Brii Profile picture
22 Apr, 110 tweets, 11 min read
Di daerah terpencil, banyak kisah mencekam yang gak masuk di akal, tapi kejadian.

Banyak orang yang sukar untuk percaya, sampai benar-benar merasakan sendiri keseramannya.

Ada satu kisah telaga kecil di desa terpencil, pedalaman Sumatera.

Simak di sini, di Briistory..

***
Aku Rendri, awal tahun 2002 ditugaskan oleh perusahaan tempatku bekerja untuk tinggal di satu desa terpencil di pedalaman Sumatera.
Tugasku adalah mensosialisasikan berbagai produk pertanian dan perkebunan ~termasuk pupuk~ yang kami produksi, kepada penduduk (khususnya petani) di desa itu.
Yah, namanya juga tugas, mau gak mau harus menerima dan menjalaninya. Intinya seperti itu, tugasku mengajarkan petani dalam menggunakan produk perusahaan dari sejak awal tanam sampai akhirnya panen tiba.
Awalnya, aku yang masih lajang, berpikir banyak positifnya dari tugas ini, bisa tinggal di tempat yang sama sekali belum pernah aku kunjungi, menghirup segarnya udara daerah pedalaman, menikmati tenangnya kehidupan yang sangat bertolak belakang dengan yang aku jalani di Jakarta.
Bisa menyepi sementara waktu, hidup tenang.
Tapi, pada prosesnya, ternyata banyak kendala yang harus dihadapi dan lalui. Kendala yang terkait dengan pekerjaan maupun bukan, tapi tetap saja harus aku jalani semua.
Desa tempatku bertugas ini letaknya dekat dengan perbatasan Lampung dan Sumatera Selatan, masih masuk di wilayah Sumsel. Sangat terpencil, berjarak sekitar satu setengah jam dari kota terdekat, itu pun bukan kota besar.
Desa yang masih hanya bisa dijangkau dengan kendaraan roda dua, akan memerlukan perjuangan ekstra keras apabila memaksa menggunakan roda empat, bisa tapi susah.
Dengan keadaan seperti itu jadinya aku harus mengerahkan fisik dan tenaga sedari awal menginjakkan kaki di sini. Ke mana-mana lebih banyak jalan kaki, motor hanya digunakan kalau harus bepergian ke kota.
Oh iya, di sini aku tinggal menumpang di rumah salah satu penduduk, Pak Haji Ramli namanya.

Pak Haji Ramli merupakan salah satu pemuka desa, orang yang sangat dihormati. Beliau memiliki anak laki-laki yang bernama Iwan, pemuda berusia 23 tahun.

Begitulah singkat ceritanya..
Yang pasti, di desa ini aku mendapat satu penggalan fase hidup yang belum pernah ku alami sebelumnya, satu penggalan aneh yang mengoyak nalar, fase seram di luar jangkau logika.

Telaga kecil, di pedalaman Sumatera.

***
“Sudah lama Mas, emang sudah dari jaman dulu desa ini terkenalnya begitu, selain hasil tani dan kebun yang bagus, juga terkenal dengan keangkerannya, khususnya telaga yang di belakang itu, Hehe.”
Itu kalimat yang meluncur tanpa beban dari mulut Iwan, aku yang jadi lawan bicara agak aneh mendengarnya.
“Kok kalian seperti gak kelihatan takut ya Wan, apa mungkin karena sudah terbiasa?”

