Sebuah cerita dari saya pribadi. Silahkan baca jika suka. Kalau tidak silahkan abaikan. (Like bukan berarti suka. Bisa berarti hanya sekadar numpang lewat)
Thread ini merupakan lanjutan dari thread berjudul "Rahasia Reruntuhan di Tengah Hutan". Bagi yg mengikuti thread tersebut mungkin tidak akan kebingungan dengan thread lanjutan ini.
Semoga para pembaca tertarik dan terhibur dengan thread alakadarnya ini. Terimakasih
Daratan gersang yang dipenuhi reruntuhan dan pepohonan yang hangus tersebut dulunya adalah Desa Cikahuripan. Sekarang desa tersebut telah luluh lantak akibat amukan api yang disemburkan AdugLajer.
Semburan AdugLajer telah mengakibatkan sebagian wilayah itu ludes tak tersisa.
Semburan AdugLajer memang telah menimbulkan kehancuran massal. Namun tidak seluruh area terkena semburannya. Salah satunya adalah Desa Kayujati.
Dari desa tersebut dapat disaksikan kehancuran total hutan yang meluas hingga ke selatan ke Desa Cikahuripan. Sejauh mata memandang
hanyalah area gersang yang kosong serta dipenuhi kabut debu yang tertiup angin. Area hutan yang begitu luas juga telah tandas akibat amukan AdugLajer tersebut.
Gersang dan kosong itulah yang terlihat di dataran sebelah selatan Desa Kayujati itu.
Di suatu sudut desa terlihat dua orang laki-laki sedang menatap ke kejauhan tepatnya ke arah lokasi yang terbentang gersang nan meranggas.
"Bencana itu benar-benar datang. Tidak ada satupun yang selamat. Badai api itu benar-benar sangat mengerikan. Aku sempat berpikir jika
desa ini juga akan terkena dan aku akan menjadi salah satu korbannya," ujar salah satu dari dua orang itu.
"Kita banyak bersyukur sajalah karena Allah masih menghendaki kita untuk tetap hidup. Saya berharap para korban mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya," tukas rekannya.
"Oh iya, mar. Aku baru ingat bahwa hari ini aku kebagian piket. Aku lupa tanggungjawabku. Pasti Pak Kades akan menegurku, nih," ucap salah satu dari dua laki-laki itu.
"Ya ampun, Sadra. Pelupa sekali ya kau ini. Bukan sekali ini saja kamu lupa. Sebelumnya malah lebih parah. Kau
jalan-jalan ke mall terus pulang sendiri, nggak taunya anak dan bini ketinggalan di mall," tukas rekannya yang bernama Umar itu.
"Jangan bahas itu lagi, ah. Aku jadi merasa semakin jengkel saja dengan penyakit lamaku ini. Kenapa sih aku harus menjadi pelupa?" keluh Sadra.
"Tidak perlu mengeluh. Sekarang pergilah dan kerjakan tugasmu. Urusan disemprot Pak Kades biarkan saja. Bilang saja diajak bini kondangan mendadak," kata Umar seraya melihat ke kejauhan.
Ia menggernyitkan kedua matanya saat melihat sesosok manusia dengan berjalan tertatih di
tengah area yang tandus dan kosong itu.
"Hei, aku pergi dulu, ya. Kalau ada apa-apa telpon saja." Sadra beranjak meninggalkan Umar tanpa menyadari jika temannya tersebut tidak menanggapinya karena fokus pada sosok di tengah-tengah area lapang yang tandus di kejauhan sana.
"Ada yang selamat dari badai api itu? Atau hanya orang yang numpang lewat? Tapi ini aneh," gumam Umar seraya melangkahkan kedua kakinya menuju area terdekat dengan tujuan untuk memastikan jika sosok itu benar-benar adalah manusia.
Umar pun semakin yakin jika sosok itu adalah
manusia yang tepatnya seorang gadis yang berumur sekitaran 20 tahun. Hal itu juga terlihat saat sosok gadis itu terjerembab kemudian jatuh di atas tanah.
Umar pun lantas memanggil warga desa untuk menjemput gadis yang berada di area bekas Desa Cikahuripan itu.
Apa yang terlihat saat itu kabur, namun siluet sosok-sosok yang menggapai-gapaikan tangannya dapat jelas terlihat.
"Rena... Tolong akuuu..."
"Renaaaa!"
"Renaa... Tolong bawa aku pulang....."
"Renaaaa......."
"Renaaaaaa!"
"Haaah, haaah....."
Rena terbangun dengan tersentak
dari atas tempat tidur di dalam rumah berbilik bambu itu.
"Haaah, haaah, di mana aku?" Rena bernafas naik turun dengan dadanya yang megap-megap.
"Akhirnya kamu bangun, nona. Bagaimana perasaanmu saat ini? Kamu baik-baik saja, kan?" ujar seorang laki-laki sedang duduk di
samping tempat tidur di mana Rena sebelumnya terbaring.
"Masnya siapa, ya? Saya ada di mana ini?" tanya Rena dengan panik.
