Brii Profile picture
17 Jun, 115 tweets, 12 min read
Ada yang memilih untuk mengambil jalan pintas ketika mengalami kesusahan hidup. Jalan pintas bergelimang dosa, dan ada “harga mahal” yang harus dibayar. Ngeri..

Malam ini, salah satu teman yang akan menceritakan satu sisi kelam dalam hidupnya.

Simak di sini, di Briistory.

***
Oh iya, nama-nama yang ada semuanya samaran (Kecuali Brii), kalau ada kesamaan nama atau peristiwa pasti hanya ketidaksengajaan.

Mohon untuk bijak membaca cerita kali ini..

Selanjutnya, yang bersangkutan sendiri yang akan menceritakannya langsung.

***
Aku Hesti, umur 33 tahun, domisili Jakarta.

Sekadar info, aku termasuk selebgram dengan satu juta lebih followers.

Kali ini aku akan coba untuk menceritakan satu episode gelap dalam hidup yang pernah aku jalani.
Kenapa aku menyebutnya episode gelap? Karena dalam masa itulah aku merasakan ketersesatan, jauh dari Tuhan, sama sekali gak pernah ibadah, selalu mengutamakan duniawi.
Semua berawal pada tahun 2013.

Sedikit penggambaran, sejak sekolah dan kuliah aku sudah berniat dan punya cita-cita untuk jadi pengusaha, ketimbang harus melamar pekerjaan dan jadi karyawan.
Almarhum ayah dulunya seorang pengusaha sukses, aku sangat mengagumi pencapaiannya dalam membangun dan mempertahankan perusahaan yang beliau dirikan. Melihat prestasi Ayah ini, menjadi salah satu alasan aku untuk menjadi pengusaha.
Nah, untuk menuju cita-cita itu, selepas kuliah aku memulai dengan berjualan online kecil-kecilan di market place, menjadi suplier dan distributor barang kebutuhan dan perlengkapan wanita, seperti pakaian, tas, kalung, gelang, dan lain sebagainya.
Aku gak memproduksi barang-barang jualan, tapi mendapatkannya dari penjual lain atau pun dari pembuatnya langsung.
Sama seperti pengusaha-pengusaha lain, tentu saja aku juga mengalami banyak cobaan dan ujian ketika baru mulai usaha, merintis istilahnya.

Daganganku gak banyak dilirik orang, jauh dari kata “Laku banget”, keadaan itu berlangsung lama, sekitar dua tahun lebih aku mengalaminya.
Berbagai cara sudah aku lakukan untuk meningkatkan penjualan, entah itu promosi gencar dan lain sebagainya, tapi tetap saja gak ada perubahan signifikan.
Gak hanya di market place, aku juga mencoba untuk berjualan di akun Instagram pribadi.

Akun instagram ini awalnya hanya untuk menampilkan dokumentasi kegiatanku sehari-hari, isinya ya bermacam photo diri di berbagai tempat, entah sendiri atau bersama rekan dan sahabat.
Oh, iya, menurut orang-orang, penampilanku cantik, ditambah aku juga gemar berpakaian modis dan berdandan cantik.
Pokoknya, kata orang aku cantik, menarik, dan photogenik . Jadi, walaupun hanya akun pribadi dokumentasi kegiatan sehari-hari, tapi akun Instagramku sudah memiliki puluhan ribu pengikut, lumayanlah untuk ukuran aku yang bukan siapa-siapa pada saat itu.
Kembali ke kegiatan usahaku.