“Gak gitu juga Mas, kami masih takut kok, lebih memilih untuk menghindar kalau bertemu dengan yang begituan.” jawab Iwan.
Pada satu malam, aku dan Iwan duduk di beranda rumah seperti biasanya, berbincang ditemani kopi dan rokok.
Aku yang pada saat itu baru tiga bulan tinggal, membuka percakapan dengan bertanya perihal omongan warga yang aku dengar gak sengaja ketika sedang sosialisasi pupuk pada siang hari sebelumnya.
“Tadi Pak Ridwan cerita, istrinya melihat sekelebatan hantu perempuan terbang melayang di atas telaga, ketika sedang lewat melintas di pinggirannya. Kok serem ya.”
Telaga? Iya, ternyata di desa ini ada telaga, telaga yang nantinya akan memberikan pengalaman seram, gak akan pernah aku lupa.
Selebihnya dalam perbincangan, Iwan bercerita banyak tentang telaga ini, telaga yang gak terlalu besar, luasnya mungkin hanya seukuran lapangan sepak bola.
Aku gak tahu sejarah dulunya bagaimana, tapi katanya telaga ini sudah ada sejak kakeknya Iwan masih kecil, berarti sudah sangat lama.
Letaknya agak di pinggiran desa, tapi kalau hendak melakukan perjalanan ke luar ~entah ke desa lain atau ke kota~ penduduk desa harus melewati telaga.
Tetapi kalau hari sudah mulai gelap, gak akan ada yang berani lewat jalan setapak di pinggirnya, lebih memilih jalan agak memutar walaupun lebih jauh jarak dan waktu tempuhnya.
Tentu saja, aku sudah beberapa kali melintas lewat telaga itu.
Mengesampingkan cerita-cerita seram yang beredar, aku bisa bilang kalau telaga ini merupakan telaga yang indah.
Walau gak terlalu jernih, tapi airnya cukup bersih. Pinggir-pinggirnya dipenuhi tanaman menjalar dan rerumputan, sisi lebih luarnya lagi ada banyak pepohonan yang berdiri rapat mengelilingi, hal inilah yang membuat suasananya jadi teduh walaupun pada siang hari bolong.
Di salah satu sudutnya, ada deretan kayu yang menjorok ke tengah, seperti tempat untuk menyandarkan perahu, tapi gak besar, kira-kira hanya empat meter panjangnya.
Entah peruntukan sebenarnya untuk apa, tapi sudah beberapa kali aku duduk sendirian di “dermaga” kecil ini ketika sedang dalam perjalanan pulang dari sosialisasi, mampir sebentar untuk sekadar melepas lelah menikmati udara sore, mendapatkan ketenangan yang hakiki.
“Jangan sering-sering sendirian di telaga itu Mas, hehe.” Begitu Iwan bilang pada suatu hari.

Tentu saja aku menanyakan alasannya, “Emangnya kenapa Wan? Itu telaganya bagus loh, indah menenangkan.”
“Pokoknya jangan Mas, takut nanti ada apa-apa.”

Jawaban Iwan menggantung, tapi aku tahu arahnya ke mana.
Ya begitulah, penduduk desa ini dan desa lain terdekat, malah menganggap kalau telaga ini merupakan telaga angker, sudah gak terhitung lagi peristiwa janggal dan seram yang pernah terjadi di situ.
Katanya, gak melulu malam hari, tapi kejadian seram juga kadang terjadi di siang hari.
Aku gak bisa menceritakan satu persatu cerita yang pernah aku dengar, tapi benang merahnya adalah telaga itu katanya benar angker, penampakannya antara lain hantu perempuan, anak-anak kecil yang berlarian di pinggirnya, dan lain sebagainya.
Aku, pada beberapa bulan awal memang menganggap semuanya masih biasa saja, yang ada di kepalaku desa ini merupakan desa pedalaman yang eksotis, indah, termasuk telaganya.
Sampai akhirnya, secara perlahan aku mulai merasakan semuanya sendiri, dari yang hanya sedikit janggal sampai keseraman yang membuat nyaris pingsan.

Berikut ini adalah salah satu kejadiannya..

***
Pada suatu hari, dalam perjalanan pulang dari salah satu perkebunan, aku berjalan kaki melewati telaga, menyusuri jalan setapak di pinggirnya.

Belum malam, masih jam lima sore, tapi tentu saja sudah mulai gelap, matahari asik bersandar di ufuk barat.
Langkahku agak pelan, lelah sangat sudah terasa karena berkegiatan sepanjang hari.

Jalan setapak pinggir telaga sudah sangat sepi ketika aku melintasinya, mungkin karena sudah mendekati waktu maghrib.
Iya, jalan setapak, yang hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua dan pejalan kaki.

Benar-benar hanya aku sendirian yang sedang menyusurinya.
Seperti hari-hari sebelumnya, telaga indah ini sungguh tenang, nyaris gak ada pergerakan di permukaannya, hanya sesekali terlihat gelombang kecil dihempas angin sepoi.

