lely rosyidah Profile picture
Apr 4, 2021 292 tweets >60 min read Read on X
Misteri Gelang Kaki
—————————

Hampir tiap malam aku mendengar kemerincing loncengnya. Siapakah dia? Apa hubungannya denganku?

#bacahorror
#kisahmisteri
#misteriromansa

@bacahorror
@ceritaht Image
Asing, itulah yang kurasakan saat ini. Aku memandang ranjang besi yang tertutup kelambu ini bersama lamunanku. Aku gadis kota yang terpaksa harus tinggal di desa dengan segala
keheningannya.
Orang bilang tidur itu mudah, tinggal pejamkan mata saja. Tapi nyatanya bagiku ini sulit, ditambah lagi decitan suara bambu yang bergesekan dan gaungan suara binatang malam yang beradu. Seakan menjadi backsound kengerian suasana malam ini.
Meskipun hati sudah lelah tapi mata tidak begitu. Ingin k eluar kamar tapi mau apa? Aku hanyalah orang baru di rumah ini, tak mungkin seenaknya saja seperti dirumah sendiri. Aku rindu suasana rumahku, rindu hingar bingar keadaan kota yang meski malam hari tetap ramai dan sibuk.
Berbeda sekali di sini. Bahkan setelah isya tak kutemukan suara anak-anak kecil yang bermain atau berlarian di depan rumah. Semua rumah ditutup dan lampu-lampu dipadamkan, seperti sudah siap menikmati sepanjang malam di dalam saja.
Aku yang sedari kecil hidup di suasana kota menjadi suntuk dan malas dengan keadaan ini. Biasanya setelah isya aku dan teman-teman sekolah SMA-ku nongkrong di cafe, taman, atau bahkan rumah-rumah kawan hingga larut malam.
Sungguh berkebalikan adanya, ah ... Sampai kapan aku bisa adaptasi, padahal sudah seminggu di sini.

Kucoba lagi memejam. Sesaat kantukku mulai bisa larut. Tapi, tetiba suara kemerincing lonceng membuyarkannya. Krincing ... krincing ....
Siapa yang bermain lonceng malam begini?
Kurasa di rumah ini tak ada anak kecil? Atau mungkin lonceng kuda, atau sapi? Seingatku Nenek tak punya kuda, dan kandang sapinya
berada jauh di belakang rumah.

Tak kuhiraukan, kucoba kembali terlelap, tetapi rincingan suara lonceng semakin keras dan memekakkan telinga.
'Ih... Ganggu aja! Siapa sih?' rutukku dalam hati sendiri kesal. Kucoba beranjak dari kasur untuk mencari tahu, kusibak tirai kamar yang menutupi ranjang. Ya, kamarku masih seperti kamar orang-orang dulu. Dikelilingi tirai tipis agar tak diganggu nyamuk.
Maklum ini desa, nyamuk
disini gigitannya lebih kuat dari vampir, dan jelas tak ada AC.

Kutarik pelan gagang pintu kamar, perlahan kuedarkan pandang menelisik keadaan. Meski dengan cahaya remang-remang aku bisa menemukan sosok wanita terduduk di lantai depan TV.
Siapa dia? Ia memakai gaun tidur lusuh berwarna pink. Jelas itu bukan Nenek, dia terlihat sebaya denganku. Apa aku salah liat?

"Siapa kamu?" tanyaku setengah berbisik, takut membangunkan Nenek dan Bude.
Ia masih dengan posisi awal, diam menunduk dengan rambut menjuntai menutupi wajahnya. Melihat ia tak menggubris, aku mulai bergidik ngeri. Detik itu juga hawa panas mulai menjalari tubuh, memaksa bulu kuduk berdiri sendiri.
Segera kutarik kembali gagang pintu mencoba menutupnya, tetapi seketika wanita itu menoleh kasar ke arahku. Aku tercekat, meneguk ludah yang menghalangi kerongkongan.
Tangan dan kaki mulai gemetar tak tentu, seperti tak ada tenaga untuk bergerak. Kulihat dia mulai menyeret tubuhnya mendekat. Dengan tangannya ia beranjak. Kakiku semakin lemas. Bibir hanya bisa mengatup tanpa suara.
Kemerincing lonceng di kakinya semakin menderu, aku
benar-benar lemas, pucat, takut!

GUBRAK!!! Aku pingsan.

***
Sinar mentari yang hangat membangunkanku. Aku terbangun dengan mengerjap-erjapkan mata karena silau. Jendela kamar sudah terbuka sempurna, memaksa cahaya pagi menerobos
dinginnya kamarku.
Kubangunkan tubuh dan duduk di atas kasur memandang alam luar.

"Sudah bangun, Va?" sapa Nenek Jamilah sembari membawakan teh hangat di tangannya. Ia menaruhnya di meja rias sebelah ranjang, lalu duduk di samping kasurku.
Ia memakai daster cokelat dan jilbab instan sederhana. Meski berumur 60 tahun ia terlihat cantik di sela kulit
keriputnya.

Aku mencoba mengingat kembali kejadian semalam, otakku berputar.
"Tadi subuh Nenek menemukanmu tertidur di depan pintu, kenapa?" tanya Nenek seketika.

"Aku pingsan, Nek. Semalam aku mengalami kejadian aneh." jelasku, Nenek terlihat mengernyit ingin tahu.

"Aku seperti melihat seorang gadis di ruang tengah." tambahku menjelaskan.
Kulihat Nenek sedikit melotot kaget, "Ah, mungkin kamu bermimpi. Mana ada gadis di rumah ini selain kamu, Diva." Aku menggeleng.

Gambaran itu masih terlihat jelas dipikiranku, mana mungkin aku bermimpi apalagi berimajinasi.
Jelas aku pingsan di depan pintu semalam, aku yakin ini nyata.

"Buk ... Ibuk ... siniii, Buk!" suara serak wanita paruh baya memanggil Nenek, ia adalah Budeku, Bude Risma. Kakak perempuan dari almarhum Ayahku.
Sudah setahun ini beliau
hanya berbaring di atas kasur, sebab serangan jantung yang mengakibatkan stroke. Suami dan anak-anaknya dengan tega meninggalkannya begitu saja, dan kini hanya Nenek tempatnya bernaung.
Segera Nenek Jamilah meninggalkanku menuju panggilan Bude. Sungguh sama nasibku kini dengan Bude Risma. Kami sendiri sebatang kara tanpa keluarga.

Beruntung kami masih punya
Nenek Jamilah yang masih sehat, meski usianya sudah sepuh tapi semangatnya begitu tinggi.
Ayah dan Ibuku mengalami kecelakaan 10 hari yang lalu sepulang dari syuting. Yah, Ibuku adalah seorang aktris sinetron kejar tayang, dan ayahku managernya. Mereka mengalami kejadian naas itu di jalan dekat rumah Nenek, entah apa yang terjadi.
Menurut saksi mata, sebelum kecelakaan tunggal itu terjadi, terlihat Ayah dan Ibu menjerit histeris menatap jalanan
hingga akhirnya mereka menabrak bahu jalan yang membuat mobilnya ringsek sempurna dan terbakar. Menewaskan kedua orang tuaku saat itu juga.
Karena aku anak tunggal dan tak punya sanak keluarga di kota, aku pun diboyong Nenek ke desa ini, untuk tinggal bersamanya dan Bude yang sedang sakit. Awalnya aku menolak, tapi tak ada pilihan. Akhirnya aku setuju dan pasrah saja.
Kuberanjak dari kasur dan mengikuti Nenek ke kamar Bude Risma, letak kamarnya
bersebelahan dengan kamarku. Saat berada di depan pintu sudah tercium aroma pesing
menyelimuti, aku sedikit mual tapi kutahan saja, Bude menatapku tersenyum.
"Maaf ya, Dev. Bude ngompol." kata Bude kepadaku, terlihat Nenek sedikit memukul kaki Bude yang dibersihkannya.

"Dev siapa? Ini Diva Bude." kataku menjelaskan, kulirik Nenek yang memandang Bude geram.
"Oh ... iya, ma-maaf Diva, pikiran Bude akhir-akhir ini agak bingung, sampe lupa sama ponakan sendiri," jelasnya terbata-bata.

Kulihat lagi Nenek yang akhirnya tersenyum menyungging, seperti menutupi sesuatu.
"Kamu mandi dulu, Nduk. Hari ini kamu sudah mulai masuk sekolah. Nanti Lek Udin yang antar kamu," kata Nenek sembari terus mengelap Bude.

"Enggeh, Nek. Diva siap-siap."
Aku pun pergi untuk membersihkan diri.
***

Lek Udin sudah menunggu di depan gazebo rumah, sambil menyesap rokok ia menantiku. Ia adalah tetangga kami. Umurnya sekitar 27 tahunan, masih bujang. Kulitnya sawo matang lebih ke hitam.
Tubuhnya tipis jangkung tapi otot-ototnya mengkal tak dipaksa, seperti diasah oleh
nasib. Maklum orang desa, sudah terbiasa hidup keras sejak kecil. Bentuk wajahnya pun terlihat keras dan tegas, tapi lumayan tampan.
Dia adalah orang kepercayaan Nenek yang mengatur segala pekerjaan di rumah Nenek.
Nenek Jamilah seorang peternak hewan. Ayam, bebek, sapi, dan kambing adalah hewan peliharaannya. Setiap hari Lek Udin yang mendistribusikan segala kebutuhan Nenek.
Aku melangkah mendekatinya. Ia kaget saat aku sudah berdiri di depannya, ia terperangah melihatku memakai seragam abu-abu. Rambutku yang sebahu tergerai tertiup angin pagi. Kusibakkan pelan dan menyelipkannya di sela telinga.
"Monggo, Lek. Nanti terlambat," kataku membuyarkan lamunannya.

"Eh, i-iya Neng," katanya seraya membuang puntung rokok lalu menginjaknya.

Motor matic hitam segera diseretnya, ia mendekat kearahku, dan mempersilahkanku duduk. "Ayuk, Neng."
Kami menyusuri jalanan desa dengan perlahan, maklum jalannya tak semulus kota. Jika terlalu kasar bisa-bisa kami tersungkur. Aku suka suasana pagi desa, terlihat warga sibuk dengan segala aktivitasnya.
Ada yang membawa cangkul, ada yang sudah membawa rumput tinggi-tinggi di sepeda ontanya, banyak pula ibu-ibu yang membawa keranjang belanjaan. Tukang-tukang sayur tergelak bersama ibu-ibu di petigaan gang.
Ada anak-anak yang berlarian di pinggir-pinggir sawah. Sungguh suasana yang menenangkan, ditambah dinginnya udara alami yang tak pernah kurasakan saat aku di kota dulu.
Orang-orangnya begitu ramah. Terlihat mulai kami berangkat sampai ke sekolah, Lek Udin tak hentinya disapa orang di sepanjang jalan. Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum untuk membalas sapaan mereka.
Sesampainya di sekolah aku celingukan, bingung harus apa dan ke mana. Lek Udin yang melihatku begitu segera memanggil seorang gadis SMA, ia melambaikan tangan, lalu mendekat. Kulihat nama sekolah di lengan kanannya, kuduga dia murid sekolah ini juga.
Ia tak terlalu tinggi, wajahnya bulat dengan pipi yang tembem, apalagi dia berhijab, menambah kesan bulat sempurna tapi menggemaskan. Melihat tingkahnya ia terlihat lucu dan menyenangkan.
"Apa, Lek," tanyanya dengan logat centil.

