Kampung halaman, merupakan tempat yang sangat nyaman. Apa pun keadaannya sesekali kita harus pulang, apa lagi menjelang hari raya.
Malam ini, akan ada cerita dari dua teman, Yudha dan Hudar tentang pengalaman mereka ketika mudik lebaran.
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
~Beberapa hari sebelum Lebaran 2018~
Hampir tengah malam, Yudha sedang dalam perjalanan pulang menuju Semarang menggunakan bis.
Hanya tinggal beberapa jam lagi sampai tujuan.
Seluruh lampu keadaan mati, gelap jadinya, namun sesekali sekelebat cahaya dari luar memberi sedikit penerangan di dalam bis.
Garis remang berbagai warna meggurat setiap objek yang dilalui, walaupun gak terlalu jelas tapi tampakan tiap penumpang masih bisa terlihat sesekali.
Sepi mendominasi, walau sesekali suara mesin kendaraan lain di luar terdengar samar, entah itu mereka yang sedang mendahului atau pun didahului.
Jalur panjang Tol Cipali menghantarkan ribuan kendaraan berisi berbagai insan yang sedang terbekap rindu akan pulang, kampung halaman
Begitu pula dengan Yudha, saat-saat seperti ini adalah saat yang dia tunggu setiap tahunnya, waktu di mana bisa pulang ke rumah, bertemu orang tua dan anggota keluarga lainnya, menumpah rindu melepas penat.
***
Sudah hampir tujuh tahun lamanya Yudha bekerja di Jakarta, selepas kuliah dia langsung merantau ke ibu kota, mencari nafkah coba berdiri di atas kaki sendiri.
Sesak dan pengap metropolitan jadi makanan sehari-hari, ingin sekali sebenarnya dia pulang ke Semarang sering kali, tapi waktu gak memungkinkan, hanya pada saat libur lebaran seperti ini saja bisa pulang, mudik.
Rumah tempat tinggal yang terletak jauh dari pusat kota, menjadikan suasananya masih berbau pedesaan, udaranya segar dan bersih, di banyak bagian masih terbentang pesawahan.
Sejak lahir Yudha sudah hidup dengan lingkungan seperti ini, masa kecil hingga remaja dihabiskan dengan menikmati suasana menenangkan, menyenangkan. Makanya, dia selalu ingin pulang, harus pulang apa lagi menjelang hari raya Idul Fitri.
Yudha harus mudik..
***
Yudha duduk sendiri di kursi tengah sebelah kanan, lebih dekat ke belakang, tas punggung lusuh dia letakkan di kursi kosong sebelahnya.
Entah kenapa, menjelang Idul fitri kali ini, bis yang Yudha tumpangi gak penuh penumpang, cenderung kosong malah, gak sampai setengah dari kapasitas maksimum.
Yang pasti, Yudha sangat menikmati perjalanan, setiap detiknya menyenangkan, setiap jengkalnya membangkitkan senyuman, membuatnya gak sabar untuk segera sampai.
Sementara bis terus melaju dengan kecepatan sedang, menembus gelap malam.
Mungkin karena sudah tengah malam, ditambah jumlah penumpang yang gak penuh, suasana di dalam jadi sangat sepi, seperti gak ada kehidupan, gak ada suara sama sekali.
Dalam hening, Yudha memperhatikan penumpang lain satu persatu. Ada yang tertidur pulas, ada yang masih terjaga, ada yang sedang melamun menatap luar jendela, ada yang terus-terusan memainkan ponselnya, dan lain sebagainya.
Semua orang tampak gak mempedulikan sekitar, asik dengan aktivitas masing-masing, termasuk juga dengan gak mempedulikan Yudha yang menatap mereka satu persatu, dalam keremangan.
Eh sebentar, ternyata gak semua asik sendiri. Dalam gelap, Yudha melihat ada anak perempuan berumur sekitar empat tahun, kepalanya menyembul dari sandaran kursi yang letaknya di depan sebelah kiri.
Hanya sebatas hidung ke atas yang terlihat oleh Yudha, rambutnya dikepang dua, lucu sekali.
