Orang tuaku, sejak dulu sering mengingatkan untuk pulang, masuk kedalam rumah saat waktu sudah mendekati maghrib. Karena konon, saat menjelang maghrib merupakan saat "Tengangi", saat "cadek olo" keluar.
Saat beraktifitas pun, jika sudah mendekati waktu tengangi diusahakan untuk berhenti sejenak, menunggu saat itu usai.
Menurut kepercayaan dari masyarakat, menghindari aktifitas diwaktu tengangi akan menghindarkan kita dari hal-hal negatif yang bisa saja terjadi saat itu.
Seharusnya, perkataan orang tuaku itu yang saat itu kuingat.
Sekitar empat atau lima tahun yang lalu, saat itu aku masih bekerja disebuah perusaan konsultansi sipil, dimana kegiatanku adalah melakukan pengawasan pada pelaksanaan pembangunan, di wilayah kabupaten Batang.
Aktifitas kerjaku saat itu bisa dikatakan lebih banyak diluar kantor.
Aku mendapat tugas pengawasan di daerah Limpung, Banyu Putih, dan Gringsing. Beberapa lokasi yang masih satu arah jika ditinjau dari kantor yang berada di kawasan kota, di Kabupaten Batang.
Karena lokasi pengawasan yang cukup jauh dari kantor, apa lagi rumahku, aku pun terbiasa pulang hingga sore hari. Tak jarang aku pun harus pulang larut malam sampai di rumah, jika ada pelaksanaan pekerjaan lembur di lokasi pembangunan yang kuawasi.
Hari sudah melewati waktu Ashar.
Aku masih berada di lokasi kerja yang waktu itu di daerah limpung. Setelah menyelesaikan laporan pekerjaan, kusempatkan untuk berkeliling memantau pelaksanaan pekerjaan. Berbincang dengan pelaksana dari pihak kontraktor, sesekali menyapa pekerja.
Tak terasa waktu berlalu, saat kulihat jam tangan ternyata sudah menunjukkan pukul setengah lima.
"Gimana bos? Jadi, kapan mau nginep?" celetuk pelaksana, yang bernama Pak Wahyu.
"Sesekali lah, ngerasain nginep disini. Tidur di Kos-an saya juga gapapa kok"
"Wah, terima kasih sebelumnya pak. Nanti saya sudah ada janji sama temen. Jadi tetep harus pulang. Lain kali ya pak." Aku berusaha menolak tawaran pak Wahyu.
Setelah kembali ke ruang direksi dan mengemas beberapa barang milikku, aku kembali berpamitan dengan Pak Wahyu.
"Yakin nih gak mau nginep?" Pak Wahyu kembali mengulangi tawarannya, dan aku masih tetap menolaknya dengan halus.
Aku bergegas menuju parkiran, menyalakan motor, dan beranjak dari lokasi kerja.
Saat keluar dari lokasi, terbesit niatan untuk mampir sebentar ke warung terdekat.
Ku arahkan motorku ke warung yang biasa menjadi tempat istirahatku saat bekerja. Setelah memesan minuman dan menyalakan sebatang rokok, aku sedikit berbincang dengan penjualnya.
"Njenengan mau pulang mas?" tanya bu Dah, pemilik warung.
"Nggih Bu, sudah sore kok" Jawabku singkat.
"Loh, jam segini baru mau pulang, sampai rumah jam berapa mas?" Bu Dah kembali bertanya.
"Ya, paling cepet sih mungkin habis maghrib bu. Rumahku kan agak jauh dari sini".
"Iya ya mas, rumahmu jauh. Harusnya kamu cari kos disini daripada bolak-balik tiap hari."
"Yah, gimana lagi bu, sudah kerjaannya begini. Tiap pagi jg harus laporan dulu sama bos di kantor, jadi gk mungkin juga cari kos nginep di daerah sini." Ujarku, sedikit memberi penjelasan.
"Gitu ya mas. Yang penting hati-hati mas kalau dijalan. Jam segini biasanya pantura ramai"
"Iya Bu. Kemarin juga katanya sempet ada kecelakaan ya di daerah banyuputih?" Tanyaku, sedikit membahas beberapa kejadian di pantura, yang beritanya cepat tersebar.
"Wah, sering mas disitu. Sepanjang jalur pantura, kan memang sudah sering jadi lokasi lakalantas".
"Makanya, kamu juga harus hati-hati mas. Apa lagi ini sudah sore. Jangan ngebut-ngebut. Yang penting selamat sampai rumah." Bu Dah menasehatiku.
Aku mengiyakan perkataannya dengan mengangguk.
Tak berapa lama, pak wahyu terlihat berjalan keluar dari lokasi kerja.
