Bagai pungguk merindukan bulan, di sana rasa ingin kita hanya akan berujung pada angan semata.
Namun bagaimana bila kebenaran 2+2 adalah 4 dan namun orang lain dibolehkan menjawab 5? Salahkah kita menggugatnya?
Dalam politik, bukan tentang benar atau tidak benar mendapat tempat namun boleh dan tidak boleh. Anda akan diijinkan untuk bertindak menjadi orang tak benar sepanjang sesuai aturan yang sudah dibuat.
Anda diijinkan menggunakan duit negara sesuka hati asalkan caranya sesuai aturan main. Mau duit itu terhambur sia-sia, mau duit itu tak pernah sedikit pun berguna bagi pembayar pajak dan rakyat, itu bukan esensi. Itu fakta benar bukan tentang kebenaran seperti yang kita kenal.
Dalam hal Gubernur DKI misalnya, adakah pak Gubernur talah melakukan kebenaran dengan bongkar pasang banyak proyek yang tampak tak berguna?
Benarkah tindakan Gubernur yang tampak senang dan bangga menghamburkan uang negara demi formula E? Menebangi ratusan pohon mahoni sebagai paru-paru kota Jakarta berusia ratusan tahun di Monas?
Bagaimana dengan proyek Damkar dan ratusan proyek tak masuk akal yang lain?
Dia memang tampak seperti orang tak benar bagi banyak pihak namun apakah dia dapat dinyatakan bersalah atas kebijakannya.
Dia DIIJINKAN. Dia diperbolehkan oleh sistem. Tak peduli itu benar atau tak benar. Mereka tidak bicara itu.
Gubernur hanya melangkah pada rel yang diberikan padanya dan maka dia boleh. Tak ada jejak dia terlihat keluar dari rel yang disediakan baginya sebagai Gubernur dan maka dia juga tak dipersalahkan.
Apa yang tampak oleh kita sebagai hal tak benar faktanya secara hukum diperbolehkan oleh sistem. Dia belanja pembangunan yang tak bermutu dan tampak demi sekedar ada proyek dapat dihadirkan, faktanya juga telah disetujui oleh aturan main.
Dia bertugas merencanakan dan partnernya yakni DPRD punya kewajiban menyetujui atau menolaknya. Itu aturan mainnya. Dan itu dia lalui dengan baik bahkan tanpa cela. Di mana dia dapat dikatakan bersalah?
"Maksudnya Anis hanya alat bagi DPRD gitu?"
Kemarahan banyak pihak pada Anis jelas salah alamat. Apa yang kita saksikan adalah cerita burung jalak yang hinggap pada kerbau. Baik jalak dan kerbau masing-masing mendapat untung dalam simbiosis mutualisme.
Bukan 11-12 sebagai istilah sama saja, apalagi bagai pinang dibelah dua dalam rupa. Ini lebih tepat seperti kiasan pucuk dicinta ulam tiba bagi keadaan. Paling tidak itu tampak dari bagaimana sumringah para yang mulia anggota DPRD DKI ketika Ahok tak lagi jadi Gubernurnya.
"Loh koq Ahok?"
Siapa tak pernah dengar ribut H Lulung DPRD dari PPP yang selalu tampak berseberangan dengan Ahok? Itu bukan tentang dua pribadi yang marahan secara personal, itu membawa gerbong.
Lulung, Taufik dan kawan-kawan selalu tampak tak pernah akur dengan Ahok sebagai Gubernur dan itu selalu terkait dengan anggaran. Ahok tak mudah diajak "nekuk", itulah gambar sederhananya.
"Akur kok...Tadi sama Pak Taufik akur. Kalau sama-sama nilep ya nggak akur. Tapi kalau sama-sama oke, ya akur,". Itu pernyataan Ahok saat ditanya wartawan terkait anggaran siluman dalam APBD 2014.
Pun pada RAPBD 2015, Mendagri Tjahjo Kumolo bahkan sempat mengusulkan digunakannya angka APBD 2014 bila DPRD dan Gubernur masih tak bertemu pada titik sama dalam bersepakat. Keduanya tampak sering dalam saling tegang.
Intinya, Ahok bukan Gubernur tepat bagi daerah dengan APBD terbesar di Indonesia yang jumlahnya mencapai lebih dari 80 triliun tiap tahunnya bagi banyak politisi. Duit sebesar itu seolah tak boleh disentuh demi senang bersama dan Ahok adalah biangnya.
Dia terlalu idealis bagi budaya Jakarta seharusnya.
.
.