Walaupun gelap, tapi jelas terlihat kalau anak itu sedang mengintip memperhatikan Yudha.
Yudha tersenyum ke arahnya, tapi si anak malah menarik turun kepalanya jadi gak terlihat lagi, tersipu malu di balik sandaran kursi.
Tapi hanya sebentar, beberapa belas detik kemudian perlahan kepalanya muncul lagi, kali ini gak hanya sebatas hidung, tapi seluruh wajah terlihat. Lucu sekali, tentu saja lagi-lagi Yudha tersenyum ke arahnya, lalu dibalas senyum kecil oleh si anak.
Candaan Yudha dan anak perempuan lucu ini berlangsung cukup lama, sampai akhirnya sang Ibu yang duduk di sebelahnya ~yang mungkin sebelumnya tengah tertidur~ terdengar suaranya.
“Nilam, ayo tidur lagi Nak.” Begitu kata Ibunya.
Oh, ternyata anak perempuan cantik dan lucu ini namanya Nilam, begitu pikir Yudha.
“Om, Mama. Ada Om,” Begitu Nilam bilang kepada Ibunya, sambil jarinya menunjuk ke arah Yudha yang duduk di belakang mereka, berjarak beberapa kursi.
Melihat itu, Yudha kembali tersenyum sambil sedikit tertawa kecil.
Gak lama kemudian, Ibunya Nilam yang sejak tadi hanya terdengar suaranya saja tiba-tiba ikut muncul dari balik kursi.
Perempuan cantik dengan rambut hitam tergerai, wajahnya tersapu cahaya terang yang tiba-tiba datang dari di luar. Wajahnya itu pucat, mungkin kelelahan karena sedang dalam perjalanan, itu kesimpulan yang Yudha bisa ambil.
“Nilam, gak ada siapa-siapa, ayo tidur lagi ya sayang.” Begitu Ibunya Nilam bilang, sambil wajah mengarah ke Yudha, tapi yang aneh matanya malah menatap ke arah lain, cenderung menunduk.
“Om, Mama. Ada Om.” Sekali lagi Nilam bilang begitu.
“Sudah Nak, sini duduk yang bener.” Begitu sang Ibu bilang, kali ini dengan nada agak tinggi.
Nilam menuruti perintah lalu duduk di kursinya, kemudian gak kelihatan lagi.
Setelahnya, Yudha hanya mendengar samar obrolan pelan mereka, nyaris berbisik.
Ya sudah, kembali seperti semula, Yudha tenggelam lagi dalam lamunan, menikmati perjalanan.
Tapi menyenangkan, Yudha menikmati bercanda dengan Nilam walau sebentar.
***
Tepat tengah malam, tiba-tiba bis berbelok masuk ke salah satu tempat peristirahatan, mungkin karena memang sudah waktunya untuk istirahat, Yudha gak tahu pasti.
Benar, bis masuk ke satu tampat luas yang di dalamnya banyak kendaraan parkir, suasananya ramai walau gak terlalu banyak penerangan.
Kemudian bis berhenti tepat di depan salah satu rumah makan.
Setelah sudah benar-benar berhenti, supir dan kondektur mempersilahkan penumpang turun untuk beristirahat sejenak.
Yudha juga memutuskan untuk turun sebentar. Tapi sebelum itu, dia melihat Nilam dan Ibunya juga sedang berjalan menuju pintu keluar. Sekali dua kali Nilam menoleh ke belakang, mencari keberadaan Yudha.
Dan akhirnya Nilam bisa tersenyum, setelah sudah bisa melihat Yudha sedang berjalan di belakangnya, Yudha membalas senyum. Yang aneh, Nilam seperti tersenyum dalam kebingungan, wajahnya datar tanpa ekspresi,..
Kemudian, setelah sudah di luar bis, Yudha gak melihat lagi keberadaan Nilam dan ibunya. Mereka menghilang, entah ke mana.