Sambil menikmati pemandangan dan sepinya, aku terus berjalan, ingin cepat sampai rumah untuk beristirahat.
Tapi ketika sedang larut menikmati semua, tiba-tiba sayup aku mendengar suara..

“Rendri..”

Ada yang memanggil namaku. Suara perempuan.
Tentu saja aku penasaran, kemudian menghentikan langkah.

Di hari yang mulai gelap, aku memperhatikan sekeliling, pendangan menjelajah ke setiap sudut telaga, mencari tahu siapa gerangan yang tadi memanggil.
Tapi gak ada siapa-siapa, aku gak melihat ada orang sama sekali. Sepi dan kosong. Juga hanya terdengar suara binatang-binatang serangga hutan, selebihnya gak ada suara lagi.
Ya sudah, karena gak menemukan apa-apa aku kembali melangkah meneruskan perjalanan.

Tapi, baru saja beberapa langkah, lagi-lagi suara itu muncul dari kejauhan.

“Rendri..”

Sekali lagi aku berhenti.
“Siapa sih manggil-manggil?” Sungutku dalam hati.
Di titik ini, belum terlintas sedikit pun pikiran aneh, yang aku tahu ada orang memanggil dari kejauhan, itu saja.
Ya sudah, karena penasaran aku lalu berbelok melangkah mendekati telaga, menuju dermaga kayu kecil tempat biasa aku duduk sendirian.
Hari sudah semakin gelap, aku yang masih terkungkung penasaran lagi-lagi memperhatikan sekeliling, kali ini sambil berdiri di ujung dermaga kayu, karena dari tempat ini aku bisa melihat nyaris ke seluruh sudut telaga.
Airnya sangat tenang, gak ada pergerakan sama sekali. Suasananya terbunuh sepi..

Dead silence.
Cukup lama diam berdiri, sampai akhirnya aku melihat sesuatu. Ada pergerakan di tengah-tengah telaga..
Permukaan air yang tadinya sangat tenang, tiba-tiba bergelombang kecil, seperti ada yang sedang membuatnya bergerak.

Aku terus memperhatikan pergerakan itu.
Semakin lama, semakin jelas terlihat kalau pergerakan air itu bergerak maju, gak diam di tempat. Seperti ada benda di permukaan yang sedang berenang, bergerak mendekat ke tempatku sedang berdiri.
Apa itu? Ikan kah? Atau ular? Atau hewan lain? Pada saat itu aku gak tahu, belum tahu.
Gelombang kecil air terus mendekat dan semakin mendekat, hari yang sudah semakin gelap membuat aku masih belum juga bisa memastikan hewan apa yang sedang berenang, padahal jaraknya sudah cukup dekat.
Sampai akhirnya, gelombang itu terlihat melambat dan semakin melambat, lalu berhenti hanya beberapa meter dari tempatku berdiri.
Karena masih belum jelas juga benda apakah itu, seketika itu juga aku berusaha untuk fokus memperhatikan, menerka-nerka.
Lalu tiba-tiba jantung seperti berhenti berdegup, nafas tertahan, ketika akhirnya aku bisa melihat dengan jelas bentuk dari benda misterius yang sedang diam di permukaan,
Beberapa detik lamanya tubuhku gak bisa bergerak, hanya pandanganku saja yang fokus memperhatikan objek seram itu.

Benar, objek seram..
Benda itu ternyata seonggok kepala, dengan rambut hitam panjang tergerai ke belakang, mengambang di permukaan. Aku melihat hanya kepala saja, gak ada bagian tubuh lain.

Wajah pucat seramnya datar tanpa ekspresi tapi seperti sedang memperhatikan, matanya mati tak bercahaya.
Jadi, yang aku lihat sejak tadi berenang mendekat dari tengah danau ternyata adalah kepala berambut panjang, menyeramkan.

Setelah beberapa belas detik terpana ketakutan, akhirnya aku mampu untuk melangkah mundur menjauh perlahan, lalu lari jauh-jauh meninggalkan telaga.