"Saya Umar, mbak. Mbak sedang di rumah warga di Desa Kayujati. Desa ini adalah wilayah yang paling dekat dengan wilayah yang terkena hantaman badai api,"
tukas Umar. "Ngomong-ngomong desa ini hampir saja mengalami hal yang sama dengan desa tetangga, Desa Cikahuripan. Tapi entah kenapa badai api menghilang begitu saja sebelum mencapai desa ini," lanjutnya.
Rena hanya bisa tertegun mendengar perkataan Umar.
"Ngomong-ngomong
mbak sedang apa di sana? Di wilayah bekas Desa Cikahuripan itu," tanya Umar.
"Entahlah, bang Umar. Saya juga tidak tahu," tukas Rena seraya mencoba mengingat-ingat apa yang telah ia lalui beberapa waktu yang lalu.
"Lah, kok?" Umar menggernyitkan kening.
Rena menghela nafas kemudian teringat akan hal-hal tidak masuk akal yang telah dialaminya di tempat antah-berantah. Ia juga teringat dengan suara Rahayu yang membimbingnya hingga ia berhasil keluar dari tempat misterius tersebut.
"Mbak Rena, jangan melamun. Hati-hati nanti
kesambet, lho," ujar Umar memecah keheningan.
Rena tersentak kemudian menatap Umar.
"Bang Umar, saya seharusnya tetap berada di sana, di reruntuhan Desa Cikahuripan. Seseorang meminta saya untuk mencari sebuah situs reruntuhan di area bekas hutan. Mungkin reruntuhan itu
menyimpan suatu hal yang penting yang bisa digunakan untuk mengembalikan desa maupun area yang terdampak badai api seperti semula," tutur Rena membuat Umar tercengang.
"Apa? Jangan ngawur, mbak. Itu mustahil. Mana ada hal yang seperti itu. Apa yang sudah terjadi tidak akan
kembali. Termasuk dengan desa dan hutan yang sudah musnah kena terjangan badai api," sergah Umar.
Rena terdiam mendengar perkataan Umar.
"Kalau begitu biarkan saya pergi, bang Umar. Saya ingin menepati janji saya dengan orang yg meminta saya untuk ke sana, ke reruntuhan itu."
Rena turun dari tempat tidurnya kemudian berdiri dan melihat ke luar jendela.
"Mbak Rena, sebaiknya mbak jangan ke sana. Area itu sangat kering dan panas. Kami saja sewaktu ke sana mengalami sesak nafas karena saking panasnya. Kami juga menjadi sangat cepat lelah. Mbak sendiri
juga sudah mengalaminya, kan?" kata Umar berusaha mencegah Rena pergi.
"Tapi saya harus menepati janji saya, bang. Saya tidak bisa mengesampingkannya. Mungkin ini satu-satunya harapan yang tersisa setelah badai api itu merenggut nyawa teman-teman saya serta warga desa itu,"
tutur Rena.
"Tapi pergi ke sana tidak akan bisa mengembalikan mereka semua. Yang ada malah kamu yang akan menyusul mereka," tukas Umar.
"Tapi saya sudah terikat janji, bang. Apapun yang terjadi, saya harus menepatinya. Meski nyawa saya taruhannya," kata Rena memberi penegasan
Pada akhirnya Umar hanya bisa mengelus dada karena Rena tetap pada pendiriannya untuk pergi ke area tandus bekas Desa Cikahuripan dan juga bekas Alas Kawuni. Dua tempat itu memang sudah menjelma menjadi daratan kosong nan gersang.
Rena pun pergi meninggalkan Desa Kayujati untuk
menuju wilayah bekad Desa Cikahuripan. Ia juga berniat untuk pergi ke reruntuhan yang berada di tengah bekas Alas Kawuni.
Yang ada di pikiran Rena hanyalah teman-temannya serta harapannya untuk mengembalikan mereka semua. Apalagi Rahayu telah memberinya beberapa petunjuk saat ia
masih berada di tempat antah-berantah bersama Golem.
Sementara Umar hanya menatap Rena dari kejauhan.
"Aku tidak tega membiarkannya pergi sendiri. Aku akan menyusulnya," gumamnya seraya masuk ke dalam rumah.
Ia kemudian mengambil keris yang menggantung di dinding dan
menyelipkannya di pinggang.
"Aku tidak tahu keris ini milik siapa. Aku menemukannya tergeletak begitu saja di belakang rumah," gumam Umar seraya menelepon seseorang.
"Sadra, jika kamu sudah selesai dengan pekerjaan, cepat kemari, ya. Ada hal penting yang harus kita lakukan."
Angin berhembus dengan hawa panas terasa terbawa bersamanya. Rena terlihat berjalan agak tertatih menuju sebuah reruntuhan yang tampak angkuh berdiri di hadapannya.
Reruntuhan itu awalnya tidak terlihat mencolok saat hutan yang melingkupinya masih ada. Namun kini, reruntuhan itu
bukan hanya terlihat jelas tetapi juga memperlihatkan lekuk-lekuk serta liku-liku sebuah bangunan nan megah di masa lampau.
Meski berupa reruntuhan namun tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa reruntuhan tersebut adalah sebuah istana kerajaan dulunya.
Rena kini berada tepat
di depan pintu masuk menuju pekarangan reruntuhan istana tersebut.
"Mbak Ayu bilang aku harus memasuki reruntuhan ini untuk menemukan sebuah ruangan tersembunyi di bawahnya. Di sana katanya ada lorong yang akan aku lewati menuju suatu tempat di bawah sana," gumam Rena seraya
termangu.
