Dulu pengennya ke Jepang, kerja di Ghibli. atau ke paling jauh ke UK. dapetnya malah Kuwait, terus ke negara yang ngga ada bayangan atau malah keinginan samsek: Amerika. Kenapa diambil? Karena kesempatannya ada, dipake sekalian buat belajar melatih mental jauh dari rumah.
Belok sebentar, adjust keinginan, bukan buat gue tapi yang terpenting buat krucil - buat jiwa lain.
Di Kuwait belajar gimana punya/merawat keinginan & harapan dengan berbekal keterbatasan. Dan ketika hati tidak lagi terhimpit dng keterbatasannya (ikhlas, bersyukur, berdamai), hati bisa melihat banyak kesempatan dan hal-hal positif lainnya.
Butuh beberapa tahun di sana utk kemudian bisa menemukan celah2 positif. @ditut ketemu komunitas kreatif, bisa diajak partneran utk bikin cake shop, gue bisa diajak kolab dng beberapa institusi kreatif kecil.
Di Kuwait kami belajar, semakin merasa terbatasi, semakin membuat berbagai bentuk kesempatan dan rejeki terbatasi.
Ketika pindah ke NYC, kami belajar lagi. Bukan lagi tentang keterbatasan. Tapi bagaimana menyikapi banyak pilihan & kesempatan, bagaimana menata & mengatur fokus, bagaimana membatasi diri untuk ngga tergoda nyoba ini itu.
Jika selama di Kuwait kami spt hidup dalam gua yang termaram - mata terlatih melihat dalam pencahayaan terbatas, maka di NYC semua serba terang benderang membuat mata silau.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Dari pandemi ini kami belajar. Kami bukan saintis, awam dng covid, awam dng strateginya tapi ada satu hal yg bikin kami bisa relatif survive terutama dalam sisi mental health: empati pada jiwa/orang lain.
Tahun lalu, ketika semua warga NY panik mereka memberi kepada yang membutuhkan. Memberi apa yang mereka sanggup atau miliki. Ketika masker, tabung oksigen & hand sanitizer langka, yang punya langsung otomatis membagi-bagikan gratis termasuk mereka pemilik apotik, toserba.
Setiap orang seperti berlomba-lomba memberi yang terbaik. Jika cuma bisa memberi apresiasi, maka mereka akan memberinya terutama pada nakes. Dengan menghormat pada mereka bertepuk tangan setiap pukul 7 adalah bentuk pemberian.
BPJS sucks? Trus bandingin sama Amerika? Yuk ke sini, coba jarinya kecepit pintu terus ke UGD rumah sakit. Biaya bisa 8 juta padahal ngga apa-apa.
Oh juga telpon 911 minta ambulan. Canggih, cepet sampai di lokasi dan cepet bisa balik ke rumah sakit. Biaya termurah sekitar $600 tanpa ada tindakan di ambulan. Kalo ada tindakan (atau menurut petugas ada tindakan) kena fee $1200.
Itu baru jari kecepit & ambulan. Punya asuransi juga belum tentu nutup. Kalau wafat, keluarga yang ditinggalkan dapet warisan tunggakan.
Kalau menurut gue, begitu hidup & kerja di luar jadi sadar tentang management waktu, termasuk waktu utk keluarga/personal.
Di NYC sini, kerjaan jauh lebih banyak dibanding saat di Jakarta. Tapi krn tetap dijaga porsinya, jadi ngga berat. Karena: porsi utk istirahat terjaga.
Selama di Jakarta gue menyepelekan situasi burn out. Ah cincaiy, masih bisa tidur panjang saat weekend - yg ternyata tetep tersita krn tetep lembur saat weekend. Lalu terakumulasi jadi masalah (kesehatan jiwa).
Iya, setelah tetep masuk nglembur saat sakit & pulang lemburan masih dihadapkan macet akhirnya nyerah. Lalu resign sebelum akhirnya cus ke Kuwait.
Selama hidup di Jakarta gue ngga sadar punya masalah dng kesehatan mental & gampang stress.
Begitu merantau, perlahan menyadari itu. Setelah sekian tahun ada dua faktor yg bikin stress selama di Jakarta: traffic Jakarta & jam kerja yang panjang. Dua hal yg gue sepelekan #curcol
Waktu utk keluarga & personal sangat kurang ketika di Jakarta. Begitu pindah Kuwait, porsi waktunya jadi lebih besar. Rasa stress jadi lebih berkurang, apalagi sejak tahun ke-dua kerja di Kuwait udah sangat jarang lembur2.
Jika selama di Jakarta gue cuma punya 30 menit untuk iseng2 doodling sbg pelepas stress (ttergantung energi yg tersisa), ketika di Kuwait gue punya 2-3 jam untuk iseng2 bareng krucil.
Point 4 ini penting buat gue. Bukan maksud supaya susah ditiru, tapi jadi semacam 'watermark' di karya tanpa harus literary pasang watermark. Dan berharap bisa memberi inspirasi ke orang banyak. Sesusah apa pun, kalau dijalani dng penasaran & hati ringan, hasilnya akan rewarding.
Tantangan-tantangannya: 1. Ngga compatible dng pemikiran umum (nyeleneh?) 2. Ngga ada alat kerja yang tersedia, kadang harus bikin alat kerjanya sendiri 3. Jaga konsistensi mood & rasa sepanjang proses 4. Expectation adjustment - supaya ngga ketinggian & kesasar