Sudah satu minggu aku tinggal di kampung ini , Kampung Sukmaraya yang terlelak di kaki gunung Gede. Sebenarnya tujuanku ke sini adalah untuk mengurus berkas-berkas, untuk persiapanku melamar kerja di kota asalku di jogja.
Dulu aku sempat tinggal cukup lama di sini, sampai akhirnya, aku Pulang kejogja dan belum sempat merubah berkas kependudukanku.
Perkenalkan namaku Dananjaya Sambara , panggil Danan saja. Setelah lulus , aku bekerja di pabrik gula pamanku di area klaten ,
namun karena suatu hal, aku memutuskan untuk tidak bekerja lagi di tempat itu, dan mencoba melamar di perusahaan swasta.
Di kampung ini aku tinggal di rumah budeku , sebuah rumah di perkampungan yang cukup padat, dengan pemandangan yang selalu membuatku rindu,
yaitu sebuah pohon beringin besar yang selalu bisa dilihat dari sudut manapun kampung ini. Bahkan, saat inipun aku masih menatapnya dengan ditemani secangkir kopi pahit dan sebatang rokok.
“ Masuk A, sudah mau maghrib.. “ tiba-tiba suara seorang ibu yang lewat memecah lamunanku.
“ Njih bu… eh, maksudnya.. iya bu” saya lupa , saya sedang tidak di jogja.
“ Masnya bukan orang sini ya? “
“ Iya bu, saya dari jogja.. “ balasku
“ Mas, di kampung ini kalo sudah maghrib langsung masuk ke rumah ya.. jangan keluar-keluar , habis ada insiden” Cerita ibu itu.
“ Iya bu… sudah dibilangin juga sama bude, terimakasih diingatkan” balasku
“Mangga A “ Pamit ibu itu..
Cerita ini memang sudah menyebar di seluruh kampung , sudah hampir satu bulan dibuat aturan tidak tertulis, bahwa setelah maghrib warga dilarang keluar rumah.
Berdasarkan cerita warga, sempat ada kejadian misterius, dimana seorang anak hilang di kampung ini, dan ditemukan tak bernyawa di pinggir sebuah sumur ,dengan kondisi tidak utuh seolah diserang oleh hewan buas.
Selain itu, ada saksi juga seorang pemuda yang diserang sesosok makhluk besar saat sedang berjaga malam.
“Punten… Mas Danan sudah siap?” Panggil Kang Asep salah satu warga desa sini.
“Sudah kang, sebentar…” jawabku
Malam ini kita sudah janjian untuk melakukan sisir kampung bersama beberapa warga di sini. Bude Ranti memang memintaku untuk membantu warga sini untuk menyelesaikan masalah yang membuat desa ini menjadi sangat mencekam.
“yang ikut berapa orang kang asep?” tanyaku
“hari ini cuma kita bertiga mas , begitu saya info Mas Danan mau ngecek ka imah leuweung, yang lain ga mau ikut ” jawab Kang asep
“ Ya udah , ga papa… toh kita Cuma ngecek aja, Satu lagi siapa?”
“Pak Kuswara , itu lagi ngabisini rokok dulu…” Lanjut kang Asep
Pak Kuswara adalah salah satu sesepuh desa sini, dia biasa dipercaya untuk mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan hal ghaib di desa ini.
“Malam Pak Kus… “ Sapaku
“Malam Mas Danan… sudah persiapan? “ Balas Pak Kuswara.
“Sudah Pak… semoga ga ada halangan yang berarti”
“Ini coba Mas Danan pegang… nanti dibalikin ke saya setelah kembali dari imah leuweung.” Perintah Pak Kuswara sembari memberikan sebuah kujang kecil , saya tau dengan jelas bahwa ini adalah pusaka.
Yang saya khawatirkan ,
jangan sampai energi di kujang ini bentrok dengan energi yang ada pada saya. Namun, saya tetap menerimanya karena Pak Kuswara pasti punya tujuan menitipkan benda ini pada saya.
Imah Leuweung adalah sebuah rumah yang rumah yang lokasinya berada di tengah hutan di pinggir kampung , dulunya rumah ini adalah tempat singgah untuk para pekerja di kebun karet, yang berlokasi tepat di sisi belakang hutan ini. Semenjak perkebunan sudah tidak beroperasi,
tempat ini sangat tidak terawat.
Saat sampai di perbatasan kampung, kami tidak melihat lagi jalan setapak, kecuali rumput-rumput yang setinggi mata kaki , di depan kami ada hutan dengan pohon jati yang menjulang tinggi .
Kondisi jalan yang gelap dan sunyi memaksa kami untuk berjalan lebih hati-hati.
“Mas Danan, masih mau lanjut…? “ Tiba-tiba suara pak Kus memecah keheningan.
Sepertinya Pak Kus sudah sadar dengan kondisi di sekitar sini.
Aku menengadahkan kepala dan melihat kondisi sekeliling hutan ini.
“Sialan… “ umpatku dalam hati.
Rupanya rasa gelisahku disadari oleh kang asep.
“Emangnya, Ada apa Mas Danan? “ tanya kang asep penasaran.
“ Pocongan… “ jawabku.
“Astaga….. Mas Danan , Kenapa diomongin sih.” Keluh Kang Asep sambil mengernyitkan mukanya.
“Lah, kan kang asep yang nanya… ini juga baru sedikit, kayaknya semakin malam semakin banyak yang bakal muncul..” Lanjutku
“Jadi masih mau lanjut Mas Danan? “ tanya Pak Kus lagi
“Segini banyak makhluk yang jagain tempat itu, pasti ada sesuatu yang besar di sana.. kita lanjut dulu gmn pak?”
“Kang Asep kalo ga kuat tunggu di sini dulu aja..” lanjutku
“Enak aja, Mas Danan jangan becanda.. masa saya ditinggal di sini sama makhluk2 itu”balasnya dengan kesal.
“Ya sudah , kita pasang perlindungan dulu.. “ perintah Pak Kus.
Segera Pak kus duduk bersila dan membacakan beberapa amalan yang ku kenal adalah ilmu perisai batin .
Tak ketinggalan akupun mengambil posisi yang sama dan merapalkan ajian muksa pangreksa dengan tujuan menutupi kami bertiga dari niat jahat makhluk yang ada di sini.
Kami melanjutkan perjalanan, pepohonan dan semak belukar semakin lebat menghalangi jalur yang kami lewati.
Hanya suara angin dan langkah kaki yang terdengar saat ini.
….
….
“A , Bade angkat Kamana? (mas mau pergi ke mana) “ mendadak suara seorang perempuan mendekati kami.
Jelas saja kami tidak menghiraukan suara itu ,
Kami mempercepat langkah kaki , dan sebuah rumah gubuk tua yang hampir tak berbentuk mulai terlihat.
Sekali lagi terdengar suara dari semak semak.
“naon anu anjeun lakukeun di dieu?” (apa yang kalian lakukan di tempat ini) suara wanita itu terdengar lagi,
namun disertai suara semak-semak yang tersibak seolah dilewati hewan hutan.
Kamipun menoleh, dan apa yang kami lihat…
Sesosok wanita dengan wajah yang tak berbentuk dengan bola mata yang tidak lagi ditempatnya ,
rambutnya terurai di tanah dengan tubuh bawah berbentuk ular dengan sisik berwarna hitam.
Seketika aku kembali merapalkan amalan-amalan untuk mengusir makhluk itu dari sini , namun sebelum selesai makhluk itu mengatakan
“Urang henteu maksad nganyenyeri, ngan ukur ngingetkeun anjeun..” (saya tidak bermaksud menyakiti, saya hanya memperingatkan kalian) ucap makhluk itu.
“brukk!” suara kang asep jatuh terduduk
“ Naon eta siaaa… “ (apaan itu sialan?) teriak kang asep yang mukanya mulai pucat.
Kukira hanya Pak Kus dan saya yang bisa melihat makhluk-makhluk ini, entah kenapa siluman ini bisa dilihat sama kang asep.
Perjalan kami dilanjutkan dengan sedikit gangguan-gangguan , namun akhirnya kami sampai juga di lokasi yang kami tuju..
.. imah leuweung.
Sekilas bangunan ini seperti tidak pernah di datangi oleh manusia lagi. Atapnya yang bolong , kayu-kayu yang jatuh termakan rayap benar-benar membuat orang tidak peduli dengan bangunan ini.
Aku memberanikan diri memasuki pekarangan rumah tersebut. Alangkah terkejutnya ,
Puluhan… tidak, mungkin lebih… makhluk putih yang mengganggu kita sepanjang perjalanan tadi muncul berkumpul di sini mengepung kami.
Ya, itu Pocong…
Aku sedikit gentar, belum pernah aku melihat pocongan sebanyak ini di satu tempat. Bukan masalah hantu pocong ini..
tapi makhluk apa yang ada di dalam rumah itu , sehingga bisa memiliki tumbal sebanyak ini.
Aku merasa belum siap , namun lain dengan Pak Kus dia hanya memandangku dan memastikan keputusanku.
Kemampuan Pak Kus Jelas mumpuni, tapi untuk mengurus semua ini terlalu beresiko,
oleh karena itu aku tetap dibutuhkan .
“Jangan nekat mas… “ peringat pak kus dari belakang.
Aku tetap berusaha maju , dan para pocong itu mendekatiku , kakiku dicengkram oleh makhluk yang aku sendiri belum sempat melihat bentuknya.
Tetesan liur dari wajah yang tak berbentuk menetes di telapak tanganku. Rasa gatal yang tak tertahan muncul dari bekas liur itu.
Segera aku melindungi diri dengan amalan penyembuh luka ghaib dan membakar makhluk itu. Namun jumlah mereka yang tidak terhitung tidak memberiku ruang.
Pak Kus mengeluarkan pusaka berbentuk mata panah yang segera ia bacakan doa dan melemparnya ke tanah.
Sontak , setengah dari makhluk itu terbakar dan menghilang.
“ Rupanya benar,
dibawah tanah ini terkubur puluhan mayat yang kemungkinan mereka para pekerja kebun karet yang menghilang” ucap pak kus
Bagaimana dengan kang asep? Dia bersembunyi di dekat pak kus , tidak ada makhluk yang menyerangnya.. kemungkinan ia juga dibekali pusaka oleh pak kus.
Tidak terima dengan serangan Pak Kus , sesosok makhluk bertubuh ular mencoba menyerangku dan melilitku dengan ekornya.
“saha maneh wani ngaganggu tempat ieu?”(siapa kalian berani mengganggu tempat ini) ucap makhluk itu sambil melilit tubuhku.
Badanku mulai lemas, rupanya siluman ini bukan siluman biasa .
Bisa jadi makhluk inilah yang meminta tumbal sebanyak ini.
Aku membaca ajian pembakar tapi makhluk itu tidak bergeming , amalan pedangpun Nampak tidak berguna untuk makhluk ini.
Pak Kus mencoba membantuku,namun ia disibukan oleh puluhan makhluk halus dari seluruh penjuru hutan yang menyerang bersamaan.