"Ria, ini Diva. Cucunya Nek Jamilah, baru masuk hari ini, tolong kamu anterin ya. Saya juga nggak tau harus ke mana soalnya," kata Lek Udin medok.
"Siap, Lek. Ayoo ...!" ajaknya seraya menggandeng tanganku dan menyeretku masuk.

Lek Udin melambaikan tangannya dan tersenyum pergi.

Ia mengajakku menyusuri lorong sekolah yang lumayan panjang, hingga sampai di sebuah ruangan kami berhenti.
"Assalamualaikum ...," sapanya. Tak menunggu jawaban ia mengajakku masuk.

Di sana para pengajar menatap kami berdua. "Ngapunten Pak, Buk. Ini Diva katanya anak baru." Ria memperkenalkanku.

"Oh ... iya, mari duduk," jawab seorang guru lelaki.
Aku mulai ditanyai dan dicatat di sebuah buku.

Setelah semua selesai, aku diajak Ria masuk ke kelas. Beruntung aku menjadi teman
sekelasnya, jadi aku tak perlu canggung untuk bertemu orang baru lagi.
Seketika semua mata tertuju padaku, hening sebentar. "Hey semua, ada anak baru nih. Diva namanya," kata Ria dengan centil. Ada yang berbisik ke temannya.

"Eh, dia bukannya anak Lisa Widya pemain sinetron itu ya ...?" langsung kusahut begitu saja.
"Ya, dia almarhumah Ibuku." Semua terlihat mengangguk, lalu kembali dengan keriuhan masing-masing.

Ria menyeretku untuk duduk di bangku paling ujung. Ada seorang gadis yang menempelkan wajah di atas bangku.
"Inayah, Diva duduk di sini ya, kamu kan sendirian," pinta Ria. Ia mengangguk tanpa
mengangkat wajah, lalu menggeser tubuhnya menepi, mempersilahkanku.

Aku duduk di sebelahnya, seketika wajahnya menegang menatapku. Ia bangun dan melihatku tajam.
"Apa?" tanyaku seketika.

"Aura mistismu kental," jawabnya aneh, aku mengernyit. Ria yang duduk di depanku menoleh.

"Udahlah In, anak baru jangan ditakut-takutin gitu lah."

"Maksudnya?" tanyaku heran.

"Kamu diikuti," jawabnya tegas.
"Hah??!!" Aku melongo, Ria sedikit menepuk tangan Inayah yang masih di atas bangku.

"Jangan diterusin, ih ...." Aku masih bingung bergantian menatap keduanya.

"Inayah ini anak indigo, Va. Bahkan warga sini sering minta pertolongan sama dia soal hal mistis." Aku mengangguk.
Kulirik Inayah yang masih setia menatapku tajam, aku jadi sedikit ngeri dan canggung.

Wajahnya begitu tegas tapi manis. Kubuang pandangan menatap isi kelas, lumayan
bagus untuk sekolah pedesaan, meski tak semewah sekolahku dulu, aku bersyukur bisa sekolah kembali.
Kuedarkan pandang hingga mataku terhenti oleh dua bola mata yang menatapku sendu.

Seorang cowok dengan dandanan ala boyband korea, rambutnya disisir
menyamping dan dicat cokelat. Berbeda sekali dengan yang lain, terlihat nyentrik karena yang lain masih terlihat ndeso.
Ia tersenyum, aku membalas senyumannya lalu mengangguk. Kudengar tawa cekikikan di depanku, Ria terkikik di sana.

"Dia Fahri, anak Pak Lurah. Gak gampang lo dia sama cewek, kayaknya kamu udah di kode-in tuh." Lagi-lagi ia terkikik.
"Apa'an sih," jawabku sambil memutar bola mata malas.

***

Sepulang sekolah. Aku diajak pulang bareng Ria, karena ternyata rumah kami tetanggaan. Hanya terpaut empat rumah saja.
Di jalan kami berpapasan dengan Lek Udin, dia segera berbelok karena melihatku dibonceng Ria.

"Kalo gitu saya pamit ke toko ya, Neng Diva. Tolong bilang ke Nek Jamilah," teriaknya di atas motor.

"Iya, Lek," jawabku tak kalah kencang.

***
Aku diturunkan Ria tepat di depan rumah. di sana ada Nenek yang menuntun Bude diatas kursi roda, mereka menatapku.

"Assalamu'alaikum ...." Salamku sembari mencium tangan Nenek dan Bude bergantian.

"Wa'alaikum salam ... Udin mana?" tanya Nenek.
"Pamit ke toko katanya, Nek," jawabku lugas.

"Oh ...," jawabnya begitu saja.

"Nanti sore bantuin Nenek ambil telur di kandang ya, biar besok pagi bisa diantar Lek Udin." Pintanya.

"Enggeh, Nek. Diva masuk dulu." Izinku berpamit masuk.

***
Sore ini aku menepati janji ke Nenek untuk membantunya mengumpulkan telur ayam dan bebek. Sudah seminggu ini aku mulai terbiasa, meski awalnya aku mual muntah sih, maklum anak kota.
Tak perlu lagi menunggu Nenek dan Lek Udin, aku sudah sigap dan cekatan. Tak terasa waktu hampir surup—senja—sudah terkumpul lima krat telur di sana. Tinggal krat terakhir. Aku masuk ke kandang yang letaknya paling ujung. Bersebelahan dengan suatu ruangan tertutup.
Biasanya Lek Udin yang sampai ke sini, tapi kali ini aku ingin tahu juga suasana kandang Nenek, hingga aku memaksakan diri sampai ke sini.

Kuambil telur bebek yang masih hangat, riuhan suara wek-wek menggema lucu. Aku senang karena pengalaman ini tak pernah kurasakan sebelumnya.
Samar-samar diantara ocehan bebek, kudengar lagi suara kemerincing lonceng. Aku terdiam mencoba menajamkan
pendengaran. Kuikuti asal suara yang berujung di ruangan tertutup itu, perlahan aku mendekat.
Lalu menempelkan telinga di pintu yg mulai lapuk.

Krincing ... krincing ....
Semakin jelas dan tajam terasa. Jantungku mulai berpacu, antara penasaran dan takut.
Tanganku mulai meraih handle pintu yang karatan. Hingga saat aku mulai mengayun tiba-tiba suara Nenek menghentikanku.
"Diva! Kamu ngapain di situ?" Aku membalik badan menatapnya.

"Aku dengar suara lonceng, Nek. Dari sini." Kutunjuk pintu itu.

"Itu gudang, Nduk. Nggak ada siapa-siapa di sana. Ayo balik sudah mau maghrib!"
"Tapi ...." Segera Nenek mendekat dan menyahut tanganku, tanpa jijik ia menarik tanganku yang masih berlumuran tahi bebek. Dengan terpaksa aku menurutinya masuk rumah.

***

Hari berganti petang. Aku benci malam hari, tidak seindah pagi yang ramah dan ramai, selalu seperti ini.
Bahkan suara detik jam serasa cambuk bagiku. Aku memiringkan badan ke kanan lalu menutup diri dengan selimut. Lagi-lagi suara lonceng kaki itu mengagetkanku. Kututup telinga dan mencoba tak menghiraukan, tapi sia-sia. Kurasakan suara itu semakin mendekat ke arahku.
Meski angin malam dingin menyelimuti, tetapi tak bisa menahan luruhan keringat yang terus mengucur.

Deg! deg!
Degupan jantung layaknya genderang perang, sekuat mungkin aku berusaha melawan ketakutan.
Saat itu pula samar-samar kulihat penampakan sosok gadis malam itu dibalik tirai ranjang. Aku terdiam, hampir lupa caranya bernapas. Dengan kasar aku membuang napas berat, dan mencoba bersuara.
"Nek ... Nenek ...." Lirih aku memanggil, bukan bermaksud berbisik tapi lidah terasa kelu. Ingin kuberanjak tapi tubuh begitu kaku, perlahan sosok itu menyeret kakinya yang bergemerincing mendekat. Badanku gemetar tak karuan, mata terus terfokus padanya.
Saat tinggal beberapa langkah, entah mendapat kekuatan darimana tiba-tiba aku bisa berteriak.

"Neneeekk ... tolooong ...!!!"

Suara langkah kaki berlari mendekat, lalu dengan kasar membuka paksa pintu kamar. Seketika itu pula sosok itu menghilang.
Nenek menyibak tirai ranjangku dan menemukanku meringkuk menahan takut. Kulihat ia membawa sapu lidi kecil di tangannya, mungkin jaga-jaga buat senjata, pikirku.

"Ada apa, Nduk?" tanya Nenek cemas.
"Gadis itu lagi, Nek. Dia datang lagi!" kataku sambil menahan tangis. Segera Nenek naik ke atas kasur dan merebahkan diri di sampingku, ia mengelus rambutku pelan.

"Sudah, tenang ya. Kamu tidur sekarang, Nenek temani kamu di sini."
Aku mengangguk. Aku mulai merasakan ketenangan dan bisa terlelap dengan menggenggam tangan Nenek sampai pagi tanpa ada lagi gangguan.
Subuh aku dikagetkan suara teriakan Bude Risma dari kamar sebelah. Kulihat Nenek sudah tak ada di sampingku. Hanya meninggalkan sapu lidi di sisiku.

"Buk... Ibuk??" teriaknya lagi, dengan setengah malas aku berdiri menghampirinya.
Kutemukan dia sudah terduduk di lantai.

"Diva, tolong Bude." Pintanya sembari merentangkan tangan. Kupapah dia berdiri dengan susah payah, karena kakinya yang lumpuh tak mampu menopang.
"Bude ngapain kog sampai jatuh?" tanyaku saat sudah bisa menelonjorkannya di atas kasur.

"Tadi Bude diajak Devi, tiba-tiba saja Bude melangkah dari kasur tanpa sadar." jawabnya,

"Devi? Devi siapa?" tanyaku penasaran.
Tetiba Nenek datang dari musala masih lengkap dengan mukenah putihnya membuatku berjingkat kaget.

"Astaghfirullah ...!!!" teriakku. Nenek melotot.