Buru-buru kuhabiskan minumanku, rokok yang kunyalakan pun sudah hampir habis, kumatikan dan kubuang puntungnya kedalam asbak.
Ku ambil beberapa lembar uang dari saku celana dan kubayarkan ke Bu Dah.
"Loh, tadi katanya mau pulang? Kok masih disini?" Seru Pak Wahyu.
"Iya Pak, mampir bentar bayar utang sama minum." jawabku.
"Eh, malam ini malam jumat ya, Mbak Dah?" Celetuk pak Wahyu pada Bu Dah.
"Nggih pak, malem jumat. Makanya ini saya bentar lagi mau tutup".
"Ya sama, saya juga sudah beberes mau balik ke kontrakan." Tambah pak Wahyu.
"Cah bagus, yakin mau pulang?" Pak Wahyu kembali bertanya padaku.
"Ah, sudah ah, dilanjutin ngobrol sama bapak malah nanti saya kesorean" Tutupku.
"Hehe. Guyon. Yowes, hati-hati yo nang. Ini malem jumat lho."
Aku tak menghiraukan beberapa perkataan pak wahyu, dan buru-buru pergi dari warung itu.
Aku melajukan motorku melewati alun-alun Limpung yang cukup ramai saat itu.
Ku ambil jalur tercepat ke arah pantura, dimana beberapa kendaraan juga terlihat memilih jalan itu.
Jalur dari limpung menuju pantura, tepatnya kearah banyuputih, masih terlihat cukup terang saat itu. Mengingat waktu juga masih menunjukkan sekitar jam lima.
Aku melajukan motorku melewati jalan diantara persawahan dan perkampungan. Hingga akhirnya sampailah di jalur pantura.
Kulambatkan laju motorku, sambil memperhatikan keadaan jalanan yang entah kenapa terlihat cukup sepi.
Hanya beberapa truk dan sesekali ada pengendara motor yang melaju dengan cepat.
Ku amati daerah sekitaran, hingga laju motorku sampai ditempat kejadian lakalantas yang terjadi-
-beberapa hari sebelumnya.
Terlihat jalanan cor yang tergerus, tanah disekitarnya yang agak berantakan, dan tiang listrik yang sepertinya terserempet hingga sedikit melengkung.
Aku pun kembali mempercepat laju kendaraanku.
Beberapa kali truk dan bus melewatiku, karena aku melaju dengan kecepatan yang konstan, bermaksud menikmati perjalanan untuk menghilangkan kejenuhan setelah seharian bekerja. Dan untuk menghilangkan pikiran bahwa saat itu hampir memasuki malam jumat.
Dari kaca spion terlihat ada pengendara sepeda motor lain berada dibelakangku. Dengan kecepatan yang sepertinya hampir sama dengan laju motorku.
Tak ada prasangka apapun, aku berusaha menganggapnya teman perjalanan.
Sesekali kuamati spion untuk melihat motor di belakangku.
Sampai disekitar pom bensin di daerah subah, motor yang sebelumnya berada dibelakangku itu pun menyalip dan akhirnya berada di depanku, dengan laju motor yang terlihat lebih cepat dari sebelumnya.
Di kejauhan pun terlihat beberapa pengendara motor yang masih melintas.
Sampai di lampu merah pasar Subah, tak terasa sudah terdengar adzan maghrib berkumandang. Aku pun tertegun, menyadari perjalanan yang terasa cukup lama tak seperti biasanya.
Sempat terbesit untuk putar balik ke arah minimarket sebelum lampu merah, tapi terasa nanggung.
Melihat keadaan jalanan yang masih terlihat ramai, aku pun tetap memilih melajukan motorku, melewati pasar subah.
Seakan tak mengingat bahwa setelah pasar subah aku akan melewati jalanan yang kanan-kirinya adalah hutan,-
aku terus melaju, dengan beberapa pengendara lain masih terlihat berada di depanku.
Tepat saat melintas di jembatan, masih di dekat pasar, aku berniat mempercepat laju motorku, untuk mengimbangi pengendara lain.
Namun, ada sesuatu yang aneh secara tiba-tiba terjadi.
Tiba-tiba laju motorku terasa berat, dan terdengar suara "glek", dibagian belakang motorku. (Suaranya seperti ketika motor dinaiki seseorang dibagian belakang saat motor jalan). Hingga rantai motorku pun seperti mengencang secara tiba-tiba dan hampir putus.
Dengan jantung yang berdebar kencang bercampur kaget dan khawatir (takut), aku pun sedikit menepi. Aku masih terus berusaha menarik gas yang sudah terasa berat.