Berjalan sedikit menjauh, kemudian Yudha mencari tempat untuk duduk dan menghabiskan waktu. Tapi gak lama, beberapa menit kemudian dia menemukan satu warung makan yang letaknya di sudut, agak sepi.
Yudha memilih untuk duduk di situ.
***
Entah sudah berapa kali Hudar menguap, kantuk mulai menyerang sejak menjelang jam 12 tadi.
Berkendara sendirian, Hudar memutuskan untuk mudik hari itu juga, sepulang kerja dia berangkat. Tapi karena macetnya Jakarta, perjalanan jadi tersendat, akibatnya dia masih berada di tengah Tol Cipali pada tengah malam.
Seperti halnya Yudha, Hudar berstatus pekerja di Jakarta yang berkampung halaman di Semarang. Sama dengan kebanyakan orang Indonesia, Hudar juga mudik menjelang Lebaran.
“Wah, aku gak kuat lagi, harus cari kopi, ngantuk banget ini,”
Hudar bergumam sendiri, ketika kantuknya makin menjadi-jadi, karenanya dia berniat untuk mampir di tempat peristirahatan untuk sejenak berhenti.
Padahal hanya tinggal beberapa jam lagi sampai semarang, tapi tetap Hudar harus istirahat.
Sampai akhirnya, di kejauhan Hudar melihat ada tempat peristirahatan, lega hati melihatnya.
Setelah sampai, dia langsung membelokkan kendaraan, masuk ke satu area luas dengan banyak kendaraan yang juga sedang beristirahat.
Sebentar berputar-putar, Hudar akhirnya dia memilih untuk parkir di satu tempat kosong di sebelah bis besar.
“Akhirnya bisa istirahat sebentar.” Begitu Hudar bilang dalam hati.
Setelah keluar dari mobil, Hudar sedikit meregangkan badan, melemaskan otot-otot. Menyalakan rokok, lalu berjalan mencari warung makan yang gak terlalu ramai.
Setelah agak jauh melangkah, Hudar menemukan tempat yang menurutnya cukup nyaman untuk duduk dan menikmati segelas kopi. Warung makan yang gak benderang dan ramai seperti warung lainnya.
Memilih kursi yang agak di pinggir, Hudar lalu memesan segelas kopi, dan lagi-lagi menyalakan rokok.
Suasana warung persis seperti yang dia harapkan, hanya beberapa meja yang terisi, dengan begitu bisa istirahat tanpa gangguan.
Gak makan waktu lama, segelas kopi hitam langsung tersaji. Beberapa teguknya sedikit banyak bisa mengurangi kantuk dan penat yang Hudar rasakan sejak dalam kendaraan tadi.
Sambil melepas lelah, Hudar melihat-lihat layar ponsel, berselancar di lini masa media sosial.
Cukup lama asik dengan ponselnya, sampai akhirnya dia menyadari sesuatu.
Walau gak melihat langsung, tapi Hudar merasa seperti ada yang sedang memperhatikannya.
Ada seseorang di dalam warung pada sudut lain, yang sepertinya sedang terus memperhatikan. Siapa?
Perlahan Hudar menoleh ke orang tersebut.
Penerangan seadanya membuat Hudar harus sedikit mengeryitkan dahi untuk memperjelas penglihatan. Tapi ternyata dugaan Hudar benar, memang ada orang yang sedang memperhatikan dia.
Hanya berselang beberapa meja saja, orang ini duduk sambil terus menatap Hudar sampai akhirnya dia tersenyum setelah tahu kalau Hudar sudah sadar sedang diperhatikan.
Sementara Hudar masih belum tahu siapa orang itu.
Tapi hanya sebentar, akhirnya beberapa detik kemudian Hudar akhirnya sadar.
“Yudha? Hahaha,”
Lalu Hudar berdiri, menghampiri orang itu yang ternyata Yudha.
“Ah, aku kira siapa. Haha. Sama siapa kamu Yud?” tanya Hudar ketika mereka sudah duduk semeja.
“Sendiri, hehe. Kamu mau ke mana Dar? Mudik juga?”
“Iyalah, aku juga mudik. Naik apa kamu?”
