ADA SESUATU YANG BERBEDA.... Tak asing telinga ini mendengar lantunan dalam gempita lebih dari 1000 orang bernyanyi bersama. Semua orang berdiri dalam khidmat & getar nada menyelusup jauh hingga lorong - lorong sempit di pasar tersebut
yang mengingatkan kita pada suatu saat dulu lagu itu demikian berarti bagi setiap insan Indonesia.
.
.
Lama sudah rasa seperti ini hilang tertelan jaman. Dia seperti tak lagi memiliki makna hingga tersimpan dalam jauh sudut memori tak terjangkau. Lenyap dan terlupakan.
Ada rasa gembira, sekaligus haru. Dalam makna, dalam setiap baris kalimat, di sana tersimpan sejarah panjang bangsa besar ini pernah berjuang. TANAH TUMPAH DARAHKU, TANAH AIRKU, DISANA AKU BERDIRI.
Dulu, bernyanyi seperti itu sering kita lakukan saat masih sekolah.
Berkecamuk rasa hati ini. Tetes airmata tenggelam dalam larut. Indonesia Raya berkumandang serentak tepat pada pukul 10.00 pagi di seluruh Jogjakarta. DI SANA AKU PERNAH BERJANJI JADI PANDU IBUKU.
Jogjakarta, kau memang luar biasa...
Indonesia seolah kembali lahir di kota budaya itu setelah lama TERLUPAKAN. Setelah lama kita lebih senang berbincang dan berdandan milik asing. Tenggelam kita dalam bingkai orang lain.
Jogjakarta, kau memang beda...👍
Untuk sesaat, kita seperti kembali sadar bahwa Indonesia ternyata MASIH ADA. Terkesan konyol dan berlebihan, namun demikianlah fakta tentang kita setelah beberapa lama terjebak bangga menjadi orang lain.
Ini juga mengingatkan kita bahwa 72 tahun yang lalu, dari Jogjakarta pula nama Indonesia dianggap (ternyata) "MASIH ADA" oleh dunia Internasional.
Satu tahun setelah kita merdeka, Belanda dengan Nica-nya mendarat di Jakarta.
Negara itu merasa bahwa Indonesia masih Hindia Belanda yang sama sejak mereka kalah dari Jepang tahun 1942. Mereka ndompléng sekutu yang ingin melucuti tentara Jepang sebagai pihak yang kalah pada perang dunia II.
Pada tahun yang sama, dari Jakarta, ibukota dipindah ke Jogjakarta. Keamanan para pimpinan negeri yang baru berumur 1 tahun itu menjadi hal paling mendesak sehingga pemindahan harus segera dilakukan.
Namun pada tanggal 19 Desember 1948 Jogja direbut oleh Belanda dan para pemimpin negeri ini langsung ditangkap dan diasingkan.
Adalah Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor, panglima Koninklijk Nederlands Indisch Leger yang memimpin Serangan dan secara sepihak melanggar perjanjian
Renville 17 Januari 1948 yang menyebutkan Belanda mengakui wilayah Indonesia yang meliputi Jawa Tengah, Jogja dan Sumatra.
.
.
Secara politis, apa yang dilakukan oleh Spoor adalah usaha menenggelamkan nama Indonesia pada kancah internasional.
Indonesia sebagai entitas sebuah negara ditutup dan dibuat seolah tak pernah ada. Tak punya pemimpin atau pemerintahan sekaligus tak memiliki militer.
Sementara Soekarno memilih jalur diplomasi, tentara Indonesia di bawah kepemimpinan Jendral Soedirman melawan Belanda dengan melakukan perang gerilya dari hutan-hutan di sepanjang Jawa Tengah dan Jawa Timur sejak para pimpinan kita diasingkan.
Membuat nama Indonesia tetap "MASIH ADA", diperlukan sebuah peristiwa besar yang dapat membuat dunia Internasional teralihkan. Dari Jogja nama Indonesia "DISEBUT".