Dan tepat sebelum memasuki jalanan yang kanan-kirinya hutan, motorku terasa sudah tidak bisa melaju. Berhenti.
Kulihat sekitar jalanan mulai sepi. Jalanan yang sebelumnya masih terlihat terang, seakan meredup dan gelap dengan cepat.
Beberapa pengendara motor hanya melintas didepanku, seakan tak peduli atau mungkin tak menyadari kesusahanku saat itu.
Kudorong motorku dengan sekuat tenaga-
-hingga kulihat ada warung dipinggir jalan, diarah depanku.
Ditempat itu, memang ada beberapa warung. Aku pun biasa melewatinya di siang hari, saat berangkat ke lokasi pengawasan.
Aku beranggapan, jika aku memeriksa motorku disekitar tempat itu akan lebih nyaman.
Beberapa warung di seberang jalan, terlihat sudah menyalakan lampu, meski terlihat agak remang-remang. Bisa kulihat beberapa supir truk sedang beristirahat disana.
Namun, aku menyadari sebuah keanehan, warung dibelakangku-
-yang letaknya agak mundur dari jalan (seperti menyediakan parkir truk di depannya), terlihat masih gelap tanpa pencahayaan.
Aku pun menghentikan motor yang kudorong ditepi jalan, depan lokasi warung yang gelap itu.
Ku amati bagian roda belakang, memastikan apa jangan-jangan rantai motorku terlepas.
Tapi, setelah kuterangi dengan lampu ponsel, ternyata rantainya masih merekat pada gearnya. Dan saat rodabelakang ku putar, rantainya pun masih ikut bergerak dengan normal.
Setelah memastikan rantai motor tidak bermasalah, aku pun mencoba menyalakan mesin motorku. Beberapa kali kucoba menekan tombol starter, namun mesin motor tak mau menyala.
Sambil berusaha menyalakan motorku, aku terus melafadzkan doa-doa yang ku ingat. Sambil sesekali menoleh-
-melihat kearah jalanan, berharap ada pengendara motor lain. Namun, tak satupun kulihat ada pengendara motor yang lewat. Hanya beberapa truk dan bus yang terlihat melaju kencang.
Aku hampir pasrah dengan keadaan itu. Jalanan yang biasanya ramai, saat itu terasa begitu sepi.
Motorku yang sejak tadi siang baik-baik saja, tiba-tiba bermasalah.
Dan entah kenapa, tiba-tiba aku ingin sekali melihat ke arah warung gelap dibelakangku itu. Rasanya, seperti ada seseorang yang memperhatikanku dari dalamnya.
Namun aku berusaha mengabaikan keinginan itu. Perasaanku sudah tak enak. Aku tak ingin menambah rasa takut dengan melihat kearah warung itu.
Akhirnya, setelah beberapa kali mencoba, mesin motorku pun bisa menyala.
Tak henti-hentinya aku bersyukur setelah mesin motorku kembali menyala. Dengan perasaan hati-hati ku dorong kearah jalanan, lalu kembali kulanjutkan perjalanan pulang waktu itu.
Selama beberapa meter dari lokasi itu, motorku tak terasa berat seperti sebelumnya. Tapi, -
- tak berapa lama, kejadian seperti sebelumnya terulang kembali. Seperti ada orang yang naik ke belakang motoku, hingga gas motor yang terasa berat.
Aku kembali berdoa melafadzkan doa apapun yang kuingat. Berharap motorku tak lagi mogok dan berhenti.
Beruntung, jalanan setelahnya adalah jalan menurun yang cukup jauh. Sehingga rasa kekhawatiran motorku kembali mogokpun agak hilang, mengingat setelah itu sudah bisa terlihat area permukiman.
Aku tetap waspada dan berhati-hati, sambil sesekali memperhatikan kaca spion.
Sempat kulihat pantulan cahaya lampu kendaraan di kaca spionku, yang menunjukkan adanya pengendara lain di belakang.
Dan benar saja, tak lama kemudian ada pengendara lain yang menyalip motorku sambil membunyikan klakson.
Aku berusaha tak menaruh curiga dengan apa yang dilakukan pengendara motor itu.
Rantai motorku yang tiba-tiba saja terasa seret, bunyinya terdengar seiring dengan laju motorku. Aku pun terus melajukan motor dengan hati-hati, meski perasaan sudah tak karuan. Bercampur rasa takut
Setelah melewati jalanan menurun, aku pun harus mengatur gas motorku untuk melewati jalanan yang menanjak.
Jalanan pantura jalur Subah-Tulis memang berkontur bergelombang, naik turun.
Aku berjalan agak ditepian, masih dengan suara rantai motor yang terus saja terdengar.