“Itu, aku naik bis, yang itu.” Jawab Yudha sambil menunjuk bisnya di kejauhan.
“Ah, kebetulan, kalo gitu kamu ikut aku saja, toh tujuan kita sama. Rumahmu masih di Sembungharjo kan?”
“Masih Dar,” Yudha menjawab sambil tersenyum.
“Ya sudah, kita bareng aja, kita berangkat sekarang, sudah jam setengah satu.”
“Baiklah, aku ambil tas dulu ya,”
Yudha lalu berjalan menuju bis. Sementara Hudar menuju mobilnya.
Hudar senang, karena akhirnya dia ada teman dalam perjalanan, ada teman untuk berbincang.
Jadi, Yudha dan Hudar adalah kawan lama, mereka satu kelas pada waktu SMA, lalu terpisah setelah keduanya lulus lalu melanjutkan kuliah di tempat yang berbeda.
Karena kesibukan, mereka mengetahui kabar masing-masing lebih banyak dari media sosial atau obrolan antara teman, walau sesekali bereuni dengan teman seangkatan lainnya.
Dan akhirnya, mereka dipertemukan lagi di satu tempat peristirahatan di Cipali.
Selanjutnya bersama berkendara menuju Semarang, kampung halaman mereka berdua.
Di perjalanan dalam kendaraan, percakapan lebih banyak didominasi oleh Hudar, Yudha hanya membalas menjawab seperlunya saja. Tapi dalam hal ini Hudar bisa mengerti, karena dia tahu kalau Yudha memang pendiam sejak dulu.
Tapi ya itu tadi, akhirnya selama perjalanan mereka berdua lebih banyak diam.
“Oh iya, beberapa bulan yang lalu, aku dengar kamu sakit ya Yud?” Hudar kembali bertanya membuka perbincangan.
“Iya, tapi sudah sembuh.” Jawab Yudha singkat.
“Sakit apa Yud? Aku dengar cukup parah.”
“Dirawat beberapa hari saja.”
Lagi-lagi perbincangan berhenti.
Yudha yang memang sangat pendiam, ditambah dengan sudah bertahun-tahun lamanya mereka gak berjumpa, jadi Hudar maklum kalau perbincangan hanya seadanya, lebih banyak diam.
Tapi Hudar sudah cukup bersyukur dengan adanya Yudha, dia jadi gak merasa sendirian lagi, seenggaknya sudah ada yang menemani. Sementara Yudha lebih banyak seperti sedang menikmati perjalanan, lebih sering menatap ke luar jendela, memperhatikan pemandangan dalam diam.
Oh, ada sedikit yang mengganggu Hudar, dia gak tahan dengan wangi parfum yang Yudha gunakan. Menurutnya, wangi parfum Yudha gak lazim, harumnya menyengat aneh.
***
Singkat cerita, akhirnya kendaraan memasuki wilayah Semarang.
“Aku antar ke rumahmu ya Yud, masih di tempat yang dulu, kan?” Tanya Hudar.
“Iya Dar, masih.”
“Ya sudah, kamu kasih tahu jalannya ya, aku udah agak lupa, hehe.”
“Iya,” Jawab Yudha pendek.
Seingat Hudar, rumah Yudha gak terlalu jauh dari rumahnya, jaraknya kira-kira hanya 15 menit. Rumah mereka sama-sama agak jauh di pusat kota.
Sudah hampir jam dua, Hudar terus ikuti petunjuk yang Yudha beri menuju rumahnya. Perjalanan yang sudah semakin dekat tujuan, tapi masih terbilang sepi tanpa percakapan.
Beberapa saat kemudian, mereka mulai masuk salah satu pemukiman di daerah Sembungharjo.
Pemukiman yang tergolong sepi, apa lagi terhitung masih tengah malam seperti ini, gak ada orang yang terlihat sama sekali.
Setelah masuk pemukiman ini, Hudar mulai bisa meraba daerah yang sedang dimasuki, kurang lebih dia masih hapal wilayah walau sudah bertahun-tahun gak datang berkunjung.