Serangan umum 1 Maret 1949 dipilih. Bukan demi merebut Jogjakarta secara permanen,
lebih tentang membuat gaung demi nama Indonesia kembali eksis.
.
.
Perencanaan secara matang disusun. Adalah Letkol Wiliater Hutagalung seorang komandan teritorial sekaligus dokter paru-paru bagi Jendral Soedirman bertugas sebagai penghubung
Jendral Soedirman dengan Panglima Divisi I Kolonel Gatot Subroto (Solo dan sekitarnya) dan Panglima Divisi II Kolonel Bambang Sugeng (Jogja-Magelang dan Semarang bagian Barat).
Peran besar tak dapat dilupakan adalah dari Sultan Hamengkubuwono IX, ayah Gubernur Jogja hari ini Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Serangan besar-besaran merebut Ibukota dipilih. Ditetapkan 1 Maret dan melibatkan 2 Divisi. Menyerang Jogja tanpa melihat Solo dan Magelang sebagai basis militer Belanda tentu sebuah kejanggalan.
Karena targetnya adalah harus berhasil merebut Jogja, bantuan pasukan Belanda dari Solo dan Magelang harus dihambat.
Serangan berlangsung selama kurang lebih 6 jam. Letkol Soeharto sebagai "Wehrkreise" I yakni Brigade yang teritorialnya meliputi Jogja kota dan Kabupatennya diperintah untuk memimpin serangan tersebut dan berhasil meruntuhkan kekuasaan Belanda di Jogja.
Tak penting berapa lama Jogja dapat dikuasai tentara Indonesia, pesan yang ingin disampaikan yakni nama Indonesia "DISEBUT" terpenuhi.
Dan benar, siaran radio yang ditangkap dari Burma atas serangan besar-besaran Tentara Nasional Republik Indonesia terhadap Belanda terdengar.
Berita tersebut menjadi Headlines di berbagai media cetak yang terbit di India dan dunia Internasional terhenyak.
Atas ramai nama Indonesia disebut, memantik (salah satu faktor) diadakannya perundingan antara Indonesia dan Belanda dalam peristiwa yang nantinya disebut
Konferensi Meja Bundar 1949. Dan kita tahu, Kemerdekaan Indonesia secara de jure baru diakui oleh Internasional karena Konferensi Meja Bundar ini meski secara de facto sejak 17 Agustus 1945.
.
.
Pada perayaan Kebangkitan Nasional tahun 2021 ini, Sri Sultan Hamengkubuwono X sekaligus Gubernur Daerah Khusus Yogjakarta kembali mengukuhkan Jogja sebagai tempat bagi nama Indonesia kembali DISEBUT. Bukan oleh dunia Internasional, tapi oleh rakyatnya sendiri.
Menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai kebiasaan baru untuk dilakukan setiap hari di wilayah itu membuat kita rakyat Indonesia tersadar bahwa ternyata masih ada Indonesia.
Lama sudah kita melupakannya. Paling tidak, bagi sebagian rakyat kita yang gamang dengan keIndonesiaannya.
Seperti dulu Belanda pernah marah, beberapa orang yang mengaku lebih Indonesia dari kebanyakan rakyat Indonesia pun marah dan melawan. Seperti Belanda, mereka hanyalah penjajah dengan modus baru. Mereka adalah kelompok yang kemarin pernah mengajak kita lupa siapa kita sebenarnya.
Dari Jogja, nama Indonesia kembali akan sering kita sebut. Dari Jogja, lagu Indonesia Raya akan selalu berkumandang dalam lantang.
.
.
.
🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kekhususan makna tongkat estafet atas pemerintahan Jokowi dalam cara pandang PDIP tentu berbeda dengan banyak partai peserta pemilu 2024 nanti.
Nawacita dan Revolusi mental mendapat titik tumpu dan bagaimana Indonesia pada 2024-2029 nanti harus tersambung erat dengan apa yang sudah Jokowi lakukan selama 10 tahun.