Dua tahun lebih gak ada perkembangan berarti, penjualan hanya datar-datar saja, gak ada peningkatan, padahal aku sudah merasa sangat maksimal menjalaninya. Putus asa? Hampir..
Iya, aku hampir putus asa, sampai akhirnya tahun 2015 aku bertemu dengan salah satu teman lama, teman SMA tepatnya. Teman ini bernama Rida.
Kami bertemu gak sengaja di salah satu Mall di Jakarta Selatan. Tentu saja, dalam pertemuan itu kami lantas melepas kangen dan bercerita apa saja.
Sejak lulus SMA kami memang belum pernah ada pertemuan lagi sebelum ini. Rida yang pada masa SMA dulu kelihatan culun, lugu, dan agak dekil, berubah drastis menjadi perempuan cantik menarik bergaya modis dan dengan dandanan mewah.
Sama seperti aku, Rida juga waktu itu belum menikah. Tapi, ada pencapaian Rida yang membuat aku terkagum-kagum.
Rida gak berkuliah, setamat SMA dia langsung bekerja sebagai pengusaha. Dan ternyata Rida ini sudah bisa dianggap sebagai pengusaha sukses, sudah memiliki satu perusahaan yang bergerak di bidang penyedia bahan konstruksi, sudah banyak proyek besar yang dia tangani.
Intinya, Rida sudah menjadi orang kaya raya, mobil mewah dan rumah besar sudah dimiliki, pokoknya hidupnya bergelimang harta.
“Lo sekarang ngapain Hes? Kerjakah? Di mana?” tanya Rida di tengah percakapan.

“Gw gak kerja Da, masih mulai usaha, jualan gitulah. Tapi masih merintis, hahaha.”
“Bagus dong. Gak apalah, namanya juga usaha, pasti berdarah-darah di awal. Gw juga begitu dulu, penuh dengan keringat dan air mata, hehe.” Begitu Rida bilang.
Itu pertemuan pertama, setelahnya ada beberapa kali pertemuan, walau masih hanya sekadar ngobrol di kafe atau tempat makan.
Seiring berjalannya waktu, aku dan Rida semakin intens bertemu, dan aku juga mulai diajak untuk ikut menemani dia dalam malakukan bisnis usahanya, entah itu meeting atau pekerjaan lainnya.
Saat itu aku sangat kagum padanya, sungguh pencapaian yang bisa membuat semua orang ingin menggapai hal yang sama.
“Lo percaya gak sih, Hes. Tahun 2010 itu gw masih belum punya apa-apa, hutang seleher, pindah-pindah kost karena gak sanggup bayar. Pokoknya parahlah hidup gw.” Rida bercerita begitu ketika kami sedang berada di dalam sedan mewahnya, suatu hari di akhir tahun 2015.
“Loh, tapi kan lo sekarang udah ngerasain hasilnya. Keren loh, dalam lima tahun lo bisa mencapai ini semua.” Jawabku menimpali.
“Tapi, lo harus jawab jujur deh, lo pasti punya pertanyaan meragukan, ‘Kok, bisa sih Rida sesukses ini dalam waktu hanya lima tahun aja?’, ngaku lo, iya kan? Hahaha. Gak apa-apa Hes, itu wajar.”
“Hehehe, iya sih, kok bisa ya lo bisa sesukses ini dalam waktu yang bisa dibilang singkat? Cuma lima tahun, keren ih.” Jawabku.

Setelah itu, aku melihat Rida menarik nafas panjang dan melamun sebentar di balik kemudi.
“Kenapa Da? Kok berubah gitu.” Tanyaku penasaran.

“Semua ada awalnya, Hes. Ada pencetusnya.” Rida bilang begitu, sambil kemudian tersenyum.

“Maksud lo apaan sih Rida?” Aku semakin penasaran.
“Lo udah gw anggep sahabat, Hes. Gw akan cerita gimana caranya sampai gw bisa punya ini semua, harta berlimpah dan usaha sukses. Tapi, gw mohon untuk lo jangan bilang siapa-siapa, gw belum pernah ceritakan hal ini ke siapa pun.” Begitu Rida bilang panjang lebar.
Intinya, Rida ingin menceritakan satu rahasia, rahasia kesuksesannya.

Aku ya jelas penasaran, memang gimana sih caranya? Kenapa sampai harus rahasia-rahasiaan segala..

***
Hari berikutnya, Rida mengajakku ke luar kota.

Awalnya aku gak tahu akan ke mana dan tujuannya apa, aku ikut saja.

“Udah, lo ikut aja, jangan nanya-nanya. Gw mau nunjukin satu tempat.” Rida bilang gitu.
Ya, sudah, aku duduk manis saja di dalam mobil.
Singkat cerita, akhirnya aku tahu ke mana tujuan kami, yaitu ke satu tempat di wilayah Banten, agak pedalaman, lima jam perjalanan dari Jakarta.