Nampaknya tidak ada pilihan lain,
aku melepaskan sukmaku dari raga, dan menyerang siluman ular itu dengan keris pusaka yang telah menyatu dengan sukmaku.
Makhluk itu kesakitan dan teriak dengan suara yang hampir terdengar ke seluruh hutan.
Makhluk itu terlihat sangat marah , belum sempat aku kembali ke ragaku , siluman jahanam itu menggigit pergelangan tanganku dan menariknya hingga terputus.
“Sialan !” Teriakku sambil berusaha menyatukan ragaku.
Aliran darah segar membasahi bajuku dan meneteskan darah yang tidak sedikit. Rasa sakit yang tak tertahan membuatku terguling di tanah.
“Mas Danan !” Teriak Kang asep yang segera berlari ke arahku.
Pak Kus menyusul kang asep, namun sebelum sampai di tempatku sebuah pukulan dari makhluk raksasa menghempasnya hingga terguling.
Kang asep mencoba mengikat lenganku, namun siluman ular itu merebut dan melilitku. Aku mencoba kemungkinan terakhir,
menarik keris itu dari sukmaku dan merapalkan mantra yang diturunkan oleh leluhurku
Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten…
Mendadak langit menjadi gelap ,
hujan turun begitu deras dan muncul sesosok mahkluk
Seorang kakek tua bungkuk berambut putih panjang tergerai menembus rintikan hujan.
“Debog Bosok pancen Asu.. ono opo kowe nyeluk!” (cucu kaya anj** ngapain kamu manggil2) umpat makhluk itu.
“Nyuwun pangapuro mbah…rrrgghhh, kulo nyuwun pitulung” (maaf mbah, aku minta pertolongan) ucapku dengan berusaha sekuat tenaga.
Kakek tua itu tertawa seperti orang gila , berlari dengan tangan di bawah seperti anjing dan menghampiri siluman ular yang melilitku.
Belum sempat siluman itu berbicara, kakek tua itu segera memasukan tangan ke mulut siluman itu dan merobeknya dengan keji sambil tertawa.
Tidak puas sampai di situ ia mengambil badan siluman itu dan memakan dadanya dengan buas hingga darah hitam bermuncratan di tanah.
“Gila! Makhluk sekuat itu dihabisi tanpa ampun..” pikirku.
Tidak berhenti di situ , pocong , raksasa, makhluk tanah dihabisi dengan begitu brutal seolah tubuh mereka hanya terbuat dari kapas.
“Uwis mbah!” teriaku.
Seolah tidak mendengarkan,
makhluk berwujud kakek tua itu tetap mengamuk sambil tertawa cekikikan sambil menggila bahkan tak luput ,wajah kang asep tersapu oleh cakaran kakek itu.
Aku semakin khawatir, kakek itu berlari menuju pak Kus
“Sial, maksudku menyelamatkan diri malah memanggil masalah baru…” gerutuku
Aku berlari sebisaku dengan luka disekujur tubuhku .
Makhluk itu semakin dekat, mencoba menyerang pak Kus namun mendadak berhenti.
“kulo dudu mengsahe panjenengan” (Saya bukan musuhmu) mendadak Pak Kus berbahasa jawa.
Kakek itu seolah memandang sosok di belakang pak kus dan kembali ke arahku.
Aku segera menarik kembali keris pusaka ke dalam sukmaku dan sosok kakek itu perlahan menghilang
“sing tak pateni kuwi dudu empune , ojo ngelawan nek kowe durung siap “
(yang aku lawan itu bukan empunya, jangan ngelawan kalau kamu belum siap)
“nanging, sopo wae sing wani gawe loro keturunanku, urusane mbek awake dewe”
(tapi siapa saja yang berani menyakiti keturunanku , harus berurusan dengan saya)
Makhluk itu menatap kang asep dan menghilang bersama rintikan hujan yang berhenti bersamaan.
“Kita kembali dulu “ ucap pak kus sembari membantuku berdiri
…
…
Tak terasa waktu sudah mendekati subuh , kami keluar hutan dan berniat segera mencari pertolongan.
Rasa nyeri merayap di seluruh tubuhku, aku takut tidak mampu bertahan sampai pertolongan datang.
“Mas Danan, sekarang kujangnya sudah bisa dikembalikan “ ucap Pak Kus tiba-tiba.
Aku mengeluarkanya dari saku dan segera mengembalikanya ke Pak Kus. Saat pusaka itu berpindah tangan mendadak pusaka itu retak dan pecah.
Aku bingung dengan kejadian itu, tapi hal aneh terjadi.. semua lukaku hilang , lenganku kembali muncul.
“Ini maksudnya apa pak?” tanyaku ke Pak Kus
“Kujang ini adalah pusaka pengganti raga, dia menyimpan raga manusia tepat pada saat kujang ini diterima”
“Saat pusaka ini dilepas , dia akan mengembalikan raga seperti sedia kala. Dan akan hancur saat tugasnya selesai“ jelas Pak Kus.
Gila, aku tidak menyangka ada pusaka sehebat ini. Seandainya saja aku bisa memilikinya lagi.
“Terima kasih Pak Kus , pantas saja Pak Kus membiarkan saya menghadapi makhluk itu sendirian” ucapku
Akhirnya aku kembali ke rumah bude Ranti , dan sedikit menceritakan tentang kejadian semalam.
Beliau cukup kaget dan tidak menyangka kondisinya separah ini.
“Kalau ada banyak tumbal , harusnya ada pemilik yang memelihara makhluk itu” ucap bu Ranti
“Tapi siapa? Kita tidak bisa menuduh warga seenaknya.. kecuali ada petunjuk”
“ada dua makhluk yang mengumpulkan tumbal , siluman ular yang sudah mati dan sesosok makhluk raksasa yang membuat Pak Kus kewalahan” Jelasku
“Seperti Buto atau Genderuwo? “ Tanya Bu Ranti
“ Bukan , agak berbeda saya sendiri tidak tahu itu makhluk apa” jawabku
..
..
“Lelepah” Tiba tiba seorang anak kecil menyerobot pembicaraan kami.
Itu Gio , seorang anak kelas 4 SD yang dititipkan oleh orang tuanya di sini untuk bersekolah.
“ Apa? Lelepah? Kamu pernah liat?” Tanyaku ke Gio
“Pernah, pas hujan di kebun belokan setelah tanjakan setelah gerbang masuk perkampungan ini” Jawabnya
“Kamu ga ngarang kan Gi?” Tanya Bu Ranti, walau Bu Ranti tahu Gio bukan anak yang suka berbohong.
“Ngga Bu , Makhluk itu menggigit entah apa yang mengeluarkan darah” Jelasnya sambil terlihat menahan rasa takut.
Jika ucapan Gio benar , kemungkinan yang digigit Leleupah itu adalah tumbalnya. Dan tanah tempat makhluk itu mengeksusi tumbalnya sudah pasti rumah sang pemilik ilmu.
“Mas Danan, kebun setelah tanjakan yang diceritakan Dio, bukanya itu rumah majikanya Kang Asep?” ucap Bu Ranti gelisah... (bersambung) #imahleuweung#bacahorror#ceritahorror
“Mirah .. di rumah gak?” suara seorang anak memanggilku dari depan rumah ,
“iya gas, kenapa?” Jawabku,
Itu Bagas satu-satunya teman seumuranku di kampung ini , Beberapa tahun setelah belanda meninggalkan kampung ini ,
banyak warga yang memilih untuk meninggalkan kampung, dan mencari kesejahteraan dari sebuah negara yang telah merdeka ini.
“Ke kebun karet yuk.. !” ajak Bagas.
“Ayuk2! “ Jawabku dengan semangat
“Buk , Aku main ke kebun karet dulu ya!” Pamitku pada ibu .
Tanpa menunggu balasan dari ibu , aku berlari menghampiri bagas dan segera berlari menuju kebun karet.
Ini memang keseharianku , bermain di kebun karet dan kadang membantu ibu merawat kebun.
Sekolah? Haha… itu Cuma untuk anak-anak juragan yang punya uang,
dan itu saja sangat jauh dari kampungku ini.
Untuk mencapai kebun karet , kami harus keluar perkampungan dan melewati hutan jati, barulah setelah itu kita mencapai perkebunan karet milik Pak Gumelar , seorang pengusaha asal kampung kami juga.
Rumput yang pendek dan sekumpulan pohon karet yang tersusun rapi selalu bisa memukauku , selain aku bisa berlari-lari sepuasnya , kadang aku juga memainkan getah karet hasil sadapankun sendiri.
“Bagas , mirah… hati-hati jangan sampai jatuh “ ucap seorang pria mengingatkan kami.
Itu adalah kang wira , salah satu pekerja kebun ini.
“Iya Kang!” jawabku sambil meneruskan permainan.
“aduh..!” suara Bagas memecah konsentrasiku.
“mirah.. tolong!”
Aku berlari menghampiri bagas dan mendapatkan dia terperosok di jurang kecil di pinggir perkebunan.
Segera aku mencari galah untuk membantu bagas keluar dari jurang itu .
Memang sedikit lama, tapi akhirnya bagas bisa naik dengan selamat.
Tapi.. tanpa terasa langit mulai memerah menandakan sedikit lagi akan semakin gelap , Kamipun bersiap untuk pulang.
“Kamu sih gas, pake jatuh segala…. Kemaleman kan” keluhku
“maaf , gak sengaja kok itu… tenang aja aku tetap hafal jalan kok walau gelap” jawabnya
Untuk pulang ke rumah , kami harus melewati hutan jati sejauh beberapa kilometer.
Ini juga jalur yang digunakan oleh pekerja saat akan kembali ke kampung. Di tengah hutan itu juga telah disediakan rumah singgah untuk para pekerja, untuk sekedar istirahat atau menginap.
Hari semakin gelap, suasana tidak lagi menyenangkan seperti tadi siang.
Suara hewan-hewan malam mulai terdengar dan membuatku ketakutan.
“ gas , tungguin.. serem nih” keluhku
“tenang, habis dari sini ada pohon jati besar .. ga jauh dari situ nanti ada rumah singgah, disana pasti ramai” cerita bagas.
Aku menurut saja , semoga benar apa kata bagas.
Kami semakin masuk ke tengah hutan , semak-semak tinggi mulai mengganggu jalan kami.
Namun perkataan bagas benar , ada sebuah rumah disana.
Sebuah nyala lampu petromax menerangi teras rumah itu , kuharap ada orang disana.
Kami menaiki teras dan mengetuk pintu .
“Punten! “ teriak bagas.
Namun hanya suara angin malam yang berhembus yang terdengar.
“Punten!” aku ikut berteriak.
Namun tak ada gunanya , sepertinya sudah tak ada orang lagi di rumah ini..
Angin dingin tiba-tiba bertiup , dan aku tak lagi mendengar suara hewan-hewan malam. Nyala api petromax di teras mendadak menghilang , dan aku mulai merasa tidak nyaman..
“ini ada yang tidak beres” pikirku
Aku menoleh ke arah hutan ,
setiap gerakan ranting-ranting di hutan membuatku semakin ketakutan.
“Mirah…itu apa? “ Ucap bagas dengan suara yang gemetar.