***
~November 2002~

Pak Husni dan Iwan terus ngobrol sambil sesekali diselingi gelak tawa berderai, sementara aku lebih banyak jadi pemerhati dan pendengar yang baik, walau tetap menimpali omongan mereka sesekali.
Nyaris jam 12 tengah malam ini kami duduk di pos ronda berbentuk rumah panggung yang ukurannya gak terlalu besar, mungkin hanya sekitar 4x4 meter saja, jadi maksimal hanya bisa ditempati oleh enam sampai tujuh orang saja.
Pos ronda yang dikelilingi oleh rapatnya pepohonan bambu ini letaknya di pinggir desa, berbatasan langsung dengan hutan dan perkebunan.
Lampu templok berukuran besar jadi satu-satunya sumber penerangan, tapi walaupun begitu cahayanya masih mampu menerangi seisi pos dan sebagian kecil bagian luarnya.
Malam ini gak ada angin, udara gak bergerak sama sekali, jadinya sangat sepi, gak ada suara dedaunan dan pohon yang bergerak bergoyang.
“Jadi gimana Mas? Betah kan tinggal di kampung kami? Hehe.” Pak Husni melontarkan pertanyaan.

“Betah Pak, betah, hehe.” Jawabku pendek.

“Udah berapa lama ya di sini? Enam bulan? Setahun?”
“Ah, baru tujuh bulan Pak, hehe. Saya suka suasananya, masih sangat asri, beda banget dengan di kota besar.”

“Ya ginilah Mas, desa terpencil, jauh dari mana-mana, hehe.” Iwan menambahkan.

Aku hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum setelahnya.
Iya, ternyata gak terasa aku sudah tujuh bulan lebih tinggal di desa ini, dari satu tahun rencananya.
Malam itu aku dan Iwan kebagian tugas untuk siskamling. Ini bukanlah siskamling pertamaku selama tinggal di desa ini, sebelumnya sudah beberapa kali. Bedanya, dengan berbagai alasan, kali ini hanya aku, Iwan, dan Pak Husni saja yang bertugas, biasanya ada lima sampai enam orang.
Tapi gak apa, toh tugas siskamling di sini tergolong mudah, hanya sesekali berkeliling membawa kentongan dan obor atau lampu senter sebagai penerangan.
Menurut warga, sudah bertahun-tahun lamanya belum pernah ada kejadian pencurian, tergolong aman tentram sejak lama.
“Mas, setengah jam lagi kita keliling ya.” Iwan bilang begitu di sela obrolan.

“Iya Wan, sebatang dulu ya, hehe.” Jawabku.
Memang sudah jam 12 tengah malam, kami harus mulai berkeliling.

Desa ini gak terlalu luas, berjalan kaki mengelilinginya gak butuh waktu lama, hanya kira-kira satu jam lebih sudah selesai.
Sesuai rencana, aku dan Iwan akhirnya mulai berjalan kaki pada pukul setengah satu. Berbekal lampu senter ditanganku dan obor dalam genggaman Iwan, kami memulai patroli berkeliling desa.
Ada alasan kenapa obor minyak tanah masih digunakan sebagai penerangan oleh penduduk, itu karena minyak tanah jauh lebih murah dan lebih mudah didapat dari pada batu baterai untuk lampu senter.
Tapi walaupun begitu, aku tetap memilih lampu senter karena sudah termasuk peralatan yang aku bawa dari Jakarta.
Bisa ditebak, tengah malam seperti ini keadaan desa sudah sangat sepi, gak ada orang sama sekali. Aku dan Iwan berjalan gak terlalu cepat, sambil berbincang namun tetap memperhatikan setiap sudut tempat yang kami lewati.
Gak bisa dipungkiri juga, suasana malam di desa ini agak mencekam. Karena dikelilingi hutan dan perkebunan, masih banyak terdengar suara-suara binatang malam, beberapa diantaranya aku gak tahu bunyi binatang apa.
Jarak satu rumah dengan rumah lainnya agak berjauhan, dan masing-masing gak berpagar. Maka dari itulah sebagian besar wilayah desa tergolong gelap karena kurangnya penerangan.
Kami terus menyusuri jalan desa, satu demi satu rumah kami perhatikan, dan tampaknya sejauh ini gak ada hal yang mencurigakan, semuanya kelihatan normal.
“Mas, maaf nih, kok tiba-tiba aku sakit perut ya. Kita pulang dulu yuk sebentar.” Tiba-tiba Iwan bilang begitu, setelah kami baru hampir setengah jalan.