Dengan perasaan yang menegangkan, akhirnya aku pun telah melalui jalanan menanjak itu, hingga sampai lah aku didepan pagar sebuah sekolah.
Kembali kuhentikan motorku dan memeriksa bagian rantainya, masih dengan mesin motor tetap menyala.
Anehnya, rantai motor pun masih normal.
Aku teringat dengan perkataan temanku yang bekerja di bengkel, biasanya suara pada rantai motor, akan terdengar jika rantai sudah kendor, ataupun kurang pelumas.
Melihat kondisi rantai motorku, seharusnya tidak ada masalah. Tapi kenapa terasa seperti itu saat motor berjalan?
Aku kembali meneruskan perjalanan pulang, sambil terus melafadzkan doa-doa selama perjalanan.
Lalu, sampai lah aku di daerah dekat SPBE, dimana jalur tersebut terkenal cukup menyeramkan. Sering terjadi kecelakaan di jalur itu.
Kontur jalanan itu menanjak jika dilalui dari arah tulis, sedangkan menurun jika dilalui dari arah subah. Ditambah jalanan itu pun adalah jalanan menikung.
Aku terus melaju di bagian tepi jalan, sambil mengamati sekitarku yang entah kenapa benar-benar sepi.
Tak ada satu kendaraan pun yang melaju, baik truk, mobil pribadi, maupun bus. Aku merasa benar-benar seperti berkendara di jalanan itu sendiri.
Tepat sebelum aku sampai di depan SPBE, dari arah belakangku tiba-tiba muncul sebuah truk yang melaju cukup kencang.
Sontak aku kaget, dan beristighfar dengan suara yang cukup keras.
"ASTAGHFIRULLAH".
Dan dalam kepanikanku itu, tiba-tiba terdengar suara benturan yang cukup keras, yang aku sangat yakin berasal dari bagian depan truk itu.
Aku cukup yakin bahwa truk itu baru saja menabrak sesuatu. Terlihat sebuah ember besar terpental, dan hampir terlindas roda belakang truk itu.
"Innalillahi, apa ada orang yang ditabrak" Pikirku.
Namun, truk itu terus melaju kencang, dan tak ada bekas kecelakaan disana.
Aku melaju dengan kecepatan yang cukup lambat, mengingat kondisi motorku. Kuputuskan menepi sebentar, dan kutengok kearah belakang, mencari-cari bekas ember yang baru saja terlindas truk itu.
Masih bisa kulihat bekas ember yang remuk berada ditengah jalan.
Dalam hatiku bertanya-tanya, bagaimana bisa ada ember berada ditengah jalan, yang kemudian ditabrak truk itu?
Aku sangat yakin, ember itu bukan terjatuh dari truk, karena suara tabrakannya begitu jelas terdengar. Dan aku pun sempat melihat ember itu terpental dari arah depan.
Mengingat bahwa aku masih melaju sendirian dilokasi itu, dengan keadaan jalanan yang sudah gelap, aku pun bergegas melanjutkan perjalanan.
Aku terus memikirkan tentang kejadian yang baru saja kulihat.
"Darimana asal ember itu?"
Dan tiba-tiba kembali terdengar suara
- dari arah bekas ember itu, terdengar seperti terlindas oleh kendaraan lalu terseret. Anehnya, saat kuamati dari kaca spion, tak ada satupun kendaraan yang melaju dibelakangku.
Bulu kudukku kembali berdiri, merinding rasanya. Disatu sisi aku ingin sekali mempercepat laju motor,
-disisi lain, aku teringat kondisi motorku yang tak memungkinkan.
Aku hanya bisa terus melafadzkan doa. Berharap aku segera sampai di keramaian, atau setidaknya menjumpai kendaraan lain dalam perjalanan itu.
Suara rantai motorku masih terus terdengar, sesekali bahkan terasa hampir terlepas. Tapi, aku meyakinkan diri untuk terus melaju dan tak lagi berhenti.
Sudah sering aku melewati jalur itu, bahkan lebih larut dari saat itu, tapi belum pernah aku mengalami kejadian seperti itu.
Tak berapa lama, aku melihat cahaya kendaraan yang melaju di sisi lain jalan. Sebuah sepeda motor mulai terlihat dari kejauhan.
Saat hampir berpapasan denganku, bisa kulihat sepeda motor itu dinaiki dua orang.
Dan keduanya entah kenapa melihat kearahku, lalu membunyikan klakson
Aku pun merasa heran, sudah dua pengendara yang melakukan hal itu saat berpapasan denganku. Dan dua-duanya, langsung mempercepat laju kendaraannya.