Ia kemudian memutarkan pandangannya. Sesaat ia baru tersadar jika hari telah gelap. Ia pun dengan panik mencari alat penerangan yang ia pikir ia membawanya.
"Kok tiba-tiba sudah gelap saja? Padahal seingatku aku pergi tidak sore-sore amat," gumamnya seraya meraba
tengkuknya yang dirasanya merinding.
Ia kemudian terkesiap saat melihat sesosok perempuan berambut panjang sepinggul berpakaian kebaya merah sedang duduk ayun-ayun kaki di atas salah satu reruntuhan yang masih utuh berdiri.
Wajah sosok itu tidak terlihat jelas karena jaraknya
yg agak jauh ditambah lagi saat itu gelap. Hanya sedikit cahaya senter kecil yang dibawa Rena yang menerangi area di hadapannya itu.
"Celaka, ada kuntilanak merah. Padahal aku harus ke sana sementara ia duduk pas di atas pintu gerbang itu," gumam Rena dengan perasaan waswas.
Rena pun mencari jalur lain dengan memutari reruntuhan tersebut. Namun ia tidak berhasil karena menemukan tebing yang sangat tinggi yang mustahil dapat ia panjat.
Ia pun kembali ke tempat semula. Namun tiba-tiba sosok perempuan berkebaya merah itu berdiri tepat di hadapannya.
"Ahhhhhhh..... Kkkkkkk....."
Rena menjerit tertahan saat sosok mistis berkebaya merah itu mencekik lehernya. Wajah sosok yang begitu mengerikan seolah semakin mendekat ke muka Rena. Mulutnya yang hancur sebelah menganga bersiap hendak menerkam mangsa yang kini tengah berada di
genggaman.
Rena meronta ingin melepaskan diri. Namun sosok tersebut sangat kuat sehingga tidak mungkin bagi Rena untuk dapat melepaskan diri.
"Kkkkkk... Mmmbbakkk Rrrrahhhayyyu....!"
Rena berusaha menyebut nama Rahayu meski sangat sulit. Sesuatu pun terjadi.
Sosok itu mendadak membelalakkan kedua matanya yang menyeramkan. Ia tertegun kemudian melepaskan cekikannya di leher Rena hingga gadis itu terjatuh dan berlutut di tanah.
Sosok mistis berkebaya merah itu juga jatuh berlutut di atas tanah dengan kedua tangannya bertumpu pada
tanah.
Saat sosok itu bangkit, Rena melihat perubahan wujud yang begitu kentara pada sosok itu. Sosok tersebut menjelma menjadi seorang perempuan cantik yang sangat Rena kenal sebagai "RAHAYU".
"Mbak Rahayu?" Rena terkejut sembari terbelalak ke arah sosok Rahayu itu.
Sosok Rahayu tersebut tampak seperti sedang kebingungan. Ia menatap ke arah Rena dengan raut wajah bingung.
"Kamu kenal saya?" Rahayu berucap membuat Rena terkejut.
"Mbak Rahayu nggak ingat saya? Saya Rena, mbak. Mbak yang mengarahkan saya supaya kemari," tukas Rena sambil
menatap Rahayu dengan penuh keheranan.
Rahayu mengerutkan keningnya. Ia tatap Rena dengan sorot mata yang memancarkan kepenasaranan dan juga kebingungan.
"Rena? Nama yang aneh. Pakaianmu juga aneh. Kamu tidak memakai kain dan kebaya. Kamu sebenarnya siapa?" Rahayu menatap
Rena lekat-lekat.
"Saya Rena, mbak. Saya peserta KKN di Desa Cikahuripan. Mbak yg sering nolongin saya waktu saya diganggu kuntilanak," kata Rena dengan nada tegang.
Rahayu kembali mengerutkan keningnya.
"Apa itu kakaen (KKN)? Desa Cikahuripan? Ini adalah wilayah Kotaraja.
Ibukota Kerajaan Paninggalan yang tersohor di negeri ini. Tidak ada yang namanya Desa Cikahuripan di dalam wilayah Kerajaan Paninggalan. Kamu pasti tersesat, nyai," kata Rahayu sambil menatap Rena.
Rena menghela nafas kemudian mengangkat wajahnya. Seketika ia terkejut saat
melihat tempat tersebut telah berubah menjadi suatu tempat yang sangat ramai dipenuhi oleh orang-orang yang berjualan. Lampu-lampu tempel terlihat berderet sepanjang tembok yang mengelilingi istana kerajaan yang begitu megah.
Saat mengembalikan pandangan ke arah Rahayu,
terlihatlah enam orang prajurit yang membawa tombak dan pedang, mengawal Rahayu.
"Ini?" Rena sangat terkejut saat melihat perubahan tempat tersebut yang begitu tiba-tiba.
"Ini adalah pasar malam Kotaraja. Kamu ingin berbelanja? Silahkan belanjalah sepuasnya biar saya yang
Rena kemudian mengedarkan pandangannya ke arah lapak-lapak pedagang yang begitu penuh pengunjung pada malam itu. Semua pengunjung mengenakan pakaian yang begitu klasik, persis seperti orang-orang pada zaman kerajaan
di masa lampau.