Setelah sudah melewati beberapa belokan, akhirnya mereka sampai di satu jalan yang Hudar yakin kalau itu adalah jalan kecil tampat di mana Rumah Yudha berada.
Kemudian Hudar langsung menuju rumah yang dimaksud.
Gak lama, karena memang sudah dekat, mereka akhirnya sampai di depan rumah Yudha, Hudar parkir persis di depan pagar.
Setelah mobil sudah berhenti, mereka lalu turun dari kendaraan.
“Mampir dulu, Dar?” tanya Yudha dengan senyuman.
“Gak lah Yud, sudah malam. Besok-besok aja aku main ke sini, hehe.” Hudar bilang begitu.
“Ya sudah, terima kasih banyak ya Dar. Aku masuk dulu.”
Kemudian, Yudha masuk ke dalam rumahnya melalui pintu samping, padahal Hudar belum beranjak pergi, masuk ke dalam kendaraannya pun belum.
Agak bingung, sebelum pergi Hudar sejenak memperhatikan rumah Yudha, rumah besar bertingkat dalam keadaan gelap, hanya lampu teras saja yang menyala.
Dia merasa ada yang aneh, tapi gak tahu apa.
Beberapa belas detik kemudian Hudar memutuskan untuk pergi dari situ lalu pulang ke rumahnya.
Tapi ketika baru beberapa langkah menuju mobil, tiba-tiba hudar melihat kalau lampu ruang tamu rumah Yudha menyala terang, lalu ada orang yang mengintip dari balik tirai.
Melihat itu, Hudar tersenyum ke arah orang itu.
Setelahnya, ada yang membuka pintu depan.
Ternyata bapaknya Yudha, sambil tersenyum beliau membuka gembok pagar rumahnya. Setelah pagar terbuka, Hudar yang masih agak kebingungan dipersilahkan masuk.
Di ruang tamu, sudah menunggu seorang perempuan paruh baya menyambut dengan ramahnya. Perempuan itu adalah Ibu dari Yudha.
“Mungkin Bapak sama Ibu sudah lupa, saya Hudar teman SMA Yudha. Waktu SMA dulu saya beberapa kali main ke rumah ini, hehe.” Hudar membuka percakapan.
“Oh, tentu saja kami masih ingat, Nak.” Jawab Ibunya Yudha, sambil tersenyum ramah.
“Tadi karena di luar gelap, Bapak jadi gak begitu jelas melihat kamu, hehe.” Bapak Yudha menambahkan.
“Jadi, Nak Hudar ini dari mana?” tanya mereka nyaris berbarengan.
“Saya dari Jakarta Bu, Pak. Mau pulang mudik. Kebetulan tadi dalam perjalanan saya bertemu dengan Yudha. Ya, sudah, saya ajak sekalian untuk pulang bareng.”
Dengan lancar dan tanpa beban, Hudar menceritakan semuanya ketika dia bersama Yudha pulang ke Semarang, sementara kedua orang tua Yudha mendengarkan dengan seksama.
Yang aneh, sejak Hudar masuk, dia sama sekali gak melihat Yudha lagi, hanya kedua orang tuanya saja.
“Jadi, begini Nak Hudar. Mohon maaf sebelumnya kalau saya akan menceritakan sesuatu yang akan membuat kaget.” Bapak akhirnya mulai menjelaskan, sementara Ibunya Yudha mulai menangis perlahan, Hudar gak tahu sebabnya apa.
Mereka kemudian bercerita sambil menjelaskan panjang lebar, kisah yang membuat Hudar menahan nafas.
Mereka bilang, sebenarnya Yudha sudah meninggal beberapa bulan sebelumnya, almarhum sakit keras ketika sedang tinggal dan kerja di Jakarta.
Hudar terperanjat kaget mendengarnya,
Padahal baru saja dia mengantar Yudha pulang ke rumahnya!
***
Hai, sekian cerita malam ini ya.
Semoga ada hikmah yang bisa ditarik.