Aku teringat dengan cerita beberapa orang teman, tapi berusaha kutepis. Aku tak ingin menambah rasa takutku.
Pada akhirnya aku pun telah sampai di keramaian. Tepatnya di daerah Tulis, aku pun lega, akhirnya sudah mulai melihat tanda-tanda kehidupan.
Aku sempat menggerutu, karena baru setelah aku sampai di daerah itu, dari arah belakang kembali bermunculan kendaraan yang melintas.
Tak terasa, sudah terdengar suara adzan isya berkumandang, dan aku pun terheran-heran. Tak biasanya perjalanan dari subah sampai tulis memakan waktu cukup lama. Dari saat maghrib sampai isya?
Dan anehnya, selama itu juga jalanan sepi?
Aku pun memutuskan mencari tempat istirahat.
Kuputuskan berhenti disebuah minimarket di daerah Kaliboyo, Tulis. Yang diseberangnya ada masjid jami.
Segera kuparkirkan motorku, lalu aku pun menghampiri tempat duduk yang biasa disediakan minimarket itu sebagai tempat istirahat untuk pengunjungnya.
Perasaan lega pun akhirnya kurasakan. Suara lantunan sholawat yang terdengar dari arah masjid pun membuatku tenang dan sedikit menghilangkan ketegangan yang kurasakan selama perjalanan dari subah.
Aku membeli minuman & sebungkus roti di minimarket itu, lalu kembali beristirahat.
Sambil menatap kearah jalanan, aku kembali memikirkan kejadian sebelumnya. Gambaran tentang ember yang tertabrak truk itu masih terus terbayang dibenakku.
"Aneh".
Kalau ember itu jatuh dari badan truk, harusnya terjatuh dari belakang, atau setidaknya dari tengah.
Tidak mungkin juga kalau ember itu sebelumnya berada dibawah truk. Karena ember itu seukuran galon cat besar, bahkan terlihat lebih besar dari itu.
"Jelas jelas suaranya tertabrak truk itu dari depan", gumamku, memikirkan.
Aku pun mengambil ponselku dari tas, mencoba mengabari salah seorang teman, lalu kuceritakan tentang pengalaman itu dari awal, dari kejadian setelah melewati pasar subah.
"Wah, jangan-jangan kamu DIBONCENGI" balas temanku melalui pesan WA.
Hal itu juga yang sebelumnya terpikirkan olehku. Beberapa pertandanya sudah cukup jelas.
Dari motor yang tiba-tiba terasa berat, gas motor pun berat, rantai motor yang tiba-tiba seret, bahkan aku pun kembali teringat dengan dua pengendara motor yang sempat berpapasan denganku.
Keduanya membunyikan klakson, bahkan pengendara kedua yang berboncengan, yang berpapasan denganku pun kedua orang itu terus melihat kearahku saat itu.
"Apa mungkin, mereka melihat sesuatu yang tak terlihat olehku?"
Setelah waktu isya selesai, dan kulihat beberapa orang yang baru menunaikan sholat di masjid melewati minimarket, aku pun memutuskan untuk meneruskan perjalanan.
Aku menyadari perjalanan sampai rumah masih cukup panjang. Bisa-bisa, aku kemalaman sampai rumah jika terlalu lama.
Setelah berkemas dan membersihkan bungkus makanan dan botol minumanku ke tempat sampah, aku pun segera menyalakan mesin motorku.
Tak lupa, aku melafadzkan doa sebelum menyalakannya.
Alhamdulillah, mesin motor yang sebelumnya cukup sulit dinyalakan, bisa dengan mudah saat itu.
Aku pun bergegas meninggalkan tempat itu, melajukan motor meneruskan perjalanan.
Entah kenapa, setelah beristirahat itu, motorku terasa lebih normal. Gas motor terasa lebih ringan dari sebelumnya, dan rantai motor yang sebelumnya terus terdengar bunyinya, saat itu sudah mendingan
Sempat terpikir untuk mempercepat laju motorku, namun ku urungkan. Aku berfikir, mungkin saja kejadian yang barusaja kualami adalah pengingat agar aku lebih berhati-hati dijalanan. Tidak terlalu terburu-buru dan lebih bertawakal saat perjalanan.
Jadi, aku pun melaju dengan-
-kecepatan yang tidak terlalu cepat. Sekitar dibawah 60km/jam.
Sesekali, memang masih terdengar suara rantai dari belakang motorku. Tapi tak sesering sebelumnya.
Dan akhirnya, sampai lah aku di wilayah perkotaan, alun-alun Batang.
Kuputuskan untuk makan sebelum pulang ke rumah
Singkat cerita, aku pun sudah sampai di rumah. Ibuku sempat menegur kenapa pulang selarut itu.