Sesosok tangan dengan daging yang sudah tidak utuh
mencoba keluar dari dalam tanah tak jauh dari tempat kami berdiri.
Sontak aku menangis sejadi jadinya.
Tidak hanya satu , tangan itu muncul semakin banyak dari dalam tanah dan mulai mengangkat tubuhnya.
Aku tak lagi berani menoleh , yang ku ingat makhluk-makhluk itu tidak memiliki wajah yang utuh lagi.
Hanya tengkorak dan sedikit daging dan kulit tersisa di wajah dan tubuhnya.
Aroma busuk yang menyengat muncul dari makhluk –makhluk ini .
“lari gas.. lari…” teriaku sambil menangis
“kemana… ? mayat hidup itu udah ada di sekeliling rumah ini” jawabnya
Aku melihat cahaya redup dari dalam rumah , spontan aku mendorong pintu rumah dan ternyata tidak terkunci.
Segera kami berlari masuk , menutup dan mengunci pintu dari dalam.
Apa yang terjadi? Kami berada di sebuah rumah di tengah hutan,
dengan puluhan mayat hidup mengelilinginya. Semoga ini Cuma mimpi .
“gimana mir.. aku takut” ucap bagas.
Aku mengintip dari jendela , tidak ada satupun makhluk itu yang mendekat ke dalam rumah.
“ga ada yang mendekat gas.. semoga disini aman” ucapku sambil terisak.
Hampir satu jam kami menunggu , yang ada hanya keheningan dan isak tangis kami yang hampir reda.
“Brak!!!” tiba-tiba seperti ada suara pintu yang dipukul dengan keras.
Sontak kami kaget dan lari ke dalam .
Aku yakin makhluk yang mencoba menerobos rumah bukanlah salah satu dari mayat hidup tadi.
Karena.. Tidak ada yang sebesar itu diantara mereka.
Kami berlari ke dalam , mencoba mencari tempat yang aman dari jangkauan makhluk-makhluk di luar sana.
Aku teringat nyala lampu redup yang terlihat dari luar ..
“tadi ada nyala lampu gas, coba cari… “ perintahku ke bagas.
“Di sana Mir… “ teriak bagas sambil menunjuk ke sebuah ruangan dengan nyala lampu yang redup.
Aku segera berlari ke sana, berharap akan ada seseorang disana.
“Srakkk… “ aku mendengar suara dari belakang
Bagas tidak mengikutiku.
“Arrgh… Miraaah!” teriak bagas
Bagas terjatuh , sesuatu menyeretnya ke belakang…
Aku mengejarnya, namun sebelum aku sampai aku terhenti .. kakiku bergetar lemas..
Sesosok makhluk dengan rambut panjang menutupi seluruh tubuh, darah yang hampir tak berhenti mengalir dari matanya menggenggam erat kaki bagas dan menahan tubuhnya.
“lari mirah!!! “ Teriak bagas.
“Tapi…” jawabku ragu.
“Lari!! Cari pertolongan!” teriak bagas yg terdengar menahan tangisanya.
Aku berusaha keras mengangkat kakiku , menyeretnya sekuat tenaga untuk ke sumber cahaya itu.
Ruangan itu seolah menyambutku , aku berlari memasuki ruangan , ternyata cahaya itu berasal dari 3 buah lilin.
Aku mendekat , namun ada yang aneh di sini, tidak Cuma lilin.. ada juga bunga-bunga sesajen dan kemenyan yang sudah dibakar.
Aku bingung dan mencoba keluar lagi , namun sebelum sempat menoleh , pintu tertutup dengan sendirinya.
Sesosok bayangan bergerak, ada orang di belakangku.
Sebuah kekuatan besar menahan tubuhku untuk menoleh ,
Tak satupun bagian tubuhku dapat digerakan. Aku merasa lemas ..
Sebuah perkataan terdengar sebelum aku kehilangan kesadaran…
“hapunten, ieu mangrupikeun pangorbanan anu kuring janji”
….
…
…
Tetesan air yang jatuh di wajahku membangkitkan kesadaranku, aku mencoba mengenali dimana aku saat ini. Hanya hutan dengan pohon-pohon hitam yang berada di sekeliling tempat ini.
“Grrrrrrr…..”
Terdengar suara raungan mendekat , aku tak mampu menahan air mataku.
Aku meraba ke sekitar , ada tangan seseorang.. aku meraihnya berharap dia menjelaskan di mana aku saat ini.
“tolong…” ucapku sambil menarik orang disampingku.
Namun bukan seseorang yang terbangun, melainkan sebuah tangan yang telah terlepas dari tubuhnya.
Aku menangis sejadi-jadinya , suara makhluk itupun semakin mendekat.
Aku mencoba berdiri , namun makhluk itu berhasil menemukanku..
Besar… tanganya menggenggam tubuh-tubuh manusia yang tidak utuh,
seluruh tubuhnya penuh darah yang kurasa berasal dari tubuh-tubuh yang berserakan di sini.
“Tolong…. Bagas… Ibuuuu” teriaku sambil berlari sekuat tenaga
Namun makhluk itu terlalu cepat , sapuan tanganya menghentikan kakiku hingga aku harus menyeretnya untuk terus berlari.
“Apa sudah tidak ada harapan lagi .. “ pikirku
Wajah dengan penuh darah, dengan bola mata yang menggantung berhenti tepat di depan wajahku.
Tangan besar berayun , dan aku tahu itu bermaksud mencabik-cabik tubuhku.
Namun sebelum itu terjadi , sesosok makhluk lain muncul di hadapanku.
Menahan tangan makhluk besar itu dan menutupi tubuhku..
Hei.. aku tau makhluk itu, Sesosok makhluk dengan rambut panjang menutupi seluruh tubuh dan darah yang hampir tak berhenti mengalir dari matanya..
Itu makhluk yang menahan Bagas tadi..
“Lari….” Ucap makhluk itu dengan suara yang mencekam.
Aku tidak tahu apa yang terjadi , yang bisa kucoba hanya berlari.. berlari.. dan berlari…
Namun kali ini tidak hanya pohon hitam yang ada disekitarku ,
Sebuah pohon beringin besar seolah memanggilku ke sana.
Aku berlari menuju tempat itu, namun dari belakang terdengar suara ranting-ranting yang tersapu benda besar.
Kurasa makhluk tadi tidak bisa menahan raksasa ini.
Tak perlu menunggu lama, tangan makhluk itu berhasil mencapai tubuhku.
Namun aku terus berlari , hingga akhirnya aku melihat tubuhku mencapai bayangan pohon beringin itu.
Benar…
makhluk itu tidak mengejarku lagi…
Dia hanya melihatku tanpa berani mendekat , bahkan hanya untuk ke bayangan pohon ini..
Seolah kecewa, makhluk itu berteriak.. mengamuk dan mencabik-cabik potongan-potongan tubuh yang masih di genggamnya.
Cukup lama, sampai akhirnya Makhluk itu meninggalkan pohon beringin ini.
Aku mencoba kembali berjalan sekedar ingin bersandar di bawah pohon ini.
Namun ada yang aneh..
aku berjalan , tapi mengapa seolah aku tidak berpindah tempat.
dan… mengapa aku bisa melihat tubuhku sendiri..
….
Tanpa kepala…
…
…
Hai… Aku mirah , ini desa Sukmaraya sebuah perkampungan yang cukup padat, dengan pemandangan yang selalu membuatku rindu,
yaitu sebuah pohon beringin besar yang selalu bisa dilihat dari sudut manapun kampung ini.
Aku suka dengan pohon beringin ini , karna didekatnya aku merasa nyaman seolah tidak akan ada bahaya selama aku ada di sini.
Aku senang di sini, sebuah sekolah dan asrama di bangun di sini,
jadi aku bisa melihat anak-anak seumuranku bermain di sini. Tapi hanya beberapa saja yang bertemu denganku, dan tidak banyak yang bisa lama-lama bermain, hihi… mungkin karna aku sedikit berbeda dengan mereka.
Karena aku harus membawa kepalaku dengan tanganku agar tidak terjatuh…
Kesepian? Gak juga.
Ada seorang teman yang sering mengunjungiku , dulu dia seumuran, tapi sekarang dia sudah lebih berumur dan terlihat cukup berkharisma dengan rambutnya yang mulai memutih.
Nah itu dia datang ..
Kenalin sahabat terbaiku,
Namanya.. “Bagas Kuswara”
…
(bersambung part 3 - Perang ghaib) #imahleuweung#ceritahoror#bacahorror
Terima kasih yang sudah bantu retweet dan like , Kita lanjut Part 3 :
“Ojo Kewanen nek kowe durung siap…
Kowe ora ngerti sing mbok lawan…
Iki dudu mung gelut , iki perang!”
( jangan berani – berani kalau kamu belum siap
Kamu ga tau siapa yang kamu lawan
Ini bukan pertarungan, ini perang! )
Aku tersentak dari tidurku , teringat dengan jelas sesosok bayangan makhluk besar memperingatkan dalam mimpiku.
Waktu sudah menunjukan pukul 08.00 , segera aku mempersiapkan diri untuk menemui Pak Kuswara.
Sudah satu minggu sejak kejadian di Imah Leuweung yang hampir merenggut nyawaku , namun kami sepakat, kami tidak akan berhenti di sini sampai semua permasalahan ini selesai. Aku tau , ini seperti bunuh diri,
mengingat bahkan aku sendiripun hampir mati saat melawan siluman ular yang merupakan anak buah dari makhluk jahanam yang menjadi asal muasal tragedi ini.
“Pagi Pak Kuswara…” ucapku saat bertemu dengan pak kuswara di sebuah warung desa tidak jauh dari tempat aku tinggal.
“Pagi mas danan, sudah sarapan?” sambut pak kuswara
“ belum pak, ini sekalian mau sarapan lotek ulekanya Teh Imas” ucapku sambil menoleh dan memberikan kode ke teh imas sang pemilik warung.
Pak kuswara menyulut rokoknya,
menarik nafas cukup panjang dan menghembuskan dengan nafas yang kurasa bercampur dengan rasa keluh.
“ Gimana mas danan? Ada petunjuk dari kejadian kemarin?” tanya pak kuswara.
“Iya pak, ini juga alasan saya kenapa saya ngajak ketemu tanpa mengajak kang asep” jawabku
“Makhluk Besar yang bertarung dengan pak kuswara, apa benar itu Leleupah?”
Pak kuswara memandangku sambil menjentikan abu rokoknya.
“Kamu tau dari mana? Anak yang tinggal di rumah budemu itu ya?” Tanya pak kuswara
“Iya pak, bapak tau Gio? “ aku menjawab dan menjadi semakin penasaran.
“Saya sempat membantunya saat dia dikejar leleupah , sepertinya sudah sebulan yang lalu” jelas pak kuswara
“berarti pak kus juga tau lokasi majikan leleupah itu? “ tanyaku
“ Belum , memangnya anak itu cerita apa?”
“Dia melihat tempat leleupah itu mengeksekusi tumbalnya, dan alasan aku tidak mengajak kang asep, karena lokasinya itu ada di tanah milik majikanya kang asep” jelasku pada pak kuswara
Pak Kuswara mematikan rokoknya,dan menghela nafas..