Tahun ini keadaannya beda, kita sama-sama gak bisa mudik. Nikmati aja, semua ada masanya.
Terima kasih udah mau baca, tetap sehat supaya bisa terus merinding bareng.
Sampai jumpa minggu depan,
Salam,
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Di daerah terpencil, banyak kisah mencekam yang gak masuk di akal, tapi kejadian.
Banyak orang yang sukar untuk percaya, sampai benar-benar merasakan sendiri keseramannya.
Ada satu kisah telaga kecil di desa terpencil, pedalaman Sumatera.
Simak di sini, di Briistory..
***
Aku Rendri, awal tahun 2002 ditugaskan oleh perusahaan tempatku bekerja untuk tinggal di satu desa terpencil di pedalaman Sumatera.
Tugasku adalah mensosialisasikan berbagai produk pertanian dan perkebunan ~termasuk pupuk~ yang kami produksi, kepada penduduk (khususnya petani) di desa itu.
Malam hari dan sendirian, saat-saat seperti inilah ketika seluruh indera bekerja dengan maksimal. Malah terkadang indera keenam juga berjalan tanpa perintah, merasakan apa yang seharusnya gak dirasakan.
Simak cerita seram di bulan Ramadan ini, hanya di sini, di Briistory.
***
“Sahuuurrr, sahur, sahuuurrr, sahur..”
Teriakan anak-anak kecil diiringi dengan suara tetabuhan bertalu-talu terdengar dari luar, ramai jadinya.
Pada jam setengah tiga dini hari akhirnya aku bisa bernafas lega, selesai semuanya, walaupun mungkin hanya untuk sementara.
Setelah sudah cukup waktu untuk menenangkan diri, aku bangkit dari duduk dan melangkah ke luar kamar.
Tapi tetap saja langkahku masih agak tertahan, keberanian masih berpacu melepas dari belenggu ketakutan yang satu atau dua jam yang lalu memenuhi pikiran dan perasaan.
Sering kali keadaan memaksa kita untuk menghadapi situasi yang sangat menguji nyali.Rintihan jerit hati yang ketakutan, seperti gak ada yang mendengar atau peduli. Tinggal bergantung pada diri sendiri..
Simak kisah seram dari kota Cimahi, malam ini, hanya di Briistory..
***
Sendirian, nyaris tengah malam, di tempat yang baru saja aku tempati.
Suasananya sangat sepi, di lahan luas yang atasnya berdiri dua bangunan.
Di rumah yang gak terlalu besar ini aku seorang diri, di ruang tengah menonton televisi.
Biasanya, jam 10 sudah lelap tertidur, tapi malam ini beda, aku sama sekali belum merasakan kantuk. Mata terus memperhatikan layar TV.
Sering kali rasa penasaran mengalahkan redupnya nyali, padahal kita gak paham situasi.
Seperti kisah kali ini, berjalan melintas jalan Tol Cipali, Windi dan keluarga terjebak dalam rentang beda dimensi, seramnya pasti.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
~Akhir tahun 2016~
Rintik hujan turun di bagian timur Jakarta, ketika kami baru saja lepas dari sumpeknya tol dalam kota, di mana ribuan kendaraan berjejal merebut ruang jalanan untuk bisa pulang, atau entah ke mana tujuannya.
Masih tetap padat, tapi seenggaknya mobil yang kami tumpangi ini bergerak konstan walaupun perlahan.
Terkadang, alam bawah sadar merasakan hal yang semestinya gak kita rasa,
Semu hampa sisi lain selalu membuat nurani terpana, walau mata jelas terbuka, sampai akhirnya “takut” menghentikan laju nyali.
Mari simak kisah seram sekali lagi, hanya di sini, di Briistory..
***
Sekali lagi aku melirik kaca spion, bapak itu masih ada, duduk diam paling belakang sambil menatap ke luar, senyum terus mengembang di wajahnya yang terlihat bersih, terpancar rona bahagia.
Di sebelah Bapak itu ada seorang ibu dan anak lelakinya, si Ibu terus-terusan menangis, sementara anaknya terus menenangkan ibunya.