Namun di antara para pengunjung, terdapat dua orang yang pakaiannya cukup mencolok karena jenisnya adalah pakaian zaman sekarang. Rena bahkan mengenal salah satunya.
"Bang Umar?" Rena menyipitkan kedua matanya saat melihat Umar dan temannya yang sedang melihat
-lihat salah satu lapak dagangan.
Rena kemudian beranjak hendak menghampiri Umar, namun dicegah oleh salah seorang pengawal Rahayu.
"Sopankah meninggalkan tuan puteri tanpa permisi?" ucap pengawal tersebut.
Rena hanya tertegun di tempat seraya menatap bergantian ke arah
pengawal itu kemudian ke arah Rahayu.
Rahayu hanya memberi isyarat dengan tangannya yang berarti ia memperbolehkan Rena untuk pergi menemui Umar.
"Maaf jika saya telah lancang, mbak Rahayu," ucap Rena.
"Hei, jangan memanggil tuan puteri dengan sebutan aneh dan juga namanya!
Itu sangat tidak sopan, orang asing!" pengawal yg tadi menegur Rena kembali.
"Tidak apa, Surisena. Nyai Rena belum tahu apa-apa soal saya dan juga keluarga kerajaan," kata Rahayu seraya tersenyum. "Nyai Rena, silahkan kalau ingin menemui mereka. Tapi nanti temui saya di sini."
Rena mengangguk kemudian beranjak pergi menuju di mana Umar dan Sadra berada. Sesampainya di sana ia langsung disambut Umar.
"Mbak Rena? Di sini kamu rupanya. Kami sedari tadi mencarimu. Ramai juga pasar tradisional ini," ujar Umar seraya menatap ke arah Rena.
"Sayangnya
barang-barangnya bukan yang aku butuhkan. Kebanyakan barang zaman baheula. Sudah tidak cocok jika menjadi pelengkap isi rumahku," kata Sadra.
"Bang Umar menyusulku? Kenapa?" Rena bertanya sambil menatap Umar.
"Aku merasa kamu tidak akan berhasil jika melakukannya sendirian,
mbak Rena. Aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kamu ingin mengembalikan teman-temanmu, kan? Memang ada cara, sih. Tapi lihat tuan puteri. Kamu tidak akan bertemu lagi dengannya di masa depan," tutur Umar seraya menyentuh tas kain yang dijinjingnya.
"Maksud bang Umar?" Rena
keheranan.
"Setiap melakukan sesuatu pasti akan ada konsekuensinya. Apalagi jika itu bersifat pelanggaran. Nah, mbak Rena kan ingin mengembalikan teman-teman mbak yang meninggal karena badai api. Itu tentu saja menyalahi hukum alam yang sudah digariskan Yang Maha Kuasa.
Meski demikian, konsekuensinya tidak berat jika dilihat oleh orang sepertiku dan Sadra. Itu karena kami tidak memiliki kedekatan dengan tuan puteri. Tapi bagimu, itu akan menjadi konsekuensi yang berat. Jika kamu berhasil menyelamatkan teman-temanmu, maka kamu harus menerima
konsekuensi bahwa kamu harus kehilangan tuan puteri selama-lamanya," jelas Umar membuat Rena tercengang.
"Kenapa bisa begitu, bang? Saya ingin semuanya kembali tanpa terkecuali. Termasuk dia," tukas Rena sambil melihat ke arah Rahayu yang sedang melihat ke arahnya.
Umar menggeleng.
"Tiada usaha tanpa pengorbanan, mbak Rena. Segala sesuatu jika ingin ada hasil tentu harus ada pengorbanannya. Nah, ini demi nyawa banyak orang, kan? Apa salahnya kita kehilangan satu saja? Lagipula dia seharusnya tidak hidup di masa kita. Ilmu hitam itu yang
membuatnya bisa kembali hidup dari kematiannya yang tragis. Kematiannya itu tepat terjadi pada malam ini. Empat jam lagi itu akan terjadi," jelas Umar membuat Rena terkejut.
"Apa? Itu tidak mungkin, bang!" Rena berkata dengan cemas.
"Percaya atau tidak, malam ini pasukan
dari kerajaan musuh yang dipimpin kakaknya tuan puteri sendiri, sedang bergerak menuju kemari. Mereka akan menghancurkan istana dan kerajaan Paninggalan selamanya. Mereka akan membunuh tuan puteri dengan kejam. Peristiwa ini sebetulnya sudah terjadi. Namun kita di sini berarti
mengulangi peristiwa yang sama dengan tujuan mencegah musuh membunuh tuan puteri. Jika berhasil, maka tujuanmu mengembalikan teman-teman akan tercapai," jelas Umar membuat Rena terbengong-bengong tidak percaya.
"Kita sedang berada di masa kerajaan, mbak. Inilah istananya yang
amat megah dan sudah dihancurkan oleh musuh pada saat itu. Tapi kemampuan tuan puteri dari masa kita hidup telah membawa kita ke zaman di mana kerajaannya masih ada," timpal Sadra.
Rena hanya terpaku di tempat.