“maksudnya rumahnya mbah wira?”
“iya pak , tapi masih perlu kita pastikan…” jawabku
“ya sudah , kapan kita ke sana? Jika memang dia pelakunya harusnya kita bisa merasakan sesuatu saat masuk ke rumahnya” lanjut pak kuswara
“masalahnya pak, beberapa hari ini saya dapet mimpi yang memperingkatkan bahwa ini bukan masalah biasa, kita harus siap untuk perang” ceritaku dengan gelisah.
Semenjak mimpi itu menggangguku aku mencoba meminta pertolongan ke seseorang. Namanya Cahyo , Teman seperjuanganku saat
masih bekerja di Pabrik Gula di klaten.
“Kalau pak Kuswara berkenan , bagaimana kalau besok rabu kita kesana? saya juga meminta tolong teman saya dari klaten untuk membantu” tanyaku ke pak kuswara.
“Baik mas danan, jangan lupa persiapkan segalanya dari awal…
kita tidak tahu apa yang kita hadapi nanti” jawab pak kuswara.
Sepiring lotek diantarkan oleh teh imas ke hadapanku, segera aku melahapnya dan melanjutkan pembicaraan biasa dengan pak kuswara. Namun tetap terlihat raut muka gelisah di wajahnya.
..
..
Tepat hari rabu , sesuai yang telah dijanjikan, kami berkumpul di tempatku, di rumah Bu Ranti tepatnya . Aku menunggu bersama cahyo yang sudah datang dari kemarin malam dan menginap di sini , namun hujan deras tak kunjung berhenti dan pak kuswara belum kunjung datang juga.
“Gio, Kamu bener liat makhluk itu di tanahnya mbah wira kan?” tanya cahyo ke Gio.
“bener mas, aku pertama kali melihat disana dan dikejar sampai akhirnya pak kuswara nolongin Gio” ceritanya singkat.
Hujan semakin deras ,
rintikan hujan menutupi pandangan ke luar, suara menggelegar bersaut-sautan seolah petir menyambar dari dekat.
Suara pintu diketuk mengganggu lamunanku, segera aku berdiri dan menghampiri pagar rumah, berharap pak kuswara yang datang.
“Danan Tunggu!” Teriak Cahyo menahanku
Aku menoleh sebelum sempat membuka pagar , hujan semakin deras dan dentuman di atas rumah mendadak menjadi semakin keras dan bertubi-tubi.
“Siapa kamu!” teriak cahyo sambil menarik tubuhku.
Sesosok bayangan muncul dari rintikan hujan yang deras ,
terlihat sesosok makhluk kurus kering dengan kepala yang miring menyeringai dengan bibirnya yang robek sampai ke telinga.
Suara tertawa keras muncul dari makhluk itu seolah meledek kami.
Aku membacakan amalan pedang bermaksud menyerang makhluk itu,
namun sebelum selesai makhluk itu menghilang dibalik derasnya rintikan hujan.
“Blarrrr!”
Suara dentuman menjadi semakin keras. Cahyo berinisiatif keluar dan memeriksa kondisi di sekitar rumah kami.
“Brengsek , kenapa kita bisa tidak sadar?” ucap dia dengan kesal
Aku menyusul cahyo keluar dan melihat apa yang terjadi.
“Itu… Banaspati?” Tanyaku pada cahyo untuk memastikan apa yang kulihat .
Banaspati adalah makhluk jahat berbentuk bola api yang kerap digunakan oleh orang dengan ilmu yang sangat tinggi untuk menyerang musuhnya dengan maksud membunuh.
“Siapapun yang mengirim ini pastilah orang dengan ilmu tinggi” ucap cahyo.
Bola api itu berputar-putar di atas rumah , bermaksud menyerang dan menerobos atap rumah, dan jika itu terjadi, pasti sudah ada nyawa yang melayang di rumah ini.
Sekali lagi Bola api itu mencoba menerobos, namun yang terjadi adalah benturan.
Rupanya suara yang dari tadi kami dengar adalah suara banaspati yang berbenturan oleh sesuatu.
Aku melihat sekeliling, mencari asal energi yang menahan Banaspati itu.
Sudah kuduga , itu adalah pak kuswara yang sedang duduk bersila di bawah derasnya hujan dengan merapalkan mantra pelindung.
Cahyo mengambil segenggam tanah , membacakan beberapa kalimat doa dan melemparkanya ke kebun kosong di belakang rumah.
Banaspati itu mejadi hitam, makhluk itu menyadari benda yang di lempar cahyo dan menerjang tanpa ampun. Ledakan besar terjadi ketika bola api hitam itu menyentuh tanah di kebun kosong itu.
“sudah aman..” kata cahyo
Pak kuswara membuka matanya dan menghampiri kami.
“Maaf mas danan, makhluk itu terlalu berbahaya jika saya hadapi sendiri, terlalu beresiko untuk yang tinggal di rumah” Kata Pak Kuswara.
“nggak pak , saya yang bodoh… gak menyadari ada makhluk sekuat itu yang nyerang” jawabku.
“Terima kasih mas, saya baru tau ada cara seperti itu untuk mengalahkan banaspati” ucap pak kuswara sambil menoleh kepada cahyo.
“Nggeh pak , saya yang berterima kasih kalau tidak ada pelindung dari pak kuswara mungkin salah satu dari kita sudah celaka” jawab cahyo
“Ayo masuk dulu pak , kita kenalan di dalam saja” ucapku memotong perbincangan mereka.
Kami mengeringkan diri , mengganti pakaian dan melanjutkan perbincangan kami.
Bu Ranti datang dengan menyuguhkan teh hangat untuk pak kuswara.
“Mas Danan , kelihatanya kondisinya semakin berbahaya…” ucap bu ranti gelisah.
Pak kuswara menyuruput teh hangat buatan bu ranti, terlihat menggiurkan, namun aku harus menyempurnakan puasaku untuk persiapan nanti.
“bahaya bu, tapi mau gimana lagi….
Kalau tidak diselesaikan korbanya akan semakn banyak” jawabku kepada bu ranti.
“iya mas, pokoknya hati-hati ya” sahut bu ranti.
“ Bu, Saya titip ini tolong diserahkan ke Gio.. minta dia membawa ini selama kami pergi”
ucap bu ranti sembari menyerahkan sebuah benda yang kutahu itu adalah pusaka berbentuk kalung.
“Hehe.. Itu pusaka pengganti raga juga pak?” Tanyaku pada pak kuswara dengan penuh harap.
“bukan , hanya untuk berjaga-jaga saja… Anak itu pernah bertemu dengan leleupah,
bisa jadi anak itu juga terikat dengan takdir ini.” Jawab pak kuswara.
Hujan sudah mulai berhenti,sebelum berangkat kami berdoa dan menunaikan kewajiban kami masing-masing sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang maha Kuasa sekaligus mohon perlindungan atas apa yang akan kami lakukan.
..
…
Langit mulai memerah , sebuah rumah yang dikeliingi pekarangan besarpun mulai terlihat, ukiran kayu dan hiasan kepala kerbau menyambut kami dengan hawa misteriusnya.
Bau darah dan sesaji mengelilingi pekarangan rumah ini .
Aku pernah lewat sini , namun sebelumnya tidak ada bau seperti ini , mungkin kali ini mbah wira merasa tidak perlu menutup-nutupi lagi apa yang dia lakukan.
Seorang pria tua dengan janggut putih panjang dan baju hitam yang kusam berjalan keluar ,
seolah dia sudah tahu kedatangan kami.
Dia adalah Mbah Wira , salah satu sesepuh kampung ini , namun dia memang sangat misterius segala sesuatu yang berhubungan dengan dia biasanya diurus oleh kang asep.
“Bocah – bocah goblok! Kalian ga tau apa yang kalian hadapi!”
ucap bapak tua itu.
“Jadi benar, ini semua ulah mbah wira? “ tanya pak Kuswara dengan raut muka yang masih tenang.
Belum sempat menjawab pertanyaan pak kuswara , tanah di sekitar kami mulai bergerak, seolah akan muncul sesuatu dari dalamnya.
Benar saja, sebuat tangan tulang belulang yang terbungkus dengan daging busuk mencoba meraih keluar, tidak cuma satu, tapi puluhan tangan muncul dari dalam tanah.
Bau busuk semakin menyengat , kami mundur menjaga jarak untuk mencegah hal yang tidak diinginkan.
Lain dengan Pak Kuswara,beliau justru maju seolah siap menghadapi makhluk sebanyak itu.
“Tidak usah khawatir mas danan, aku sudah pernah berurusan dengan makhluk-makhluk ini sebelumnya”ucap pak kuswara sembari mengeluarkan pusaka mata tombak yang dulu digunakan di imah leuweung.
“jelema anu geus indit ulah balik, anu geus tenang ulah ngaganggu, anu teu tenang tanpa pamales kanyeri”
Mata tombak dijatuhkan ke tanah , cahaya bersinar memenuhi pekarangan, makhluk-makhluk itu berhenti bergerak tanpa perlawanan. Pak Kuswara menghela nafas lega ,
nampaknya ia berusaha menghindari pertarungan sebisa mungkin.
Tak melewatkan kesempatan , Cahyo berlari ke dalam mencoba meraih mbah wira. Belum sempat menyentuhnya, sesosok makhluk raksasa melibasnya hingga terpental. Ya! itu leleupah yang selama ini meneror kampung ini.
Cahyo kembali berdiri , aku tahu serangan itu tidak akan mengalahkanya, dia pernah berurusan dengan makhluk seperti ini.
Sementara Cahyo sibuk dengan leleupah , aku dan pak kuswara menerjang ke arah mbah wira mencoba menyerangnya dengan maksud melumpuhkanya.
“kalian tidak akan bisa membunuhku” ucap mbah wira
Kami terpental tanpa menyadari apa yang membuat kami mundur. Energi yang besar muncul dari dalam tanah dan membentuk sebuah bola api persis seperti yang menyerang rumah tadi.
Tak menyerah kami maju lagi dan menyerang , pertempuran sengit terjadi diantara kami bertiga. Tak satupun dari kami bisa menyentuh mbah wira sampai akhirnya sapuan lengan raksasa dari leleupah membuat pak kuswara tersungkur.
Darah mengalir dari kepala pak kuswara , Cahyo merapalkan mantra pelindung dan segera menghampiri pak kuswara.
Aku panik , tanpa kesadaran penuh aku menarik keris dari sukmaku dan melemparkanya ke arah mbah wira.
Tidak ada yang menahan hujaman keris itu hingga menusuk ke jantung mbah wira. Seketika ia tersungkur dan darah segar mengalir dari jantungnya.
“Aku membunuhnya” pikirku.
Belum sempat menghilangkan kepanikanku , pukulan keras dari leleupah melemparkan tubuhku. Untung saja mantra pelindung dari cahyo mengurangi rasa sakit yang di timbulkan.
Kembali aku menoleh ke arah mbah wira, namun apa yang terjadi.
Tubuhnya hilang! Yang tersisa adalah dua makhluk jahanam yang mencoba menyerangku lagi.
