Ambillah sifat memaafkan ini, dan suruhlah orang mengerjakan kebaikan (makruf), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (Al-A’raf: 199).
Ayat ini adalah Makkiyah dan termasuk pondasi penting dalam Islam. Sifat memaafkan merupakan bagian terpenting dalam misi penyempurnaan akhlak yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Kata “khudz” dalam ayat tersebut adalah “fi’il amr” yang berarti perintah langsung (khitab) kepada Nabi Saw. dan kepada setiap individu yang beriman hingga saat ini.
Fi’il amr menunjukkan arti bahwa orang yang diperintah hadir di hadapan Yang memerintah. Dekat sekali, hingga ia dapat menerima perintah tersebut dengan hanya menjulurkan tangan.
“Ambil sifat memaafkan ini, kemudian jadikanlah sebagai bagian dari dirimu. Dengan demikian, sifat memaafkan itu akan selalu ada: bukan kadang-kadang ada dan kadang-kadang tidak ada. ”
Setelah sifat memaafkan itu sudah menjadi bagian dari dirimu, ajaklah orang berbuat baik. Kata “al-urfu” memiliki arti kebaikan yang diakui oleh masyarakat. Kebaikan yang diakui oleh akal sehat manusia.
Jumlah dan bentuknya tentu sangat beragam, termasuk di dalamnya adalah tradisi dan budaya yang berlaku di tengah masyarakat.
Ada satu kaidah fikih yang kemudian dijadikan semangat menjaga segala bentuk kebaikan yang berlaku di tengah masyarakat: al-ma’ruufu urfan ka al-masyruuthi syarthan, tradisi atau kebiasaan baik yang sudah berlaku di tengah masyarakat statusnya bagaikan syarat bagi sesuatu.
Dengan kata lain, makna al-urfu adalah segala bentuk kebaikan.
Perintah mengajak kepada kebaikan (termasuk perintah mencegah kemungkaran) harus dilakukan dengan sikap hikmah.
Sikap hikmah ini sangat penting diperhatikan, hingga para ulama selalu menekankan hal ini dalam berbagai kitab tafsir yang menjelaskan ayat tentang perintah amar makruf nahi mungkar.
Oleh para ulama kata hikmah diartikan sebagai tindakan melakukan sesuatu yang baik, dengan cari yang baik dan pada waktu yang baik.
Terakhir, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh. Tak ada gunanya berdebat atau memberikan penjelasan kepada orang bodoh.
Kata “jahil” bukan sekadar mengandung arti ketidaktahuan, tapi juga mengandung arti penolakan terhadap kebenaran dan penjelasan yang baik. Jahil ini berlaku dalam segala bidang keilmuan, baik agama, ekonomi, politik dan lain-lain.
Ada orang bodoh di bidang ekonomi, ada orang bodoh di bidang agama, ada orang bodoh di bidang politik, dan lain-lain, tapi sering kali lantang membicarakan itu semua dengan semangat merasa paling benar.
Ketika disampaikan penjelasan yang baik dan benar tentang itu semua, bukan menerima, mereka malah menentangnya. Karena, dalam diri mereka ada keyakinan (palsu) yg mereka anggap sdh merupakan puncak kebenaran.
Terhadap orang2 seperti ini, jauhkanlah diri kalian. Percuma…🙏❤️
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Konon, pada zaman prasejarah, manusia yang selalu curiga lebih mampu bertahan hidup daripada manusia yang cenderung berpikir terbuka.
Di tengah hutan rimba, jika ada suara asing, manusia yang selalu curiga akan berpikir bahwa suara itu adalah binatang buas yang akan memburunya. Oleh sebab itu mereka lebih selamat dan tetap bertahan hidup.
Beda halnya dengan manusia yang berpikir terbuka. Dia penasaran dengan suara asing dan selalu ingin membuktikan faktanya. Dalam pikirannya, suara asing itu belum tentu suara binatang buas, karena bisa saja suara angin.
عن معاذ عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إن أخوف من أخاف عليكم ثلاث: جدال منافق بالقرآن، وزلة العالم، ودنيا تقطع أعناقكم
"Dari Mu'adz, Nabi Muhammad Saw. bersabda, "Ada tiga perkara yang paling aku khawatirkan terhadap kalian: perdebatan orang munafik menggunakan Al-Qur'an, orang alim (intelektual) yang menyimpang, dan kekayaan duniawi yang memenggal leher kalian."