"Apa tidak ada cara lain? Aku tidak bisa membayangkan jika mbak
Rahayu tiada. Ia yang selalu mendukung kami. Ia juga yang memintaku untuk mendatangi tempat ini. Apakah aku siap jika harus kehilangan dia?" ucapnya.
"Setiap orang memiliki masa hidup masing-masing, mbak Rena. Begitupun dengan tuan puteri. Jika malam ini ia selamat, maka teman-
teman mbak Rena juga akan selamat. Namun jika tidak, maka teman-teman mbak Rena juga tidak akan selamat. Selain itu tidak ada cara lain. Ini satu-satunya cara yang sesuai dengan apa yang tuan puteri maksudkan," tukas Umar.
Saat mereka sedang berbicara, dari kejauhan terdengar
gemuruh seperti suara derap langkah kaki-kaki kuda.
"Balapati!" terdengar teriakan orang-orang dari luar tembok yg mengelilingi di mana pasar malam digelar.
Para pengawal Rahayu segera membawa junjungannya masuk ke dalam istana. Sementara Rena, Umar, dan Sadra saling pandang.
Di tengah malam yang seharusnya gelap terlihat terang benderang oleh ratusan obor yang diacungkan oleh para prajurit yang sedang mengepung istana tersebut. Tepat di garis depan tampak beberapa orang laki-laki berkuda serta mengenakan zirah sedang memandangi tembok istana yang
menjulang mengelilingi bangunan megah itu.
Salah seorang penunggang kuda itu mengenakan pakaian serba kuning emas. Ia terlihat menggenggam sebilah pedang yang tampaknya amat tajam.
"Malam ini, kita ratakan istana Kerajaan Paninggalan! Saya tidak sudi jika adik saya yang
ditunjuk sebagai pewaris tahta kerajaan. Ini sangat tidak adil!" Laki-laki berbaju kuning emas itu berbicara.
Rekannya yang juga penunggang kuda serta berpakaian serba putih berkelir hitam menatap ke depan sembari berbicara.
"Kerajaan Paninggalan harus menjadi wilayah
taklukan Kerajaan Panadaran. Raden Sabra, atas jasamu yang rela mengabdi kepadaku, akan kuwariskan tahta Panadaran kepadamu. Sebagaimana kau tahu aku ini tidak menikah, tidak pula menyukai wanita. Oleh karenanya aku tidak akan mungkin punya keturunan. Makanya aku berharap banyak
padamu," tutur laki-laki yang ternyata adalah Sang Raja yang juga menjadi komandan perang.
"Yang Mulia Prabu Jayasertina. Saya merasa sangat dimuliakan jika demikian benar apa yang Yang Mulia katakan. Saya tidak akan mengecewakanmu, Yang Mulia. Sekarang berilah perintah, dan
saya akan membunuh mereka semua yang ada di dalam istana termasuk ayah dan adik saya," tukas Raden Sabra.
Prabu Jayasertina manggut-manggut seraya tertawa puas.
"Kuberi perintah. Hancurkan temboknya dan bantai semua yang ada di dalam!" Ia berseru lantang disambut anggukan
kepala oleh Raden Sabra.
"Hiyaaa, maju!" Raden Sabra memberi komando kepada para prajurit berkuda untuk menyebar dan mengepung istana.
Sementara komandan lain yang membawahi pasukan pendobrak segera memerintahkan ara bawahannya untuk bergerak.
"Runtuhkan temboknya!"
Blarrrrr
Salah satu bidang tembok runtuh setelah dihantam pendobrak berupa batang kayu gelondongan yang didorong menggunakan roda oleh para prajurit dari Kerajaan Panadaran.
Rena, Umar, dan Sadra sedang berada di salah satu ruangan di dalam istana. Mereka telah mendengar
soal runtuhnya salah satu tembok pelindung istana.
"Aku akan melakukan apa yang kubisa. Termasuk membunuh petinggi musuh jika memang memungkinkan," kata Umar seraya menatap kerisnya yang telah ia hunus.
"Mereka pasti akan masuk ke dalam istana untuk mencari tuan puteri.
Kita harus melakukannya dengan cepat. Yang jelas jangan sampai kita kecolongan atau misi kita akan sia-sia," tukas Sadra. "Mbak Rena, saya rasa kamu bisa melakukan tugas yang terbilang berisiko ini. Ingat, jangan terlalu jauh dari tuan puteri. Mbak Rena harus fokus mengawasinya."
Jika musuh telah mencapai tuan puteri sementara kami belum juga datang. Mbak Rena harus melakukan tugas itu. Memang tidak mudah tapi itu akan menghambat mereka. Setidaknya itu akan mengulur waktu sehingga kami bisa datang tepat waktu," tambahnya.
Rena hanya terpaku mendengar
perkataan Sadra. Ia merasa apa yang dibebankan kedua orang itu kepadanya rasanya baginya cukup sulit untuk dilakukan.
"Jangan khawatir. Tuan puteri dari masa kita hidup tidak akan diam saja. Ia akan datang disaat kita terdesak," kata Umar seraya celingukan saat mendengar suara
dentuman dari luar. "Mereka juga menggunakan meriam untuk menghancurkan tembok istana. Aku akan mengeceknya."
Sementara itu di luar tembok istana, pasukan musuh telah merangsek. Mereka bertarung dengan pasukan Kerajaan Paninggalan yang bertahan mencoba melindungi istana.