Kali ini Cahyo tidak diam , dia menahan kedua makhluk itu sendirian.
“Tenangkan dirimu Mas Danan” ucap pak kuswara sambil mencoba kembali berdiri.
“Lihat ke depanmu”
Dari kegelapan di dalam rumah muncul seseorang dengan janggut putih panjang dan baju hitam yang tidak asing.
Itu Mbah Wira! Dia kembali tanpa luka sedikitpun. Keriskupun tergeletak begitu saja.
“Jangankan membunuhku , menghadapi makhluk penjagaku saja kalian tak mampu”
ucap mbah wira dengan sombong.
“Baik kalau itu maumu!” Balas cahyo sambil melepaskan ikatan sarung dari pinggangnya.
Iya, sarung..
Sarung itu adalah senjata andalan cahyo yang selalu ikut kemana saja ia pergi.
Cahyo menggila seperti kera , menaiki tubuh leleupah menutup kepalanya dengan sarung dan menghantam kepalanya dengan tangan kosong. Leleupah itu meraung kesakitan , membenturkan kepalanya ke pohon untuk menjatuhkan cahyo.
Aku menarik kerisku , merapalkan ajian lebur saketi ,
sebuah serangan jarak jauh untuk menyerang inti dari banaspati.
Tak terima dengan seranganku , Bola api itu kembali menghitam dan menerjang ke arahku . Tentunya aku sudah bersiap , namun sebelum makhluk itu mengenaiku ,
sekali lagi pak kuswara melemparkan mata tombak ke banaspati hingga bola api itu pecah tak berbentuk.
Aku menoleh ke arah cahyo, dia semakin menggila. Mata dari raksasa itu dipaksa keluar dengan kedua tanganya.
Taring dari makhluk itu mencoba melumat manusia yang sedang menyerangnya , namun kedua tangan cahyo menahanya dan merobek rahang leleupah itu.
“ Mas Cahyo , jantungnya!” teriak pak kuswara.
Sadar dengan petunjuk dari pak kuswara,
Cahyo membacakan ajian pada tanganya dan seolah tangan kananya berubah seperti lengan kera raksasa dengan cakar yang tajam.
Seketika lengan itu menghujam dada leleupah itu ,menggenggam jantungya dan menariknya keluar. Sontak Raksasa itu tersungkur tak berdaya.
Mengerikan? Ya memang.. itu adalah Roh bangsa kera dari hutan wanamarta yang menjadi pelindung Cahyo.
Kami segera berkumpul dan menghampiri mbah wira, namun sesuatu yang aneh terjadi.
Mbah wira tersungkur , kulitnya menjadi keriput dan menghitam ,
namun ia masih berusaha untuk bertahan.
“Mbah wira!!” teriak suara seseorang dari dalam rumah dan berlari menghampiri mbah wira.
Itu kang asep , rupanya dia menyaksikan semua ini dari awal.
Mbah wira menoleh ke arahku dengan bantuan kang asep menahan badanya.
“ Aku tidak akan mati” ucapnya kepada kami.
Belum sempan menjawab ucapanya , mbah wira melanjutkan perkataanya lagi.
“Aku tidak bisa mati.. seandainya bisa memilih mati, mati adalah hukuman teringan untukku saat ini” Lanjutnya
“Kami tidak akan membunuhmu, hentikan serangan yang kamu lakukan selama ini” ucap pak kuswara kepada mbah wira.
“seandainya saja aku bisa… aku sudah memulai sesuatu yang tidak bisa kuakhiri…” jawabnya…
…
…
..
..
[Sudut Pandang Wira , beberapa puluh tahun yang lalu]
..
“Kang wira.. Ka dieu!” (Kang wira, ke sini) ucap seorang wanita memanggilku
Itu Lilis , wanita cantik nan anggun yang selalu bisa membuatku merasa nyaman.
Kami selalu bertemu di sini setiap pulang jam kerja ,
di sebuah rumah singgah di tengah hutan. Walaupun hanya diterangi cahaya lampu petromax , wajah cantik lilis tetap bisa menghilangkan semua rasa lelahku.
Baru beberapa langkah aku memasuki rumah , ia sudah berlari dan memeluku.
“ Kang.. lilis kangen” ucapnya dengan manja.
Aku membalas pelukanya , sikap manjanya membuatku semakin ingin melampiaskan rasa rinduku. Aku menggunakan telunjuku mengangkat dagunya , dan tak terasa bibir kami sudah saling bersentuhan.
Terbakar oleh nafsu, tangankupun ikut menjamah tubuh Lilis , Merabanya dari rambut, leher hingga menyentuh dadanya, Aku meremas bagian itu dengan lembut …
“Aduh.. “lilis berteriak
“kenapa lis? “ tanyaku
“ngga, ga papa” ucap lilis menyembunyikan sesuatu.
Aku penasaran ,
segera aku membuka bajunya dan melihat ada bekas memar di dadanya.
Lilis menunduk dan sedikit membuang muka.
“ini ulah siapa lis? Si bangsat Gumelar lagi?” tanyaku dengan emosi
Lilis Adalah istri Gumelar,
Juragan pemilik perkebunan karet ini yang sekaligus adalah bosku. Aku memang bermain api , tapi salah satunya karena aku kasihan dengan perilaku Bajingan itu yang terus menyiksa satu-satunya wanita yang kucintai.
..
..
Pagi ini seperti biasa, aku bekerja di perkebunan karet.
Tidak ada yang istimewa , hanya pekerja yang mengumpulakan getah karet dan anak-anak dari kampung yang sering bermain di sekitar sini.
Sebentar lagi jam istirahat, ini yang aku tunggu.. sebentar lagi Lilis akan keluar mengantar rantang untuk para pekerja.
Namun ternyata tidak sesuai harapan ,Teh riri yang mengantarkan makanan. Ada apa dengan lilis?
Seperti biasa aku pulang dengan terlambat , berharap aku bisa menemui Lilis di tempat biasa.
Benar saja, lampu petromax di rumah itu menyala. Aku bergegas memasuki rumah dan menemui lilis. Tapi.. dia hanya mematung di ujung tembok, dengan wajah penuh dengan memar.
“ Lilis, kamu kenapa?” Teriaku sambil berlari ke arahnya.
Belum sampai ke arahnya ,
seorang pria mendekati Lilis dan menarik rambutnya.
Sialan, Itu gumelar! Rupanya ia menyadari hubungan kami.
“Bocah ga tau diuntung! Udah ga sayang nyawa kamu wira??” Teriaknya dengan penuh emosi
Belum sempan menjawab , pukulan benda tumpul melukai kepalaku.
Tidak Cuma sekali , pukulan demi pukulan terus menghujani tubuhku. Mereka pekerja-pekerja kebun karet yang di suruh oleh gumelar.
Rasa sakit tak tertahan menjalar di seluruh tubuhku.
“Sudah! Hentikan.. Tolong hentikan!!” teriak lilis dengan penuh tangis.
Gumelar memberi tanda , dan pukulan mereka terhenti.
Aku tersungkur, darah mengucur dari kepalaku, namun siksaan ini tidak hanya berhenti di sini. Gumelar menjambak lilis dan membawanya kedepan wajahku.
“ Ini Wanita yang kamu mau?” ucapnya dengan menyodorkan kepalanya ke arahku.
Sebuah tamparan sekuat tenaga menghantam wajah lilis, tidak puas dengan itu gumelar menendang punggungnya hingga terjatuh dan menginjak-injak wanita yang merupakan istrinya sendiri?
“ Hentikan!! Tolong Hentikan!!” teriaku sekuat tenaga.
Puas menghajar lilis , gumelar menyuruh anak buanya untuk mengikatku di sebuah tiang pondasi rumah.
“Kalau kamu memang suka pelacur ini , Ambil ! Aku tidak sudi hidup dengan barang bekas kacung!” ucapnya
Gumelar melangkah keluar dan berkata kepada anak buahnya..
“ Lakukan apa yang harus kalian lakukan…”
Para pekerja mulai tersenyum, dan menghampiri Lilis. Dan apa yang aku lihat seolah seperti neraka yang tak akan bisa aku lupakan.
Lima orang pekerja mengerumuni lilis, menarik rambutnya , menamparnya, dan merobek robek bajunya.
Lilis berteriak sekuat tenaga namun tidak ada yang bisa menolongnya.
Lima orang yang dipenuhi hawa nafsu menciumi bibir lilis, meletakan tangan-tangan kasarnya di tubuhnya dan memperkosanya bergantian tepat di depan mataku!
“Dendam !!!! Aku Dendam!! Jika Aku masih hidup setelah ini akan aku pastikan kalian merasakan yang lebih menyakitkan dari ini” Ucapku dengan penuh Amarah.
Salah satu dari mereka menghampiriku dan menghajarku dengan sebilah kayu hingga aku tak sadarkan diri.
…
..
“Kamu butuh tumbal untuk mendapatkan ilmu ini.. seorang anak wanita yang lahir pada kamis wage” ucap seorang dukun tua itu kepada kami.
Aku masih hidup.. tepatnya kami, pagi itu lilis tersadar dan melepaskanku dari ikatan . Kami bersembunya di hutan di desa sebelah.
Namun semuanya sudah berubah , kejadian malam itu terus membakar amarahku, dan namaku bukan Wira jika aku tidak membalasnya.
Aku tau seorang anak yang dimaksud dukun itu , seorang anak bernama mirah di kampung sukmaraya yang sering bermain di kebun karet.
Tidak pedulli walau dia anak kecil, asalkan semua dendamku bisa terbalaskan. Aku akan kembali ke kebun karet dan mendapatkan anak itu.
..
..
Ritual sudah selesai , anak itu sudah tidak lagi bernyawa… namun seorang anak yang bersamanya.. entah aku tidak bisa menemukanya.
Sesosok makhluk muncul dari lingkaran dimana jasad mirah di sana.
Setan? Demit? Jin? Bukan… makhluk ini lebih mengerikan. Sepertinya aku telah memanggil Sesosok makhluk yang lebih berbahaya, makhluk dari dasar neraka.
“Aku akan berikan apapun , apa yang kau minta! Asalkan Gumelar dan anak buahnya semuanya mati dengan mengenaskan!!! ” Teriaku kepada makhluk itu.
Tak butuh waktu lama , Keesokan harinya warga menemukan kepala Gumelar tergantung di atas pohon karet dengan tubuh yang tidak utuh.
Aku puas melihatnya.
Aku kembali bisa bercinta dengan lilis dengan membayangkan orang yang menyakitinya mati dengan mengenaskan.
Hampir setiap hari jasad-jasad para pekerja ditemukan di kebun karet , dan beberapa dari mereka hilang tanpa ditemukan jasadnya.
Aku selalu tertawa puas ketika mendengar berita kematian para pekerja kebun karet itu.
Namun ternyata aku salah... aku lupa dengan bayaranya.
Malam Jumat Kliwon , Hujan deras dan petir yang menyambar memperparah keadaan ini…
aku tersungkur dengan penuh emosi…
“ Hentikan!!!!” Teriaku kepada sebuah makhluk.