Sekitar jam dua siang, kami sampai di tujuan.
Rida memarkirkan kendaraan di depan rumah besar dengan halaman luas.

Sebelumnya, kami harus melewati jalan tanah, dengan kanan kiri pesawahan dan hutan kecil. Cukup pedalaman..

“Ini rumah siapa Da?” tanyaku.

“Udah, keluar dulu yuk.” Jawab Rida mengajakku turun dari mobil.
Di luar, aku mengamati sekitar. Kalau diperhatikan, rumah ini adalah rumah yang paling besar yang ada di desa ini.
“Eeehhh, Neng Rida. Akhirnya dateng lagi. Udah lama banget ya, Neng. Hehehe.”

Seorang bapak keluar dari dalam rumah, menyambut kedatangan kami. Rida langsung memperkenalkan aku.
Sebut saja Pak Ruhiyat, nama sang pemilik rumah besar ini. Beliau berperawakan kurus tinggi, berpakaian serba hitam, kumis tebal menghiasi wajah yang memiliki sorot mata tajam. Aku agak ngeri melihatnya, cukup seram.

Lalu kami dipersilakan masuk.
Di ruang tamu yang besar dan dipenuhi perabotan mewah, kami berbincang.

Saat itu aku hanya jadi pendengar pemerhati, hanya menanggapi sesekali saja, Rida yang lebih banyak berbincang dengan Pak Ruhiyat.
Singkatnya, setelah kurang lebih satu jam kami berbincang, akhirnya aku mulai tahu apa tujuan Rida ke rumah ini, dan siapa sebenarnya Pak Ruhiyat ini.
Ternyata, Pak Ruhiyat adalah “Orang pintar/Paranormal”, begitulah.

Walaupun belakangan Rida bersikeras kalau beliau adalah Penasihat spiritual, bukan dukun. “Ah, ya sama aja lah” begitu pikirku dalam hati.
Cukup lama kami berbincang, sampai akhirnya menjelang maghrib Pak Ruhiyat bilang begini “Ya, udah. Sekarang aja yuk Neng, biar cepet selesai, hehe.”

Maksudnya apa? Mereka mau ngapain? Aku gak tahu sama sekali.
Sesudah mengiyakan, Rida lalu mengikuti langkah Pak Ruhiyat untuk masuk ke dalam satu kamar di rumah itu. Mereka masuk kamar gak hanya berdua, tapi didampingi oleh istri Pak Ruhiyat yang sepertinya berperan sebagai asisten.
Setelah itu aku gak tahu apa yang mereka lakukan di dalam kamar.
Hanya sebentar, sekitar 45 menit kemudian mereka sudah keluar dari kamar, selesai.

Lalu lagi-lagi kami berbincang di ruang tamu. Pada saat itu, aku masih belum tahu apa yang baru saja mereka kerjakan.
Singkatnya, sekitar jam setengah tujuh, kami pamit pulang, menghindari kemalaman sampai Jakarta.
Dalam perjalanan pulang, aku menghujani Rida dengan banyak pertanyaan.

“Lo ngapain sih di kamar, Da? Perdukunan ya?” tanyaku membuka percakapan.
“Gw tadi merawat susuk Hes, memperpanjang masa guna lah intinya, supaya bisa terus mujarab.” Jawab Rida.

“Gila, lo masang susuk Da?, sarap lo ya.” Nada bicaraku jadi agak tinggi mendengarnya.
Setelah itu Rida mulai cerita dari awal. Ketika hidupnya dalam masa tersuram lima tahun sebelumnya, terjerembab dalam lilitan hutang piutang, hidup sengsara dalam kemiskinan, Rida putus asa, sempat hampir bunuh diri.
Sampai akhirnya dia diajak oleh salah satu temannya untuk ke rumah Pak Ruhiyat.