Suara denting pedang yang beradu begitu ramai terdengar. Hal itu juga dibarengi dengan suara teriakan maupun jeritan dari kedua belah pihak.
Pemandangan mengerikan tampak di depan mata. Para prajurit banyak yang tewas karena tusukan tombak, tebasan pedang ataupun tertembus
anak panah yang dilancarkan musuh.
Beberapa di antaranya bahkan ada yang anggota tubuhnya tercerai-berai akibat terkena tebasan musuh. Area pertarungan menjadi merah karena darah yang tertumpah.
Belum ada tanda siapa yang akan menang, namun satu hal yang pasti, Raden Sabra
bersama junjungannya telah mencapai pintu istana sembari menghadapi para prajurit Kerajaan Paninggalan.
Seorang prajurit datang menebaskan pedangnya ke arah Raden Sabra sembari berteriak.
"Ayahmu telah menghalalkan darahmu untuk ditumpahkan! Matilah!"
Namun Raden Sabra tidak
semudah itu untuk dihabisi. Ia dengan entengnya menyambut serangan itu dgn satu tebasan pedang yang sukses membelah kepala si prajurit tersebut hingga terbelah dua. Darah memancar deras dari luka besar tebasan tersebut.
Si prajurit itu pun jatuh telungkup, tidak bergerak lagi.
Prabu Jayasertina tampak terkesiap melihat kejadian tersebut. Ia baru pertama kali melihat keganasan pemuda yg seharusnya menjadi putera mahkota Kerajaan Paninggalan itu.
"Ayo, kita akan segera mencapai tempat persembunyian Rahayu dan ayahku. Kita akan segera menguasai keraton
ini. Itu akan menjadi kemenangan besar kita, baginda," ujar Raden Sabra seraya bergegas kemudian membabat para prajurit musuh yang menyerangnya.
Prabu Jayasertina tersenyum penuh kemenangan. Ia kemudian mengikuti ke mana Raden Sabra berlalu. Ia juga turut menghadapi serangan
dari para prajurit istana.
Dengan pedangnya, ia menebas setiap musuh yang datang menyerang.
Tak lama mereka mencapai sebuah pintu besar di mana banyak sekali para prajurit yang sedang bersiap menghadapi serangan yang dalam hal ini dari Raden Sabra dan Prabu Jayasertina.
Pintu besar berwarna hitam itu dalam keadaan tertutup dan dipastikan terkunci dari dalam. Sementara para prajurit tersebut berada menghalangi pintu tersebut.
"Akan ada banyak mayat di sini." Raden Sabra menjilat bilah pedangnya yang berdarah.
Ia kemudian maju untuk menghadapi
para penjaga pintu tersebut.
Prabu Jayasertina pun turut menyerang diikuti pasukannya yang sedari tadi mengekor di belakang.
"Hari ini riwayat kerajaanmu akan tamat, Arya Wisesa!" ucap Prabu Jayasertina seraya mengayunkan pedangnya tatkala pasukan musuh mencapainya.
Pertarungan sengit pun terjadi di depan pintu besar. Pasukan Prabu Jayasertina dan Raden Sabra berhasil melumat para penjaga pintu meski banyak pula pasukannya yang terbunuh atau terluka parah.
"Dobrak pintunya!" perintah Prabu Jayasertina kepada para prajurit yang menyertainya
Sedikitnya sepuluh orang prajurit maju mendobrak pintu menggunakan senjata yang mereka gunakan yang rata-rata adalah gada yang terbuat dari batu.
Dengan gada tersebut, mereka menghancurkan pintu besar hingga hancur berantakan. Setelah pintu kayu itu berhasil dihancurkan, Raden
Sabra diikuti Prabu Jayasertina memasuki ruangan di balik pintu besar yang telah dihancurkan tersebut.
Tampaklah Rahayu didampingi para abdi dalemnya yang sedang berkumpul, membentuk benteng manusia untuk melindungi junjungannya. Sementara sang raja Paninggalan tidak terlihat
di sana.
"Baguslah. Ayah tidak berada di sini. Dengan demikian, aku tidak perlu melakukan dosa karena membunuh orang tua. Sekarang aku yang akan menyelesaikan ini," ujar Raden Sabra seraya maju ke arah benteng manusia yang melindungi Rahayu.
"Kakakku, hatiku bahagia sekaligus
merasa hancur saat melihatmu kembali ke istana yang menjadi tempat kita tinggal. Aku tahu keberadaanku di dunia ini adalah kesalahan. Seandainya aku tidak pernah dilahirkan, peperangan ini mungkin tidak akan ada." Rahayu menatap sayu ke arah Raden Sabra yang berdiri angkuh tidak
jauh darinya.
"Hanya satu hal yang bisa mengobati sakit hatiku, Rahayu. Yaitu meraih tahta kerajaan ini dengan cara melenyapkanmu. Sebagaimana kau tahu aku tidak akan pernah bisa menjadi raja jika raja terdahulu tidak menunjukku sebagai pewaris tahta. Satu-satunya cara untuk
merebut tahta adalah dengan membunuh pewaris yang telah ditunjuk oleh ayah," tukas Raden Sabra sambil menatap tajam ke arah Rahayu.