"Kamu ini kenapa liat Nenek kayak liat setan aja," ujar Nenek seketika. Kuelus dadaku dan
membuang napas. Bude tertawa meledek.
"Sudah mandi sana! Salat trus siap-siap sekolah," suruh Nenek memaksa.

Sebenarnya aku masih menunggu jawaban dari Bude tentang Devi. Akan tetapi, mungkin belum tepat. Nanti pasti aku tanyakan kembali.

***
Pagi ini seperti kemarin, Lek Udin sudah bersiap mengantarku ke tempat menuntut ilmu. Sebenarnya aku bisa bermotor sendiri. Dulu aku juga apa-apa sendiri, tapi di sini Nenek melarangku. Mungkin, takut aku jadi suka keluyuran atau mengapa aku juga tak tahu.
Sesampainya di gedung pendidikan itu, Lek Udin segera berpamit. Aku mengangguk dan membiarkannya berlalu, suara cempreng Ria seketika menyeruak.

"Divaaa ...!" teriaknya diantara kerumunan siswa, ia berlari kecil menghampiriku.
"Tadi aku susul kamu ke rumah, eh ... kamunya udah berangkat." Aku tersenyum.

"Kamu kayak tuan putri aja, ada bodyguardnya. Itu, Lek Udin, hihi ...," katanya meringis. Aku menyenggol bahunya sembari berdecak, lalu kami berjalan menuju kelas.
Di kelas, Inayah sudah ada di bangku seperti kemarin, saat masuk ia menatapku tajam.
Lama-lama aku bisa mati tegang ditatapnya seperti itu. Kata Ria, dia memang terkenal misterius.
Jarang tertawa dan begitu dingin. Makanya dia susah punya teman. Segera aku duduk dengan canggung di sebelahnya.

"Masih diganggu?" tanyanya tiba-tiba. Aku meliriknya, bagaimana mungkin ia tahu? Kubalas dengan anggukan.
"Bisa bantu gak?" tanyaku berbalik.

Ia mengangguk lalu menggeleng, aku melotot.

"Apa maksudnya?"
"Aku hanya bisa melihat dari sudut pandangmu saja, tak lebih. Kamu harus cari tau sendiri masalahnya. Jika sudah nanti aku bantu." Sekali lagi aku mengangguk.
Ria menjawil lenganku, aku menoleh padanya. Kulihat di tangannya ada secarik kertas kecil. Ia memintaku mengambilnya dengan mengangkat dagunya. Kuambil segera dan membaca.

"Nomer WA please"
Aku memandang Ria, dia menoleh ke kiri untuk menunjukkan. Kuikuti bola matanya yang tertuju pada Fahri. Dia tersenyum dan melambai di sana. Aku mendesah menahan tawa. Segera Ria memberikanku bolpoin, tapi aku ragu.
"Ayolah ...." Paksa Ria sembari menyelipkan bolpoin itu di tanganku. Kuikuti saja lalu menuliskan12 digit milikku. Ria berdiri girang lalu secepat kilat memberikannya pada Fahri.

Tetiba hatiku berasa tak karuan, entah ini perasaan apa?
Yang kutahu bibirku melengkungkan senyuman terindah kala Fahri memandangku dari sana, ia mengucap dua buah kata yang bisa kubaca lewat bibirnya.

"Terima kasih."
Sepulang sekolah aku merebahkan diri di kasur, mengingat kejadian tadi pagi. Tak terasa itu membuatku senyum-senyum sendiri. Aku merasakan panas di sekitar pipiku. Kuberanjak duduk di kursi rias, memandang wajahku yang pink merona lewat pantulan cermin.
Kupangku pipiku
dengan kedua tangan, aku terbahak sendiri. Ini benar-benar lucu.

Drrtt ... Drrtt ...
Ponselku bergetar, kubaca di layar ada nomer tak tersimpan. kuusap benda pipih itu lalu membuka pesan yang masuk.

[ Hai, ini Fahri... Save ya! ]
Aku membacanya sambil kegirangan. Kulihat lagi wajahku di cermin, semakin memerah. Oh, Tuhan! Inikah cinta? Kututup mukaku dengan kedua tangan menahan malu.
Saat kubuka telapak tangan ini, seketika aku terperanjat kaget melihat penampakan Gadis itu lagi di belakangku. Napasku tercekat. Sontak aku menoleh kebelakang memastikan, tak ada siapa-siapa. Kuputar lagi wajahku di cermin. Tidaak!! Dia masih ada!
Dengan gemetar kuulangi lagi menoleh ke belakang perlahan, dan sekali lagi nihil.

Rasanya aku tak mau lagi memandang cermin, aku memejam menahan takut.
Tetiba kurasakan bahuku disentuh sebuah tangan, aku semakin mempererat pejaman
mata. Napas mulai memburu tak tentu.
"Diva, ditunggu Lek Udin di belakang." Suara Nenek membuat ritme napas teratur kembali. Aku membuka mata, lega.

"Enggeh, Nek. Bentar lagi," jawabku memandangnya tajam, berharap ia tak berubah menjadi gadis itu.
Nenek melirikku dengan pandangan heran, kubalas dengan meringis saja.

***

Hari ini buah-buahan Nenek di kebun belakang mau diborong sama tengkulak buah. Ada mangga, jambu, dan belimbing. Pagi tadi aku sudah dipesan Nenek untuk membantu Lek Udin mencatat dan mentotal.
Karena kata Nenek dia lemah soal hitung-hitungan, maklum dia hanya tamatan SD. Sering kali salah hitung yang kadang membuat Nenek kebingungan.

Namun, Nenek tak pernah mempermasalahkannya, karena bagi Nenek kebun buah ini bukan prioritas utamanya.
Hanya sekadar keberuntungan saja tumbuh dengan sendirinya.

Setelah selesai, kami duduk di amben–kursi panjang dari bambu. Nenek menuntun tengkulak itu ke depan meninggalkan kami berdua. Lek Udin mengibas-ibaskan topi capingnya di sampingku.
Kulihat peluhnya menetes bercucuran. Jelas saja, karena siang ini begitu terik, dan Lek Udin habis memanjat sampai ke pucuk pohon yang panas.

Aku menuangkan es teh yang
sudah disediakan Nenek di pucuk amben. Kusodorkan segelas kepadanya.
Tiba-tiba ia menatapku sendu, caping yang dipegangnya terlepas ke tanah. Ia mendekat perlahan, lalu memandangku seperti penuh rindu.

"Devi ...." Seketika ia memelukku erat. Aku terdiam sesaat, lalu kudorong kasar dadanya yang menempel.
"Lek! kurang ajar sampean!!" Ia menggeleng seperti tersadar lalu kaget. Buru-buru ia meminta maaf.

"Ma-maaf, Neng. Aku nggak sadar." Ia menunduk menahan malu, lalu bersiap berdiri.
"Tunggu! Devi itu siapa Lek? Dari kemarin Bude Risma juga panggil nama itu." Lek Udin
terlihat celingukan, seperti bingung harus menjawab apa.

"Jawab, Lek!" tanyaku kembali.
Lagi-lagi Nenek datang di waktu yang tidak tepat, aku menghela napas kesal.
"Ada apa ini?" tanyanya saat melihatku emosi.

"Mboten, Nek." Aku menggeleng lalu pergi meninggalkan mereka.

Perlahan aku beranjak, sesaat kudengar obrolan mereka di belakang, Nenek seperti memarahi Lek Udin. Ingin aku menoleh tapi takut membuat Nenek semakin marah.
Tak kuhiraukan dan lurus masuk ke rumah.

***

Saat melewati kamar Bude, aku tertegun melihat Bude berdiri menatap cermin, kulihat ia sedang menyisir rambutnya pelan. Apa aku tidak salah lihat? Aku mendekat ke depan pintu.
"Bude? Bude udah bisa berdiri Alhamdulillah ...," kataku semringah, tapi ia tak menggubrisku.

"Bude? Sejak kapan Bude bisa sendiri?" Ia masih terdiam dan terus menyisir rambutnya di depan cermin, aku mulai merasa aneh.
Kutolehkan wajah sedikit miring untuk melihat wajah Bude di pantulan cermin.

ASTAGA!! Itu bukan Bude, kakiku mulai lemas dan ketakutan berkecamuk, kulihat gadis itu lagi. Ingin kufokuskan mata untuk melihat wajahnya, agar tahu siapa dia sebenarnya, tetapi aku terlalu gemetar.
Tanganku memegang daun pintu untuk menjaga keseimbangan, kakiku semakin
lemas tak kuat menopang berat badan sendiri, aku terkulai lemas di depan pintu.

"Diva ... Va!! Diva!" Panggilan itu menyadarkanku, kudengar itu suara Bude Risma. Kutoleh lagi ke depan cermin, tak ada!
"Kamu kenapa sih, Va?" Panggilnya lagi, sekarang aku bisa mendengar asal suara itu, dia Bude yang asli, masih berbaring di atas ranjang. Aku mencoba menstabilkan napas, kemudian bergegas berdiri mendekati Bude.

"Ta-tadi aku liat Bude di situ," kataku sambil menunjuk depan cermin
"Kamu ini ada-ada aja, nggak mungkinlah Bude bisa!" jawabnya heran.

Tak menyia-nyiakan kesempatan aku pun bertanya padanya.

"Bude, emm ... sebenarnya Devi itu siapa?" Ia terlihat kaget sejenak, lalu tersenyum.
"Orang tuamu dulu gak pernah cerita?" aku mengangkat alis,

"Tentang Devi." Bude meneruskan, aku menggeleng.

"Dia ponakan Bude juga, kesayanganku."

"Maksudnya?"
"Maaf, Diva. Bude belum bisa cerita banyak, mungkin kalo waktunya sudah tepat Nenek yang akan memberitahumu." Sebenarnya aku masih penasaran dengan jawabannya, tetapi aku tak bisa memaksa. Mungkin benar kata Bude, waktu yang akan menjawab. Aku harus lebih bersabar.

***
Hari minggu, Pagi buta aku sudah terbangun dengan perasaan gembira, karena semalam Ria mengirim pesan jika hari ini akan datang ke rumah bersama Fahri untuk rujakan.

Kemarin aku memang sempat memoto mangga muda dan belimbing ranum, lalu kukirimkan pada kontak Ria,
dia membalas
dengan emoticon ngiler. Beberapa menit kemudian ia mengirimkan screenshot obrolannya dengan fahri, yang berencana main ke rumah.

Aku girang bukan main, tetapi berusaha sok jaim. Kubalas chat Ria dengan emoticon marah.
Dia mengirimkan stiker terbahak, lalu mengetik kata [ please... ]
Akhirnya kujawab saja dengan [ oke ]

Selesai mandi aku bersiap ke warung depan rumah.