Lalu Pak Ruhiyat memberi saran untuk bisa keluar dari kesusahan hidup, dia menyarankan untuk memasang susuk untuk kesuksesan usaha.
“Ini susuk dipasang di muka, Hes. Fungsinya supaya gw kelihatan menarik, oleh lawan jenis maupun rekanan kerja."
"Entahlah, tapi sejak dipasang susuk, hidup gw beranjak membaik, gw dapat banyak pekerjaan yang sebelumnya gak bisa gw dapet. Semua orang seperti welcome dan sangat tertarik untuk bekerja sama dengan gw."
"Semuanya lancar, Hes. Sampai akhirnya hutang gw lunas semua, dan jadi seperti gw yang sekarang ini.” Begitu Rida bilang.

Jadi, sepertinya susuk ini memberi pengaruh besar dalam hidup selama lima tahun sebelumnya, hingga bisa sukses besar seperti ini.
“Lo juga kalo mau bisa, Hes. Kalo mau, biar gw bayarin dulu deh maharnya.”

Rida bilang begitu, ketika gw masih melamun setelah mendengar ceritanya.

“Gak, Da. Makasih. Gw gak mau, serem.” Aku jawab begitu, awalnya.

***
Hari-hari berikutnya aku jalani dengan normal, lanjut berusaha membangun bisnis jualanku. Sesekali aku dan Rida juga bertemu, walau hanya sekadar ngopi dan berbincang.
Jujur, waktu itu aku masih memikirkan tentang susuk yang digunakan Rida, susuk dengan semua hasil yang dicapai.
Yang pada awalnya aku sama sekali gak tertarik, perlahan pendirianku mulai goyah, di sini setan mulai masuk ke dalam hati. Aku tergoda ingin memiliki semua hal yang dipunya Rida.
Hingga pada suatu hari, aku menelpon Rida:

“Da, gw mau deh kayak elu. Gw mau pasang susuk juga deh.”

“Hahaha, ok ok. Kamis ini kita berangkat ya.” Begitu Rida bilang.

Ya sudah, sesuai rencana, pada suatu kamis kami datang berkunjung ke rumah Pak Ruhiyat, lagi.

***
“Pak, Hesti akhirnya mau juga nih dipasang, hehe.” Begitu Rida bilang.

“Ya udah atuh neng. Gak apa-apa, biar sakses kayak neng Rida kan, hehe. Jadi pengusaha besar di Jakarta.” Timpal Pak Ruhiyat.
Lagi-lagi singkat cerita, akhirnya aku mengikuti proses dan ritualnya. Aku bersama Pak Ruhiyat dan istrinya masuk ke dalam salah satu kamar di rumah besar itu.
Kamar ini sungguh agak menyeramkan, bau kemenyan menyegak pernafasan, gak ada ventilasi sama sekali, juga gak ada cahaya masuk. Penerangan hanya bersumber dari benda seperti lilin yang bentuknya aneh.
“Neng, nanti neng gak akan merasakan apa-apa. Tenang aja. Prosesnya gak akan lama.” Begitu pak Ruhiyat bilang.

Benar, beberapa belas detik setelah itu aku gak ingat apa-apa lagi, seperti tidur atau pingsan, entahlah.
Aku tersadar ketika wajahku sedang diusap oleh tangan Pak Ruhiyat, tangannya dingin karena basah dengan air.

“Bangun neng, udah selesai.” Begitu Pak Ruhiyat bilang sambil tersenyum.

Udah selesai? Kok gak terasa apa-apa?
Banyak pertanyaan yang ada di kepala.
Kami bertiga lalu ke luar kamar, menuju ruang tamu di mana Rida sedang menunggu.

Di situ, kami lagi-lagi berbincang.
“Dipasangnya satu dulu ya, Neng. Kita coba dulu, manjur gak make susuk yang ini.” Pak Ruhiyat membuka percakapan.

“Nanti ke sini lagi ya, kasih tau hasilnya.” Istri pak Ruhiyat menimpali.
Aku mengangguk-angguk.

Saat itu aku gak tahu susuknya ditanam di mana, yang pasti di wajah, tapi gak tahu letak pastinya.
Pak Ruhiyat bilang, khasiatnya adalah setiap orang akan terpesona dan tertarik denganku, aku akan sangat didengarkan, ini sangat bagus untuk bisnis dan pekerjaan, begitu katanya.

Begitulah..

Jam tujuh malam kami pamit pulang.

