1. A culture of safety.
Ceritanya di all-hands tiket design minggu ini, kita bikin meja kantor virtual di Miro. Buat asik2 aja, orang bisa taruh "barang" macam2 di meja kantor nya buat expressing themselves/tulis2 note ke temen. Dan sebagai ajang pamer gw post lah stories di bwh.
2. Nah uniknya ada temen di instagram reply gini "Ini pake aplikasi, El? Maksudnya kita bisa memantau apa yg dikerjakan staf kah?". Gw jawab ini buat main2 aja. Then she replied lagi "Kirain gw beneran he he Ada rekomendasi aplikasi utk mantau pekerjaan staf ga El?".
3. Gw lmyan surprised sama pertanyaan itu. Karena doi bekerja di sebuah PTN sebagai dosen di jurusan hukum. Surprised, krn pertanyaannya seakan ingin membuat policy yg micromanaging and tight surveiling kerjaan timnya.
4. Padahal nurut gw, base on my experience, no one like to be micromanaged. Gw bilang ke doi kalau "aplikasi" yang kita pake di tim ya trust + meeting cadence aja. Tiap pagi pada share hari itu mau ngerjain apa dan di beberapa sore pada share hari itu udah berhasil selesain apa.
5. I think itu salah satu mindset dari a culture of safety. Bahwa defaultnya: orang itu ga malas dan perlu terus di motivasi dengan reward, punishment, atau surveillance untuk hold their accuntability,
6. Apalagi untuk pekerja kreatif seperti designer yang butuh getting in "the zone"/flow, kreatifitas, dan kolaborasi. Kayanya inovasi dan hal2 tersebut ga akan bisa didapet kalau di environment kerjanya shame, blame, judgement, micro control, and fear dipakai untuk mengontrol org
7. Frederic Laloux di risetnya ada blg beberapa belief yg counterproductive, antara lain: org kerja cmn buat uang; mereka bakal do everything for it, org kerja itu egois; mereka akan taruh kepentingannya di atas yg lain, org perlu dikasih tau what to do, how/when to do it, -
8. hanya leaders yg mampu make good decision, dll. Turunan dari belief itu ya salah satunya tadi: Tying bonuses to hours spent at the office atau bener2 harus laporan lagi ngerjain apa di wfh situation sekarang ini.
9. Based on my experience, internal motivation and values lah yg lebih strong buat kita spend 8 jam sehari waktu kita. Those values can be: building good products, comradery, creativity, community, craftsmanship, mastery, dll.
10. Instead of keep thinking about carrots or sticks apa yg perlu kita design buat tim kita, maybe better spending our time buat cari tau value apa yg dihargai anggota tim kita.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
1. Gw bukan investment manager/financial planner. Tapi menurut pengalaman gw, apartemen itu bentuk investment yg jelek bgt. Ini based on 2 apartemen yg gw pny di Jaksel and Jakpus. Ini alasannya:
2. Harga apartemennya naiknya hampir non existent. Gw beli apartement pertama gw di tahun 2016 dan yang kedua di tahun 2018. Gw suka kepo, cek harga unit2 itu di online marketplace, dan ya ga naik sama sekali selama 2 dan 4 tahun ini. Mgkn bisa jg krn market properti lagi jelek.
3. Biaya maintenance apartemennya malah jd cost gede kalau ga ada yg sewa. Biaya yg gw harus bayar, mau dipake atau engga: 1.3 jtan per bulan untuk 36 m2 studio and 6 jtan per bulan untuk 153 m2 2 bedrooms apt.
1. Your eyes contact matters. Gw pernah tinggal di lingkungan sosial dimana gw miskin buat dapetin eye contact dalam setiap percakapan. Waktu gw pertama kali pindah ke Seattle tepatnya di 2011. Ada sebuah riset yg blg bahwa untuk cari tau org plg powerful (berprivilese) di acara-
2. -social adalah buat liat orang berkerumun di sekeliling siapa atau eye contact paling banyak ditunjukkan ke siapa. Katanya ini human nature kita untuk mendapatkan approval dari orang yg kita anggap lebih alpha di percakapan tersebut.
3. Di Seattle dulu tentu saja gw ada di dasar piramida sosial kalau ada meetup2. Broken Inggris, masih pake Blackberry, tampang Asia, fresh off the boat, imigran, tampilan fashion anak beasiswa bukan anak cindo tajir, dan akses2 lain yg gw miskin. Jadinya gw berasa banget kalau-
Dulu di Seattle, gw punya housemate orang midwest yg suka banget benerin pronounciation gw. Adam namanya. Walaupun tetep gagal sih. Aksen Jawa/Indo gw masih kental banget. Tapi ini bbrp tips dari dia yg gw inget bgt sampe skrg.
Kalau nemu “t” diantara vowel sounds, keluarin quick “d” sound. Jd better -> bedder, it is -> id is, notice -> nodice, etc. Kalau nemu “t” setelah huruf “n”. T nya silent (ga perlu diucapin). Center -> cener. Wanted -> waned, tweNTy, iNTernet,etc.
Kalau nemu “t” sebelum “n”, n nua diucapin hard diakhir. Certain -> cert-ein, mountain -> mount-ein, written,curtain,etc.