Dikisahkan, di masa akhir era Tabi’in, hidup seorang pemuda dari kalangan biasa namun saleh. Suatu hari, pemuda yg bernama Tsabit bin Zutho itu berjalan di pinggiran Kota Kufah, Irak.
Terdapat sungai yg jernih di sana. Tiba2, sebuah apel segar tampak hanyut.
📸 tin_veebee
Dalam kondisi yg lapar, Tsabit pun memungut apel itu. Rezeki datang tiba2, tanpa diduga di saat yg tepat. Tanpa pikir panjang, ia pun memakannya, mengisi perut yg keroncongan. Baru segigit menikmati apel merah nan manis itu, Tsabit tersentak. Milik siapa apel ini? bisik hatinya.
Meski menemukannya di tempat umum Tsabit merasa bersalah memakan apel tanpa izin si empunya. Bagaimanapun juga, pikir Tsabit, buah apel dihasilkan sebuah pohon yang ditanam seseorang. '”Bagaimana bisa aku memakan sesuatu yang bukan milikku,” kata Tsabit menyesal.
Ia kemudian menyusuri sungai. Tsabit berpikir akan bertemu dgn pemilik buah dan meminta kerelaannya atas apel yang sudah digigitnya itu. Cukup jauh Tsabit menyusuri aliran sungai hingga ia melihat sebuah kebun apel. Beberapa pohon apel tumbuh subur di samping sungai.
Rantingnya menjalar dekat sungai. Tak mengherankan jika buahnya seringkali jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus air.
Tsabit pun segera mencari pemilik kebun. Ia mendapati penjaga kebun apel. Tsabit bertanya, “Wahai hamba Allah, apakah apel ini sama dgn apel di kebun ini?
Saya sudah mengigit apel ini, apa kau memaafkan saya?” kata Tsabit sembari menunjukkan apel yang telah dimakan segigit itu.
Namun, penjaga kebun itu menjawab, “Saya bukan pemilik kebun apel ini. Bagaimana saya dapat memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya?
Pemilik kebunlah yang berhak memaafkanmu.” Lalu, penjaga kebun itu pun berkata, “Rumahnya (pemilik kebun apel) cukup jauh, sekitar lima mil dari sini.”
Walau harus menempuh jarak sekitar delapan kilometer, Tsabit tak putus asa untuk mencari keridhaan pemilik apel.
Akhirnya, ia sampai di rumah pemilik kebun. Dengan perasaan gelisah, Tsabit merasa takut sang pemilik tak meridhai apelnya yang telah jatuh ke sungai digigit olehnya.
Mengetuk pintu, Tsabit mengucapkan salam. Seorang pria tua, si pemilik kebun apel, membuka pintu.
“Wahai hamba Allah, saya datang ke sini karena saya telah menemukan sebuah apel dari kebun Anda di sungai, kemudian saya memakannya. Saya datang utk meminta kerelaan Anda atas apel ini. Saya telah mengigitnya dan ini yang tersisa,” ujar Tsabit memegang apel yang digigitnya.
Agak lama pemilik kebun apel terdiam. Lalu, Tsabit pun tersentak ketika dia berkata, “Tidak, saya tidak merelakanmu, Nak.” Penasaran karena pemilik kebun apel mempermasalahkan sebutir apel, Tsabit pun bertanya bgm dia bisa dimaafkan.
“Saya tdk memaafkanmu, demi Allah, kecuali..
jika kau memenuhi persyaratanku,” jwb pria tua itu.
“Apa persyaratannya?”.
“Kau harus menikahi putriku,” kata pemilik kebun.
Menikahi seorang wanita bukanlah sebuah hukuman, pikir Tsabit.
“Benarkah itu yg menjadi syarat Anda? Anda memaafkan jika saya menikahi putri Anda?"
Begitu terperanjatnya Tsabit ketika pemilik kebun itu berkata bahwa putrinya yang harus Tsabit nikahi merupakan wanita cacat.
“Putriku itu buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Tak mampu berjalan, apalagi berdiri. Kalau kau menerimanya maka saya akan memaafkanmu, Nak,” kata pria tua.
Syarat yang sulit masuk di akal Tsabit hanya gara-gara mengigit sebutir apel yang dia temukan di sungai. Namun, hal yang lebih mengejutkan, Tsabit menerima syarat tsb karena merasa tak memiliki pilihan lain. Sementara, ia tak ingin berdosa mengambil hak yang bukan miliknya.
Tsabit, seorang pemuda tampan, harus menikahi wanita cacat hanya karena menggigit sebuah apel.
“Datanglah saat Isya untuk kunikahkan dgnnya".
Usai shalat, Tsabit pun menemui istrinya yg cacat. Ia masuk ke kamar pengantindengan langkah yang berat.
Hatinya dipenuhi pergolakan luar biasa, namun pemuda gagah itu bertekad memenuhi syarat sang pemilik apel. Tsabit pun mengucapkan salam seraya masuk ke kamar istrinya.
Betapa terkejutnya Tsabit ketika mendengar jawaban salam dari wanita yang suaranya lembut nan merdu.
Begitu cantik paras si wanita, tanpa cacat apapun di anggota tubuhnya. Tsabit kebingungan, ia berpikir salah memasuki kamar. Harusnya yang ia temui adalah istrinya,.seorang wanita yang buta, tuli, bisu, dan lumpuh.
Tak percaya, Tsabit pum bertanya. Ternyata benar itu istrinya.
“Apa yang dikatakan ayah tentang aku?” tanya si gadis mendapati suaminya tak percaya.
“Ayahmu berkata kau adalah seorang gadis buta,” kata Tsabit.