***
Setelah pemasangan susuk itu, aku menjalani hidup seperti biasanya, seperti sebelumnya, normal.

Hari berganti hari, minggu ke minggu, bulan berganti bulan.
Ternyata, aku merasakan ada perbedaan. Iya, perbedaan.

Aku seperti dipermudah dalam menjalankan usaha. Perlahan tapi pasti penjualan beranjak naik, semakin laris dan semakin laris.
Perubahannya signifikan, dalam hitungan bulan aku sudah mendapatkan untung jutaan rupiah. Bulan berikutnya mulai belasan juta. Berikutnya bisa puluhan juta. Aku jadi kebanjiran order. Puncaknya, aku sampai harus mempekerjakan dua orang untuk membantu menjalankan usaha.
“Waaahh, mulai terasa kan hasilnya, hehe. Selamat ya Hes.” Kata Rida pada suatu ketika.

Melihat keberhasilan ini, aku semakin tergoda untuk mendapatkan yang lebih lagi, aku ingin lebih kaya raya.
Mengikuti nafsu sesat, kemudian aku datang kembali ke rumah Pak Ruhiyat, untuk memasang susuk lagi.

Berikutnya, kira-kira tiga bulan sekali aku datang mengunjungi Pak Ruhiyat, entah itu bersama Rida atau sendirian. Aku semakin terjerumus..

***
Bisa ditebak, selanjutnya hidupku bergelimang harta, semua usahaku seperti ada yang melancarkan.

Selain berjualan yang sukses, percaya gak percaya, ternyata akun instagramku juga mengalami peningkatan.
Awal 2018, pengikutku sudah mencapai hampir satu juta. Dengan pengikut sebanyak itu, aku mulai terkenal, jadi selebgram lah. Dengan banyaknya pengikut, aku jadi kebanjiran orderan endorse. Dari instagram ini saja, penghasilanku sudah sangat lumayan waktu itu.
Pokoknya, sejak akhir 2017 sampai pertengahan 2018, hidupku bergelimang harta dan ketenaran.

Tapi walaupun begitu, perlahan di dalam lubuk hati aku merasa ada gundah, seperti ada yang mengekang, hidupku seperti berhutang, aku merasakan hampa terbelenggu dosa.
Aku terus berusaha untuk abaikan semua, mencoba untuk menikmati harta dan kesuksesan. Tapi ternyata gak bisa, aku mulai merasa bersalah, semakin merasa bersalah.
“Gak apa-apa Hes, nanti juga lama-lama perasaan itu hilang.”

Begitu jawaban Rida ketika aku bertanya perihal perasaanku yang gak enak itu.

Ya sudah, aku coba terus jalani, memaksa diri unruk menikmati semuanya.
Sampai ketika, petaka itu datang..

Menjelang akhir tahun 2018, Rida meninggal dunia, dia mengalami kecelakaan tunggal di luar kota.

Aku lemas mendengar berita itu, aku shock, bersedih dan menangis, kehilangan sahabat secara tiba-tiba.

***
Sepeninggal Rida, aku belum sempat lagi mengunjungi Pak Ruhiyat, dengan berbagai macam alasan aku gak pernah sempat untuk ke rumahnya.
Waktu terus bergulir..

Sampai ketika, di awal 2019, aku mulai merasa ada keanehan di badan. Awalnya hanya meriang ringan, beberapa kali aku menggigil kedinginan, hanya seperti itu.
Tapi berikutnya, mulai merasakan yang lain, badan sering demam tanpa sebab, kepanasan, gerah, lalu tiba-tiba menggigil, begitu terus, semakin rutin. Sering juga kepalaku sakit sekali, wajah panas tiba-tiba.

Aku mulai tersiksa.
Saat itulah aku jadi kepikiran dengan Pak Ruhiyat, aku yakin dia bisa menolongku. Tapi sial, pesan singkatku gak dibalas, ketika aku coba menelpon ternyata nomor ponselnya sudah gak aktif lagi. Kemudian aku berniat untuk mendatanginya saja rumahnya.
Tapi alangkah terkejutnya aku, ketika sampai di rumah Pak Ruhiyat mendapatkan berita mengagetkan.