Tak ingin membuat orangtuaku khawatir, aku hanya menjawab dengan alasan lembur.
Aku pun segera membersihkan diri, lalu melaksanakan sholat. Karena saat itu aku merasa cukup lelah, aku pun bersiap untuk tidur.
Saat itu, aku masih tinggal dengan orang tuaku. Rumahku saat itu belum berlantai, masih berupa tanah yang dialasi karpet plastik-
Tempatku tidur pun tidak bisa disebut kamar. Hanya ruangan yang tersekat oleh beberapa lemari, dan kuberi alas kasur setiap hendak tidur.
Belum ada plafond, sehingga kuda-kuda kayu dan genting penutup atap pun bisa terlihat dari dalam rumah.
Aku merebahkan tubuhku diatas kasur lantai yang sudah kugelar. Ibu dan beberapa saudaraku pun sudah mulai bersiap untuk tidur diruangan yang terhubung dengan rumah budhe, yang kondisinya lebih baik dari tempatku.
Bapak yang biasanya tidur satu ruangan denganku, malam itu belum pulang karena diundang ke rumah temannya.
Aku pun rebahan sambil menatap kelangit-langit rumah. Menghela nafas, lalu berusaha memejamkan mata. Dan tak terasa akupun terlelap.
Aku tak menyadari sudah berapa lama aku tertidur, hingga aku seperti tersadar lalu terduduk, masih diatas kasur tidurku.
Kulihat disekitarku, tak ada bapak di ruangan itu.
"Sudah selarut ini bapak belum pulang? Apa bapak menginap di rumah temannya?" pikirku.
Aku kembali merebahkan tubuhku, dan kembali menatap kearah langit-langit rumah.
Tiba-tiba saja, terdengar suara lirih perempuan tertawa. Aku tersentak kaget, namun tubuhku seakan kaku tak bisa digerakkan.
Suara tawa itu semakin mengeras. Terus tertawa terngiang ditelingaku.
Tubuhku benar benar kaku tak bisa bergerak, namun mulutku masih bisa bersuara meskipun terasa berat dan serak.
Aku berusaha berteriak, ingin memanggil ibuku, namun suaraku hanya terdengar lirih seperti suara desahan.
Suara itu semakin jelas terdengar, dan saat itu pun aku mulai menemukan sumber suara yang berasal dari atas.
Tepat berada disalah satu kuda-kuda kayu, terlihat sesosok makhluk yang berpakaian putih, berambut panjang, terlihat bergelantungan.
Sosok itu terus tertawa
Tapi seakan sosok itu tak menyadari keberadaanku.
Aku semakin ketakutan, namun tak berdaya, karena tubuhku benar-benar kaku. Kucoba melafadzkan ayat kursi, berharap ayat itu bisa menjadi perantara mengusir sosok itu.
Bukannya pergi, sosok itu justru akhirnya menyadari keberadaanku dan menatap tajam kearahku.
Bacaan ayat kursi yang kulafadzkan akhirnya bisa terdengar mengeras hingga aku bisa mendengar suaraku sendiri yang terus melafadzkannya.
Suara tawa dari sosok itu pun seolah menyamai
-kerasnya suaraku. Perlahan sosok itu turun, melayang dari kuda-kuda kayu rumah, dan seketika maju hendak menerjang kearahku yang semakin keras melafadzkan ayat kursi.
Ketakutanku memuncak saat sosok itu hampir menyentuh bagian kaki untuk menarikku.
Belum sempat kakiku tersentuh oleh sosok itu, sudah ada sosok lain yang menyentuh kakiku dan membangunkanku.
"Nak, nak, bangun nak", suara ibuku pun terdengar jelas membangunkanku, sambil tangannya menggerak-gerakkan kakiku.
Ternyata sosok itu hanya terlihat di mimpiku.
Nyatanya, yang menyentuh dan menggerak-gerakkan kakiku adalah ibu.
Beliau rupanya mendengarku melafadzkan ayat kursi dalam keadaan mengigau dengan suara yang cukup keras. Beliau pun langsung bergegas menghampiri dan membangunkanku.
"Astaghfirullahaladzim", ucapku beristighfar.
"Kamu kenapa, nak?" tanya ibu, dengan raut wajah cemas menatapku.
"Astaghfirullah, bu. Barusan aku mimpi didatangi sosok putih berambut panjang. Sosok itu bergelantungan disana" Jelasku, sambil menunjuk kearah salah satu kuda-kuda kayu yang kulihat.