Maka melihat peristiwa Ahok dihukum penjara hanya semata faktor hukum karena penistaan agama, itu sama seperti dengan ketika kita dapat dengan sangat jelas melihat semut di seberang sungai
dan tak terlihat kadal yang "nyelip" di pelupuk mata. Itu sama dengan abai dengan nalar gamblang demi percaya mimpi yang harus masih ditebak.
.
.
Ahok terpuruk, tak perlu dibela apalagi harus ditolong. Bahwa itu terlihat seolah sebagai peristiwa politik semata, itulah realitas kita sebagai bangsa yang mudah dibuat belok.
Dan ketika Anies sebagai cagub menang, dan dia bukan kader dari partai mana pun juga, apalagi dia sebagai pribadi terlihat sangat menghargai apa itu "kebersamaan", bersatu kita teguh bercerai kita bangkrut langsung menggempita.
Gotong royong dalam saling memborong menemukan pijakan sempurnanya.
Itu seperti pucuk dicinta ulam tiba. Para yang mulia anggota DPRD mendapat partner pantas bagi kerjasama yang baik tanpa harus selalu ribut terdengar lagi.
Dan itu benar terjadi, suara keluar terdengar dari balaikota maupun gedung DPRD bukan lagi teriak dan maki sejak saat dia mulai menjabat, melainkan gelak dan tawa gembira. Everybody happy...😉
Maka, rasa heran kita ketika banyak pihak tak berbicara apalagi menggugat banyak kebijakannya yang tak masuk akal, seharusnya bisa diterima akal sehat. Sebagai sebuah bangunan, itu sangat kokoh. Keduanya saling mencengkeram dalam satu tujuan yang sama.
"Adakah itu terkait dengan kepentingan Partai? Bukankah siapa mereka di DPRD adalah kepanjangan tangan partai politik?"
Sering orang dengan mudah menghubungkan Anis hanya dengan PKS dan Gerindra. Itu terkait dengan partai pengusung saat dia menjadi calon gubernur.
Namun ketika fakta bahwa hampir semua partai seolah tak bersuara pada setiap kebijakan kontroversialnya padahal rakyat bukan hanya bersuara tapi sudah berteriak, kita tak mudah mencari rujukan bagaimana menghubungkannya.
Bahkan kita sering dibuat bingung kenapa Presiden pun seolah diam bukan? Bukankah dalam pikiran sederhana kita menganggap Presiden punya hak marah atau menegur dan namun kita tak pernah dengar? Maka narasi gubernur rasa presiden kita dengar.
Itu seperti benang kusut yang sengaja dibuat bagi maksud kusut itu sendiri. Terlalu banyak tumpang tindih kepentingan dan maka Presiden tak harus berbicara.
Ada banyak hal tak mungkin dibuat benderang karena sistim ingin itu.
Dan menjadi Presiden pun bukan lantas berpangkat lebih tinggi dibanding sistim bukan? Itu tampak dalam banyak hal dan namun kita tak pernah bertemu dengan benang merahnya.
.
.
"Duitkah benang merahnya?"
Mendirikan partai politik itu mahal banget. Itu baru dari ongkos bagaimana mendirikannya, apalagi membiayainya. Butuh uang sangat banyak dan sialnya itu tak terpenuhi oleh aturan yang ada.
Pada 2023 nanti, negara dalam APBN nya berjanji akan mengalokasikan dana bagi partai politik lebih dari 6 triliun rupiah tiap tahun. Itu bukan jumlah yang besar. Termasuk kecil bila dibandingkan banyak negara lain juga mengalokasikannya.
Dibanding dengan APBN 2021 yang berjumlah 2.750 triliun, itu tak sampai 0.5% nya.
.
.
Saat ini dana didapat oleh parpol adalah 1.000 rupiah per suara sah di DPR, 1.200 rupiah di DPRD Propinsi dan 1.500 rupiah pada DPRD tingkat Kabupaten dan Kota.
Dengan APBD paling moncer di Indonesia dan berjumlah lebih dari 80 triliun rupiah, itu sangat sesuatu banget. Saat Jokowi dan dilanjutkan Ahok menjadi Gubernurnya, aturannya sangat kaku.
Bukan hal aneh bila partai paling beruntung adalah partai pemenang pilgub itu sendiri. Namun, bahkan pada partainya sendiri, Ahok tak banyak memberi pundi-pundi. Dia terlalu kaku untuk cerita itu.
Berbeda dengan Anis. Itu langsung tampak pada besaran angka bantuan keuangan bagi Partai Politik. Bila pada Propinsi lain bantuan itu senilai 1.200 rupiah per suara sah diberikan, di tahun 2019 di DKI diusulkan naik menjadi 2.400 rupiah per suara sah didapat,
namun faktanya justru dikasih 5.000 rupiah per suara sah. Luar biasa..!!