Ternyata rumah itu sudah bukan milik Pak Ruhiyat lagi.

Menurut tetangganya, akhir tahun 2018 Pak Ruhiyat meninggal mendadak, entah karena apa.
Sepeninggal Pak Ruhiyat, istrinya langsung menjual rumah itu dan pindah entah ke mana.

Aku bingung bukan kepalang, ke mana harus pergi untuk menyembuhkan diri?
Dalam kendaraan perjalanan pulang, aku menangis sejadi-jadinya, menyesal sedalam-dalamnya. Pikiran buntu, gak tahu apa yang harus dilakukan.

***
Berikutnya, aku makin tersiksa, sakitnya makin menjadi-jadi. Aku gak tahan, sakit tak terkira.

Pekerjaan mulai terbengkalai, hidup mulai berantakan.
Tubuhku semakin kurus, kusam, gak bercahaya, aku sakit..

Hari-hari aku habiskan menahan sakit sambil terus menangis, Tuhaaaan, aku gak tahan lagi.
Sampai ketika, ada satu teman yang berniat baik untuk menolong, Dewi namanya.

“Hes, gw pernah lihat di tv, ada orang yang bisa menyembuhkan dan mencabut susuk, mungkin lo bisa coba hubungi dia.” Begitu katanya.
Jadi, Dewi bilang, dia pernah menonton satu acara di tv nasional. Acara itu menampilkan beberapa paranormal, salah satu paranormal sebut saja namanya Mas Wawan. Dewi menyarankan aku untuk menemuinya.
Ya sudah, aku belum ada pilihan lain lagi, kemudian berniat untuk menemuinya.

Setelah dengan berbagai cara mencari info, akhirnya aku mendapatkan nomor kontak Mas Wawan.
Setelah itu aku berbincang melalui telpon, sedikit membicarakan keluhanku. Hasilnya, Mas Wawan mempersilakan aku untuk datang menemui di rumahnya, di pinggir timur Jakarta.

Karena sudah gak tahan dengan siksaan ini, akhirnya aku buru-buru datang menemuinya.
Pada suatu siang di hari sabtu, kami akhirnya bertemu.

Di dalam rumah Mas Wawan, di ruang tengah, aku kembali bercerita semuanya, dari awal pasang susuk sampai merasakan siksaan sakitnya.
Oh, iya, waktu itu ternyata bukan hanya Mas Wawan yang aku temui, ada satu orang lagi. Ternyata ada Mas Brii juga. Iya, Mas Brii yang kita kenal ini.

Mas Brii ternyata teman dari Mas Wawan.

Saat itulah pertama kalinya aku bertemu dengan Mas Brii.
“Oh Begitu, InsyaAllah kami akan coba membantu. Tapi nanti setelah ini, Mbak Hesti harus mulai tobat ya, jangan diulangi lagi.” Begitu Mas Wawan bilang.

Aku mengiyakan, karena sudah gak tahan lagi, aku ingin sembuh.
“Nanti, Mas Brii yang bakal ambil susuknya ya. Dia bisa juga kok, hehehe.” Lanjut Mas Wawan.

Setelah Mas Wawan bilang begitu, aku melihat Mas Brii seperti kebingungan, entah kenapa.
Mas Wawan lalu pergi ke bagian belakang rumahnya, untuk mengambil sesuatu, meninggalkan aku dengan Mas Brii di ruang tamu.

Tapi gak lama, setelah itu Mas Wawan muncul kembali dengan membawa nampan lebar keperakan.
“Yuk, kita mulai ya.” Mas Wasan bilang begitu, setelah sudah kembali duduk.

Berikutnya, dipandu Mas Wawan, kami mulai membaca doa. Cukup lama, sekitar 10 menit. Dalam proses berdoa ini, aku merasakan kalau wajah berangsur terasa hangat cenderung panas.
“Mas, mukaku panas, aku gak tahan.” Aku bilang begitu, sambil nyaris menangis.

“Ya sudah, kita mulai cabut ya. Mas Brii silakan.” Kata Mas Wawan.