Hadits ini ditemukan dalam kitab Al-'Ilal Al-Mutanahiyah fi Al-Ahadits Al-Wahiyah karya Ibn Al-Jauzi.
Ini menarik. Terutama soal debatnya orang munafik menggunakan Al-Qur'an. Kata munafik memiliki arti menampilkan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam pikiran.
Dalam bahasa Arab, ulama itu berarti kumpulan para pakar. Ulama adalah jamak dari kata "aliim" yang berarti seorang pakar di bidang ilmu apapun. Di Indonesia, kata ulama sudah mengalami pergeseran arti.
Kata ulama yang jamak berubah menjadi tunggal, dan tak perlu menjadi pakar untuk mendapatkan gelar ulama. Penggunaannya pun hanya terbatas pada orang yang dipersepsikan mengerti ilmu agama, walau (sebagian) hanya bermodal hafal beberapa ayat dan atau hadits.
Pergeseran arti kata, dari aslinya bahasa Arab menjadi bahasa Indonesia, adalah hal yang wajar belaka. Hanya saja, setiap orang harus tahu persis ketika menggunakannya.
Wabah covid-19 jadi kesempatan besar bagi umat beragama untuk memikirkan ulang konsep hubungan Tuhan dan alam raya ini.
Kata Albert Einstein, "Tuhan tidak bermain dadu." Artinya, Tuhan menciptakan alam raya ini dengan sistem keteraturan yang sangat ketat.
Saking teraturnya, andai satu partikel saja bergeser, maka alam raya ini akan runtuh.
Dalam Islam, ilmu Tauhid mengajarkan manusia untuk menyadari logika dan rasionalitas. Ada silogisme dalam setiap argumentasi pendukung sifat wajib bagi Allah.
Diakui atau tidak, tak sedikit umat beragama yang gagal paham soal hubungan Tuhan dan alam raya. Mereka bahkan berasumsi bahwa Tuhan akan dengan mudah melakukan intervensi dalam kehidupan. Kausalitas tidak berlaku dalam asumsi ini.
Dalam kitab adz-Dzakhiirah, Imam Qurafi menjelaskan bahwa kaidah seluruh hukum terbagi menjadi dua: tujuan (maqshad) dan instrumen (wasiilah). Hukum setiap instrumen sama dengan hukum tujuannya. Contoh: hukum shalat Jumat adalah wajib (maqshad).
Maka, hukum berjalan (instrumen) menuju tempat shalat Jumat adalah wajib juga. Hukum mencuri adalah haram. Maka, berjalan ke tempat pencurian hukumnya juga haram. Begitu pula dengan hukum lainnya: sunnah, makruh, dan mubah.
Yang menarik, dalam hal instrumen, Imam Qurafi (tentu imam-imam lainnya juga demikian) pun membagi dua. Ada instrumen dekat (wasiilah qariibah) dan ada instrumen jauh (wasiilah ba’iidah). Dengan demikian, tidak semua instrumen memiliki hukum yang sama dengan hukum tujuannya.
Theresia Geoshili, umur 80 tahun, tinggal di satu rumah sebatang-kara. Ia hanya ditemani oleh dua ekor burung kenari yang ia beri nama Paula dan Carla.
Carla dan Paula selalu berkicau menemani Theresia di rumah.
Suatu pagi, Theresia jatuh di dapur. Ia tidak berdaya dan merasa akan habis masa hidupnya. Dalam kondisi seperti itu, Theresia terpikir tentang Paula dan Karla. Jika ia mati, siapa yang akan mengurus keduanya. Maka, ia berusaha keras untuk bangkit membuka pintu sangkar.
Theresia berharap Paula dan Carla pergi meninggalkan sangkar agar mereka bisa bebas mencari makan.
Tapi apa yang terjadi? Paula dan Carla malah bertingkah aneh. Keduanya hinggap di kanopi rumah Theresia. Berkicau nyaring sekali. Berisik dan menarik perhatian orang yang lewat.