"Mau kemana pagi begini?" tanya Nenek heran sambil membawa gagang sapu.
"Ke warung Mbok yati, Nek. Mau beli bahan buat rujakan, nanti temen Diva mau ke sini."
Nenek mengangguk saja.

"Kalo rujakan di belakang saja, biar gak perlu ngepel rumah." Sarannya padaku.

"Nggeh, Nek. Sekalian nanti ambil mangga muda yang masih di pohon."
"Cah wedok ojo pencilak'an, pake galah saja." ( Anak perempuan jangan banyak tingkah, pakai galah saja ) suruhnya galak. Aku terkekeh.

"Enggak lah, Nek. Ada Fahri kog, nanti biar dia yang manjat."

"Owalah ... yawes." Pungkasnya lalu meneruskan kegiatannya menyapu rumah.

***
Segala yang dibutuhkan sudah kupersiapkan tanpa kurang, tinggal menunggu jam saja. Di
depan gazebo rumah berkali-kali aku melirik ponsel, menanti Ria menelpon. Tak sabar rasanya bertemu pujaan hati.
Beberapa menit kemudian samar kudengar deru knalpot mendekat, aku mulai semringah. Namun, seketika wajahku menampilkan guratan sedih tatkala menemukan Ria dibonceng oleh Fahri.
Entah hatiku terasa tergores begitu saja. Perih! Ria yang centil, segera turun dari motor menggodaku.

"Maaf ya, pinjam bentar doang abangnya. Hehe ..." Aku malu, ternyata Ria bisa membaca isi otakku.
"Apa'an sih?" jawabku manyun. Segera Ria memegang kedua bahuku, menatapku dengan pandangan mengiris. Aku mengendikkan bahu.

"Liat tuh pipi udah kayak tomat aja, ranum banget!" Rayunya lagi, aku tergelak tapi secepatnya menutup mulut saat Fahri menatapku, malu! Duh ....

***
"Tangkap, nih!" seru Fahri dari atas pohon, dengan sigap aku menangkapnya. Berkali berulang hingga terkumpul banyak belimbing.

"Udah banyak, Ri. Ganti mangga!" Teriakku dari bawah.

Ria sedang sibuk menguleg bumbu rujak, kulihat cabenya menggoda, aku mulai menelan ludah.
Dengan lihai ia menekan dan memutar gagang uleg. Dijilatnya sedikit, kulirik ia memonyongkan bibirnya, lalu mengibasnya. Pedas, mungkin.

Fahri turun dari pohon belimbing lalu dengan cepat merangkak ke pohon mangga, aku terkesima, udah kayak sun go kong saja.
Aku pikir anak Pak Lurah biasanya anti kotor-kotor ternyata dia berbeda.

Ria datang ikut menanti di bawah pohon.
"Duh... Puedes, Va. Sumpah!" katanya sembari menjulurkan lidah.

"Lah piye, wong kamu sing bikin dewe kog?" kataku terkekeh.
"Woiii... Tangkap!!" Fahri melempar tanpa aba-aba hingga mangga meluncur agak jauh. Kami berlari mengikutinya. Mangga itu terhenti tepat di depan sebuah gundukan tanah. Aku dan Ria melongo, saling berpandangan. Di sudut atas dan bawahnya tertancap nisan yang masih baru.
Terlihat pula bunga-bunga yang telah kering di atas gundukan tanah itu.

Ria menggenggam tanganku, takut. Raut mukanya yang biasa centil dan ngeselin tiba-tiba kecut dan mengkerut.

"Makam siapa, Va?" tanyanya berbisik, aku menggeleng.
"Hei! Lama banget sih ..." Teriak Fahri dari atas pohon. Segera kuseret Ria pergi menjauh. Dalam tarikanku, ia masih menoleh ke makam itu berulang kali, sembari meringis ketakutan.

Kutuntun dia duduk di atas amben, kulihat tangannya gemetaran.
"Sudah, lupakan!" bentakku setengah berbisik. Ia mengangguk lalu menyahut gelas di sampingnya, meneguk segelas air dengan kilat.

Acara rujakan yang kuharapkan menjadi jalan untuk lebih dekat dengan Fahri menjadi kacau, karena Ria terus-menerus tegang.
Berkali kuucapkan candaan hanya membuatnya tersenyum kecut saja, garing!

Kulihat Fahri jadi ikut begitu, canggung dan tak asik. Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang saja, aku tak bisa menahan, meski rasa ingin terus bersama.
"Maaf ya, Va. Hari ini jadi gak seru, mungkin lain kali," ucap Ria sembari bersiap menyelipkan tas slempangnya.

Aku mengangguk saja sambil tersenyum. Kupandang Ria yang memegang bahu Fahri di atas motor. Maklum dia pendek, jadi agak kesulitan untuk naik.
Aku iri, mengapa bukan aku yang di sana. Aku ingin dekat dengan jarak tanpa sekat seperti itu. Bahkan kubayangkan memeluk dada bidang Fahri dari belakang, ah ... ngimpi! Kubiarkan motor itu menjauh dan hilang dari pandanganku.

***
Sore harinya seperti biasa, aku membantu Nenek mengumpulkan telur hewan unggasnya. Lek Udin sedang mengaduk dedak--makanan unggas--di depan kandang, di bawah pohon bambu yang berderet rapi dan sejuk. Aku mendekatinya.
"Lek, tadi aku gak sengaja masuk lebih jauh ke kebun mangga Nenek, di sana aku menemukan kuburan. Punya siapa?" Seketika ia menoleh dan melotot memandangku. Tangannya yang tadi memutar terhenti begitu saja. Kulihat ia menelan ludah.
"Ah, mungkin Neng Diva salah lihat." Candanya mengada-ada. Aku menggeleng.

"Nggak mungkin lah, Lek. Wong Ria aja sampai ketakutan kog." Ia mulai celingukan.

"Kog, tadi aku gak diajak sih, Neng. Aku kan juga pengen, dari kemarin cuman bisa ngiler metik buah,"
jawabnya mengalihkan obrolan dan kembali mengaduk dedak. Aku tahu ia menyembunyikan sesuatu. Aku tak bisa memaksa, harus lebih lembut lagi sepertinya.

"Lek, maaf aku gak maksa. Kapan pun kalau Lek Udin siap tolong beritahu aku, hampir tiap hari aku ada yang gangguin,
dan aku tahu itu pasti ada hubungannya dengan kuburan dan gadis yang bernama Devi itu. Aku cuma ingin tahu apa hubungannya denganku, kenapa aku di teror? Apa Lek Udin nggak kasihan sama aku? Bisa-bisa aku mati konyol karena penasaran."
Kembali ia terhenti dari aktivitasnya, hening sebentar. Seperti memikirkan rangkaian kata yang akan dilontarkan.

"Dia Devi, salah satu anggota keluarga ini. Gadis yang aku cintai." Matanya mulai berkaca-kaca.

"Kenapa dia dikubur di belakang kebun?" tanyaku penasaran,
Ia menggeleng.

"Karena Nenek Jamilah memang sengaja menyembunyikannya." Alisku terangkat, bingung.

"Sudahlah, Neng! Maaf aku nggak bisa meneruskan cerita ini, takut dimarahin sama Nenek." Aku sedikit lega karena mulai ada secercah harapan yang akan terungkap.
Semoga segera kutemukan kejelasan yang lebih pasti.

Aku meninggalkan Lek Udin yang mulai termenung akibat pertanyaanku tadi. Aku tahu ada penyesalan dalam hatinya. Namun, entah apa?

***
Malam ini aku tidur bersama Nenek, mungkin akan selamanya, eh tidak! Sebelum jadi istri orang maksudnya. Aku udah nggak mau tidur sendiri, nggak mau didatengin lagi sama gadis itu.

Seperti biasa Nenek tidur sembari membawa sapu lidi kecil di sampingnya.
Mungkin jaga-jaga bila ada tikus. Aku tertidur dengan lelap, tapi di sepertiga malam aku terbangun karena mendengar suara Nenek beriringan dengan suara kemerincing lonceng itu lagi.

Aku meliriknya di sampingku, tak ada.
Di balik kelambu kulihat Nenek berbicara dengan nada agak geram, ia mengangkat sapu lidinya seperti bersiap memukul. Aku memicingkan mata mencoba mempertajam penglihatan.

HAH ... gadis itu! Tertunduk di depan Nenek dengan lesu, lalu seketika menghilang saat Nenek akan memukul.
Nenek berbalik dan akan membuka kelambu. Segera kupejamkan mata kembali pura-pura masih terlelap. Meski detak jantung berdetak tak karuan, aku mencoba setenang mungkin.

Dengan hati-hati ia naik ke atas ranjang, mungkin takut bila membangunkanku.
Ia terdiam sesaat, sepertinya sedang memandangku. tetapi aku tak berani membuka mata. Kurasakan kepalanya sudah berada di bantal, lalu memutar badan menghadap kelambu. Kubuka mataku, sedikit membuang napas kesal di belakang punggungnya, apa maksud semua ini?

***
Paginya kuceritakan sedikit yang aku ketahui kepada Inayah, ia mulai angguk-angguk.

"Apa kamu bisa cari suatu barang milik dia?aku bisa membaca peristiwa seseorang lewat barang yang dia punya." Aku mulai berpikir, mungkin Lek Udin bisa membantu.
"Nanti aku coba, ya!" Suara tengil Ria membuyarkan obrolan kami.

"Haii... Bahas apa nih? Ikutan dong."

"Bahas kuburan!" jawabku sekenanya membuat ia beringsut takut.
"Diva ihh ... udah dong, semalem aku sampai nggak bisa tidur loh! Malah aku ngimpi kamu jadi dua, ngeri pokoknya!!" Teriaknya dengan nada manja. Kulihat jidat Inayah sedikit berkerut.

"Jangan-jangan ...," kata Inayah menggantung.
"Apaa??" tanyaku dan Ria bebarengan.

"Aku nggak mau menebak-nebak, kamu lakuin aja apa yang aku pinta tadi, Va. Biar semua jelas." Aku mengangguk pasti.

***
Malam ini desa ini punya hajat, semua merasakan pesta besar kali ini. Di jalan menuju balai desa, sudah banyak sekali pedagang yang menggelar dagangannya. Ada banyak sekali macam makanan, baju, peralatan rumah, dan sebagainya.
Riuh, ramai dan penuh sesak. Lampu warna-warni menghiasi jalanan, tak lupa musik koplo mengalun-alun meramaikan suasana.

Di pendopo balai desa sudah terpampang layar putih raksasa. Malam ini akan ada pertunjukan wayang semalam suntuk. Meski aku tak pernah menyaksikan,
tapi aku bersemangat ingin tahu.

Selama ini aku hanya mengetahui kisah wayang lewat tulisan dan cerita saja. Jadi ini pengalaman pertamaku. Aku, Ria dan Fahri sudah janjian mau nonton bareng, duh, deg-degan banget pokoknya. Ria sudah janji bakal bikin aku lebih dekat dengannya.
Katanya sebagai ganti hari kemarin itu, Aku
tersipu.

