penambang batu dan pasir secara tak sengaja memukan batu-batu andesit yang merupakan bagian struktur bangunan artefak kuno yang tak diketahui manfaatnya.
Selain itu, penduduk juga menemukan sejumlah arca, lampu dari tembikar, dan batu-batu yang diduga kuat merupakan komponen bangunan candi.
Hasil identifikasi para ahli menunjukkan bangunan mirip dinding penahan tanah agar tak longsor
atau biasa disebut ‘talud’ yang terbuat dari kubus-kubus batu.
.
.
Bukan alamiah, Itu lebih mirip sebuah struktur hasil rekayasa lingkungan yang berkaitan dengan pertanian. Dugaan tersebut diperkuat dengan penemuan beberapa artefak di sekitarnya.
Pemukiman penduduk. Sebuah kampung atau mungkin sebuah koloni dengan maksud tertentu, itulah apa yang untuk sementara dijadikan rujukan.
Sebuah kampung yang diduga masih utuh dan pernah tertimbun tanah selama seribu tahun ini mengingatkan kita pada Pompei
sebuah kota di Italia yang hilang tertimbun debu vulkanik gunung Vesuvius pada abad pertama masehi.
.
.
Penemuan kota Pompei setelah terbenam debu vulkanik selama 1600 tahun membuat para ahli terkesima dengan kemajuan kota Pompei sebagai kota pelabuhan.
Diduga, gunung Sindoro yang meletus pada tahun 900-an atau lebih dari 1000 tahun yang lalu telah membuat desa ini terkubur.
Sama dengan Pompei, akibat material gunung berapi yang memberikan peninggalan utuh atas barang dan jasad penduduknya, demikian pula Liyangan, kecuali jasad penduduknya.
Korban kota Pompei diperkirakan mencapai 25.000 jiwa, Liyangan nol.
Warga Liyangan diperkirakan sudah mengungsi sebelum gunung Sindoro membuat desa itu teruruk materialnya.
Dengan situs ini dianggap sebagai pusat permukiman dari era Mataram Kuno sekitar abad ke-9 yang terletak di Pusat Segitiga Candi Besar
yaitu Borobudur, Gedong Songo dan Dieng, tak mungkin kiranya jumlah penduduk hanya berkisar puluhan orang saja.
.
.
"Dari mana bisa tahu ga ada korban? Bukankah sudah lebih dari 1000 tahun, artinya jasad itu pun pasti sudah menjadi tanah bukan?"
Sama dengan Pompei, peninggalan berupa biji-bijian dan banyak alat rumah tangga bahkan lukisan pun masih utuh, apalagi jasad manusia yang mengering. Demikian pula di situs Liyangan, padi, bumbu dapur hingga ijuk sebagai atap masih utuh.
Tak ada satu pun petunjuk adanya korban manusia. Tak ada jasad mengering seperti padi, bumbu dapur hingga banyak peralatan rumah tangga terbuat dari kayu yang menjadi kering.
Untuk sementara para ahli berkesimpulan bahwa rakyat sudah mendapat peringatan akan letusan tersebut dan mereka mengungsi.
Apa yang dapat kita baca dari peristiwa tersebut? Salahkah bila mereka telah mengenal dan mempelajari ilmu tentang gunung berapi?
"Dari mana para ahli tahu gunung merbabu meletus pada tahun itu?"
Satu-satunya prasasti yang merekam bencana gunung meletus di era kuno hanya tercatat oleh Prasasti Rukam di tahun 907.
Kalimat dalam prasasti "ilang dening guntur merujuk" pada sebuah desa yang hilang atau hancur akibat letusan gunung.
Secara teoritis Prasasti Rukam yang berangka tahun 907 berdekatan dengan hasil tes karbon termuda yakni sisa bambu dari Situs Liyangan.
Sementara, tes karbon pada penggalian berikutnya, umur lebih tua didapat adalah angka abad 6. Artinya situs Liyangan telah berusia lebih dari 200 tahun sebelum bencana itu sendiri.
Artinya, situs yang letaknya tak terlalu jauh dari candi Borobudur itu jauh lebih tua dibanding candi itu sendiri.
Artinya, sangat mungkin masyarakat di situs Liyangan adalah saksi hidup Borobudur pernah dibangun.
Artinya, leluhur kita benar adanya terlahir sebagai masyarakat yang pintar dengan budaya tinggi melekat pada cara hidupnya bukan dongeng semata.
Secara perlahan dan pasti, tanah tempat kaki kita berpijak akan terus berbicara.
Dia ingin bercerita betapa luhur dan hebatnya mereka yang dulu pernah tinggal dan menyatu dengan dirinya.
Lantas, masihkah kita ragu akan luhur budaya bangsa besar ini?
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
PRESIDEN IMITASI
.
.
.