“Yaaaah, ada-ada aja kamu Wan, hahaha. Mendingan kamu ke toilet mushala aja tuh, lebih dekat.” Jawabku.
Iwan mengikuti saranku, dia lantas memilih untuk berlari kecil menuju mushala yang jaraknya lebih dekat dari pada harus pulang ke rumah. Sementara aku, menunggu di depan balai desa, sekitar 50 meter dari mushala.
Dari tempatku duduk, aku dapat melihat kalau Iwan meletakkan obornya di pagar depan mushala, dari kejauhan terlihat apinya yang menyala.

Sambil menunggu, aku menyalakan rokok. Angin malam mulai terasa berhembus, dinginnya perlahan merambah menyentuh kulit.
Sesekali melirik ke arah mushala, aku belum juga melihat ada pergerakan, api obor masih tetap di tempatnya, menandakan kalau Iwan belum selesai. Kuhisap rokokku dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya, hal ini sedikit banyak bisa manghangatkan.
Kemudian, berikutnya aku malah tenggelam dalam lamunan, menatap kosong ke depan, sampai-sampai lupa memperhatikan mushala selama beberapa menit lamanya.
Nah, ketika sudah tersadar, aku lalu menoleh ke mushala, ternyata obor sudah gak berada di tempatnya lagi, tapi sudah bergerak berjalan.

“Ah, akhirnya Iwan selesai juga.” gumamku.
Tapi kalau aku perhatikan lebih seksama, ternyata ada yang aneh. Kelihatan dari cahaya apinya, ternyata obor gak mendekat bergerak ke arahku, malah kelihatan menjauh.

Iya, tampaknya Iwan malah berjalan ke arah berlawanan.
Melihat itu, aku langsung bangun dari duduk lalu berjalan mengejar Iwan. Jarak kami masih terlalu jauh, cahaya lampu senter belum mampu menjangkau Iwan, aku hanya bisa melihat cahaya api kecil obor dari kejauhan, dan mengikutinya.
Yang agak aneh, Iwan berjalan cukup cepat, aku jadi harus berjalan cepat juga untuk mengimbanginya.

Aku gak merani memanggil, khawatir nanti suara keras teriakanku akan membangunkan warga, lebih memilih untuk terus mengejarnya.
Aku mulai berlari kecil untuk terus mengimbangi pergerakan Iwan, jarak kami jadi lebih mendekat karenanya.

Tapi, beberapa detik kemudian, aku malah memperlambat langkah, karena tiba-tiba menyadari sesuatu.
Seketika aku sadar kalau ternyata kami malah melangkah ke luar desa, ditandai dengan gak terlihat ada lagi rumah penduduk di sekitaran.

Lalu, ke arah mana kami bergerak melangkah?

Ternyata aku mengikuti Iwan menyusuri jalan setapak menuju telaga.
Iya, dalam gelapnya malam di tepi hutan, kami malah berjalan menuju tempat yang dikenal angker, telaga.

“Iwan mau apa sih ke telaga?” dalam hati aku bertanya-tanya.
Sempat terbersit pikiran untuk berhenti mengikuti, lalu kembali ke desa. Tapi rasa penasaran menutup segalanya, aku malah terus ikut melangkah.

***
Api obor akhirnya berhenti bergerak, dia diam tepat di tepi telaga. Dari kejauhan aku melihatnya seperti itu.

“Akhirnya Iwan berhenti juga, mau ngapain sih dia ini.” Aku masih terus bertanya-tanya dalam hati.

Melihat itu, aku terus melangkah semakin mendekat lagi.
Semakin lama, cahaya api obor semakin terang terlihat karena jarak yang semakin dekat. Maka dari itu pula, cahaya lampu senterku perlahan akhirnya mampu menjangkau Iwan dengan obornya.
Namun, ketika sudah semakin dekat dan semakin dekat lagi, aku tiba-tiba berhenti melangkah ketika jarak kami hanya tinggal beberapa meter saja.

Aku akhirnya menyadari sesuatu, ternyata yang aku ikuti sejak tadi bukan Iwan!
Tubuhku langsung kaku, kalut, ketakutan meyeruak memenuhi isi kepala, aku sama sekali gak mengenali sosok yang sedang berdiri di tepi telaga sambil memegang obor ini.