Fahri mengajak kami duduk di bangku paling atas, ya ... sengaja bangku ditata menurun ke bawah layaknya gedung bioskop agar semua bisa menikmati tanpa perlu takut tak kelihatan.
Fahri memilih bangku pojok yang jarang dipilih orang, karena semua memilih berdesakan di bangku paling depan. Mungkin ingin suasana lebih privat denganku, duh ... makin deg-degan! Fahri dan Ria berpamit saat Pak Lurah--ayah Fahri--memberikan sedikit pidato,
katanya
mereka mau beli cemilan dan minuman karena acaranya bakal lama.

Aku mengangguk, memandang Pak Lurah yang didampingi wanita cantik di sebelahnya, mungkin itu Bu Lurah. Dilihat
dari setelan batik yang digunakan couple keduanya.
Rambutnya diikat ke atas menyerupai sanggul kecil, dan jambulnya tinggi menjulang cetar ulala membahana.

Ayahnya gagah dengan kumis agak tebal melingkari bibir. Kulihat Fahri lebih mirip dengan perawakan Ibunya, hidung mancung dan bibir tipis.
Beda dengan bibir Pak Lurah yang agak tebal.Entah apa yang disampaikan beliau, aku agak malas dengan basa-basi.

Tiba-tiba angin berembus dingin menerpaku. Sepertinya angin itu datang dari pohon beringin raksasa di pojok kiriku beberapa meter.
Aku menoleh, seketika aku berjingkat melihat penampakan gadis itu duduk di pojok, masih menggunakan gaun tidur lusuh yang sama.

Bulu kuduk seperti tersetrum, berdiri dengan sendirinya. Aku mencoba tegar melawan ketakutanku, memfokuskan pandangan padanya.
Karena aku ingin melihat siapa dia sebenarnya. Meski dikelilingi ratusan orang mengitari pendopo, aku merasa sendiri di sini, menatap penampakan itu dalam pandanganku saja.
Perlahan ia menolehkan wajah, mempercepat laju jantungku. Kedua telapak tanganku telah basah oleh keringat, ingin teriak tapi sayang, aku harus sedikit menahan. Detik itu juga kutemukan wajahnya menatapku.
HAAH!! Apa aku tidak salah lihat? Aku merasa becermin memandangnya, itu wajahku, kan? Jadi, selama ini aku dihantui oleh diriku sendiri? Apa aku berhalusinasi? Aku semakin melongo dibuatnya. Tetiba tatapan matanya penuh amarah, Seperti bersiap menerkamku.
Tubuhku bergetar hebat. Aku juga siap untuk melompat. Seketika itu juga dengan kilat dia berlari kencang ke arahku.

Tenaga yang kusiapkan untuk meloncat ternyata percuma, aku hanya bisa menganga tanpa bersuara. Bagaimana ini? Inayah datang tepat saat sosok itu hampir menabrakku,
Merentangkan telapak tangan kanannya ke arah gadis itu, seketika penampakan itu hilang terpental begitu saja.

"Kamu sudah tahu, kan?" kata Inayah sembari duduk.

"Di-dia ... a-aku?" aku menjawab dengan bibir yang masih bergetar.
"Yah, aku yakin sekarang. Dia kembaranmu!" jawabnya yang malah membuat kepalaku
semakin pening.

"Bagaimana bisa? Kenapa selama ini keluargaku menyembunyikannya dariku?" Rentetan pertanyaan semakin mengaung dalam otakku. Yang kutahu selama ini aku anak tunggal, tanpa saudara.
"Itu yang jadi PR-mu, segera cari tahu! Sebelum terlambat," Suruhnya padaku, aku memegang kepalaku sendiri, mendengus kesal tanpa arti. Entah ini sulit kuterima.

Ria dan Fahri datang dengan seplastik besar bawaan, aku sampai heran siapa yang bakalan makan?
Ria menempatkan diri di sebelah Inayah, dan Fahri tentu di sebelahku. Ketakutanku hilang begitu saja saat mata kami bertemu, inilah waktuku. Duduk berdua tanpa sekat yang aku impikan jadi kenyataan.
Pertunjukan wayang sudah dimulai, tetapi aku tak fokus dengan apa yang terpampang.
Hatiku terus saja berbunga saat diam-diam Fahri mencuri pandang padaku. Aku berlagak tak tahu saja, sembari sok-sokan menikmati pergelatan. Padahal aku sama sekali gak ngerti jalan ceritanya.
Mata cokelat ini membuatku semakin tenggelam dalam lelehan cintanya. Sesekali di sampingku Inayah menyodorkan cemilan, aku hanya mencomot beberapa, gengsi bila dilihat Fahri rakus, padahal aslinya iya.
Beberapa kali pula kuberikan cemilan itu pada Fahri. Ia hanya menerimanya tanpa memakan satu pun, hanya menyedot minuman dari gelas plastik dengan rasa kopi.
Semakin lama aku mulai tak nyaman, bukan karena Fahri, tapi bosan dengan apa yang
disuguhkan, entah mungkin aku anak kota. Lebih suka berjingkrak-jingkrak menonton konser band daripada diam semalam suntuk seperti ini. Berkali-kali gelakan tawa orang-orang menyeruak.
Inayah dan Ria pun begitu, mereka terpingkal tak karuan. Aku bingung apa yang membuat lucu, aku hanya sedikit ikut tertawa seakan larut dalam suasana. Padahal, benar-benar nggak ngerti apa yang mereka tertawakan.
Di sela riuhan dan tepuk tangan penonton. Tiba-tiba tangan Fahri memegang tanganku, aku menoleh padanya. Ia tersenyum memandangku sendu, ia meremasnya membuat darahku berdesir hangat. Aku menggigit bibir sendiri, mencoba menahan pergolakan hati.
Di sebelah Fahri yang tadi kosong, kulihat sosok kembaranku lagi memandang kami dengan geram. Seperti tak suka bila kami bersama. Seketika kubalas remasan tangan Fahri, bukan karena cinta, tetapi ketakutan yang kutahan.
Aku menolehkan wajah ke Inayah di samping, ia mengangkat dagu, seolah bertanya. Kutolehkan
lagi wajahku di samping Fahri, ingin menunjukkan pada Inayah, tapi TAK ADA!

Kembali Inayah menghadap depan tak memerdulikanku.
Fahri yang tau aku celingukan segera merapat ke tubuhku, ia merangkul bahuku dari belakang, membuatku risih.

"Kamu takut apa? Kan ada aku di sini," katanya sembari mendekatkan bibirnya di telingaku.
Aku sedikit menggeser menjaga jarak, ia malah terus menabrakku.

"Diva, geseran sana, ih!" tutur Inayah yang kupepet.

Tangan Fahri semakin liar mengelus dan menyibakkan rambut lurusku yang sebahu, aku tak tahan lagi, aku nggak mau diginiin.
Aku berdiri, seketika itu kedua gadis di sampingku menatap.

"Mau ke mana?" tanya Ria.

"Pulang, aku ngantuk!" celetukku kasar, lalu mengendap-endap di antara kerumunan penonton untuk pergi. Aku tahu Fahri mengikutiku. Aku semakin terburu-buru berlari.
"Diva!! Tunggu..!!" sebenarnya aku malas, tapi aku tak mau jadi sorotan penonton, akhirnya
kupelankan laju kakiku.

Saat sudah agak jauh dari balai desa dan hilang dari pandangan orang-orang, aku mulai mensejajarkan langkahku dengan Fahri.
"Aku minta maaf, Va. Aku terlalu lancang padamu." pintanya memelas.

"Ya, aku maafkan. Asal jangan diulangi lagi." kataku memutus kesal. Ia mengangguk
tersenyum.

"Aku antar kamu pulang, ya?" Aku sedikit mikir.
Namun, membalasnya dengan anggukan saja, karena sudah malas sama dia. Lagian bila aku pulang sendiri agak seram sih, rumah Nenek agak jauh dari sini, mana mungkin aku berjalan kaki. Bisa-bisa aku dibegal sama orang, ih ngeri!
Aku diboncengnya dengan motor ninja merah, agak risih sebenarnya. Karena terpaksa kami harus berdekatan kembali. Entah, rasa kagumku pada Fahri hilang begitu saja hanya karena perlakuannya padaku tadi.
Di tengah perjalanan, kami melewati rumahnya. Ia menunjukkannya padaku, rumah mewah dan besar lantai dua. Jelas saja, rumah Pak Lurah. Aku juga tak tahu pasti kekayaannya itu dari mana. Yang kutahu, ia orang paling kaya di kampung ini.
Rupanya jarak rumah kami tak begitu jauh, selang beberapa rumah aku sudah selamat sampai di kediaman. Kuucapkan terima kasih padanya, sembari melambaikan tangan. Ia membelokkan motor perlahan.
Sebenarnya aku masih menginginkannya, melihat gayanya di atas motor dengan jaket jeans biru muda, dan sepatu putih itu. Apalagi rambutnya yang berponi gemas ala oppa-oppa korea, membuatku kembali meleleh.
Lamunanku buyar tatkala motor itu menjauh membawa boncengan sesosok gadis itu lagi. Aku terkejut! Ingin rasa memanggil Fahri tapi ia sudah terlalu jauh. Semoga saja tak terjadi apa-apa padanya.
Pagi ini, tak biasanya Ria dan Inayah datang terlambat. Mungkin, akibat semalam suntuk begadang nonton wayang. Bahkan hingga bel menggema tak jua kutemukan batang hidung mereka. Sepi rasanya. Kunikmati saja hari ini dengan kesendirianku.
Waktu istirahat tiba tak membuatku beranjak meninggalkan kenyamanan diri ini. Aku sudah dalam posisi nikmat tenggelam dalam kesepian. Meski kerongkongan terasa kering, rasanya aku malas berkutik.
Kuselonjorkan kaki di bangku Inayah yang kosong, lalu sedikit menengadah dengan bantuan punggung kursi. Ah, terasa nyaman sendiri. Aku terpejam.

Aku tersentak kaget saat kakiku terasa dingin seperti tersentuh es. Aku berjingkat. Fahri tergelak di sana.
"Hahaha ... kaget ya!" ucapnya seraya menempelkan plastik es teh di kakiku. Kuturunkan kaki dari bangku, Fahri mendudukinya.

"Maaf, ya ... nih!" Ia menyodorkan seplastik es teh di tangannya. Kuterima dengan mesem.
Langsung kuseruput begitu saja. Ah, dingin dan manis, semanis cintanya padaku.

Aku masih meneguk es teh, dan Fahri menatapku dengan mata cokelat indahnya. Aku mulai tersipu. Rasanya jantung ini hampir copot saat ia menopang wajahnya dengan tangan yang ditempelkannya pada bangku.
Badannya menghadap ke arahku, lalu lebih fokus menusukkan tatapannya itu.

