Bila anda percaya bahwa pohon yang baik juga akan memberikan kita buah yang baik, Gibran pantas kita anggap buah itu.
Namun apakah buah yang baik pasti akan memberi kita hasil maksimal, itu tergantung bagaimana cara kita merawatnya.
Petani tahu cara kerjanya. Mata petani tahu sejak buah itu masih berupa bunga dan maka dia tahu pula bagaimana mengelola perkara itu sehingga hasil maksimal dia dapat.
Sebagai anak dari pasangan keluarga yang baik, Gibran adalah aset.
Aset itu kini ingin dipanen, ingin diambil manfaat baik atas seharusnya baik yang sama telah dibuat oleh kedua orang tuanya. Dan maka dia diminta menjadi Walikota Solo seperti dulu bapaknya pernah.
Dia sudah buktikan bahwa dia layak menerima warisan baik atas kedua orang tuanya dan maka dia terpilih. Apakah karena prestasinya, harus jujur kita jawab bukan. Belum ada satu peristiwa pernah dibuatnya sebagai pembanding.
Itu lebih pada harapan warga kota Solo di mana hal tersebut terkait dengan bapaknya yang pernah sukses memimpin kota tersebut. Dan itu adalah beban sekaligus tantangan bagi anak muda berumur 33 tahun itu.
Di sana ada tersimpan tuntutan dia harus bisa berlaku seperti bapaknya. Tak ada yang gratis.
Menjadi masalah adalah ketika tuntutan padanya dibuat seolah harus turut jejak sang ayah. Menjadi Walikota Solo, merebut DKI dan kemudian mencapai puncak pada jabatan Presiden.
Itu baik. Tak ada hal salah atas tuntutan dan harapan seperti itu. Menjadi masalah sekali lagi adalah ketika itu seolah dipaksakan segera terjadi. Buah yang belum terlalu matang itu ingin segera dipanen.
Tahun 2024 diagendakan maju pilgub demi merebut DKI yang dianggap telah jatuh pada tangan tak tepat dan tuntutan berikutnya yang juga pasti akan menyusulnya sebagai akibat logis eforia bila benar DKI dimenangkan, tahun 2029 maju dalam pilpres.
Gibran harus kita percaya sebagai buah yang baik atas akibat pohon yang baik. Membiarkan buah itu matang di pohon adalah pilihan bijak banyak petani yang mengerti akan kualitas dan harga maksimal didapat.
Memaksanya dengan membuatnya menjadi cepat matang adalah cara pedagang demi untung sesaat.
Pilihan itu ada pada rakyat. Dia yang matang karena diperam atau alamiah di atas pohon adalah tentang pilihan dengan maksud. Bukan tentang Gibran ingin.
Membayangkan pada 2029 dia terpilih menjadi Presiden pada umur 42 tahun, bila 2 periode dia menjabat maka umur 52 tahun dia sudah akan pensiun.
Kita semua terlibat dalam cara menjebaknya menjadi pribadi tak bahagia. Secara psikologis itu pasti tak baik. Kita bisa saja berdebat panjang lebar dengan banyak dalil, tapi merasa tak lagi ada jabatan lebih tinggi lagi dapat dikejar pada umur 52 tahun pasti sesuatu banget.
"Kan bisa jadi penasehat Presiden misalnya?"
Sekali lagi, kita dapat berdebat panjang lebar bahkan dengan seabrek dalil yang pantas menurut kita.
Yang jelas, umur 52 tahun adalah umur pantas menjadi Panglima, bukan penasehat.
Cari saja rujukan bukan menerka kita ambil demi benar debat kita paksakan.
Itu bukan tentang Gibran, itu tentang kita yang gamang tak memilik sandaran kokoh bagi asa yang tergerus. Itu juga tentang mentalitas kita yang harus kembali kita tengok kesehatannya.
Sama seperti ketika kita senang dengan buah duren dan karena kita memiliki kemewahan dapat terus membelinya, itu kita beli. Di sana mabok kita tuai bukan sensasi nikmat buah tersebut kita dapat. Kita hanya memenuhi rasa ingin bukan fakta butuh.
