“Orang hitam tak boleh masuk surga, jelek surga kalau ada orang hitam! Aku nggak selera kalau di surga orang hitam!"
Itu kalimat yang keluar dari mulut panjul si ahli ekosistem surga. Dia tahu benar setiap sudut surga dihuni siapa bahkan isi tiap kamar yang disediakan di sana berikut ranjang jenis apa dan berapa banyak yang telentang di atasnya demi menunggu kedatangannya.
Kadang dia berucap ada 72, tapi ketika maruk caranya berkhayal tak juga mampu membuatnya puas, ribuan bidadari dia hadirkan sambil iler menetes dengan tampak mata berbinar membayangkannya.
Orang hitam tak boleh masuk surga diucap oleh turunan imigran yang tak paham bahwa di timur wilayah Indonesia berdiam banyak saudara berkulit hitam. Papua, Ambon, NTT bahkan Jawa Keling pun banyak bukan?
Dia berucap dalam bangga dengan bungkus putih daster lambang sucinya dengan kepala terikat balutan sebagai penanda betapa tinggi pangkat yang melekat padanya.
Dalam lapar dan duka, siapa kita dibalik fana tubuh ini terungkap. Saudara kita yang sebagian besar berkulit hitam dan terdampak bencana di NTT bercerita. Dalam lapar mereka justru memberi.
Bukan pigmen dalam kulit kita menunjuk, mutiara hati terpendam dalam didikan moral atas budaya luhur para leluhur tampak bersinar tak terhalang gelap warna kulit. Para pemuda NTT mengajarkannya pada kita.
"Saya dengar kalian kalau mau makan minum tunggu anteran dari rumah ya? Jangan begitu. Minum dan makan saja dari donasi ini nggak apa. Jangan sampai ada kabar kalian mati kelaparan di atas beras."
Ucapan lantang itu terdengar dari seorang muda bernama Doni, caleg DPRD Kabupaten Alor dari @psi_id
Itu dilakukan Doni karena anak-anak muda berkulit hitam tersebut demikian jujur dan tahu diri. Saat lapar dan lelah akibat mengangkut bantuan bencana dalam jumlah besar dan jauh dengan medan tak mudah,
tak sedikit pun pernah terlintas dalam pikir mereka ingin mengambil hak orang lain meski hanya minuman.
.
.
Untuk kebutuhan makan dan minum selama mereka terlibat angkut mengangkut itu, mereka mengandalkan suplai dari rumah.
Mereka adalah anak-anak muda yang kampungnya tak terdampak bencana secara langsung. Mereka tak merasa berhak atas bantuan bencana itu meski mereka lapar dan haus dan maka mereka tetap mengandalkan hantaran dari rumahnya masing-masing.
Bukan sekedar jujur, hormat dan peka pada korban yang lebih berhak adalah realitas moral sangat tinggi mereka berikan dalam totalitas. Dan itu bukan berangkat dan hadir dari mereka yang bersekolah tinggi.
Dari manakah inner beauty seperti itu memancar dan lahir?
Yang jelas, bukan dari manusia macam panjul. Dia tak mungkin kenal dengan kedalaman makna seperti itu. Hidupnya bukan berasal dari kemanusiaan. Dia lahir atas kecelakaan sejarah kita dalam berbangsa dan namun minus kemanusiaan.
Dan maka, bau tajam mulut tak beresensi lebih bermakna dibanding karya.
"Beneran itu terjadi?"
Seorang Susy Rizky Wiyantini bercerita. Pada 13-14 April 2021 yang lalu Susy seorang relawan kemanusiaan yang cukup terkenal dengan kegiatannya berbagi
dan menyalurkan bantuan dari para donatur sejak beberapa kali kerusuhan di Jakarta pergi ke NTT dan menuliskannya. Kesaksiannya berbicara seperti itu.
Kesaksiaannya berungkap fakta menyejukkan betapa sebagian anak bangsa ini ada yang masih menjadi Indonesia seperti dulu kita pernah. Mereka Indonesia yang berkulit hitam dan tak mendamba surga seperti panjul ingin. Mereka hanya berharap menjadi manusia seharusnya.
Susy, dan Doni kader PSI itu pun sempat diminta singgah oleh salah seorang Kepala Desa di mana mereka berdua melewati desa tersebut saat perjalanan pulang.
Dengan keramahan ala desa, makan malam dihidang dalam rupa sederhana. Sayur jantung pisang dengan telor dadar mereka dijamu dan sejumput jujur senyum mengembang ramah dari pak Kades beserta istri menghias malam itu.