Uhuk ... uhuk ....
Aku terbatuk, ia cemas lalu merangkul bahuku dan menepuknya pelan. Kulihat tak ada seorang siswa pun dalam kelas. Aku mulai sedikit takut mengingat kejadian tadi malam.
Aku menggeser tubuh merapat ke tembok, lalu membuang pandangan, tak berani lagi
menatapnya. Ia terlihat tersenyum nakal. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya.

"Makasih ya, semalam benar-benar indah. Tak akan pernah kulupakan," ucapnya dengan nada merayu yang dibuat-dibuat.
Aku memutar otak, emang semalam aku ngapain sama dia? Hanya nonton wayang yang nggak jelas itu, kan? Ah, kubalas dengan anggukan kepala berharap ia segera pergi.
Beruntung ia berdiri setelahnya, saat ia berlalu, aku memandangnya sambil menyesap es teh di tangan, ia menoleh lalu mengerling. Aku mengangkat alis, gila!

***
Sore ini seperti biasa, aku membantu Lek Udin di kandang, aku ingat apa kata Inayah untuk mencari suatu benda milik Devi. Aku mendekatinya.

"Lek, apa sampean punya barang milik Devi?" ia menoleh saat memberi makan kambing,
Ia terdiam sesaat seolah berpikir.
"Sebenarnya dulu ada, gelang kaki miliknya. Aku nggak tau sekarang di mana, padahal udah tak simpan dalam kotak, tapi kog ya masih ilang. Mungkin ada yang ngambil," jawabnya seraya menata rumput di kotak kayu depan kandang.
"Yang ada loncengnya itu ya?" ia menoleh lagi.

"Kog Neng Diva bisa tahu?"
"Aku kan sudah bilang, Lek. Dia sering mendatangiku. Aku tau siapa dia sebenarnya. Dia kembaranku kan, Lek?"
Lek Udin menatapku tajam, aku tau ia rindu. Karena melihatku sama seperti melihat Devi. Ia mengangguk. Menaruh rumput lalu duduk di bangku kecil. Dikeluarkannya bungkus rokok dari dalam saku, lalu mengambilnya satu. Ia menyulut lalu menghembuskannya ke udara.
"Makanya aku kalo lihat Neng Diva itu takut." Ia mengepulkan asap rokok, "Takut gak bisa menahan." Tambahnya.

Aku mengambil alih tugasnya, kujejer rumput di balok kayu depan kandang, kepala-kepala
kambing itu keluar dari celah kayu, mengunyah rumput hijau yang masih segar.
"Aku masih ingin tahu semuanya, Lek. Kenapa aku dipisahkan dengan saudariku sendiri? Apa salah kami?" kataku dengan nada memelas, berharap Lek Udin berbelas memberitahu.
"Memang ada suatu hal yang disembunyikan, karena ini menyangkut aib keluargamu." Kulihat Lek Udin masih nyaman dengan rokoknya.

"Aku harus tahu, Lek. Apa itu?" Ia menyesap sedotan terakhirnya lalu membuang puntung rokok. Lantas, menginjaknya.
"Mmm ... nanti malam ya, Neng. Ikut aku, akan kuceritakan semuanya. Asal jangan sampai ketahuan Nenek." Aku mengembuskan napas lega. Semoga semua pertanyaanku akan bertemu jawabnya.

***
Aku bersiap pergi, sesuai dengan rencana yang disusun Lek Udin. Aku berpura-pura untuk meminta tolong padanya mengantarkanku ke toko buku. Tak lupa aku sudah menghubungi Inayah dan Ria agar semuanya semakin jelas.
Nenek masih di musholla, jadi aku menunggunya. Aku tak mau ia curiga kalau tidak pamit padanya.

"Mau kemana Diva?" tanya Bude di atas ranjangnya saat melihatku ke luar dari kamar. Aku masuk dan duduk di sebelahnya.
"Mau cari buku, Bude."

"Emang kamu tahu di mana toko buku?"

"Diantar sama Lek Udin, kog." Saat itu pula Lek Udin sudah ada di depan pintu kamar Bude Risma.

"Udah siap, Neng?" kami menoleh.
Aku sedikit kaget melihat penampilannya, tak seperti biasa. Jaket jeans ala dilan dan celana jeans hitam sobek membuatnya terlihat lebih muda. Sungguh berkebalikan yang setiap harinya dengan kaos oblong kedodoran dan celana kolor.
Harum maskulin parfum menambah kesan
macho. Aku terkesiap.

"Din, kamu jangan macam-macam sama Diva ya! Jangan samain dia dengan Devi!" Ancam Bude seketika. Aku semakin penasaran dengan semua ini.
"Apa maksudnya, Bude?" Bude terlihat bingung, mungkin dia keceplosan.

"Devi itu beda sama kamu, Diva. Dia dilahirkan tidak sempurna. Aku yang selama ini merawatnya, karena Ayahmu telah membuangnya. Sebelum aku sakit setiap hari aku dan Udin yang mengurus kebutuhannya."
Kepalaku semakin panas, aku tak tahu apa maksudnya. Lek Udin mendekati kami.
Memposisikan diri di ujung ranjang Bude.

"Mbak Risma, sama seperti saat aku menginginkan Devi, aku tak pernah berharap Diva akan membalasku.
Devi memang beda, tapi ia masih punya perasaan, yang ia tahu selama ini aku hanyalah perawatnya saja, tak lebih. Dan aku memaklumi itu."

Aku hanya melongo mendengarkan percakapan dua orang di depanku sembari terus mencerna ucapan mereka.
"Bahkan aku tahu bila dulu ia menyukai Fahri, anak Pak Lurah yang sering beli telur ke sini. Tapi aku tak masalah bila bertepuk sebelah tangan. Toh aku juga sadar diri." Bude terlihat menangis.
"Aku percaya padamu, Din. Kamu memang tak pernah mengecewakan kami." Nenek datang saat kami dalam suasana haru,

"Kenapa ini kog pada ngumpul di sini?"

"Nek, Diva tadi mau pamit ke Bude soalnya Nenek belum pulang. Diva mau cari buku, diantar Lek Udin."
Nenek menoleh ke Lek Udin, melihatnya dengan tatapan mengancam.

"Jangan lama-lama! Gak usah pake mampir-mampir, langsung pulang!" katanya tegas. Kami berdua hanya mengangguk pasrah.

***
Di depan rumah, Inayah dan Ria datang saat kami akan bersiap, ia sendiri membawa motor matic merah. Aku duduk sebentar di gazebo menanti Lek Udin mengambil motor.

Saat Lek Udin sudah di depanku, tiba-tiba kulihat sesosok bayangan Devi di rentetan pohon bambu sebelah rumah.
Ia terlihat geram, aku tercekat, melongo memandangnya.

"Neng! Neng Diva, ayoo!" Aku tetap diam memandangnya, membuat Lek Udin dan kedua sahabatku mengikuti arah pandangku. Ketiganya pun terperangah.
Devi terlihat menangis saat kami menatapnya, "Neng Deviii ...!" Teriak Lek Udin seketika, ia menghentikan tangisnya lalu menatap Lek Udin dengan seringai tajam.

Wajahnya begitu pucat, dengan mata hitam melingkar tanpa pupil. Aku mendekat ke Inayah, mencari perlindungan.
"Saya janji Neng, bakalan ceritain semuanya ke Neng Diva, agar Neng Devi bisa segera tenang di sana." Lek Udin segera mendekatinya, tapi saat tinggal sepenggalah jaraknya, sosok itu menghilang. Lek Udin terlihat mendengus lesu.
"Udah, Lek. Ayo kita pergi!" Seru Inayah kepadanya, ia menoleh tapi dengan pandangan mengerikan, tanpa pupil.

Aku beringsut mundur di belakang Inayah, Lek Udin mulai melangkah dengan gontai. Kakinya diseret menimbulkan suara gemeresak dari tumpukan daun kering,
diiringi dengan decitan suara gesekan bambu menambah kengerian suasana.

"Hihihi ... Divaa, kamulah perebut kebahagiaanku!" Suara Lek Udin terdengar seperti suara seorang gadis. Aku mulai gemetar, Lek Udin semakin mempercepat langkahnya sambil terus menyeret kaki.
"Inayahhh!!" Jeritku padanya, tapi ia hanya diam menatap ke depan dengan tenang. Terburu aku melangkahkan kaki masuk rumah, tapi tersandung dan jatuh di depan tangga kecil pintu.
Kulihat Lek Udin menoleh kasar ke arahku saat aku menjerit. Cepat ia membelokkan langkah. Aku memundurkan tubuh dengan lutut yang mulai berdarah.

Inayah dan Ria mencoba mencegahnya, tapi ia didorong keras hingga tersungkur di tanah.
Dengan tersengal kucoba menegakkan badan untuk berdiri. Pagar kayu menjadi pegangan, tertatih aku bangkit, tetapi jarak kami semakin dekat. Tubuh bergetar tak karuan.

Saat mencoba meraih gagang pintu kutemukan Nenek dengan sapu lidi kesayangannya menatap geram Lek Udin,
ia terkesiap, seperti ketakutan. Menganga dan terdiam melihat Nenek, lalu ambruk.

Inayah dan Nenek segera menghambur ke Lek Udin, dengan susah payah mereka berdua menyeret tubuh jangkung itu ke lantai depan rumah. Aku tak bisa membantu,
sebab kakiku terasa perih, hanya bisa menyaksikan dan selonjoran di depan mereka.

Lek Udin pingsan terbaring lemas, lalu Nenek masuk ke rumah. Entah mungkin untuk
mengambil air.
"In, kenapa tak kau pakai kekuatanmu seperti waktu itu? Harusnya mudah kan bagimu?" Inayah menatapku tajam, lalu mulai memencet keras jempol kaki Lek Udin.

"Kekuatanku hanya untuk arwah, bukan manusia. Aku tak bisa mengusirnya begitu saja jika sedang merasuki manusia.
harus ada tahapnya. Agar tak melukai si media."

Nenek datang kembali, dengan seember kecil air, ia menciprat-cipratkan air itu ke muka Lek Udin. Inayah masih dengan aktivitasnya, merapal bacaan yang entah apa sembari menggencet jempol kaki Lek Udin.
Selang beberapa menit, Lek Udin berteriak kencang, tubuhnya mengejang saat Inayah menghentakkan kakinya ke lantai. Nenek terihat kaget, ia terduduk ke belakang.

Lek Udin mulai sadar, ia celingukan melihat sekeliling, menatap kami dengan pandangan heran.
"Alhamdulillah ...," kataku.

Lek Udin mulai mendudukkan dirinya, meringis memegang kepala. Nenek masih terlihat geram, wajahnya memerah seperti menahan amarah.