“Demi Allah, ayahku berkata jujur, aku buta karena aku tidak pernah melihat sesuatu yang dimurkai Allah,” jwb istrinya.
“Ayahmu juga berkata bahwa kau bisu,” ujar Tsabit masih dalam nada heran.
“Ya benar, aku tidak pernah mengucapkan satu kalimat pun yang membuat Allah murka,” kata istrinya itu.
“Tapi, Ayahmu mengatakan, kamu juga tuli,” lanjut Tsabit.
“Ayahku benar, demi Allah. Aku tidak pernah mendengar satu kalimat pun, kecuali di dalamnya terdapat rida Allah,” jwb gadis cantik itu.
“Tapi, ayahmu juga bilang bahwa kau lumpuh".
“Ya, ayah tidak berdusta. Aku tidak pernah melangkahkan kakiku ke tempat yg Allah murkai".
Semua jawaban itu membuat Tsabit terpesona. Dia pandangi istrinya yg cantik itu. Dia pun mengucapkan syukur. Sang pemilik kebun kagum dengan sifat kehati-hatian Tsabit dalam memakan sesuatu hingga jelas kehalalannya.
Melihat kesalehan Tsabit, ia tergerak menjadikannya menantu.
Dari pernikahan tsb lahir seorang ulama alim, mujadid yg sangat terkenal, yakni Nu’man bin Tsabit atau lebih dikenal dgn nama Imam Abu Hanifah (Hanafi).
Bersama istrinya yg shalihah, Tsabit mendidik putranya menjadi salah satu imam besar dari empat madzab.
Semoga menginspirasi.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Syekh Mutawalli Assya'rowi berkata: "Jika engkau tidak mendapatkan orang yang dengki kepadamu , maka ketahuilah sesungguhnya engkau adalah manusia yang gagal".
Dahulu ada seorang guru yang terkenal bijaksana pernah mendoakan murid kesayangannya dgn lafadz
yang mengagetkan. Guru tsb berdoa:
اللهم اكثر حسادك
"Semoga Allah menjadikan banyak orang mendengki kepadamu"
Muridnya pun kaget, namun tidak berani berkata apapun di hadapan gurunya.
Sang Guru berkata,
"Ketika banyak orang yang hasad (dengki) kepadamu,
maka hidupmu penuh kenikmatan. Tahukah engkau, hanya pohon kurma yang berbuah yang mendapat lemparan"
Telah menjadi sebuah rumus kehidupan:
كل ذي نعمة محسود
"Setiap orang yang mendapat nikmat pasti ada pendengkinya"
Semakin berhasil dan mencapai puncak, semakin kencang
Di sebuah pasar besar di satu negeri, orang-orang berkerumun membicarakan Raja mereka.
"Raja, sedang sakit perut parah sudah berbulan-bulan tak kunjung sembuh. Padahal sudah banyak tabib yang mencoba mengobatinya"
"Aku bisa, insya Allah"
📸 wikiwand
Semua mata mengarah ke orang yg mengatakan dirinya sanggup mengobati Raja. Ternyata dia adalah seorang dari kaum Solihin yang tak dikenal orang. Kerjanya mengembara dari kota ke kota.
"Kalau kau sanggup, obatilah Raja."
Lalu dia diantar untuk menghadap Raja.
"Apa benar kau sanggup mengobatiku, hai orang asing?," kata Raja.
"Sanggup insya Allah. Tetapi aku memiliki syarat"
"Apa syaratnya, aku akan menyetujuinya, sebab aku sudah tak tahan dgn sakitku ini".
"Syaratnya jika aku dapat menyembuhkanmu, maka kerajaanmu menjadi milikku".
Dikutip dari ucapan Habib Alwi bin Abdullah bin Syahab
Janganlah kalian menjadi sombong karena kalian adalah penduduk suatu kota yang hebat (Tarim, atau Madinah, atau Makkah). Ingatlah Adam as, dulu penduduk surga lalu diturunkan ke bumi karena maksiat.
Janganlah kalian menjadi sombong karena ilmu. Ingatlah Bal'am bin 'Aura (murid didikan Nabi Musa sehingga menjadi ulama, namun murtad karena tawaran dunia), ilmunya tak memberikan manfaat bagi dirinya.
Jangan kalian menjadi sombong karena nasab yang mulia. Ingatlah anak Nabi Nuh termasuk orang yang celaka, padahal ia anak seorang nabi.
Janganlah kalian menjadi sombong karena pernah bertemu dan melihat orang-orang saleh. Ingatlah Abu Jahal dan Abu Lahab bertemu dan melihat...
Sufyan bin 'Uyainah bercerita: "Khalifah Hisyam bin Abdul Malik pernah masuk ke dlm Ka'bah. Di dalamnya, beliau bertemu Salim bin Abdullah bin Umar (cucu Sayyidina Umar bin Khattab ra) - seorg yg alim"
Khalifah berkata,
يا سالم، سلني حاجة
'Wahai Salim, mintalah sesuatu kepadaku'
Salim menjawab,
إني لأستحيي من الله أن أسأل في بيت الله غير الله
'Aku malu kepada Allah jika aku meminta kepada selain-Nya, padahal aku sedang berada di rumah-Nya'
Ketika Salim keluar, sang khalifah mengikutinya, kemudian berkata:
ألآن قد خرجت فسلني حاجة
'Sekarang engkau telah keluar, maka mintalah sesuatu kepadaku!'
Salim menjawab:
حوائج الدنيا أم من حوائج الآخرة؟
'Kebutuhan dunia atau kebutuhan akhirat?'
Sang khalifah menjawab:
بل من حوائج الدنيا
'Kebutuhan dunia'
Salim menimpali:
ما سألت من يملكها، فكيف أسأل من لا يملكها