Lagi-lagi Mas Brii seperti kebingungan, aku melihatnya begitu.
“Gak apa-apa Mas Brii, ayok tunjuk aja di mana letak susuknya, lalu ambil.” Mas Wawan melanjutkan omongan.
Kemudian perlahan Mas Brii mulai mengangkat tangan, lalu jari telunjuknya mulai menyentuh wajahku, tepat di bagian bawah bibir di atas dagu. Jari telunjuk Mas Brii terasa dingin. Kemudian perlahan aku merasa sedikit sakit, rasanya seperti bisul/jerawat di wajah yang mau pecah.
Beberapa detik kemudian, “Ting..”, begitu bunyinya, ternyata ada logam kecil keluar dari wajahku lalu jatuh di atas nampan keperakan yang disiapkan Mas Wawan sebelumnya. Aku melirik ke atas nampan, ternyata di situ sudah ada jarum berwarna keemasan, sangat kecil bentuknya.
“Masih ada, Mas Brii?” tanya Mas Wawan.

“Masih, Mas.” Jawab Mas Brii pendek.
Kemudian jari telunjuk Mas Brii mulai bergerak lagi, kali ini menempel di pipi kananku, tepat di bawah mata.
Lagi-lagi aku merasakan hal yang sama dengan proses pertama. Dan lagi-lagi ada benda keluar dari wajahku yang disentuh oleh jari telunjuk Mas Brii.

Kali ini benda yang jatuh bentuknya seperti batu permata yang sangat kecil, kira-kira seukuran butir beras.
Selesai? Belum.
“Masih ada, Mas Brii?” lagi-lagi Mas Wawan bertanya.

“Masih, Mas.” Jawab Mas Brii lagi.

Tuhaaaaan, ada berapa susuk di wajahku? Aku mulai menangis.
Berikutnya, jari telunjuk Mas Brii menyentuh keningku, tepat di tengah-tengahnya.

Sama, aku merasa ada sesuatu yang muncul keluar dari dalam wajah, sakit sekali rasanya.
“Ting..” Satu benda lagi jatuh di atas nampan perak.
Benda ketiga adalah jarum emas lagi, kecil sekali bentuknya.
“Sudah habis, Mas. Gak ada lagi.” Mas Brii bilang begitu.

Sungguh lega aku mendengarnya. Selanjutnya, wajahku berangsur terasa normal, gak panas lagi.
“Janji ya Mbak, jangan lagi-lagi. Lebih baik berusaha yang normal-normal aja.” Begitu kata Mas Wawan.

“Iya, Mas. Saya tobat, gak akan lagi-lagi, terima kasih banyak,” Jawabku sambil menangis.
“Kalau ada apa-apa lagi bisa menghubungi saya atau Mas Brii, kapan aja, jangan sungkan.” Lanjut Mas Wawan.

Selanjutnya aku pamit pulang.
Setelah itu, hari-hari berikutnya aku jalani dengan normal, aku bartobat, aku menyesal. Gak akan lagi-lagi aku menempuh jalan sesat.
Hidupku jadi jauh lebih tenang, berusaha untuk dekat dengan-Nya, beribadah hanya kepada-Nya.

Alhamdulillah, usahaku masih berjalan lancar dan baik-baik saja sampai sekarang.

***
Hai, balik lagi ke gw ya, Brii.

Cukup sekian cerita malam ini, mohon untuk bijak untuk mengambil hikmahnya, buang keburukannya.

Sekali lagi, kalau ada kesamaan nama tokoh dan peristiwa berarti hanya ketidaksengajaan.

Sampai jumpa minggu depan, tetap sehat ya.

Salam,
~Brii~

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Brii

Brii Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @BriiStory

6 May
Kampung halaman, merupakan tempat yang sangat nyaman. Apa pun keadaannya sesekali kita harus pulang, apa lagi menjelang hari raya.

Malam ini, akan ada cerita dari dua teman, Yudha dan Hudar tentang pengalaman mereka ketika mudik lebaran.

Simak di sini, hanya di Briistory.

*** Image
~Beberapa hari sebelum Lebaran 2018~

Hampir tengah malam, Yudha sedang dalam perjalanan pulang menuju Semarang menggunakan bis.
Hanya tinggal beberapa jam lagi sampai tujuan.
Read 88 tweets
22 Apr
Di daerah terpencil, banyak kisah mencekam yang gak masuk di akal, tapi kejadian.