Itu Leleupah , dia menggenggam Lilis dengan tanganya, menariknya dan membelah tubuhnya menjadi dua. Taringnya yang besar mengunyah tubuh Lilis tepat di depan mataku…
Aku tak mampu lagi berteriak , Ini adalah neraka….
Inikah bayaran atas semua pembalasan dendamku? Penyesalan ini sudah merobek-robek jantungku.
Aku kembali dan mengambil sebuah pisau dan menusukan ke jantungku untuk menakhiri semua rasa sakit ini. Namun apa yang terjadi?
Aku tidak mati… setiap luka yang kutorehkan ke tubuhku kembali hilang.
“Nyawamu adalah miliku! Kamu tidak akan mati sampai tiba saatnya kau dan Aku di bakar di api neraka !” Ucap sesosok makhluk yang mengikat perjanjian denganku
“Apa maksudmu? Aku sudah menyerahkan tumbalnya?” jawabku dengan penuh tangis.
“Kau pikir masih ada tempat di akhir zaman, untuk mereka yang bersekutu dengan iblis? Nikmati saja hidupmu di dunia dengan kepastian Neraka telah dijanjikan bagimu” ucap makhluk itu
Setan itu memanggil sekutunya untuk menjaga tubuhku, dia mendiami imah leuweung tempatku memanggilnya dan terus meminta tumbal atas dosa yang telah kuperbuat…
Cerita mengenai mbah wira sangat sulit kami percaya , selama ini kang asep sengaja menyembunyikan kenyataan ini karena tidak ingin menambah korban dari orang yang ilmunya belum cukup.
Kang asep membopong mbah wira dan menidurkanya di teras rumah , setelah mendengar semua cerita itu , kami belum memutuskan apa yang akan kami lakukan setelah ini.
“setelah kejadian itu , hampir semua kenikmatan duniawi pasti saya dapatkan…” ucap mbah wira.
“tapi setelah kehilangan orang – orang yang berharga dan hukuman yang menunggu saya di akhir zaman nanti , semua itu menjadi tidak berarti” lanjutnya dengan penuh penyesalan.
Kami saling memandang seolah mempertanyakan kebenaran cerita ini.
“lantas , kenapa kalian menyerang kami? “ tanya Cahyo dengan tegas.
Kang asep menghampiri kami setelah meletakan mbah wira di posisi yang aman.
“Mbah Wira teh ga maksud menyerang, makhluk-makhluk itu dikendalikan oleh empunya yang saat ini menunggu imah leuweung” jelas kang asep.
Mbah Wira berusaha untuk bangkit duduk , namun tubuhnya yang terlihat renta tak mampu lagi menahan.
“Mereka makhuk yang diperintahkan untuk menjagaku sekaligus memberikan kesaktian, saat makhluk itu musnah, semua ilmu ini akan sirna.. setidaknya sampai iblis itu sadar dan mengirimkan utusanya lagi” jelas mbah wira dengan memaksakan tubuhnya.
Aku semakin penasaran , tidak mungkin kami membiarkan makhluk seberbahaya itu tetap ada di dunia ini.
“ Mbah wira , kang asep… sebenarnya makhluk apa yang harus kami hadapi” Tanyaku
Kang asep memandang mbah wira seolah meminta persetujuan untuk bercerita,
“ Kang Asep teh ga pernah ngeliat secara langsung, Cuma berdasarkan cerita mbah wira aja… “ ucap kang asep.
Kami memperhatikan kang asep berharap mendapatkan petunjuk mengenai musuh yang akan kami hadapi
“ Iblis ini teh lahir di sebuah kerajaan jauh sebelum masa penjajahan, seorang manusia yang haus darah dan telah menghabisi ratusan orang tidak berdosa hanya untuk menyempurnakan ilmunya…” cerita kang asep.
“ Pasukan kerajaan pernah mencoba menangkapnya , namun hasilya setengah dari prajurit kerajaan dihabisi oleh makhluk itu seorang diri.”
Aku bergidik ngeri mendengar kemampuan dari makhluk itu , jika itu benar kami harus bersiap akan besarnya resiko yang kami tanggung.
“lalu apa yang terjadi pada makhluk itu? “ tanya pak kuswara penasaran
“ tiga Tahun setelah mahkhluk itu mendapatkan kesaktian , muncul orang sakti bernama Candramukti yang mencoba menghentikan kekejaman makhluk itu. Mereka beradu ilmu hingga keduanya meregang nyawa”
“Jasad Candramukti the dikuburkan di kampung ini , tepatnya di tempat pohon beringin raksasa yang saat ini berdiri di tengah kampung ini “
Kami menoleh ke arah pohon beringin yang bahkan masih terlihat dari tempat ini. Dibalik kokohnya pohon itu berdiri,
tidak ada yang menyangka ada cerita kelam di belakangnya. Bahkan kurasa warga desa inipun tak tahu cerita ini.
“Apa yang terjadi dengan makhluk itu?” tanya cahyo tidak sabar.
Kang Asep menarik nafas, bersiap melanjutkan ceritanya.
“ Bencana makhluk itu tidak berhenti, bahkan saat ia telah mati.. Rohnya bereinkarnasi menjadi sosok iblis haus darah, menjebak manusia-manusia yang mencari ilmu seperti pak wira “ lanjut kang asep.
“siapa nama makhluk itu?” tanyaku pada kang asep
Mungkin saja, bila tahu namanya aku bisa mencari informasi cara untuk menghentikanya.
“Makhluk itu dikenal dengan nama…”
Sebelum selesai mengucapkan , kang asep terbatuk.
“ Namanya…” kang asep berusaha meneruskan , namun darah keluar dari mulutnya.
Kang asep terjatuh tersungkur, kami segera mengelilingi kang asep.
Pak kuswara membacakan doa pelindung, dan kami berusaha menahan serangan-serangan yang menuju ke kang asep.
“Brakaraswana ” ucap pak wira dengan memberanikan dirinya.
Mendengar nama itu , Keris raga sukmaku bergetar . Tak hanya itu , mata tombak pak kuswara pun memberi respon terhadap nama itu. Ini menandakan betapa berbahayanya makhluk itu.
“ bagaimana cara mengalahkan makhluk itu? “ tanyaku pada pak wira
“Tidak ada yang tahu , harus ada orang dengan kesaktian setinggi candramukti untuk mengalahkanya. Atau… “ cerita mbah wira menggantung.
“Atau apa? “ cecar cahyo.
“Seharusnya makhluk itu memburu tumbalnya sendiri ,
tapi saat ini dia tidak pernah keluar dari imah leuweung dan hanya mengirimkan demit-demit utusanya.. “
“ aku sudah memberikan tumbal seperti yang dia minta, gadis yang lahir di kamis wage .. seharusnya iblis itu mendapatkan tubuhnya kembali ,
tapi tak sekalipun makhluk itu meninggalkan imah leuweung” cerita mbah wira
Pak Kuswara berpikir sejenak dan menghampiri Mbah Wira ,
“ Maksud mbah wira teh, Mirah?” tanya pak kuswara.
Mbah wira menitikan air mata , seolah menyampaikan penyesalan yang tak termaafkan.
“ Maafkan aku kuswara , aku tahu perbuatanku tak mungkin lagi termaafkan” ucap mbah wira.
“ Sudah mbah , aku sudah memaafkan sejak lama.. dan aku ke sini memang bukan untuk balas dendam.” Ucap Pak Kuswara menenangkan mbah wira.
“ Masih ada harapan , makhluk itu belum mendapatkan tumbalnya” lanjutnya.
Kami menoleh ke Pak kuswara , mengharapkan penjelasan dari pak kuswara.
Namun sebelum sempat menjelaskan , Mbah wira memotong pak kuswara.
“Tidak mungkin , aku melihat sendiri anak itu mati..
dan kamu ada disana juga kan?” ucap mbah wira tidak percaya.
“Jasad Mirah sudah ditangan makhluk itu, tapi ia gagal mendapatkan rohnya.. mungkin itu yang membuat makhluk itu tidak bangkit dengan sempurna” Jelas Pak Kuswara
“Kalau itu benar , kita cukup menyelamatkan jasad mirah dan makhluk itu tidak punya kuasa lagi di dunia ini” lanjut cahyo
“ Benar , tapi ga akan semudah itu..” jawabku,
sambil mengingat kejadian di imah leuweung ketika aku hampir kehilangan nyawa saat bertarung dengan setan-setan anak buah Brakaraswana.
Pak Kuswara berdiri , seolah sudah mengerti apa yang harus diperbuat.
“Kang Asep , Jaga mbah wira ya.. selama kami pergi teruslah berdoa, dan tunaikan kewajibanmu sebagai umat Tuhan yang Maha Kuasa , Apapun yang terjadi kepada kita setelah ini tentu semua atas izin-Nya” Wejang Pak Kuswara kepada kang asep.
Kami ikut berdiri, bersiap meninggalkan tempat ini . Masih banyak yang belum kami mengerti, tapi kami tahu, Pak Kuswara akan menjelaskan semuanya kepada kami.
“Kuswara “ Dengan sekuat tenaga mbah wira mencoba berdiri.
“ Kau tahu di mana Mirah saat ini?” tanya mbah wira.
Pak Kuswara menoleh , dan menjawab pertanyaan mbah wira
“Dia aman , Candramukti yang menjaganya… “
..
..
Sebuah rumah tua terlihat di depan kami , tingginya pohon – pohon jati di sekelilingnya membuat rumah ini terlihat kecil.
Gelapnya hutan tidak mampu menutupi keangkeran rumah ini, namun bukan itu masalahnya.
Puluhan , bahkan mungkin ratusan demit berkumpul menyambut kami. Kali ini tidak ada makhluk sekuat Lelepah dan siluman ular seperti dulu. Mayat hidup dan pocong mendominasi jumlah mereka.
“Ingat tujuan utama kita, Jasad Mirah!” ucap pak kuswara mengingatkan.
“baik pak “ jawabku.
Kami tak berniat melayani makhluk-makhluk itu , kami yakin mantra pelindung yang kami rapalkan cukup untuk mejauhkan mereka dari kami.
Pak Kuswara memimpin kami menuju rumah itu , kali ini ia melangkah dengan penuh keyakinan. Tanpa mengurangi kewaspadaan, kami mengikuti pak kuswara .
Dan benar saja… sesosok makhluk menghadang kami.
Sesosok pocong dengan kain kafan yang berwarna merah darah ,
seolah-olah warna putih dari kain kafan telah berubah oleh darah tumbal-tumbal yang dia habisi. Kami tahu makhluk ini berbahaya.
Cahyo segera menerjang dan menyerangnya dengan sarung kebanggaanya, namun tak satupun seranganya menyentuh makhluk itu.
Aku lengah, tiba-tiba wajah saja makhluk itu berada di depanku , wajahnya sudah tidak berbentuk hanya kulit busuk yang bercampur dengan darah. Liurnya menetes dari lubang mulut yang tidak berbentuk lagi.
Belum sempat melompat mundur ,
tangan makhluk itu menerobos kain kafan dan menggenggam lenganku dengan keras.
“Awas Danan! “ Ucap cahyo melontarkan sarungnya pada makhluk itu.