Sangat ga apple to apple membandingkan Anis dan Jokowi. Namun bukan salah apel yang satu ingin meniru dan menempatkan diri menjadi apel yang lain.
Meniru, mungkin tidak terlalu tepat bila karena dia bukan subyek. Ditirukan..!! Ditirukan adalah obyek.
Ditirukan dan kemudian ditempatkan pada posisi itu menjadikan Anis dobel obyek. Dia bukan melakukan atau berkehendak, tapi terkena akibat atas tindakan dari pihak lain.
Contoh sukses Jokowi ditiru. Menjadi Gubernur DKI kemudian lompat jadi Presiden, itulah gambar besarnya.
Hebat bila proses meniru itu berasal dari dirinya. Ada kecerdasan positif (paling tidak ada effort untuk menjadi) siap digelar demi langkah sangat sulit seorang Jokowi sampai pada titik tertinggi di negeri ini. Anis tampak bukan person seperti itu.
PRAMBANAN NAN ANGGUN
.
.
.
Dia akan bersenandung saat hati kita benar-benar bersih.
Dia mungkin akan bercerita melalui angin yang berhembus
dan semburat pucat sinar rembulan di malam hari.
~Nita~
Abhiseka adalah upacara pensucian dan peringatan diresmikannya Candi Prambanan oleh Rakai Pikatan Dyah Seladu pada Wualung Gunung Sang Wiku (856 M) untuk menandai puncak kekuasaan kerajaan Mataram Kuna.
Ritual yang sama, beberapa saat yang lalu digelar. Baru sekali dan untuk pertama kalinya sejak Candi Prambanan berdiri 1.163 tahun lalu atau tepatnya di tahun 856 masehi.
Ribuan tahun sudah tradisi, budaya dan agama yang demikian agung telah menjadi bagian sejarah kita.
Ketika sikap toleran menjauh dari cara kita hidup, radikal sebagai akibat cara kita berpikir mendekat dalam dekat jangkauan menggoda. Selalu bertaut dalam gerak seirama. Di sana ada korelasi tak dapat dihindar.
Rasa tak suka-ku, menuntut tindakan kongkrit. Bukan sekedar alenia dalam kalimat dan narasi sebagai tanda.
Hantam! Pukul! Musnahkan! Dan lalu chaos terjadi sebagai akibat.
Dalam kekacauan, pikiran jernih bukan pilihan. Refleks sebagai reaksi, jauh lebih mudah terjadi & nalar kita tak bertanya lagi tentang pantas atau tidak.
Dalam kacau kita bersama, selalu tercipta peluang bagi "liyan" (pihak ke 3).
Siap, lugas, pintar dan sangat mengerti kemana institusi Kepolisian pada era modern ini harus bergerak, sepertinya terpampang sangat jelas pada cara sosok ini.
Paling tidak, ini terlihat dengan sangat jelas dari banyaknya pujian anggota Komisi III DPR RI ketika Calon tunggal Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo memaparkan makalahnya yang berjudul
"Transformasi Menuju Polri Yang Presisi" pada uji kepatutan atau fit and proper test Rabu 20 Januari 2021.
.
.
PRESISI adalah singkatan Prediktif, ResponSibilitas dan TransparanSi.
Bukan SBY tak pandai lantas kita memuji banyak langkah strategis Jokowi dengan sebutan pintar yang telah membuat negeri ini bergerak pada langkah benar.
UU No 4 tahun 2009 tentang batubara dan mineral bumi yang menjadi acuan langkah Jokowi dan kemudian sukses adalah peraturan yang dibuat pada era SBY. SBY telah memberi peninggalan UU baik dan Jokowi sebagai penerus, melihat dan melaksanakannya.
UU itu memerintahkan negara untuk tidak menjual mineral bumi secara gelondongan atau mentah, atau apa adanya. Harus ada nilai tambah. Harus ada unsur diolah terlebih dahulu sehingga memiliki nilai lebih dan keuntungan pun dapat lebih maksimal.
KILAU TONGKAT KOMANDO SANG JENDRAL
.
.
.
Untuk Pembaca Yang Tabah
.
.
Orang-orang besar mulut itu kini mulai terhempas pada pinggiran jurang dalam dan tak berujung. Tanpa daya, mereka terpojok dan menunggu ajal.
Adakah tangan asing akan meraihnya, pertunjukan lebih dramatis sepertinya sangat mungkin terjadi. Moment sempurna, sedang ditunggu.
Itulah alasan kenapa Jendral Listyo Sigit Prabowo harus menjadi Kapolri.
Disamping prestasinya yang hebat, dia adalah orang paling mengerti bahasa Presiden Jokowi. Bukan hanya verbal, gesture hingga gimmick Presiden dimengertinya.
Kecepatan eksekusi dari perintah Presiden akan berjalan sangat efisien adalah akibat logis atas lancarnya komunikasi.