Ia melotot memandang Lek Udin, aku tahu ia marah.
Seperti tak enak hati, Lek Udin menundukkan pandangan dari Nenek. Memandangku,
tersenyum.

Ah, degup jantung berpacu tatkala senyuman itu tersirat di mata. Rasa yang sama saat pertama kali aku memandang Fahri.
Mungkinkah?? Aku menggeleng dan mengalih pandang, menstabilkan getaran dalam dada.

Tanpa kusadari ada tangan terulur di hadapanku, menanti untuk diraih. Aku menengadah, mencari wajah pemiliknya. Inayah tersenyum mengangguk di sana.
Ia memapahku berdiri, sedikit kaku karena luka di lutut yang mulai mengering. Nenek membuka pintu lebar-lebar, mengisyaratkan kami untuk segera masuk, terpincang aku
melangkah dengan bantuan rangkulan Inayah.
Terkaget aku saat tubuh ini diangkat tanpa permisi, dalam sekejap aku sudah dalam gendongan tubuh jangkung Lek Udin. Ada percikan rasa yang menyala dalam dada, kala kedua binar mata kami beradu tanpa sekat. Bahkan bisa kurasakan hembusan hangat napasnya yang menguar di
wajahku.
Deru suara mobil terdengar berhenti di halaman rumah. Kami menoleh, aku masih menggelayut di dada bidang Lek Udin. Saat pintu mobil terbuka, kutemukan Fahri bersama kedua orang tuanya di sana.
Fahri menatapku, kaget. Segera ia berlari kecil menghampiri kami. Ada siratan cemburu di wajahnya. Tapi meluluh ketika menemukan kakiku yang berdarah.

"Kamu kenapa, Va?" Entah kenapa aku semakin menggeratkan pegangan ke tubuh Lek Udin.
seperti suka melihat guratan kecemburuan itu.

"Pak lurah? Ada apa ini?" tanya Nenek pada ayah Fahri yg mulai mendekat.

Aku mengisyaratkan Lek Udin untuk menurunkanku, lalu terpincang merapat di samping Ria. Ia memandang Fahri dari ujung kepala hingga kaki, lalu tajam menatapku.
Heran melihat Fahri berbalut baju formal, seperti akan datang ke acara kondangan.

"Maaf, Nek. Kami bertamu tanpa memberitahu, boleh kami masuk?" ujar Pak Lurah dengan sopan.

"Oh, iya silahkan, monggo!" Nenek mengacungkan jempolnya ke dalam rumah.
Kami mengikuti Nenek ke dalam, lalu duduk melingkar di kursi tamu.

Mendengar suara riuh di depan, bude pun keluar kamar dengan menaiki kursi roda. Penasaran dengan apa yang ada.

Pak Lurah terlihat gelisah, menatap istri dan anaknya berkali-kali. Begitu pun dengan kami semua.
Entah apa yang mau mereka sampaikan. Ia berdehem sebentar,

"Ehem! Maaf, Nek. Maksud kedatangan kami kesini ... Mau ... ( melirikku ) melamar Nak Diva untuk Fahri." Deg, jantung berasa copot.

Apa-apaan ini? Kami masih sekolah, untuk apa?
Aku juga masih ingin melanjutkan pendidikanku ke jenjang selanjutnya.

Bu Lurah mendekat kepadaku, duduk di samping dan memegang tanganku.

"Bukan tanpa alasan kami melamarmu mendadak, saya juga kaget saat Fahri mengungkap semuanya."
Aku mengernyit, lalu mencari mata Fahri. Ingin tahu kejelasan semua ini.

Aku sudah bosan dengan semua teka-teki. Belum kelar masalah Devi, sekarang Fahri datang menambah rumit isi kepalaku.
Fahri menunduk sebentar, menghela napas.
"Maafkan aku, Diva. Tapi saat itu kita saling mau kan? Aku kesini untuk mempertanggungjawabkan semuanya."

"Apa maksudmu? Tanggung jawab untuk apa?" Nenek merangkul bahuku, berusaha mendinginkan.
"Malam itu, Va. Apa kamu lupa? Malam saat kita menonton wayang. Setelah aku antar kamu pulang, tiba-tiba beberapa menit kemudian kamu datang ke rumah. Saat itu rumah sepi karena Ayah dan Ibu masih di pendopo balai desa sampai pagi. Dan kita ...
Melakukan hubungan terlarang itu dengan penuh rasa cinta."

Kami semua melongo, tak percaya. Aku menggeleng-gelengkan kepala cepat.

"Kamu gila ya? Enggak mungkin aku berbuat seperti itu! Tanya sama Nenek, apa aku ke luar rumah lagi setelah kamu antar pulang?"
sergahku berapi-api.

"Nak Fahri, maaf saya juga masih ingat betul, Diva tak ke mana-mana lagi malam itu, dia tidur bersama saya. Masak iya saya mengingau?" kata Nenek memperjelas.

Fahri berdiri, menarik sesuatu di kantong depan celananya. Lalu menunjukkannya pada kami.
"Ini!" Fahri menunjukkan gelang kaki, "Ini buktinya!" Rincingan lonceng gelang itu mengingatkanku pada sosok Devi yang kulihat ikut di boncengan Fahri malam itu.

Lek Udin mengambil gelang kaki itu dari tangan Fahri, memandangnya sendu.
"Ini gelang kaki punya Neng Devi. Jadi selama ini kamu yang sudah mengambilnya?" tanya Lek Udin.

"Devi siapa? Gelang itu tertinggal di kamarku setelah kejadian malam itu! Kamu jangan mengelak lagi Diva. Buktinya sudah jelas, kamu juga menikmatinya 'kan?"
Refleks aku berdiri terpincang mendekat, menggamparnya keras. Tak terima atas tuduhan yang menjijikkan itu.

Ria dan Inayah menahanku, menyeretku untuk kembali duduk. Kami semua terdiam sesaat, canggung dan bingung dengan keadaan.
Pak Lurah mencoba mencairkan suasana,
"Maafkan anak saya, Diva. Sekarang saya jadi bingung mau percaya sama siapa? Ini rumit."

"Lek Udin, apa benar itu gelang punya Devi? Akan kucoba untuk mengungkapnya. Kalian
semua warga kampung ini, sudah tau 'kan kemampuan saya?
Bukan bermaksud sombong, hanya ingin memperjelas semuanya," sahut Inayah yang dibalas anggukan semua orang.

Lek Udin segera memberi gelang itu pada Inayah. Ia memandang gelang itu, lalu
menggenggamnya erat sembari menutup mata.
Seketika keadaan menjadi hening, mata kami terpusat pada Inayah. Terlihat ia menggeleng ke atas bawah, kiri kanan, sesekali mengangguk, masih dengan mata terpejam. Layaknya mengikuti kata hati.
Keringat mulai membasahi dahinya. Beberapa menit setelahnya matanya membelalak. Kami terkaget. Di sampingku, Ria menggenggam tanganku erat. Karena melihat mata Inayah yang melotot tanpa pupil. Ia tertawa dengan suara yang berbeda.
"Fahri, aku bahagia bisa bersamamu semalaman memadu kasih, hihihi ...." Semua orang saling pandang, mencerna apa yang dikatakan Inayah.

"Kamu siapa?" tanya Fahri.
Bude mendekati Inayah, ia memutar ban kursi rodanya mendekat, memandang rindu gadis di depannya.

"Devi? Kau 'kah itu, Nduk?" Inayah menatap Bude, ada guratan sedih di wajahnya membuat garis bibirnya turun.
"Bude, aku sayang Bude. Sama Lek Udin juga. Tolong bilang Nenek, jangan pukul aku lagi pake sapu lidi itu, sakiiit ...." Rintihnya depan Bude.

Kulihat Nenek menggertakkan giginya geram, menahan emosi.

"Apa maksud semua ini?" tanya Pak Lurah bingung.
Inayah kembali memejam, ia menggeleng-gelengkan kepala dan semakin mengeratkan genggaman tangannya pada gelang itu, seperti sedang berusaha melawan. Luruhan
keringatnya semakin deras mengucur, kami hanya mampu menunggu tanpa bisa berbuat apa-apa.
Perlahan ia membuka mata, lega rasanya melihat keadaan matanya yang kembali normal. Ia menghembuskan napas berat.

"Maaf ... akan kubongkar semuanya."
Inayah bercerita bahwa Devi adalah saudara kembarku, ketika lahir Devi sudah cacat di
kakinya. Saat sudah mulai bisa berjalan, ia tak normal, berjalan dengan menyeret kaki.
Ditambah lagi dia mengidap autisme, yang membuat ia sedikit keterbelakangan mental.
Waktu itu Ibuku sedang berada di puncak karirnya, ia tak ingin seluruh dunia tahu bahwa ia mempunyai anak yang cacat, apalagi Nenek. Ia tak ingin reputasi menantunya hancur.
Hingga mereka memutuskan untuk menyembunyikan Devi dari sorotan semua orang. Di desa ini pun, hampir tak ada orang yang tahu keberadaan Devi, karena Nenek mengurungnya di gudang belakang samping kandang.
Sesekali orang tuaku datang untuk menyambangi, tapi mereka tak pernah menganggap Devi sebagai anaknya, hanya datang untuk memberikan uang sebagai pemenuhan kebutuhan saja.
Beruntung ada Bude dan Lek Udin yang begitu menyayangi Devi, mereka menganggap Devi seperti anak normal pada umumnya, hingga saat Devi tumbuh remaja.
Fahri, yang sering beli telur ke kandang, diam-diam dilirik oleh Devi melalui lubang kecil di ruangan itu. Ia kagum akan
sosoknya, acapkali ia bercerita dan berangan-angan menikah dengan Fahri kepada Bude dan Lek Udin.
Nenek memberi gelang kaki dengan lonceng agar saat ia butuh apa-apa tinggal membunyikannya.

Namun, semua itu malah membuat Devi semakin sering menggoyang-goyangkan kaki, karena ia tak ingin sendiri di sana.
Hingga seringkali Nenek memukulnya dengan sapu lidi yang membuat ia semakin tersiksa.

Semakin lama tubuhnya semakin ringkih karena sering dipukul, ia tertekan dan membuatnya terserang berbagai penyakit dalam.
Hingga akhirnya ia menghembuskan napas terakhir dan dikubur di kebun belakang rumah agar tak diketahui orang.