Makhluk itu terhempas, namun tanganya masih menggenggam lenganku dan membuatku ikut terjatuh.
Menjijikan! Makhluk itu menggeliat diatas tubuhku berusaha mendekatkan wajahnya ke wajahku.
..
“Bebaskan jasadku…” makhluk itu mencoba mengatakan sesuatu.
Sesosok penglihatan masuk ke pikiranku , Terlihat seorang dukun sedang mempraktekan ilmunya ,
dukun itu mencari keuntungan dengan melakukan santet , mengajarkan pesugihan, dan mendalami ilmu hitam. Salah satu tamunya adalah mbah wira.
Di akhir penglihatan, terlihat sang iblis yang memberinya ilmu menuntut apa apa yang menjadi haknya,
terlihat mata sang dukun terbakar, sesuatu menarik lidahnya hingga tak lagi tersambung, tubuhnya mulai melepuh, rasa sakit yang amat sangat menyelimuti tubuhnya. Ia harus mencarikan tumbal untuk iblis itu demi menghilangkan rasa sakitnya.
“Danan !” teriakan Cahyo membangunkanku.
Aku melihat ke sekitar , Sosok pocong itu tak lagi ada.
“Kemana makhluk itu?” tanyaku
“Hilang , persis saat kamu kehilangan kesadaran” jelas cahyo
“Dia Dukun yang menjerumuskan mbah wira… “ ucapku sambil mencoba kembali berdiri.
Aku menceritakan sedikit tentang apa yang disampaikan makhluk itu kepadaku kepada pak kuswara dana cahyo. Terlihat mereka semakin geram dengan ulah Brakaraswana.
“Sebaiknya segera kita selesaikan urusan ini agar tak lebih banyak manusia yang terjerumus” ucap pak kuswara.
Kami mempercepat langkah kami , saat ini pintu imah leuweung sudah tidak lagi tertutup, ada hal besar yang akan menyambut kami di sana.
“Brengsek , tempat ini tidak bisa lagi di sebut rumah, tempat ini lebih pantas disebut sarang… sarang demit!” Ucap cahyo dengan kesal.
Aku tahu mengapa Cahyo mengatakan itu , saat memasuki rumah ini saja sekumpulan demit sudah menyambut kami. Yang paling menarik perhatianku adalah setan perempuan yang merayap terbalik di antara dinding dan langit-langit tembok.
Kami melanjutkan menelusuri tempat ini , setidaknya mantra pelindung masih bisa menghalau niat demit ini untuk menyerang.
“Di sini…” ucap pak kuswara sembari menghentikan langkahnya.
“Di sini aku terakhir melihat Mirah dalam keadaan hidup”
Cerita pak kuswara di sebuah ruang tengah yang diujungnya terdapat pintu kamar dengan ruangan yang cukup besar.
“Pak Kuswara harus menceritakan kejadian itu pada kami, tapi sebaiknya setelah kita mengalahkan makhluk itu” ucapku sembil memegang pundak mbah wira.
“Itu ruanganya , di ruangan itu jasad mirah dikorbankan…” tunjuk pak kuswara.
Energi jahat yang kuat memang muncul dari ruangan itu, kalaupun Brakaraswana bersembunyi di sini, ia pasti ada di ruangan itu.
Pintu terbuka , ruangan itu seolah memang menyambut kedatangan kami.
Baru selangkah saja kami memasuki ruangan itu , sebuah serangan berbentuk kumpulan asap hitam mengelilingi kami, rasa panas muncul dari asap-asap yang menyentuk tubuh kami.
Merasa akan ada bahaya yang lebih besar,
segera aku membacakan mantra penghalau untuk menyingkirkan semua asap-asap ini hingga perlahan asap-asap ini menghilang.
..
“ Cahyo! Pak Kuswara!” Teriakku mencari keberadaan mereka.
Tunggu.. ada yang tidak beres, Aku tidak lagi berada di ruangan yang sama.
Aku mencoba mengenali tempat ini, namun hanya hutan dengan pohon-pohon hitam yang berada di sekeliling tempat ini.
Bau busuk sangat menyengat mengganggu indera penciumanku, dan segera kusadari , bau itu berasal dari tumpukan mayat yang tidak utuh di sekitarku.
“Cahyo ! “ Teriaku sekali lagi berharap mereka selamat.
Aku melihat sekeliling mencoba mencari petunjuk, namun sebelum sempat menengok ke belakang sebuah cakaran besar menggores wajahku.
Itu adalah makhluk tadi!
setan perempuan yang merayap terbalik di antara dinding dan langit-langit tembok.. kali ini dia merayap diantara pohon-pohon, mencoba untuk menyerangku kembali.
“khi khi khi… Tumbal!! Aku ingin Tumball!” ucap makhluk itu bersiap menyerangku.
Aku mundur, mencoba bertahan dan mencoba mengeluarkan keris raga sukmaku.
Tapi tunggu… Keris itu tidak ada!
Aku panik! Namun aku tetap harus fokus mengalahkan makhluk itu terlebih dahulu. Amalan pedang kubacakan dan siap menembus tubuh makhluk itu,
namun sebelum itu terjadi sesosok makhluk menyerang setan wanita itu dan mencabik –cabik tanpa ampun.
Aku mengenal makhluk itu , Kakek tua bungkuk dengan rambut yang menjuntai hingga ke tanah..
“Bocah asu! Kowe ning kene arep mateni awakmu?” (bocah anjing, kamu ke sini mau bunuh diri?) Ucap makhluk itu.
Aku heran , seharusnya ia hanya bisa kupanggil dengan mantra yang sudah diwariskan turun temurun oleh leluhurku.
“ojo kaget, iki alam gaib , aku iso metu sak karepku ning alam iki” (Jangan kaget , ini alam gaib, aku bisa keluar kapan saja di alam ini) jelas makhluk itu.
Sebuah dentuman dan kilatan besar terlihat dari kedalaman hutan .
Kakek tua itu berlari , merespon benturan yang terjadi di dalam hutan. Aku khawatir bila suara itu berasal dari pak kuswara ataupun cahyo.
Kami berlari secepat mungkin , namun ternyata kami tidak sendiri , makhluk makhluk kerdil dengan gigi runcingnya mencoba menyerang kami ,
namun semua dilibas habis oleh kakek tua yang mengaku sebagai leluhurku ini.
Kekhawatiranku terjawab , Aku melihat pak kuswara tergeletak dengan darah mengalir di sekitar kepalanya.
“ Pak Kuswara ! “ Aku berlari menghampirinya.
Segera aku mendudukan pak kuswara ,
menyentuh punggungnya dan mengalirkan energi dengan maksud memulihkan kondisinya. Namun situasi menyulitkanku untuk fokus , makhluk makhluk gaib di sekitar sini seolah mengambil ancang-ancang untuk menyerang kami.
“Darah!!! Aku mau darah!!!” ucap sesosok makhluk hitam bungkuk berwujud seperti manusia, hanya saja taring dan kupingnya yang lancip yang memastikan bahwa itu salah satu bangsa dedemit.
Dengan mulut yang berdarah-darah , makhluk itu bersiap menerjang kami.
Namun kakek tua itu menghadang. Sayangnya Musuh kami tidak sendiri , kali ini makhluk besar berbulu dengan mata merah yang mencoba menyerang kami dari sisi lain.
Aku bingung antar harus bertahan atau terus mengobati pak kuswara.
Namun sebelum aku selesai memutuskan ,
sesosok monyet besar menerjang Setan berbulu itu, memukulinya hingga tidak lagi berdaya. Aku kenal makhluk itu , Itu Wanasura , Bangsa kera makhluk pelindung cahyo.
Serangan demi serangan muncul , namun kedua makhluk itu dengan buasnya menghabisi mereka untuk melindungi kami.
“Danan , Kamu fokus memulihkan pak kuswara dulu , serahkan pertahanan padaku” ucap cahyo yang turun dari bahu wanasura.
Hampir tidak ada serangan yang mempu menembus pertahanan cahyo bersama kedua makhluk itu, walaupun secara sekilas, serangan mereka terlalu sadis untuk dilihat.
“Aku bertemu dengan Brakaraswana” ucap pak kuswara .
Aku menyelesaikan kultivasiku , pak kuswara terlihat kembali bisa berdiri . Tanpa menyia-nyiakan waktu, beliau mengambil mata tombaknya membacakan mantra dan melemparkanya ke tanah.
Tidak ada lagi makhluk yang bisa bertahan di tanah itu , semua demit , setan, dan entah apapun itu segera terbakar ketika menginjak tanah yang telah tersentuh pusaka mata tombak pak kuswara.
Aku takjub dengan apa yang dilakukan pak kuswara ,
namun yang membuatku lebih penasaran adalah apa yang terjadi saat pak kuswara bertemu dengan Brakaraswana.
“ Ingat , Tujuan utama kita adalah jasad mirah.. karna tak ada satupun dari kita yang bisa mengalahkan iblis jahanam itu.” Ucap pak kuswara dengan tegas.
“Apa yang terjadi di sana pak?” Tanya cahyo.
“Kalian akan melihatnya sendiri, yang perlu kalian persiapkan adalah hati kalian jangan sampai menghitam karena godaan” jelas pak Kuswara.
Tepat di tengah hutan , sebuah padang rumput mati berada di depan kami ,
bulan purnama terlihat semakin terang menyinari pohon pohon hitam yang mengelilingi padang ini.
Namun bukan itu yang mengerikan, terlihat sebuah kepala tertusuk oleh kayu yang runcing dengan badan dan tergantung di bawahnya. Kami kenal wajah itu, itu kepala mbah wira.
Tidak hanya satu , banyak jasad tertancap di sana, salah satunya adalah dukun yang diperbudak iblis itu dalam wujud pocong merah.
Dan yang terakhir terlihat paling mengenaskan..
Tubuh anak wanita dengan leher yang tidak menyatu lagi dengan badanya ,satu bola matanya menggantung,
dan makhluk menyerupai anjing melumat bagian tubuhnya.
Aku tebak, itu adalah mirah.
Mungkin ini yang menyulut amarah pak kuswara sehingga dengan mudah dikalahkan oleh Brakaraswana.
Aku menengok pak kuswara , khawatir emosinya akan tersulut kembali, namun ternyata tidak.
Wajahnya seolah telah siap mengadapi ini semua.
Angin berhembus kencang, aku melihat sekeliling. Sesosok manusia muncul dari tengah-tengah padang rumput. Aku penasaran , namun energi hitam dari tubuhnya membuatku menyadari siapa dia..
“kenapa kalian tidak menjadi pengikutku saja, semua yang kalian inginkan akan kalian dapatkan” ucap makhluk itu dengan tenang.
“Kau pikir setelah kami melihat apa yang terjadi dengan mbah wira dan dukun itu , kami mau menjadi pengikutmu?” balas cahyo.
“ssssst!!! Jangan balas perkataanya , semua yang keluar dari mulutnya adalah godaan” ucap pak kuswara
“Jaga dan tenangkan jiwa kalian” lanjutnya
Berbeda dengan Cahyo dan Pak Kuswara yang bisa berbicara dengan tenang, Aku kehilangan rasa tenangku.
