Kali ini kembali berbagi artikel dngan judul "Mengapa Kaum Muda Butuh Alat Politik Alternatif" tulisan ini telah tayang di @berdikarionline
ditulis oleh Nur Rochman
Seringkali, kalau bicara politik kaum muda, kesimpulannya adalah: apatis. Rujukannya adalah survei-survei yang menunjukkan rendahnya minat anak muda pada politik
Seperti survei lawas CSIS pada November 2017. Survei itu menyebutkan, hanya 2,3 persen generasi milenial—anak muda kelahiran 1981-1996—yang tertarik membahas isu sosial dan politik
Kemudian survei Litbang Kompas pada Desember 2017 juga menunjukkan, hanya 11,8 persen anak muda yang bersedia menjadi anggota partai politik. Sementara 86,3 persen menyatakan tidak bersedia
Sedangkan pemilih pemula (gen Z yang sudah mempunyai hak pilih) sebanyak 12,7 persen. Jadi, kalau ditotal, jumlah pemilih muda ini mencapai 50,4 persen
Mari lihat kenyataan lain. Setidaknya, kalau melihat tahun 2019 & 2020 lalu, ada momentum anak2 muda tumpah ruah ke jalan2 di hampir semua kota/kabupaten di Indonesia
Majalah tempo[1] dan BBC[2] menyebut demonstrasi itu sebagai yang terbesar setelah reformasi 1998. Mereka menggugat korupsi, konservatisme politik, & dominasi oligarki
Yang menarik, aksi protes ini juga berhasil memobilisasi sektor kaum muda yang dianggap paling apolitis, seperti pelajar (SMP dan SMA) dan penggemar K-POP
Tentu saja, demonstrasi adalah bentuk partisipasi politik. Dia hadir di jalanan, dalam balutan protes, karena macetnya institusi politik formal (partai dan parlemen)
Jadi, sebetulnya anak muda tidak apatis, hanya kecewa pada politik yang ada. Mereka kecewa dengan kekuatan politik mapan (established), yang korup, berjarak dengan rakyat, bergaya feodal, dan tunduk pada oligarki
Tak terpungkiri, aksi protes jalanan berkonstibusi besar memecah kesunyian dalam politik Indonesia, akibat “politik stabilitas” yang selama tiga dasawarsa dipraktikkan oleh Orde Baru
Protes Black Lives Matter (BLM) berskala raksasa dan berminggu-minggu di Amerika Serikat, yang menyeret jutaan orang ke jalan, tak banyak mengubah keadaan
tetapi hanya jika diikuti dengan gerakan politik yang terstruktur melalui kerja sama dengan institusi politik, hasil yang signifikan dapat tercapai,” kata Mouffe
Dalam sejarah, jalan menuju kekuasaan politik beraneka ragam: dari yang tidak konstitusional (kudeta, insureksi/people power, dan pemberontakan bersenjata) hingga cara-cara konstitusional (Pemilu)
Pertama, demokrasi prosedural ini dirancang untuk memastikan peralihanan kekuasaan berjalan teratur & tertib, sehingga terjadi kontinuitas & stabilitas
Ada banyak data yang bertebaran soal itu. Salah satunya, hasil kajian Litbang Kemendagri tahun 2015. Disebutkan, demi memperebutkan kursi bupati/wali kota, biaya yang harus dirogoh mencapai Rp 20 miliar-Rp 30 miliar
selain mengantongi akta notaris (ini pun ada persyaratannya), juga disyaratkan punya kepengrusan di semua provinsi, 75% kab/kota di provinsi, & 50 % kecamatan di kab/kota
Namun, semua hambatan ini tak meluluhlantakkan keyakinan dlm diri kita, bhwa demokrasi prosuderal lwat pemilunya ini berpotensi untuk diintervensi, lalu diradikalisasi dengan agenda politik yg lebih maju, demokratis, & berkeadilan sosial.
Jalan pertama sudah lama dipraktekkan, sejak aktivis angkatan 66 memilih masuk dalam kekuasaan Orde Baru hingga aktivis 98 yang belakangan banyak berkiprah di partai dan pemerintahan
Alih-alih mendorong perubahan dari dalam, justru mereka ikut terkontaminasi oleh iklim politik yang sudah korup itu. Banyak yang terjebak dalam gaya politik formal/elitis
Jadi, pilihan terbaik di depan kita sekarang adalah membangun alat politik baru, yang dikelola secara modern, demokratis, dan punya keberpihakan politik yang jelas kepada rakyat banyak
Pertama, pembangunan partai politik perlu diinisiasi oleh anak muda yang paling maju dulu. Seperti satu adegan berdiri di atas bangku di film “Dead Poet Society”, sebagai simbol protes
Boleh jadi, mereka menginginkan, tetapi merasa tak mungkin. Maka, tugas mereka yang paling maju adalah memulai dan menunjukkan bahwa kerja mulia itu sangat mungkin
Kedua, perlu bagi kaum muda untuk mendobrak batasan2 formal yg menghambat hak rakyat untuk berpolitik sekarang ini, mulai persyaratan pendirian partai politik, persyaratan mengikuti pemilu, hingga penghapusan sistem ambang batas (ET)
Bagaimana pun, partai alternatif butuh iklim politik yang demokratis. Dan masa depan yang cerah hanya mungkin kalau ada banyak pilihan2. Bukan dipaksa memilih partai itu2 saja dari pemilu ke pemilu
Berikut kami akan berbagi artikel trkait syarat mendirikan partai politik. Tulisan ini tlah tayang di @berdikarionline dngan judul "Pembatasan Partai Politik Atau Pembatasan Partisipasi Politik Rakyat" ditulis oleh Een Rohaeni
Rancang bangun sistem politik Indonesia ke depan kian jelas diperuntukan hanya bagi segelintir orang yang memiliki uang dan menguasai sumber daya (oligarki)
Sekarang ini, agar sebuah partai bisa mengikuti Pemilu, selain berbadan hukum, punya kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kepengurusan kabupaten/kota di Provinsi, dan 50 persen kepengurusan kecamatan di Kabupaten/Kota
Pandemi covid-19 tak hanya membuat seluruh dunia panik dan terdampak. Kaum perempuanlah yang paling terdampak. Hal ini bisa dilihat pada tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi
Walaupun ada penambahan jumlah perempuan di parlemen namun belum juga mampu memberikan kepastian akan memuluskan Rancangan Undang Undang penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang menjadi agenda bersama gerakan perempuan
Politik kerakyatan telah sirna, keadilan, kemakmuran hanya jargon, pemanis politik untuk memoles pahitnya kehidupan rakyat, karena politik hanya memperjuangkan kelompok, elit kelompok dan tuan pemodalnya