"Astaghfirullah ...! Segitu teganya ya Nenek!" ucap Bu Lurah tak percaya menggelengkan kepala. Nenek hanya bisa diam menunduk, malu.
"Satu hal lagi, meninggalnya orang tuamu juga disebabkan oleh Devi, arwahnya mengikuti mereka saat pulang syuting, dan menggebrak kaca depan mobil, akibatnya ayahmu tak bisa mengontrol setir, yang membuatnya oleng dan menabrak," kata Inayah kepadaku.
"Mungkin dia iri kepadamu, karena kamu bisa hidup bahagia dan normal. Disayangi oleh semua orang. Apalagi Fahri. Orang yang pernah Devi kagumi malah jatuh cinta padamu," sahut Ria menambahkan.
"Jadi, semua sudah jelas 'kan? Bagaimana Diva? Apa kamu mau menerima lamaran anak saya?" Pak Lurah menatapku tegas. Kujawab pula dengan lugas.
"Maaf, Pak. Setelah tahu semua ini, saya tak mau lagi membuat saudariku dendam padaku. Saya tak bisa menerima, biarkan Devi tenang di sana, tanpa membuat lagi luka untuknya."
"Jadi, yang tidur denganku itu hanya arwah? Ah, ini tak masuk akal. Padahal aku berharap ini nyata," kata Fahri diikuti lototan semua orang.

Aku meliriknya dengan pandangan muak, detik ini juga aku mulai membencinya. Dasar lelaki mesum!
Pandanganku beralih pada Lek Udin yang berada di samping Fahri, entah ada rasa nyaman saat menatapnya. Lelaki sederhana tanpa banyak gaya, dan tentunya begitu menyayangi Devi, saudariku.
Pipi terasa merona saat mata kami bertemu pandang, senyumannya mampu meluluh
lantakkan hatiku yang sedari tadi memanas.

Pak Lurah berdiri, mengajak keluarganya untuk berpamit. "Maafkan kehadiran kami yang memalukan ini. Nak Diva, atas nama Fahri sekali lagi saya minta maaf.
Saya berjanji akan membuatnya lebih mengerti adab," tuturnya sembari mengatupkan tangan.

"Saya yang seharusnya berterimakasih, Pak. Karena kedatangan keluarga Bapak, akhirnya semua masalah selama ini bisa terungkap. Matur suwun," ucapku seraya melirik Nenek yang celingukan.
Saat berpamit, Fahri menggenggam tanganku lama. Kucoba menariknya tapi ia malah tersenyum menyeringai. Saat itu pula kulihat bayangan Devi dari dalam rumah dengan wajah yang memelas, kusentakkan saja dengan kasar.
Ayahnya segera menyeret tubuhnya menjauh. Melangkah ke luar rumah dan berlalu.

***
Setelah kejadian malam itu, seringkali kutemukan Nenek melamun sendiri, bahkan terkadang ada buliran air merembes ke pipinya. Aku tahu ia menyesal. Tapi mungkin sedikit gengsi untuk mengakuinya.
Hampir tiap malam Devi datang menemuiku, tak ada lagi rasa takut padanya. Malah aku
merasakan kenyamanan saat kurasakan ia tidur di sebelahku. Demikian pula dengannya, tak pernah kulihat lagi wajah seram dan dendam darinya. Hanya wajah teduh dan menenangkan.
Mungkin inilah yang diinginkannya, bisa berkumpul denganku dengan penuh rasa kasih sayang.

Segala rayuan Fahri pun tak pernah kuhiraukan, bukan bermaksud sombong. Tapi demi menjaga hati saudariku, Devi.
Bude pun terlihat lebih sehat, beliau bilang bahwa seringkali Devi datang menemuinya dengan wajah semringah, tidak seperti malam-malam sebelumnya.

Hubunganku dengan Lek Udin kini jauh lebih dekat, bahkan aku lebih suka menghabiskan
waktu hari-hari bersamanya.
"Neng Diva, apa boleh aku ngomong sesuatu?" katanya saat kami berada di kandang memberi pakan ternak.

"Iya, apa?" tanyaku meliriknya yang sedang mengaduk dedak di bawah bambu seperti biasa, sedang aku berdiri di hadapan kandang kambing menjajar rumput.
"Aku tahu, kita mempunyai rasa yang sama. Jangan mengelak karena aku takut ditolak. Aku ini pemalu, Neng. Nggak mungkin nyatakan cinta bila tidak diterima. Aku akan setia menunggu Neng Diva sekolah tinggi-tinggi. Gapai cita-citamu tapi jangan campakkan aku,"
ungkapnya yang membuat pipiku kian merona.

Aku benar-benar terpana oleh ungkapan kata cinta yang mungkin tak ada romantis-romantisnya, tapi itu sudah membuatku meluluh.
Gaya bicaranya yang sopan, dan begitu menghargaiku, itulah yang kusuka. Tanpa perlu memegang atau mengelus seperti Fahri waktu itu.

Kini aku percaya bahwa cinta yang tulus tidak diperlukan pembuktian nyata, bukan soal fisik, materi atau pun nafsu semata.
Karena bila memang cinta dia justru akan menjaga.

Aku hanya tersenyum menunduk, menyembunyikan wajahku yang mulai memanas dan merona. Aku meliriknya sekali lagi.
Ah, aku baru menyadari wajah Lek Udin semakin ke sini mirip sekali dengan Ario Bayu, pemain film indonesia dengan kulit eksotis itu.

Ia berdiri mendekat ke arahku, dengan tangan yang masih belepotan dedak.
Aku mulai negative thinking takut hal yang sama terjadi saat bersama Fahri. Tingkahku menjadi canggung.

"Ada yang sedang menahan malu rupanya?" ia menggodaku, lalu mentowel pucuk hidungku. Ada yang hangat menempel di sana.
"Ih ... Lek Udin, kotor nih." Mukaku cemberut membersihkan hidung yang terkena dedak.

"Oh, maaf ya ...," katanya seraya mengusapkan kembali tangannya di hidungku yang makin menambah kotor.
Ia tertawa girang, aku jadi ikutan terpingkal. Kutarik tangannya lalu kutempelkan pada pipinya sendiri, ia kaget. Kami mulai saling serang.

Samar kulihat bayangan sosok Devi di gudang sebelah kandang, ia tersenyum di sana. Seakan ikut larut bahagia melihatku bersama Lek Udin.

*
Malam ini, kembali aku ingin tidur bersama Nenek. Karena aku merasa bersalah telah
membuatnya selalu termenung sendiri.

"Nek, Diva tidur d isini ya?" pintaku membuka kelambu ranjang. Ia tersenyum mengangguk.
Aku mulai melangkah ke atas ranjang, merebahkan diri di sebelahnya. Ia menatapku lama, lalu perlahan mulai terisak.

"Maafkan Nenek, Nduk. Nenek sudah salah. Tidak seharusnya kalian dipisahkan."
Pandangan itu penuh haru, kupeluk tubuh renta ini dengan penuh kasih. Samar kudengar kemerincing lonceng mendekati ranjang, kami menemukan Devi di depan pintu. Tersenyum mengangguk. Segera Nenek menyembunyikan sapu lidi yang selalu di sampingnya.
Aku terharu bahagia, perlahan bayangan itu samar dan menghilang di balik
kepulan asap.

Devi ... kini aku sudah mulai mengenalmu, mungkin bagimu ini terlambat, tapi tidak untukku. Bahkan aku bahagia ketika tahu mempunyai saudari satu ari-ari denganku.
Janganlah lagi menaruh dendam untukku.
Aku berjanji akan selalu titipkan doa untukmu dan kedua orang tua kita. Bahagialah di sana ....

TAMAT
Untuk imajinasi kalian 😁

Lek Udin 👇👇👇 Image
Gimana? Dah dapet feel romance-nya belum? Pingin coba genre lain kog ya sulit banget. Masih kebayang ke horor mulu 🙈🙈
Gapapa deh, terserah kalian menilainya gimana. Aku sudah berusaha 😪😪

Semoga terhibur 🙏🙏

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with lely rosyidah

lely rosyidah Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @lely_rosyidah

Jul 7, 2021
Lidah Kematian Seruni

Apa yang terjadi jika dengan menyebut nama tiga kali, bisa membunuh seseorang saat itu juga?

#threadhorror
#bacahorror
#Fiksi_misteri

@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor Image
Gadis dengan kucir kuda berkacamata duduk tertunduk dilingkari lima gadis lainnya. Sesekali badannya didorong ke kiri, kanan, belakang.
Satu orang gadis dengan rambut blonde meneriakinya, menuding dan berucap kasar. Namun, ia masih bergeming, tak melakukan perlawanan apa pun, pasrah.
Read 77 tweets
May 10, 2021
Cundrik Ayu

Sebuah kisah misteri romantis, antara sosok penghuni keris dengan seorang pemuda.

#misteriromantis
#bacahorror
#cerpenhorror

@bacahorror
@ceritaht Image
Aku melihatnya, hampir di setiap malam. Duduk bersimpuh begitu anggun, dalam balutan kebaya cokelat dan jarik batik. Rambutnya lurus sepunggung tergerai indah, dengan selipan bunga kamboja di telinga sebelah kanan.
Ia tak melakukan apa-apa, hanya tersenyum berdiam diri di antara barang-barang antik kesayangan Kakek.

***
Read 43 tweets
Mar 7, 2021
Driji Mbah Rasimah
———————————
#threadhorror
#bacahorror
#kisah_nyata

@bacahorror
@ceritaht Image
Ini sebuah kisah nyata, dari seorang Ibu paruh baya yang bertempat tinggal di daerah kota S. Sebut saja namanya Mbak Ibah.

***
Suara mesin jahit yang berisik, memenuhi ruang tamu Mbak Ibah, ia sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya membuat tali untuk sandal. Tatkala berisik mesin beradu dengan lantunan azan isya yang syahdu, Mbak Ibah segera menghentikan aktivitasnya.
Read 59 tweets
Feb 12, 2021
Sepotong Tangan
——————————

Cerita mini horor misteri
#threadhorror #bacahorror Image
Kuberanikan diri mengintip dari balik selimut, hanya mata yang menyembul ke luar menyusuri pandang menelisik keadaan ruangan kamar inap.
Tepatnya kira-kira setengah jam yang lalu, saat baru saja aku terlelap dalam mimpi. Kurasakan sentuhan kasar di ujung kaki, membuatku berjingkat terbangun. Mataku membelalak ketika menemukan sebuah tangan pucat meraih kakiku dengan rasa yang begitu dingin.
Read 34 tweets
Dec 24, 2020
Gangguan Ummu Sibyan
———————————————

Sebuah kisah gangguan yang dialami ibu saat hamil sampai mempunyai bayi

@bacahorror @ceritaht #bacahoror #threadhorror

Sumber gambar : blogger gambar seram Image
Tahun ketiga pernikahan, pertanyaan 'kapan hamil' terasa menjadi momok seram bagiku. Berbagai hal telah kulakukan untuk mendapatkan keturunan.
Mulai dari meminum jamu-jamuan herbal, kurma muda, meminum air tetesan embun yang ditampung di bawah genteng, hingga berbagai dokter dan bidan telah kudatangi untuk konsultasi.
Read 79 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(