"Jelas banget, kayak bukan mimpi" lanjutku. "Sosok itu dikit lagi ngejar aku bu, aku bacain ayat kursi, tapi malah dia tambah mendekat. Untung ibu buru-buru bangunin, kalau nggak ketangkap aku sama dia"
Ibuku hanya terdiam mendengar penjelasanku.
"Bener-bener kayak bukan mimpi. Tadi juga aku sempat duduk disini sampai akhirnya rebahan lagi, terus sosok itu keliatan disana", ucapku mengulang kembali ceritaku.
"Ya Allah, nak. Ibu kaget denger kamu baca ayat kursi sekeras itu. Ibu kira kenapa-napa. Ternyata kamu ngigau."
Ibu masih menemaniku sambil duduk di dekatku. Menasehatiku untuk tidak lupa berdoa sebelum tidur, dan mengomentari beberapa kebiasaan burukku sepulang kerja.
Aku sedikit merenung, dan setelah menenangkan diri, aku pun menceritakan kejadian sebelumnya, saat perjalanan pulang.
"Ya Allah, nak. Makanya, dari dulu juga ibu udah ingetin, kalau wayah tengangi, mau dzhuhur atau mau maghrib itu istirahat" seru ibu mengingatkan. "Apa lagi dijalanan. Naik motor lagi. Akhirnya ngerasain kan dampaknya itu di kamu sendiri."
Raut wajah ibu masih terlihat cemas
"Untung kamu selamat, nggak kenapa-kenapa" tambah beliau. "Pantesan, dari sore perasaan ibu nggak enak. Malam Jumat Kliwon, kamu belum pulang. Apa lagi kamu bilang ini masih ada kerjaan di daerah Limpung."
Aku cukup tertegun saat ibu berkata "Malam Jumat Kliwon".
"Ya Allah, apa ini malam jumat kliwon ya, bu?" tanyaku, lebih memastikan.
Ibu mengiyakan pertanyaanku, lalu kembali mengingatkan nasehat yang sering dikatakan simbah sejak dulu.
Dan entah kenapa ibu pun menceritakan beberapa kejadian yang beliau alami saat aku masih kecil.
"Sebenarnya, ibu agak khawatir kerjaanmu sampai ke daerah sana. Kalau gak salah, daerah sana masih daerah alas roban kan?"
"Iya sih, kalau diliat dari arahnya ya memang deket lah sama alas roban" jawabku.
"Ibu jadi keinget dulu saat bapak masih kerja di surabaya".
"Kalau gak salah, waktu itu umurmu masih belum genap satu tahun. Bapak pernah ngajak kita ikut ke surabaya, kerumah pakdhe. Waktu perjalanan pulang, naik bus. Kamu kegirangan melihat kearah jalanan. Seingat ibu, di daerah sana, sekitaran alas roban."
Ibu terus melanjutkan ceritanya. Aku pun agak penasaran, karena ibu belum pernah menceritakan hal itu.
"Ibu masih inget, waktu itu sudah sore. Karena umurmu yang belum genap setahun, ibu berusaha memeluk kamu, dan menghindarkan kamu dari jendela bus."
"Ibu selalu inget apa yang simbah bilang. Wayah tengangi, itu wayahnya candi olo. Yang masih kerja ya disuruh istirahat, yang punya anak bayi juga anaknya suruh digendong." jelas ibu.
"Tapi waktu itu kamu malah rewel, nangis gak mau diam. Sampai ibu gak enak sendiri".
"Selama perjalanan dari alas roban sampai hampir di Batang, kamu terus rewel. Sampai-sampai ada orang yang ikut bacain doa-doa ke kamu. Dan kamu baru bisa tenang setelah mau turun".
Mendengar cerita ibu itu, aku pun terdiam. Teringat perkataan seorang temanku.
Sekitar beberapa bulan sebelumnya, salah seorang temanku yang katanya bisa menerawang hal-hal ghaib, pernah mencoba melihat / menerawangku.
Salah satu hal yang disampaikannya, adalah ada sosok pendamping yang ikut sejak kecil bersamaku, yang salah satunya berasal dari "wetan".
Katanya, sosok yang satu itu bukan dari silsilah keluarga. Dan setelah mendengar cerita ibu tentang kejadian saat aku masih kecil itu, seakan membuatku menerka-nerka, apakah sosok pendamping itu berasal dari sana?
Wallahualam.
Karena sudah larut malam, ibu pun menyutuhku-
-untuk kembali tidur. Tapi sebelumnya ibu menyuruhku untuk berwudhu dan berdoa sebelum tidur kembali.
Sedangkan ibu, seperti kebiasaan yang biasa dilakukannya setiap malam, ibu pun ikut wudhu dan melaksanakan sholat malam di ruangan yang sama dengan tempatku tidur.