Dia berdiri membelakangi, mengahadap ke tengah telaga.
Dari belakang, aku melihatnya mengenakan baju terusan lusuh berwarna gelap, rambut panjangnya tergerai sebatas pinggang, sosoknya seperti perempuan.

Aku semakin diam ketakutan ketika dia mulai membalikkan tubuhnya, perlahan jadi menghadap ke arahku.
Tanganku gemetaran, tapi masih bisa mengarahkan cahaya lampu senter ke arah sosok menyeramkan ini.

Sampai akhirnya dia benar-benar sudah berdiri menghadapku, saat inilah aku akhirnya bisa melihat dengan jelas penampakannya.
Wajahnya pucat tanpa ekspresi, menggurat seram meruntuhkan nyali.

Tangannya masih memegang obor menyala..

Dalam keheningan, perlahan aku yang semakin ketakutan mulai melangkah mundur, menjauh. Sementara sosok itu masih diam memperhatikan.
Tapi beberapa detik kemudian, keadaan yang tadinya sepi lalu berubah, tiba-tiba dia mengeluarkan suara tawa tertahan tapi jelas terdengar.

Yang lebih mengerikan lagi, sosok menakutkan ini tiba-tiba mulai bergerak maju dengan cara melayang, mendekat ke arahku.
Aku langsung membalikkan badan, lalu berusaha lari menjauh..

Entah apa sebabnya, tapi tenaga seperti sudah terkuras habis, aku gak mempu berlari kencang.

Sempat menoleh ke belakang, ternyata sosok ini masih terus bergerak mengikuti, dengan terus bergerak melayang.
Sungguh sangat mengerikan..
Lemas, lelah, tenaga terkuras, keringat bercucuran, gak mampu lagi untuk bergerak apa lagi berlari, kemudian tubuhku roboh, terjatuh di atas jalan setapak tepian danau.
Sempat membalikkan tubuh, kemudian aku bisa melihat kalau sosok meyeramkan itu masih terus melayang mendekat dan terus mendekat, sambil mengeluarkan suara tawa tertahan, dengan tangan masih memegang obor menyala, menyeramkan.
Gak tahan, tubuhku lemas ketakutan, setelah itu aku gak ingat apa-apa lagi.

***
Kemudian, selanjutnya tiba-tiba aku tersadar sudah berada di balai desa. Di sekelilingku ada Pak Haji Ramli, Pak Husni, Iwan, dan beberapa warga lainnya.

“Alhamdulillah, sudah sadar.” Begitu Pak Haji bilang.
Kemudian aku diberi segelas air.
Jadi, menurut cerita Iwan, ketika selesai dari toilet mushala dia gak melihat keberadaanku, aku menghilang. Lalu dia kembali ke pos ronda untuk mencari, tapi ternyata di pos ronda juga aku gak ada.
Setelahnya, dia dan Pak Husni mencari aku ke rumahnya, sama juga, aku gak ditemukan.

Akhirnya, bersama Pak Haji dan beberapa warga lainnya, mereka melakukan pencarian ke seluruh penjuru desa.
Sampai akhirnya, sekitar jam tiga subuh aku ditemukan terbaring gak sadarkan diri di tepi telaga.

***
Hai, balik ke gw lagi ya, Brii.

Sekian cerita malam ini, sampai jumpa lagi minggu depan.

Selamat menjalankan ibadah puasa,
tetap sehat supaya bisa terus merinding bareng.

Salam,
~Brii~

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Brii

Brii Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @BriiStory

15 Apr
Malam hari dan sendirian, saat-saat seperti inilah ketika seluruh indera bekerja dengan maksimal. Malah terkadang indera keenam juga berjalan tanpa perintah, merasakan apa yang seharusnya gak dirasakan.

Simak cerita seram di bulan Ramadan ini, hanya di sini, di Briistory.

***
“Sahuuurrr, sahur, sahuuurrr, sahur..”

Teriakan anak-anak kecil diiringi dengan suara tetabuhan bertalu-talu terdengar dari luar, ramai jadinya.

Pada jam setengah tiga dini hari akhirnya aku bisa bernafas lega, selesai semuanya, walaupun mungkin hanya untuk sementara.
Setelah sudah cukup waktu untuk menenangkan diri, aku bangkit dari duduk dan melangkah ke luar kamar.