.
.
Demikian pula saat ide menaikkan gaji, tunjangan dan dana kegiatan anggota DPRD DKI yang konon menjadi sekitar 700 hingga 800 juta per bulan, itu tampak sudah disepakati.
Beruntung ada PSI, partai yang dibilang gurem dan terisi oleh anak-anak muda yang masih memiliki idealisme.
.
.
Politisi PSI Andy Budiman kemudian membuat petisi penolakan kenaikan gaji DPRD DKI Jakarta melalui laman changedotorg.
Mengatasnamakan warga Ibu Kota, Andy berkeberatan lantaran pajak warga Jakarta dipakai untuk memperkaya para anggota DPRD.
.
.
Keterlaluan sikap dalam makna, tampak pada moment bahwa negeri ini sedang krisis dan namun mereka tak peduli.
Tak ada empati atas banyaknya warga Jakarta tak lagi bekerja akibat pandemi covid-19 & mereka masih ingin mengambil uang mudah.
.
.
Olga Lydia, Goenawan Mohamad, Sarwono Kusumaatmadja hingga Burhanudin sedikit dari banyak orang hebat warga Jakarta turut tanda tangani petisi itu.
Tertampar dan marah atas sikap PSI, mereka ngambek. Itu tampak dalam walk out 8 dari 9 fraksi. Insiden walk out seluruh anggota fraksi DPRD DKI Jakarta selain Fraksi PSI pada sidang paripurna pembahasan perubahan Perda No 1 Tahun 2014 terjadi pada Senin 14/12/2020.
Di sana, PSI si gurem itu sedang mencoba berdiri melawan arus demi kepentingan rakyat. PSI memiliki legalitas tersebut dan kemudian memakainya sebagai hak sekaligus rasa wajib bagi warga Jakarta.
Pada cerita yang lain, bila benar hanya Gubernur sepihak lah yang dianggap tak berpihak pada rakyat, dia pasti sudah tersingkir. Agenda penolakan pertanggung jawabannya pernah tampak berpotensi untuk ditolak dan pintu bagi cara menyingkirkannya sempat hampir terbuka.
Namun fraksi PDIP menyelamatkannya. PDIP mengambil peran strategis demi selamat sang Gubernur.
PSI, PAN, Golkar dan Nasdem mengambil sikap untuk menolak pertanggungjawaban yang disampaikan Gubernur Anies Baswedan namun partai yang kita pikir masih terluka dan marah padanya akibat Ahok jagoannya di Pilgub dijatuhkan dengan cara tak bermartabat, justru menyelamatkannya.
PDIP sebagai pemilik kursi terbesar yakni 25 kursi punya peluang itu. Jumlah gabungan ke empat partai yang menolak adalah 30 dan bila ditambah 25 milik PDIP, akan menjadi 55 kursi dan itu sudah lebih dari 50% dari total 106 kursi yang ada.
Itu jumlah lebih dari cukup bagi pintu pemakzulan terbuka.
.
.
Faktanya usai ditinggalkan empat fraksi, ruang fraksi yang menyisakan lima fraksi lain yakni, PDIP, Gerindra, Demokrat, PKS, PKB, dan PPP menyatakan setuju untuk mengesahkan P2APBD DKI 2020. Anis selamat.
Menarik benang merah atas catatan yang masih segar dalam ingatan kita itu, di sana tampak bahwa simbiosis mutualisme itulah benang tersebut. Simbiosis mutualisme itu benar memunggungi rakyat dan namun kita sulit mengakuinya.
Ada rasa berat hati bahwa partai politik yang kita dukung bekerja bersama dengan Gubernur yang kita anggap kontroversial tersebut.
PSI si gurem memang tampak paling konsisten namun sebagai akibat, PSI pula partai paling diuntungkan. Itu terkait dengan seandainya 800 juta per bulan yang diperjuangkan 8 fraksi yang ada akhirnya dipenuhi, mungkinkah PSI tak mendapatkannya? PSI tetap dapat.
PSI mendapat 2 keuntungan sekaligus yakni penilaian baik dari rakyat karena militansinya membela hak rakyat dan sekaligus dia tetap dapat 800 juta yang kemarin berusaha untuk digagalkannya.
Menjadi berlipat ganda keuntungan Itu, bila ketika 800 juta yang didapatkannya langsung dikembalikan pada rakyat, itu cerita yang lebih hebat. Seharusnya PSI bisa.
Namun bermimpi PSI dapat melawan arus kuat itu dan menang, itu Like the worst missed the moon atau seperti pungguk merindukan bulan, impossible. Percaya atau tidak, itu memberi warna lain pada muram wajah politik kita di Jakarta.