Rahayu hanya menghela nafas berat. Kedua matanya tampak berlinang air mata.
"Aku sudah tahu apa yang akan menimpa diriku. Jika aku harus mati,
maka aku akan mati. Tidak apa, asalkan kau hentikan perang yang memakan banyak korban jiwa. Juga jangan mengulangi peperangan yang hanya akan membawa kehancuran buat semuanya," tuturnya. "Aku tidak ingin orang-orang yang berada bersamaku di dalam ruangan ini menjadi korban.
Cukup aku saja yang kau bunuh. Bebaskan mereka semua dan jangan sakiti mereka," lanjutnya dengan nada sendu.
Raden Sabra terlihat mengerutkan keningnya kemudian ia tersenyum sinis.
"Setuju. Kalau begitu perintahkan mereka untuk menyingkir. Kalau perlu suruh mereka keluar,"
ucapnya tanpa mengalihkan perhatiannya ke Rahayu.
Rahayu tampak memberi isyarat kepada orang-orang yang melindunginya untuk pergi atau setidaknya memberi jalan untuk Raden Sabra datang kepada Rahayu. Ia melakukannya sebanyak tiga kali karena pada perintah pertama dan kedua,
mereka tidak mau mematuhinya. Baru setelah perintah ketiga, dengan berat hati mereka membukakan jalan untuk Raden Sabra.
Raden Sabra pun leluasa melenggang menuju Rahayu sambil menenteng pedangnya yang rencananya akan ia gunakan untuk memenggal adiknya tersebut.
"Aku memang kakak yang buruk, Rahayu. Tapi itu adalah caraku untuk tidak diremehkan siapapun bahkan oleh dewa sekalipun. Apalagi kalau hanya sekedar ayah kandung yang tidak pernah menghargai kehadiran puteranya. Dia bahkan lebih memilih anak perempuan untuk diwariskannya kerajaan
kepadanya. Karena itulah aku merasa tersinggung dan memilih untuk bergabung dengan baginda Prabu Jayasertina dari Kerajaan Panadaran. Sekarang niatanku sudah hampir berhasil," tutur Raden Sabra seraya menunjukkan pedangnya ke arah Rahayu. "Katakan permintaan terakhirmu, adik."
Rahayu menggeleng. "Orang yang akan mati tidak perlu mengajukan permintaan apapun karena itu tidak akan memberikan kesan apapun setelah mati."
Raden Sabra tertawa. "Baiklah. Kau rupanya tidak mengerti apapun tentang hidup setelah mati. Sekarang aku leluasa untuk menghabisimu!"
"Tunggu dulu, kisanak. Anda tidak akan menghabisi nyawa tuan puteri dengan mudah begitu saja. Kisanak harus bersusah payah dulu, dong," ujar seseorang yang sedang berdiri di belakang Rahayu yang kemudian ia maju hingga menghalangi Rahayu.
"Bedebah! Siapa kau!" Raden Sabra
menunjuk ke arah orang yang baru saja berbicara itu.
Orang yang adalah Umar tampak terkekeh. "Langkahi mayat saya baru kisanak bisa memenuhi hasrat membunuh keluargamu sendiri hanya karena nafsu serakahmu. Ayo, majulah."
Ia dengan berani menantang Raden Sabra yang kini mulai
terpancing emosinya.
"Kau jongos istana berani sekali menantangku, hah! Akan kuhabisi kau dengan sekali tebas!" Setelah berkata demikian, Raden Sabra menderu, menerjang ke arah Umar sembari menebaskan pedangnya.
"Aku harap ini akan berhasil," gumam Umar seraya melintangkan
keris di depan untuk membendung serangan dari Raden Sabra.
Ketika ujung pedang Raden Sabra sebentar lagi mencapai keris yang dipegang Umar, mendadak seseorang dari samping menusukkan keris hingga tepat mengenai tenggorokan Raden Sabra.
Jresssss....
"Agggghhhhhrrr....!"
Raden Sabra terkulai setelah lehernya terkena tusukan keris dari seseorang yang ternyata adalah Umar sendiri. Sementara Umar yang tadinya berdiri menghalangi Rahayu kini berganti menjadi Rena.
Sementara di area dekat pintu, tepat di belakang rombongan Prabu Jayasertina, tampak
Sadra tengah membidikkan busur dengan anak panah ke arah penguasa Kerajaan Panadaran itu. Dalam tempo yang cepat, ia melepaskan anak panah yang kemudian tepat mengenai tengkuk Prabu Jayasertina.
Kejadian tersebut begitu cepat hingga semua orang yang berada di sana tidak
menyadarinya.
Tahu-tahu sebuah ledakan besar menimbulkan cahaya putih yang sangat terang hingga semua orang tidak dapat melihat apapun di sekitarnya. Cahaya putih tersebut menyelimuti hingga hampir sepuluh menit.
Setelah cahaya tersebut memudar, keadaan menjadi tenang. Tenang
, sunyi, sepi, tiada seorang pun terlihat di sana.
Bangunan istana dengan tembok tingginya itu kini hanya berupa reruntuhan yang dipagari oleh pagar besi. Di salah satu sudut pagar besi tersebut terdapat sebuah pelang bertuliskan "DEPARTEMEN KEPURBAKALAAN KABUPATEN.... ISTANA
KERAJAAN PANINGGALAN...."
