SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
.
.
.
Menang atas apakah 1 Syawal kita maknai? Ramadan adalah jembatan itu.
Kita tak perlu tersinggung apalagi marah karena sebab kritik sebagian saudara kita bahwa di masa Ramadan ini kita lebih boros padahal secara logika seharusnya tidak.
Bukan mereka mencibir karena tanpa sebab, itu memang benar terjadi pada kita. Itu fakta yang dengan mudah terlihat pada statistik pasar. Dan pasar, tak pernah bohong.
Menjemput kemenangan 1 Syawal bukan tentang tangan kanan berpedang, tangan kiri bertameng dan tubuh terbungkus zirah kita maju merebutnya, hati terbuka dalam belas kasih pada sesamalah asa kita berbisik ingin itu didengar.
Dengan memberi sebagian milik kita atas rasa solider di bulan baik ini, itu adalah salah satu cara membuka diri dalam belas kasih pada sesama.
Jadi, mengeluarkan lebih uang milik kita saat bulan Ramadan tak perlu harus kita batalkan karena kritik itu.
Ada moment baik justru dapat kita gandakan. Di sana, kita dapat berbagi atas selisih lebih yang kita miliki pada mereka yang lama tak merasakannya.
Berbagi pada mereka yang tak seberuntung kita. Bukankah ada 1 kali siang kita tak makan dan itu berarti berhemat 1 piring makan dari kebiasaan kita?
Bukankah 1 piring itu berguna bagi sesama dan kita punya peluang berbagi 30 piring selama sebulan berpuasa?
Hitung saja bila di rumah kita ada 5 orang, bukankah dalam sehari kita dapat berbagi pada 5 saudara kita di luar sana?
Bagaimana bila di negara ini ada 10 juta keluarga berbuat seperti itu? Bukankah setiap hari akan tersedia 50 juta piring sehari untuk berbuka dengan makanan layak pada saudara kita?
Bukankah selisih 1 kali makan siang kita yang akan kita bagikan pada mereka yang berhak dengan hidangan enak dan maka dibilang boros karena kebiasaan yang kita buat pada bulan ini dapat dinikmati pula oleh mereka yang tak seberuntung kita?
Secara tidak langsung, kita pun telah membantu pedagang, petani hingga para peternak yang sangat berharap hanya pada bulan inilah sekali dalam setahun rejeki dapat mereka jaring. Itu sangat berarti.
Di sisi lain, konsumsi yang naik adalah hal baik bagi pasar. Konsumsi domestik kita dalam cara negara berhitung akan menggairahkan pasar yang lama telah lesu. Itu baik bagi ekonomi kita.
Cara boros kita di bulan baik ini adalah tentang berusaha memberi. Tak ada yang salah. Kita tetap berhemat untuk diri kita sendiri karena hakekat puasa adalah menahan diri.
Kita memberi, karena hakekat kita berpuasa adalah juga tentang bibit kebaikan dalam diri kita yang selalu harus disemai kembali. Itu ada dan disediakan pada bulan penuh berkah ini, bulan Ramadan.
Logis atas sebab puasa adalah lapar dan haus. Rentan batas marah dan emosi kita akan tampak sangat tipis ketika kita lapar dan haus dan maka semua hal buruk mudah terjadi ketika kita lapar.
Di saat kita lapar dan haus dan kita mampu tetap berpikir jernih apalagi berbuat kebaikan, itu seperti seorang miskin yang menyumbang dari kekurangannya. Itu butuh kesungguhan dan kesungguhan hanya lahir dari mereka yang benar-benar teruji lahir dan batin.
Itu bukan tentang akan mendapat apa kita nanti. Lebih jauh lagi, itu akan berakibat sebaik apa bagi mereka yang mendapat intensi dan peduli kita ini tentang seberapa BERMAKNA KEHADIRAN KITA BAGI KEMANUSIAAN
SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ketika anda petani, dan anda tahu bahwa 5 bulan lagi kopi di kebun seluas 11 hektar milik anda siap panen, adakah persiapan khusus harus dilakukan?