Tapi tetap saja langkahku masih agak tertahan, keberanian masih berpacu melepas dari belenggu ketakutan yang satu atau dua jam yang lalu memenuhi pikiran dan perasaan.
Read 78 tweets
8 Apr
Sering kali keadaan memaksa kita untuk menghadapi situasi yang sangat menguji nyali.Rintihan jerit hati yang ketakutan, seperti gak ada yang mendengar atau peduli. Tinggal bergantung pada diri sendiri..

Simak kisah seram dari kota Cimahi, malam ini, hanya di Briistory..
***
Sendirian, nyaris tengah malam, di tempat yang baru saja aku tempati.

Suasananya sangat sepi, di lahan luas yang atasnya berdiri dua bangunan.

Di rumah yang gak terlalu besar ini aku seorang diri, di ruang tengah menonton televisi.
Biasanya, jam 10 sudah lelap tertidur, tapi malam ini beda, aku sama sekali belum merasakan kantuk. Mata terus memperhatikan layar TV.

Sampai ketika, sesuatu mulai terjadi..
Read 104 tweets
18 Mar
Gelap, kosong, sunyi.
Hanya sedikit lampu menyala memberi penerangan.
Seramnya gedung kosong di malam hari..

Seorang teman akan berbagi kisah cekam ketika bekerja di salah satu Mall/Plaza terkenal di Jakarta.

Simak di sini, di Briistory..

***
“Lift udah dimatiin Di, lo harus lewat tangga dalem.”

“Yaaaaahh, aku sendirian pula. Mba Yan gak mau turun bareng?”
“Belum bisa, masih ada yang harus gw kerjain nih.”

Itu percakapanku dengan Mba Yanti, staff admin di tempat aku bekerja.

Setelah berganti pakaian, aku berniat untuk langsung pulang.
Read 104 tweets
11 Mar
Sering kali rasa penasaran mengalahkan redupnya nyali, padahal kita gak paham situasi.

Seperti kisah kali ini, berjalan melintas jalan Tol Cipali, Windi dan keluarga terjebak dalam rentang beda dimensi, seramnya pasti.

Simak di sini, hanya di Briistory..

***
~Akhir tahun 2016~

Rintik hujan turun di bagian timur Jakarta, ketika kami baru saja lepas dari sumpeknya tol dalam kota, di mana ribuan kendaraan berjejal merebut ruang jalanan untuk bisa pulang, atau entah ke mana tujuannya.
Masih tetap padat, tapi seenggaknya mobil yang kami tumpangi ini bergerak konstan walaupun perlahan.
Read 102 tweets
4 Mar
Terkadang, alam bawah sadar merasakan hal yang semestinya gak kita rasa,

Semu hampa sisi lain selalu membuat nurani terpana, walau mata jelas terbuka, sampai akhirnya “takut” menghentikan laju nyali.

Mari simak kisah seram sekali lagi, hanya di sini, di Briistory..

*** Image
Sekali lagi aku melirik kaca spion, bapak itu masih ada, duduk diam paling belakang sambil menatap ke luar, senyum terus mengembang di wajahnya yang terlihat bersih, terpancar rona bahagia.
Di sebelah Bapak itu ada seorang ibu dan anak lelakinya, si Ibu terus-terusan menangis, sementara anaknya terus menenangkan ibunya.
Read 79 tweets
25 Feb
Banyak cerita dalam setiap perjalanan, terlebih ketika menyusuri pekat malam. Kadang diri dipaksa berada dekat sisi batas dimensi, hampa dan takut bergerak pasti.

Malam ini, kita akan mendengar sepenggal cerita seram di jalur lintas Sumatera.

Simak di sini, di Briistory..

***
Aku Toni, bekerja sebagai supir travel penumpang di jalur lintasan pelabuhan Bakauheuni – Bandar Lampung. Sudah nyaris 20 tahun bergelut di bidang pekerjaan ini, tentu saja sudah banyak asam garam aku alami.
Aku termasuk supir yang lebih suka bekerja malam hari, lebih senang berkendara ketika sudah gelap dengan berbagai alasan tentunya.

Tentu saja berbagai kisah dan pengalaman sudah aku rasakan, banyak. Dari yang biasa saja sampai pengalaman janggal menjurus seram.
Read 99 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!