Kini keadaan telah berubah total. Semua karakter dalam cerita ini mengalami perubahan yang sangat drastis dalam hidupnya. Mereka kini hidup normal seolah-olah mereka tidak pernah mengalami kejadian yang sebelumnya dijabarkan dalam semua cerita yang saya
tulis.
Intinya mereka mereka tidak pernah mengalami semua kejadian dalam semua cerita. Semua kejadian dalam cerita menjadi tidak pernah terjadi setelah Rena, Umar, dan Sadra berhasil membunuh Raden Sabra alias AdugLajer dan menyelamatkan Rahayu yang kini tidak akan pernah lagi
muncul.
Kini ceritanya saya selesaikan dengan cepat saja. Para pembaca mungkin merasa tidak puas dengan cerita ngawur ini.
Saya memang harus menamatkannya karena nggak baik menunda-nunda penyelesaian cerita.
Terimakasih bagi yg sudah mampir. Sampai jumpa di cerita berikutnya.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
@P_C_HORROR@HorrorBaca@ceritaht@IDN_Horor Malam itu di tengah suatu hutan yg lebat, seorang laki-laki setengah baya tengah duduk menghadap ke arah suatu api unggun yg beberapa saat yg lalu ia nyalakan.
Laki-laki itu adalah Pak Tasrin, seorang musafir yg hendak pergi ke kampung di mana putrinya tinggal.
@P_C_HORROR@HorrorBaca@ceritaht@IDN_Horor Ia telah melakukan perjalanan yg sangat jauh dari kampung halamannya. Ia telah melewati beberapa tempat baik itu yg berpenduduk maupun berupa wilayah kosong seperti hutan yg saat ini tengah disinggahinya.
Ia kemalaman di tengah hutan tersebut, dan merasa tidak mungkin untuk
Pada pagi itu di suatu kota kecil. Di salah satu sudut jalan tampak seorang laki-laki yg adalah Arhan sedang mengendarai sepeda motornya jenis bebek manual. Ia sepertinya hendak menuju suatu tempat yg merupakan di mana para kenalannya sedang berkumpul.
Sesampainya di tempat yg
dituju, ia menghentikan sepeda motornya kemudian melihat ke arah dua orang satpam yg sedang berjaga di posnya. Mereka tampak melihat ke arah Arhan kemudian salah seorang di antaranya berseru.
"Arhan, tumben kemari? Sepertinya ada proyek baru, nih," ujar salah seorang satpam
Samar-samar yg terlihat oleh bocah lelaki itu adalah sosok perempuan yg selama ini membesarkannya, diseret keluar dari dalam rumah. Orang-orang itu membawa perempuan tersebut entah ke mana.
"Jadi ibumu dibawa orang-orang itu dalam keadaan masih memakai kebaya hijau?" tanya
Pak RT yg beberapa jam setelah kejadian, datang menemui bocah lelaki yg kini tengah terbaring lemah di dalam rumah itu.
Bocah lelaki itu hanya mengangguk lemah seraya terisak.
"Siapa sebenarnya mereka? Untuk apa mereka menculik Bu Lastri?" gumam Pak RT.
Cerita ini pernah dibuat ketika pertama kali saya aktif membuat thread di twitter. Saya membuat cerita yg sama bukan karena cerita yg lama sukses melainkan karena saya merasa cerita tersebut kurang sreg dan juga terlalu absurd.
Makanya saya mencoba membuat reboot dari cerita tersebut. Penasaran dengan ceritanya? Ayo kita simak saja.
Sebuah cerita tentang para penduduk kota yg tersesat di sebuah dusun angker di pedalaman hutan. Selain tersesat, mereka juga harus berhadapan dg pendduk lokal yg tidak ramah...
Dalam keremangan saat itu, Pak Tohar diseret oleh beberapa orang pengepung dalam kondisi dari wajah hingga ujung kaki dipenuhi tetesan darah. Laki-laki itu terlihat tidak berdaya saat orang-orang semi telanjang tersebut membawanya melewati gerbang dari tumpukkan batu yg mengarah
masuk ke perkampungan itu.
Teman-temannya tidak kalah menderitanya dari dia. Mulai dari Arkim hingga Dani, dalam kondisi yg serupa dengannya. Apalagi Cayut yg kini dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Laki-laki itu dalam kondisi koma setelah terluka oleh sebatang anak panah yg
Sebuah cerita tentang suatu dusun yg tertutup dari dunia luar. Dusun yg angkernya tidak hanya terkait hal-hal mistik saja melainkan juga terkait warganya yg tidak ramah pendatang...
Cerita yg saya tulis ini kemungkinan memiliki judul yg sepertinya sudah terlalu umum. Tapi saya pastikan isi cerita bukan hasil dari menyontek karya orang lain. Bahkan cerita ini asli hasil pemikiran saya sendiri berdasarkan pada pengamatan pada sekelompok masyarakat yg memang
tertutup dari dunia luar. Bahkan masyarakat ini selalu berusaha mati-matian agar tidak ada orang asing yg memasuki wilayahnya. Mereka tidak segan membunuh orang-orang asing yg berani memasuki wilayah di mana mereka bertempat tinggal serta bermata-pencaharian.