Membiarkan buah matang di pohon dan sensasi sempurna atas rasa buah itu kita dapat adalah sama dengan membiarkan Gibran matang secara alamiah. Biarkan jalan panjang dan berliku dengan banyak batu sandungan menjadi medan tempurnya demi pribadi makin matang didapat.
Berikan kesempatan warga Solo mendapat manfaat atas hebat Gibran sebagai Walikota seperti bapaknya pernah. Warga Sololah sebagai pihak pertama yang sepantasnya menerima manfaat atas aset yang mereka simpan sejak lama.
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
B U K I T A L G O R I T M A
.
.
.
.
Dimana Asa Kita Mulai Disemai
.
.
Belum lama ini bu Sri Mulyani berujar betapa sulit negeri ini keluar dari jebakan sebagai negara berpenghasilan menengah. Bahasa kerennya middle income country.
Seperti kutukan, predikat itu tetap melekat pada kita seumur hidup.
"Apa susahnya sih menjadi negara kaya?"
Mudah bagi kita mendirikan toko kelontong sepanjang ada modal dan tempat.
Menjadikan dia besar, butuh effort. Saat toko kelontong itu hanya mampu memberi kita hasil cukup bagi sekedar makan, kita masih dianggap dalam klasifikasi miskin.
Sepertinya Isu soal pelanggaran HAM pada proyek Mandalika oleh pakar PBB untuk Hak Asasi Manusia yang mendesak Pemerintah Indonesia menghormati HAM dan hukum yang berlaku terlalu hiperbola. Berlebih-lebihan sebagai sebuah fakta.
Bukankah bila benar pemerintahan Jokowi terindikasi melanggar HAM, FZ, NP hingga barisan ondel - ondel tanpa rem sudah heboh kebakaran jenggot bukan?
Cerita itu memang pernah mencuat pada Oktober 2020 saat 15 orang pengadu dengan 17 bidang lahan mempermasalahkannya. Itu terkait tumpang tindih dan klaim lahan yang seharusnya wilayah perdata.
Bila 70% halaman rumah kita adalah air, seharusnya kita pasti lebih mengerti tentang apa itu konsep air. Kaki dan badan kita senang dengan basah-basah dan kita pandai berenang.
Kita mencari sekaligus mendapati banyak keuntungan atas air melimpah kita miliki.
Ikan dan segala jenis makhluk hidup di sana adalah makanan kita, mata pencaharian kita. Kita berperahu dan memanennya sebagai berkah.
Di sana, kita pun mengenal apa itu perahu dengan segala perniknya. Termasuk ilmu navigasi di dalamnya.
"Adakah alasan logis sehingga kita tak lagi mengenalnya? Tak mengambil manfaat atas itu?"
Sekelompok orang beratribut ormas agama kembali berulah. Dengan kasar mereka melakukan pembubaran paksa sebuah tradisi kuda kepang di Medan.
“Setan lah yang kalian puja-puja itu, kesyirikan yang disebar ke mana-mana,” ucap salah satu anggota ormas.
“Syirik itu, bubar-bubar,” ujar yang lain.
Warga dan artis acara tradisi lokal itu sempat melakukan perlawanan, namun mereka bukan lawan seimbang. Tampak dalam video seorang penari perempuan luput "dikeplak" pada kepala namun ludah yang terarah pada wajah artis tersebut tak dapat dihindarinya.
Pada tahun 1949, dunia arkeologi digemparkan oleh penemuan situs Kapal Nabi Nuh di atas pegunungan Ararat - Turki, yang diperkirakan panjangnya mencapai 150 meter.
Sebagai perbandingan, kapal induk AS Gerald R. Ford yang adalah kapal induk terbesar di dunia dan panjangnya adalah 337 meter. Kapal induk terkecil dimiliki oleh Thailand dengan panjang 182 meter.
Artinya, dari ukuran kapal yang tersangkut di Ararat Turki itu sudah mendekati ukuran sebuah kapal induk. Dengan ukuran seperti itu pula pesawat terbang sejenis Sea Harrier yang bisa mendarat secara vertikal atau helikopter dapat berfungsi dengan baik di sana.