masyarakat Samin terkenal sebagai gerakan protes atas kesewenangan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Ajaran ini pertama kali dibawa oleh Samin Surosentiko yang kemudian menyebar ke beberapa kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Rembang, Blora, Grobogan, dan
Bojonegoro.
Suryanto Sastroatmodjo dari Kementerian Informasi Republik Indonesia menulis dalam bukunya Masjarakat Samin pada 1952, bahwa perlawanan yang dilakukan Samin dan pengikutnya adalah aksi diam, pembangkangan kerja bakti, dan penolakan pembayaran pajak pada pemerintah
Hindia Belanda tahun 1890.
Pembangkangan inilah yang membuat beberapa pengikut, termasuk Samin Surosentiko ditangkap pemerintah Hindia Belanda dan dibuang ke Sawahlunto, Sumatera Barat.
Keberanian mereka dalam mengkritisi otoritas pun berlanjut hingga masa kini mengenai
Di tahun 1950-an saat pecah pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar, Bissu merupakan salah satu pihak yang paling menderita. Kahar Muzakkar menganggap kegiatan para Bissu ini adalah menyembah berhala, tidak sesuai dengan ajaran Islam dan membangkitkan feodalisme. Karena itu kegiatan,
alat-alat upacara, serta para pelakunya diberantas. Ratusan perlengkapan upacara dibakar atau di tenggelamkan ke laut. Banyak sanro (dukun) dan Bissu di bunuh atau dipaksa menjadi pria yang harus bekerja keras.
Penderitaan para Sanro dan Bissu masih berlanjut ketika Orde Lama
(Orla) ditumbangkan oleh rejim Orde Baru (Orba) pada tahun 1965. Keributan yang menyoroti arajang dan pelaksanaan upacara mappalili terjadi di Segeri. Arajang hampir diganyang oleh salah satu ormas pemuda yang berkuasa ketika itu. Para Bissu dan mereka yang percaya akan kesaktian
Ratusan komunitas penghayat kepercayaan atau agama leluhur telah mengalami sejarah panjang diskriminasi. Komunitas Perjalanan di Jawa Barat dan komunitas Marapu di Nusa Tenggara Timur adalah dua dari ratusan itu. Setelah Mahkamah Konstitusi pada 2017
membatalkan aturan pengosongan kolom agama di kartu identitas, ada kemajuan berarti dalam pengakuan hak yang setara terhadap komunitas penghayat. Namun, sejumlah tantangan masih tersisa. Komunitas Perjalanan dan Marapu mengisahkannya dalam film ini.
"Atas Nama Percaya" adalah
film pertama dari seri "Indonesian Pluralities", kerja kolaborasi antara Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM, WatchdoC Documentary, dan Pardee School of Global Affairs, Boston University; dengan dukungan dari the Henry Luce Foundation.
Taufiqur Riza Subthy
Masyarakat Sedulur Sikep atau Samin dari seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur bersilaturahmi dalam Temu Ageng Sedulur Sikep yang diadakan di Blora pada 2019.
"Kami enggak peduli orang menganggap kami apa. Agamaku Adam. Walaupun belum diadopsi oleh pemerintah,
enggak masalah, mau diadopsi apa enggak itu wewenang beliau (penguasa)."
"Percuma yang dikomentari agamanya bagus-bagus tapi orangnya malah jelek," Pramugi terkekeh.
Dilansir dari Tempo.co, sejak 2012 pemerintah Jawa Tengah berencana agar kolom agama di KTP
masyarakat Sedulur Sikep dapat diisi sebagai 'Kepercayaan'. Meski ini dianggap sebagai langkah awal yang baik oleh mereka, kebijakan ini dinilai kurang memuaskan.
"Yang dianggap cuma enam agama. Kong Hu Cu, Buddha, Kristen, Katolik, Islam, dan Hindu. Lah agamaku mana? Katanya
Afkar Aristoteles Mukhaer/National Geographic Indonesia
Pramugi Prawiro Wijoyo, salah satu masyarakat Samin di Sambongrejo, Blora Jawa Tengah. Secara struktur, ia dianggap sebagai ketua, tetapi secara adat ia tak menganggap adanya jabatan itu.
Pramugi Prawiro Wijoyo, pengikut
Samin dari Sambongrejo, Blora berbagi kisah kepada National Geographic Indonesia tentang diskriminasi terhadap masyarakat Sedulur Sikep.
Saat masa G30S 1965, pihak militer mendatangi kediaman masyarakat Samin di Sambongrejo.
"Karena apa yang kami hayati belum dianggap
kepercayaan, kami dikira PKI, mas," kenangnya. "Kami dipaksa sholat, karena kalau enggak yo dikiranya PKI terus ditangkep. Tapi setelah diberi kejelasan, yang mendatangi kami bisa paham kalau kami ini Sedulur Sikep, dan enggak ada hubungannya dengan partai."
Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, KH Hasan Abdullah Sahal (kiri) bersama KH Bachtiar Nasir di kantor MUI Pusat, Jakarta, Rabu (22/11/2017).
Menurutnya, saat ini terjadi teror terhadap Islam. Dimana setelah sebelumnya ramai kasus Perppu Ormas, kali ini negara digaduhkan
dengan polemik pencantuman aliran kepercayaan di KTP yang merugikan umat beragama, khususnya Islam.
“Kita terus dikoyak-koyak, sekarang ini dengan aliran kepercayaan,” ujarnya dalam Rapat Pleno Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) di Jakarta, Rabu (22/11/2017)
.
Kiai Hasan menyerukan, agar para tokoh dan umat Islam harus berani melawan teror tersebut dan tidak berputus asa.
“Berjuang mati tidak berjuang juga mati,” ungkapnya.
Agama Buddha Memiliki “Tuhan” Berkat Islam di Indonesia
Berbekal pengalaman “menyusup” ke kelas agama Buddha, saya menemukan hal menarik. Agama Buddha nyaris gagal memenuhi kualifikasi sebagai agama resmi di Indonesia.
Agama Buddha Memiliki “Tuhan” Berkat Islam di Indonesia
Penggunaan istilah “agama resmi” di Indonesia sebenarnya merupakan hal problematik. Sejak awal kemerdekaan, negara ini mengakui semua agama yang mengakar dan bertumbuh di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Kala itu agama masih belum diatur sedemikian ketat. Bahkan belum ada
ketentuan kolom agama di KTP. Agama masih menjadi ranah privat bagi masyarakat.
Hal ini lantas berubah drastis di pertengahan dekade 60-an. Peristiwa 1965 membuat pemerintah memandang perlunya penekanan akan ideologi Pancasila. Dampak paling besar dari kebijakan ini adalah