Ada sesuatu yang agak janggal pada peristiwa Semarang kemarin. Seorang Ganjar yang notabene adalah Gubernur Jawa Tengah sekaligus kader PDIP justru tak tampak hadir. Kabar kita terima, dia memang tak diundang.
Kita terhenyak dalam kaget ketika seorang Hidayat Nur Waahid yang nota bene adalah wakil ketua MPR dan bahkan pernah menjadi ketua MPR RI berujar "zionis Nusantara".
Zionis Nusantara sengaja dia lekatkan sebagai predikat bagi sebagian atau sekelompok masyarakat kita yang dalam konflik Hamas dan Israel baru-baru ini dia anggap berpihak pada Israel.
Padahal, sebagai wakil ketua MPR RI, seharusnya dia tak perlu larut dalam saling menyudutkan salah satu pihak apalagi menggeneralisir sebuah predikat.
Mencoba menalar apa yang ada di kepala seorang Hidayat atas frase yang dia pakai, ada beberapa hal perlu kita cermati.
Paradoks kita dalam bernegara tampak saat sebagian warga Poso minta pada pemerintah untuk dipersenjatai. Dalam frustasi karena hak mereka untuk mendapat perlindungan negara tak terpenuhi, mereka minta dilatih
agar dapat turut membasmi terorisme yang terjadi di halaman rumahnya. Atau paling tidak hanya untuk sekedar bela diri ketika negara tak mampu membelanya.
.
.
Seharusnya mereka adalah subyek hukum. Tak pantas negara abai. Apa yang terjadi bukan copet atau maling yang akan masuk dalam rumah mereka tapi gerombolan bersenjata di mana parang atau golok yang warga miliki bukan lawan seimbang.
BAIK ISRAEL MAUPUN HAMAS PALESTINA sepakat gencatan senjata tanpa syarat. Mesir menjadi mediator atau pihak pengusul.
Kenapa Mesir bisa?
Dengan Israel, Mesir memiliki hubungan diplomatik. Pada Hamas, selain wilayahnya langsung berbatasan dengan Mesir, Hamas menganut paham Ikhwanul Muslimin. Kita tahu IM ini lahir dari Mesir.
"Tapi, bukannya IM sudah dianggap organisasi teroris oleh Mesir?"
Sama dengan FPI yang dibubarkan, intelijen kita masih memiliki akses dengan banyak petinggi eks FPI. Para petinggi IM dengan mudah masih dapat berkomunikasi dgn petinggi Hamas.
Di sisi lain, siapakah tak percaya bahwa selain politis, perang ini terkait bisnis para petingginya?
Dalam satu tarikan garis lurus, Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah sejarah tentang bagaimana bangunan sebuah negara yang wilayahnya
membentang dari Sabang sampai Merauke itu dibangun.
.
.
Ada proses panjang harus dilalui. Pondasi yang baik sangat menentukan kualitas bangunan yang akan dibangun di atasnya. Pun Indonesia merdeka.
Sebagai sebuah bangunan, peristiwa Kebangkitan Nasional adalah tentang pondasi yang dibuat demi tujuan Indonesia merdeka.
Kritik Jurnalis Pieter Brooshooft (1845-1921), tentang kewajiban moral Belanda untuk memberi lebih banyak hak kepada rakyat Hindia Belanda ditanggapi
MUNGKINKAH INDONESIA MENJADI JURU RUNDING PERDAMAIAN PALESTINA-ISRAEL?
.
.
.
Kita mendengar bahwa China menawarkan diri menjadi penengah "permusuhan abadi" antara Israel dan Palestina.
Ada alasan cukup masuk akal selain sebagai sesama negara Asia, China secara diplomatik berhubungan dengan keduanya. China selain teman baik Israel, dia juga bersahabat dengan Palestina.
Banyak sudah negara-negara barat tercatat gagal menjadi juru runding yang baik dan netral sehingga diterima kedua pihak.