Indonesia kita adalah tentang kemanusiaan mendapatkan tempatnya dan masyarakat NTT berikut Kepala Desanya masih bercerita bangga dengan kisah itu.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Bagai pungguk merindukan bulan, di sana rasa ingin kita hanya akan berujung pada angan semata.
Namun bagaimana bila kebenaran 2+2 adalah 4 dan namun orang lain dibolehkan menjawab 5? Salahkah kita menggugatnya?
Dalam politik, bukan tentang benar atau tidak benar mendapat tempat namun boleh dan tidak boleh. Anda akan diijinkan untuk bertindak menjadi orang tak benar sepanjang sesuai aturan yang sudah dibuat.
Anda diijinkan menggunakan duit negara sesuka hati asalkan caranya sesuai aturan main. Mau duit itu terhambur sia-sia, mau duit itu tak pernah sedikit pun berguna bagi pembayar pajak dan rakyat, itu bukan esensi. Itu fakta benar bukan tentang kebenaran seperti yang kita kenal.
ADA BUDIMAN DI BUKIT ALGORITMA
.
.
.
.
RIDWAN KAMIL TERSEDAK
.
.
.
.
"Kenapa Silicon Valley sukses? Saya kasih tahu, karena di sana (AS) ada kumpulan universitas berdekatan dengan kumpulan industri, berkumpul dengan finansial institusi".
Demikian Ridwan Kamil menjawab pertanyaan wartawan terkait heboh Bukit Algoritma yang digadang akan mengikuti sukses pola kerja Silicon Valley.
Lebih lanjut dia mengatakan, "Kalau tiga poin tadi tidak hadir dalam satu titik, yang namanya istilah Silicon Valley itu hanya 'gimmick-branding' saja,"
Sementara 3 syarat menurut kang Emil adlh integrasi antara universitas, industri, dan lembaga finansial. Itu harus terpenuhi.
Ketika anda petani, dan anda tahu bahwa 5 bulan lagi kopi di kebun seluas 11 hektar milik anda siap panen, adakah persiapan khusus harus dilakukan?
Yang jelas, Itu panenan besar. Itu bisa dan sebaiknya harus dilihat dari sisi pandang sebagai pintu masuk bagi langkah lebih besar ingin kita capai. Itu juga moment strategis bagi masa depan harus mendapat pijakan.
Sama sekali tak boleh kita lewatkan dan maka segala persiapan, perhitungan hingga hal-hal detil terkait masa panen itu menjadi concern kita. Itu hal logis atas pandangan kaum yang peduli dengan masa depan.
SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
.
.
.
Menang atas apakah 1 Syawal kita maknai? Ramadan adalah jembatan itu.
Kita tak perlu tersinggung apalagi marah karena sebab kritik sebagian saudara kita bahwa di masa Ramadan ini kita lebih boros padahal secara logika seharusnya tidak.
Bukan mereka mencibir karena tanpa sebab, itu memang benar terjadi pada kita. Itu fakta yang dengan mudah terlihat pada statistik pasar. Dan pasar, tak pernah bohong.
Menjemput kemenangan 1 Syawal bukan tentang tangan kanan berpedang, tangan kiri bertameng dan tubuh terbungkus zirah kita maju merebutnya, hati terbuka dalam belas kasih pada sesamalah asa kita berbisik ingin itu didengar.
Ketika teriak kita bersama dan diksi "LAWAN" kita ramaikan, aparat bertindak. Apa yang terjadi dalam ruang sempit tak terlihat aparat menjadi benderang dan negara bertindak.
Sepuluh orang ditangkap dan 6 diantaranya telah memenuhi unsur. Mereka adalah ormas yang membubarkan acara kuda kepang di Medan.
"Untuk melampiaskan kekesalannya serta jangan sampai terjadi pemukulan, maka dia pilih dengan cara tindakan ringan yaitu meludahi. Tapi intinya pembubaran itu karena tidak ada izin dan melanggar prokes COVID-19" demikian ungkap salah seorang pimpinan ormas itu.
B U K I T A L G O R I T M A
.
.
.
.
Dimana Asa Kita Mulai Disemai
.
.
Belum lama ini bu Sri Mulyani berujar betapa sulit negeri ini keluar dari jebakan sebagai negara berpenghasilan menengah. Bahasa kerennya middle income country.
Seperti kutukan, predikat itu tetap melekat pada kita seumur hidup.
"Apa susahnya sih menjadi negara kaya?"
Mudah bagi kita mendirikan toko kelontong sepanjang ada modal dan tempat.
Menjadikan dia besar, butuh effort. Saat toko kelontong itu hanya mampu memberi kita hasil cukup bagi sekedar makan, kita masih dianggap dalam klasifikasi miskin.