Yang jelas, Itu panenan besar. Itu bisa dan sebaiknya harus dilihat dari sisi pandang sebagai pintu masuk bagi langkah lebih besar ingin kita capai. Itu juga moment strategis bagi masa depan harus mendapat pijakan.
Sama sekali tak boleh kita lewatkan dan maka segala persiapan, perhitungan hingga hal-hal detil terkait masa panen itu menjadi concern kita. Itu hal logis atas pandangan kaum yang peduli dengan masa depan.
Ketika teriak kita bersama dan diksi "LAWAN" kita ramaikan, aparat bertindak. Apa yang terjadi dalam ruang sempit tak terlihat aparat menjadi benderang dan negara bertindak.
Sepuluh orang ditangkap dan 6 diantaranya telah memenuhi unsur. Mereka adalah ormas yang membubarkan acara kuda kepang di Medan.
"Untuk melampiaskan kekesalannya serta jangan sampai terjadi pemukulan, maka dia pilih dengan cara tindakan ringan yaitu meludahi. Tapi intinya pembubaran itu karena tidak ada izin dan melanggar prokes COVID-19" demikian ungkap salah seorang pimpinan ormas itu.
B U K I T A L G O R I T M A
.
.
.
.
Dimana Asa Kita Mulai Disemai
.
.
Belum lama ini bu Sri Mulyani berujar betapa sulit negeri ini keluar dari jebakan sebagai negara berpenghasilan menengah. Bahasa kerennya middle income country.
Seperti kutukan, predikat itu tetap melekat pada kita seumur hidup.
"Apa susahnya sih menjadi negara kaya?"
Mudah bagi kita mendirikan toko kelontong sepanjang ada modal dan tempat.
Menjadikan dia besar, butuh effort. Saat toko kelontong itu hanya mampu memberi kita hasil cukup bagi sekedar makan, kita masih dianggap dalam klasifikasi miskin.
Sepertinya Isu soal pelanggaran HAM pada proyek Mandalika oleh pakar PBB untuk Hak Asasi Manusia yang mendesak Pemerintah Indonesia menghormati HAM dan hukum yang berlaku terlalu hiperbola. Berlebih-lebihan sebagai sebuah fakta.
Bukankah bila benar pemerintahan Jokowi terindikasi melanggar HAM, FZ, NP hingga barisan ondel - ondel tanpa rem sudah heboh kebakaran jenggot bukan?
Cerita itu memang pernah mencuat pada Oktober 2020 saat 15 orang pengadu dengan 17 bidang lahan mempermasalahkannya. Itu terkait tumpang tindih dan klaim lahan yang seharusnya wilayah perdata.
Bila anda percaya bahwa pohon yang baik juga akan memberikan kita buah yang baik, Gibran pantas kita anggap buah itu.
Namun apakah buah yang baik pasti akan memberi kita hasil maksimal, itu tergantung bagaimana cara kita merawatnya.
Petani tahu cara kerjanya. Mata petani tahu sejak buah itu masih berupa bunga dan maka dia tahu pula bagaimana mengelola perkara itu sehingga hasil maksimal dia dapat.
Sebagai anak dari pasangan keluarga yang baik, Gibran adalah aset.
Aset itu kini ingin dipanen, ingin diambil manfaat baik atas seharusnya baik yang sama telah dibuat oleh kedua orang tuanya. Dan maka dia diminta menjadi Walikota Solo seperti dulu bapaknya pernah.
Bila 70% halaman rumah kita adalah air, seharusnya kita pasti lebih mengerti tentang apa itu konsep air. Kaki dan badan kita senang dengan basah-basah dan kita pandai berenang.
Kita mencari sekaligus mendapati banyak keuntungan atas air melimpah kita miliki.
Ikan dan segala jenis makhluk hidup di sana adalah makanan kita, mata pencaharian kita. Kita berperahu dan memanennya sebagai berkah.
Di sana, kita pun mengenal apa itu perahu dengan segala perniknya. Termasuk ilmu navigasi di dalamnya.
"Adakah alasan logis sehingga kita tak lagi mengenalnya? Tak mengambil manfaat atas itu?"