Sejak saat itu, disetiap perjalanan kemanapun, aku selalu mengingat pesan ibu dan nasehat simbah dulu. Perbanyak sholawat atau berdzikir di perjalanan. Dan tidak lupa, berhenti sejenak diwaktu-waktu tengangi, agar tidak terjadi hal-hal yang tak di inginkan selama perjalanan.
Akhir kata, thread ini saya tutup dan untuk pesan moral dari cerita ini telah saya sampaikan di twit sebelumnya.
"Loh, kok bisa ada makam ditempat itu pak?" tanyaku, penasaran.
"Ya, karena dulunya, lokasi itu ya masih milik keluarganya. Kalau bisa dibilang sih, pemakamannya agak kurang wajar, jadi dimakamkan di pekarangan milik sendiri", jelas Pak Erte.
"Nggak wajar gimana pak?" rasa penasaranku pun mulai muncul mendengar penuturan Pak Erte tentang lokasi itu.
"Orang yang dikubur itu," Pak Erte sedikit memberi jeda. "Bisa dibilang, dikubur hidup-hidup disana".
Bulu kudukku pun mulai berdiri mendengar penjelasan Pak Erte.
Pengalaman ini saya alami sekitar 2 tahun yang lalu, sepulang dari gudang tempat kerja yang pada waktu itu belum lama difungsikan oleh kepala tukang yang bekerja sama dengan saya untuk tempat kerja kami.
Sebenarnya lokasi gudang itu, masih berada di wilayah kota.
Tapi, jarak gudang dengan rumah saya bisa dibilang cukup jauh. Dikarenakan, gudang tersebut berada ditempat milik kepala tukang saya.
Yang perlu saya sampaikan, untuk pulang dari gudang sebenarnya terdapat 3 jalur.
Pertama, jalur terjauh adalah lewat jalur pantura-
Lek Mus, begitulah orang-orang di desanya, memanggil seorang lelaki berperawakan pendek itu.
Lek Mus sebelumnya tinggal di sebuah desa terpencil di daerah kabupaten "B". Karena cukup lama menganggur tanpa pekerjaan, akhirnya ia memutuskan untuk menjadi seorang penjual bakso-
- keliling. Tapi, bukan di desanya sendiri.
Dengan harapan punya omset yang lebih besar, ia memutuskan untuk menjajakan dagangannya ke wilayah kota "P".
Sambil nge-kos di sebuah kos-kosan kecil, ia pun mulai menjajakan dagangannya setiap sore hingga malam hari.
Pagi itu, pak Sugi berangkat dari rumahnya cukup pagi. Ia baru saja mendapat panggilan dari mandor yang biasa mengajaknya bekerja sebagai tukang bangunan.
Saat itu cuaca sedikit mendukung, dengan udara yang masih beraroma pagi yang dingin, dan sinar matahari belum terlalu hangat
Ia berangkat dari rumahnya yang berlokasi cukup jauh dari tempat yang dikatakan oleh mandornya. Karena itu, ia memutuskan berangkat dari pagi, agar tidak kesiangan saat sampai ke tempat dimana dia akan mulai pekerjaan.
Setelah melalui jalanan yang cukup panjang, sampai lah -
Bantaran sungai itu dipenuhi oleh rerimbunan tanaman yang tumbuh subur. Dari pohon-pohon yang berukuran sedang sampai yang sangat besar, yang usianya mungkin sudah puluhan atau ratusan tahun.
Bagian yang jadi hak milik salah seorang warga, ada juga yang ditanami pohon bambu.
Salah satu desa yang berbatasan dengan sungai itu adalah desa kelahiran saya. Dan dulu, almarhum kakek saya memiliki sebidang tanah yang ditumbuhi pepohonan bambu, di bantaran sungai itu.
Dan cerita pertama yang akan saya sampaikan adalah yang pernah diceritakan orang tua saya.
Kisah ini, sempat heboh di sebuah kabupaten, beberapa tahun yang lalu.
Cerita tentang wanita cantik yang sering mencari pasangan dari kalangan masyarakat sekitar kabupaten itu juga dari daerah lain.
Perlu saya sampaikan, bahwa alur cerita ini adalah sebuah rekaan, mungkin bukan cerita sebenarnya.
Tapi, untuk inti kejadiannya memang pernah terjadi di kabupaten itu.
Sore itu, langit terlihat mendung. Udara dingin mulai dapat dirasakan di sekitar area kota.
Suara gemuruh geluduk pun beberapa kali terdengar, seakan mengingatkan pada siapa pun yang masih berada dijalanan, untuk bergegas pulang. Setidaknya bersiap mencari tempat berteduh.