Pernah dengar film tahun 70 atau 80an yang berjudul perawan di sarang penyamun? Bukan berarti PSI si perawan dan 8 partai yang lain adalah penyamun, itu analogi tak tepat. Tapi kita bisa tertawa hanya sekedar untuk dapat membayangkannya....😉
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ibuku sangat cantik dengan kebayanya. Pun ibu dan ayah saudaraku dengan baju bodo, baju kurung, ulee balang, aesan gede, pangsi, king bibinge, cele dan ratusan nama pakaian adat kekayaan budaya kita. Mereka terlihat cantik dan ganteng.
Adakah neraka pasti dituju karena ibu dan ayah saudara kita cantik dan ganteng dengan pakaian tradisi kebanggan leluhur? Sepertinya hanya mereka yang mabok yang mendalilkan hal seperti itu.
Agama tidak berbaju. Pun surga tak bersyarat pakaian. Paijo Jawa yang Islam, Tarigan Batak yang Kristen, Gde si Bali yang Hindu hingga Euis yang Sunda Wiwitan tak berebut surga melalui baju.
Dalam hal kerukunan sebagai sesama anak bangsa, harus kita akui bahwa kita tinggal kelas. Ga pernah naik kelas dan terus masih duduk dibangku yang sama sejak puluhan tahun lalu dan kita pun masih tampak tak malu.
Terlalu banyak perkara kita ungkit. Terlalu sibuk cara kita mencari sisi berbeda diantara kita dibanding dengan kesamaan kita dalam satu bangsa misalnya.
Ketika Presiden menggaungkan nikel sebagai unggulan bangsa ini, komunis sebagai cap PKI pd wajah negeri tirai bambu itu mereka sematkan.
“Orang hitam tak boleh masuk surga, jelek surga kalau ada orang hitam! Aku nggak selera kalau di surga orang hitam!"
Itu kalimat yang keluar dari mulut panjul si ahli ekosistem surga. Dia tahu benar setiap sudut surga dihuni siapa bahkan isi tiap kamar yang disediakan di sana berikut ranjang jenis apa dan berapa banyak yang telentang di atasnya demi menunggu kedatangannya.
Kadang dia berucap ada 72, tapi ketika maruk caranya berkhayal tak juga mampu membuatnya puas, ribuan bidadari dia hadirkan sambil iler menetes dengan tampak mata berbinar membayangkannya.
ADA BUDIMAN DI BUKIT ALGORITMA
.
.
.
.
RIDWAN KAMIL TERSEDAK
.
.
.
.
"Kenapa Silicon Valley sukses? Saya kasih tahu, karena di sana (AS) ada kumpulan universitas berdekatan dengan kumpulan industri, berkumpul dengan finansial institusi".
Demikian Ridwan Kamil menjawab pertanyaan wartawan terkait heboh Bukit Algoritma yang digadang akan mengikuti sukses pola kerja Silicon Valley.
Lebih lanjut dia mengatakan, "Kalau tiga poin tadi tidak hadir dalam satu titik, yang namanya istilah Silicon Valley itu hanya 'gimmick-branding' saja,"
Sementara 3 syarat menurut kang Emil adlh integrasi antara universitas, industri, dan lembaga finansial. Itu harus terpenuhi.
Ketika anda petani, dan anda tahu bahwa 5 bulan lagi kopi di kebun seluas 11 hektar milik anda siap panen, adakah persiapan khusus harus dilakukan?
Yang jelas, Itu panenan besar. Itu bisa dan sebaiknya harus dilihat dari sisi pandang sebagai pintu masuk bagi langkah lebih besar ingin kita capai. Itu juga moment strategis bagi masa depan harus mendapat pijakan.
Sama sekali tak boleh kita lewatkan dan maka segala persiapan, perhitungan hingga hal-hal detil terkait masa panen itu menjadi concern kita. Itu hal logis atas pandangan kaum yang peduli dengan masa depan.
SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
.
.
.
Menang atas apakah 1 Syawal kita maknai? Ramadan adalah jembatan itu.
Kita tak perlu tersinggung apalagi marah karena sebab kritik sebagian saudara kita bahwa di masa Ramadan ini kita lebih boros padahal secara logika seharusnya tidak.
Bukan mereka mencibir karena tanpa sebab, itu memang benar terjadi pada kita. Itu fakta yang dengan mudah terlihat pada statistik pasar. Dan pasar, tak pernah bohong.
Menjemput kemenangan 1 Syawal bukan tentang tangan kanan berpedang, tangan kiri bertameng dan tubuh terbungkus zirah kita maju merebutnya, hati terbuka dalam belas kasih pada sesamalah asa kita berbisik ingin itu didengar.