Dulu, pada akhir-akhir masa sahabat, hadits-hadits diriwayatkan sedemikian gencar, hingga masyarakat tidak bisa memastikan antara hadits yang benar-benar dari Rasulullah dan hadits-hadits palsu.
Terlebih, pada masa itu memang ada orang-orang yang “berprofesi’ sebagai al-qassas, tukang dongeng. Al-qassas ini dibayar untuk berorasi di tempat-tempat keramaian yang tujuannya adalah memuji-muji seseorang (politisi) yang membayarnya dan menjatuhkan lawan politiknya.
Maka, mereka tidak segan membuat hadits-hadits palsu untuk mengangkat kemuliaan orang yang membayarnya.
Kondisi seperti ini membuat gelisah Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Umar menjadi khalifah tidak lama, hanya 2 tahun 137 hari, pada usia 34 tahu (w. 101 H).
Ia dikenal sebagai khalifah yang sangat lurus dan bijak dalam berpikir. Kebijakan yang ia buat selalu berorientasi pada kemaslahatan masyarakat luas.
Khalifah Umar sangat gelisah melihat perilaku para al-qassas ini. Gara-gara mereka, banyak hadits-hadits palsu beredar di tengah masyarakkat. Jika dibiarkan, pasti akan menyesatkan masyarakat luas.
Khalifah Umar berpikir keras untuk melindungi masyarakat dari hadits-hadits palsu. Ia lantas memanggil Abu Bakar Muhammad ibn Syihad az-Zuhri (51-124 H).
Khalifah berdiskusi dengan Abu Bakar soal kegelisahannya. Abu Bakar kemudian diminta untuk menyusun kaidah-kaidah dasar untuk menyeleksi hadits-hadits yang beredar di tengah masyarakat.
Abu Bakar mulai bekerja mengumpulkan banyak hadits yg beredar dan menganalisanya. Ia kemudian membuat kaidah2.
Kaidah2 inilah yang menjadi dasar-dasar ilmu hadits (musthalahul hadits) yang berfungsi untuk memastikan status matan dan sanad hadits: sahih, hasan, daif, atau palsu.
Pada masa selanjutnya, ilmu hadits ini dikembangkan oleh para ulama hadits: Imam Muslim, Imam Bukhari, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban dengan berbagai karya mereka di bidang hadits dan ilmu hadits.
Di zaman sekarang ini, profesi al-qassas ini rasanya hampir sama dengan para buzzer.
Kalau saya salah, jangan maraaaah. Pliiis…
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Saat ngisi pengajian setelah magrib tadi, ada peserta yang tanya soal ikhlas. Apakah ikhlas itu ada tingkatannya? Saya jawab: ada. Ikhlas adalah berbuat baik karena Allah. Tidak berharap balasan dari manusia., tapi berharap hanya pada Allah. Tingkatannya ada tiga:
1. Mengharap balasan dari Allah secara spesifik. Contoh: berbuat baik, kemudian berharap mendapatkan balasan rezeki yang banyak agar bisa beli ini dan itu. Ini level ikhlas yan berhubungan dengan nama (asma) Allah, yaitu Ar-Razak, Yang Maha Memberi rezeki.
2. Mengharap balasan dari Allah tidak secara spesifik, tapi terserah Allah. Ini level ikhlas yang berhubungan dengan sifat Allah, Qodiran (Yang Maha Kuasa) dan Muridan (Yang Maha Berkehendak.
Ada yang tanya ke saya:
Jika ada orang mengaku mimpi melihat Nabi Muhammad apakah kita harus percaya?
Jawab: boleh percaya boleh tidak. Tapi sebaiknya jangan mudah percaya.
Tanya lagi: jika ada orang benar-benar bermimpi melihat Nabi, apakah yang dia lihat itu benar-benar Nabi? Jawab: benar. Karena setan atau jin tidak bisa menyamar jadi Nabi Muhammad Saw.
Tanya lagi: jika ada orang bikin karikatur Nabi, pasti tidak benar dong? Jawab: pasti tidak benar, karena orang seperti itu tidak mungkin pernah bermimpi melihat Nabi.
Dulu, utk bisa membaca pikiran orang lain harus melakukan tirakat tertentu sampai mendapatkan anugerah dari Allah berupa kemampuan membaca pikiran yang tersimpan dalam otak manusia. Atau, bisa juga dengan mempelajari teori-teori membaca gerak tubuh dan perilaku.
Intinya, dua cara ini tidak mudah karena perlu waktu dan kesabaran untuk mendapatkannya.
Perkembangan teknologi medsos ternyata membuatnya menjadi sangat mudah. Asal kita terhubung dengan orang tertentu, maka kita dapat menebak isi pikirannya melalui berbagai tulisan yang dia kirim (posting) di medsos.
Sarmin adalah murid paling bebal di sekolah. Tidak satu mata pelajaran pun yang bisa dia tangkap. Ibu guru yang mengajarnya putus asa karena Sarmin terlalu bebal. Orangtua Sarmin dipanggil.
Setelah menceritakan tentang Sarmin, Bu Guru terpaksa menyerahkan Sarmin kepada orangtuanya, karena dia tidak sanggup lagi mengajar Sarmin. Hari, minggu, bulan, dan tahun berlalu. Beberapa tahun kemudian Ibu Guru terserang sakit jantung.
Dia dilarikan ke rumah sakit dan masuk ke ruang khusus dengan perawatan yang sangat intensif. Dia dalam keadaan koma. Alat pacu jantung dipasang di dada Bu Guru. Beberapa saat kemudian Bu Guru mulai sadar.
Malam itu Qais tampak limbung. Hatinya begitu gila pada Laila. Dalam limbungnya, ia selalu menyebut nama Laila. Ia berjalan seperti tak tahu arah. Ia masuk ke dalam masjid yang di dalamnya ada beberapa orang sedang melaksanakan shalat berjamaah.
Qais yang limbung tak sengaja melewati barisan jamaah shalat, bahkan menabrak beberapa orang di barisan belakang. Ia lantas terduduk di pojok masjid sambil terus menyebut nama Laila.
Setelah shalat jamaah selesai, sebagian orang menghampiri Qais dan menghardiknya.
“Kau gila. Orang sedang shalat berjamaah kau lewat dan kau tabrak barisan. Apa kau buta, hei Qais!”
Tokoh agama itu sangat semangat menyampaikan pesan-pesan agama. Dengan lantang ia jelaskan berbagai perbuatan dosa. Bagaikan singa, ia meraung di podium sambil mencela orang-orang yang dianggap sebagai pendosa. Tepat di depan mulutnya terpasang empat mikrofon.
Pilihan kata, intonasi dan gerakan tubuhnya mencerminkan seolah ia orang paling shaleh di dunia. Ia lantas bertanya dengan suara meninggi, “Apakah kalian tahu, apa dosa terbesar di dunia ini?!”
Jamaah terdiam senyap. Tokoh agama itu lantas mengulangi pertanyaan, “Apa dosa terbesar di dunia ini?!”