Banyak orang yang sukar untuk percaya, sampai benar-benar merasakan sendiri keseramannya.

Ada satu kisah telaga kecil di desa terpencil, pedalaman Sumatera.

Simak di sini, di Briistory..

***
Aku Rendri, awal tahun 2002 ditugaskan oleh perusahaan tempatku bekerja untuk tinggal di satu desa terpencil di pedalaman Sumatera.
Tugasku adalah mensosialisasikan berbagai produk pertanian dan perkebunan ~termasuk pupuk~ yang kami produksi, kepada penduduk (khususnya petani) di desa itu.
Read 110 tweets
15 Apr
Malam hari dan sendirian, saat-saat seperti inilah ketika seluruh indera bekerja dengan maksimal. Malah terkadang indera keenam juga berjalan tanpa perintah, merasakan apa yang seharusnya gak dirasakan.

Simak cerita seram di bulan Ramadan ini, hanya di sini, di Briistory.

***
“Sahuuurrr, sahur, sahuuurrr, sahur..”

Teriakan anak-anak kecil diiringi dengan suara tetabuhan bertalu-talu terdengar dari luar, ramai jadinya.

Pada jam setengah tiga dini hari akhirnya aku bisa bernafas lega, selesai semuanya, walaupun mungkin hanya untuk sementara.
Setelah sudah cukup waktu untuk menenangkan diri, aku bangkit dari duduk dan melangkah ke luar kamar.

Tapi tetap saja langkahku masih agak tertahan, keberanian masih berpacu melepas dari belenggu ketakutan yang satu atau dua jam yang lalu memenuhi pikiran dan perasaan.
Read 78 tweets
8 Apr
Sering kali keadaan memaksa kita untuk menghadapi situasi yang sangat menguji nyali.Rintihan jerit hati yang ketakutan, seperti gak ada yang mendengar atau peduli. Tinggal bergantung pada diri sendiri..

Simak kisah seram dari kota Cimahi, malam ini, hanya di Briistory..
***
Sendirian, nyaris tengah malam, di tempat yang baru saja aku tempati.

Suasananya sangat sepi, di lahan luas yang atasnya berdiri dua bangunan.

Di rumah yang gak terlalu besar ini aku seorang diri, di ruang tengah menonton televisi.
Biasanya, jam 10 sudah lelap tertidur, tapi malam ini beda, aku sama sekali belum merasakan kantuk. Mata terus memperhatikan layar TV.

Sampai ketika, sesuatu mulai terjadi..
Read 104 tweets
18 Mar
Gelap, kosong, sunyi.
Hanya sedikit lampu menyala memberi penerangan.
Seramnya gedung kosong di malam hari..

Seorang teman akan berbagi kisah cekam ketika bekerja di salah satu Mall/Plaza terkenal di Jakarta.

Simak di sini, di Briistory..

***
“Lift udah dimatiin Di, lo harus lewat tangga dalem.”

“Yaaaaahh, aku sendirian pula. Mba Yan gak mau turun bareng?”
“Belum bisa, masih ada yang harus gw kerjain nih.”

Itu percakapanku dengan Mba Yanti, staff admin di tempat aku bekerja.

Setelah berganti pakaian, aku berniat untuk langsung pulang.
Read 104 tweets
11 Mar
Sering kali rasa penasaran mengalahkan redupnya nyali, padahal kita gak paham situasi.

Seperti kisah kali ini, berjalan melintas jalan Tol Cipali, Windi dan keluarga terjebak dalam rentang beda dimensi, seramnya pasti.

Simak di sini, hanya di Briistory..

***
~Akhir tahun 2016~

Rintik hujan turun di bagian timur Jakarta, ketika kami baru saja lepas dari sumpeknya tol dalam kota, di mana ribuan kendaraan berjejal merebut ruang jalanan untuk bisa pulang, atau entah ke mana tujuannya.
Masih tetap padat, tapi seenggaknya mobil yang kami tumpangi ini bergerak konstan walaupun perlahan.
Read 102 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(