Aura gelap dari Brakaraswana benar-benar mengintimidasi, seolah olah kekuatan kami tak ada apa-apanya dibanding dia.
“Aku neng kene bocah asu, sakdurunge kowe mati Demit kuwi ngadepi aku disik”(aku disini bocah anjing! Sebelum kamu mati ,
setan itu harus menghadapi aku dulu) Ucap Kakek tua itu sambil berusaha melindungiku.
Brakaraswana mengambil sebuah kepala yang tergeletak di tanah, menggigit bola matanya , meremasnya dengan tangannya hingga terlihat darah bermuncratan.
Yang aku takutkan terjadi,
makhluk itu melirik dan berjalan ke arahku. Sepertinya dia menyadari rasa takutku.
Kakek tua itu segera berdiri di depanku , mencoba mengambil posisi untuk melindungiku.
“ Elingo jenengku , sak iki celuk aku Eyang Widarpa” ( ingat namaku, mulai sekarang panggil aku eyang Widarpa)
ucap kakek tua itu sambil menerjang Brakaraswana.
Tanpa menahan kekuatan , Eyang Widarpa segera melompat dan mencoba meremas kepala Brakaraswana , tapi tidak semudah itu , sebuah tangan…
bukan itu ekor ular raksasa yang berasal dari tubuh Brakaraswana menghempaskan tubuh kakek tua itu.
Merespon serangan itu , Wanasura menerjangkan pukulan ke tanah dan melontarkan batu dan tumpukan mayat kearah Brakaraswana.
Dari punggungnya ,
Terlihat cahyo melompat menarik sarung senjatanya dan melibas ke arah setan jahanam itu. Tak ketinggalan Pak Kuswara membaca mantra pembakar dan menyerang Brakaraswana.
Api menyala menyelimuti makhluk itu , beharap itu bisa melumpuhkanya walau sebentar. Tapi ternyata kami salah.
Belum sempat kembali bertahan , Brakaraswana melesat , menggenggam tangan cahyo dan membantingnya ke tanah. Sontak darah bermuncratan dari mulut cahyo.
Aku merapalkan Ajian lebur saketi ,
serangan jarak jauh untuk menyerang tubuh dari baskaraswara , namun ia sama sekali tak bergeming.
“ ilmumu bahkan tak mampu menjatuhkan satu helaipun rambutku bocah ingusan” ucap makhluk itu meremehkanku.
Sebuah mantra leluhur muncul di pikiranku ,
dan tanpa sadar aku merapalkanya
Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten…
Kali ini mantra terucap tanpa keris di tanganku , Rintik hujan mulai turun , Eyang Widarpa kembali di sisiku.
Sambungke rong alam kasebut
Rina malam dadi siji
Raga lan jiwo iso nyawiji
Eyang widarpa melanjutkan mantra yang kuucap, dan hal aneh terjadi.
Rambutku memanjang dan memutih , taring muncul dari mulutku dan tanganku… yang saat ini lebih pantas disebut sebagai cakar,
namun saat ini keris pusaka raga sukma tergenggam di tanganku.
Kekuatan besar mengalir di tubuhku, tak berniat mencari tahu, aku segera bergegas menuju Brakaraswana dan mulai menyerangnya.
“Iblis Jahanam , Hanya neraka tempat yang pantas untukmu!”
ucapku sambil menghunuskan keris ke tubuhnya.
Makhluk itu menahan dengan tanganya, namun beda dengan sebelumnya.. kali ini keris ini menembus tanganya hingga mengeluarkan darah yang berwarna hitam.
Aku menoleh ke arah cahyo , terlihat pak kuswara sedang menolongnya.
Aku sedikit lega dan mencoba untuk terus menyerang .
Tak terima dengan luka yang diterima, Brakaraswana mendekatiku dan menyemburkan api hitam dari mulutnya. Aku hampir tak sempat menghindar,
tapi sebelum mengenai tubuhku wanasura menerjang braskarawara hingga seranganya tak mengenaiku.
“ Mas Danan, Pakai ini!” Teriak pak kuswara sambil melemparkan mata tombak pusaka andalanya.
Aku menangkapnya dan segera melemparkan mata tombak itu bersamaan dengan Ajian lebur saketi dan berharap itu bisa menembus tubuhnya.
“arrrgghhh!!!” Terdengar makhluk itu merasa kesakitan.
Sebuah luka kembali terbentuk di tubuh makhluk itu
“Cahyo , Pak Kuswara serangan ini berhasil!” teriaku kepada mereka.
Merespon teriakanku, Cahyo bangkit dan berlari ke arahku.
“Danan , Naik ke Tubuh wanasura!” Perintah Cahyo.
Aku menaiki pundak wanasura sesuai perintah cahyo, segera Cahyo menyusul menaiki sisi satunya.
Tanpa diperintah Wanasura kembali menerjang Brakaraswana .
Aku kembali menarik mata tombak pak kuswara , mencoba menyerang kembali , namun makhluk itu menghindar.
Brakaraswana melibaskan Ekor ularnya menyerang kami , namun ditahan oleh wanasura.
“Kita bisa mengalahkan makhluk ini” Ucapku pada cahyo
Cahyo mengangguk , Dia memfokuskan mantranya untuk memperkuat wanasura.
Pertarungan sengit terjadi , serangan demi serangan beradu tanpa henti,
tanpa kami sadar ratusan , bahkan mungkin ribuan demit hutan ini berkumpul menyaksikan pertarungna kami.
Sekali lagi aku merapalkan mantra dan melemparkan mata tombak milik pak kuswara, kali ini benta itu menacap di dahi makhluk itu.
“Tidak mungkin… Aku tahu benda ini!” ucap makhluk itu tiba-diba.
“Ini milik Candramukti! Manusia Bangsat!! Darimana kamu dapatkan benda ini??” Ucap makhluk itu sambil berteriak sekeras kerasnya.
Kami tak mau meladeni ucapanya ,
kalau itu milik candramukti berarti seharusnya itu bisa digunakan untuk mengalahkanya.
“ Danan , tarik mata tombaknya kali ini gabungkan mantra kita” ucap cahyo
Aku menarik kembali mata tombak itu dan menyerahkan pada Cahyo , sebuah mantra dibacakan olehnya,
tak ketinggalan aku menarik tenaga dari keris raga sukma dan menghujamkanya di tubuh Brakaraswana.
Makhluk itu berteriak dengan keras , terdengar sebuah kekesalan terdengar dari teriakanya.
“ Jangan sombong manusia lemah , Jika itu milik Candramukti ,
maka hanya cara yang sama yang bisa mengalahkanya!” Teriak Brakaraswana dengan penuh amukan.
Api besar muncul dari dalam tanah membakar tubuh praskaraswana, kulitnya melepuh terbakar , terkelupas dengan begitu menjijikan, namun tubuhnya membesar dan matanya memerah.
“Cahyo , Danan.. Mundur !!!” teriak pak kuswara.
Belum sempat merespon pak kuswara, sebuah lengan besar penuh darah menyerang kami. Kami terpental dan berusaha berdiri .
“Inilah yang membunuh Candramukti , Perjanjian dengan neraka! Dan ini Juga yang akan membunuh kalian!” Ucap Setan itu.
Tak cuma omong kosong, tanpa sempat berdiri wujud setan itu menginjak wanasura ,
melilitkan ekor ularnya pada cahyo dan menyerangku dengan pukulan yang bertubi-tubi.
Darah segar mengalir dari mulutku, bahkan wujud ini tidak mampu menahan kekuatan Brakaraswana.
Aku berusaha melepaskan diri, namun tak berguna.
“ Matilah dan jadi tumbalku” ucap makhluk itu dengan meremas tubuhku dan bersiap menggigit kepalaku.
..
Ternyata kematian belum siap menerimaku, Pak kuswara membacakan mantra dan mata tombak yang tertancap di Brakaraswana mengeluarkan ledakan yang mementalkan makhluk itu.
Merasa kesal , Brakaraswana bangkit dan menerjang pak kuswara. Mantra pellindung telah dirapalkan namun kekuaran setan itu terlalu besar. Setan itu menghajar pak kuswara tanpa ampun.
Kami menaiki wanasura dan mencoba menolong pak kuswara,
namun yang terjadi semburan api dari mulut makhluk itu membakar tubuh wanasura.
“ Danan! Jasad Mirah” Teriak pak kuswara dengan darah berhamburan dari mulutnya.
Kami tak mempedulikan, dan tetap berusaha menyelamatkan Pak Kuswara.
Makhluk itu kembali bermaksud menyerang kami, tapi sekali lagi pak kuswara menyerang denga mata tombak dan dibalas dengan pukulan yang sadis.
“Jangan bodoh! Selamatkan jasad mirah!... ingat aku masih ada pusaka pengganti raga! Ucap Pak kuswara.
Mendadak aku teringat pusaka yang diserahkan ke Dio , bisa jadi itu yang di maksud Pak Kuswara.
Kami menjadi sedikit tenang dan segera menaiki wanasura. namun yang terjadi setelahnya sama sekali tidak ingin kami lihat.
Brakaraswana memukuli pak kuswara hingga darah berceceran dimana mana ,
tak cukup sampai di situ makhluk biadap itu menarik lengan pak kuswara hingga putus dan melumat kepalanya hingga tak berbentuk..
Aku sekuat tenaga menahan emosiku , berpegangan pada wanasura dan menerjang jasad Mirah.
Mendadak,
terlihat sebuah pohon beringin besar di ujung hutan ini. Setelah mendengar cerita tentang pohon ini, kami tak ragu lagi menuju ke sana.
“ Danan! Bangun Danan!” Ucap Cahyo sembari menggoyangkan tubuhku.
Aku membuka mata perlahan , rasa sakit menjalar di seluruh tubuhku, Aku memastikan wujudku yang saat ini tak lagi bersatu dengan sukma eyang Widarpa.
“Di mana kita cahyo?”
Tanyaku pada cahyo yang masih memastikan kondisiku.
“Sepertinya kita kembali ke Imah Leuwung” ucapnya.
Nampaknya kami berhasil selamat dari kejaran Brakaraswana.
“Jasad Mirah?” Tanyaku lagi kepada cahyo
“Itu.. “ Jawab Cahyo sembari menunjuk ke suatu sudut ruangan.
Aku menengok dan menemukan tumpukan tulang belulang yang kutebak itu adalah jasad Mirah, dan disebelahnya terlihat sesosok jasad yang masih utuh , terlihat dari tubuh itu penuh luka siksaan yang terlihat mengenaskan. Aku mengenali juga jasad itu, itu adalah jasad mbah wira.
“Cahyo, Kenapa kita harus bawa jasad mbah wira juga” tanyaku pada cahyo.
“Mbah Wira sangat berdosa, hampir dipastikan dosanya takkan terampuni oleh manusia manapun di dunia ini” sahut wira
“tapi setidaknya walaupun neraka sudah dijanjikan kepadanya, dia tidak lagi milik makhluk jahanam itu, dan soal pengampunan… hanya Tuhan lah yang berhak menilai” Jawabnya.
Aku paham perasaan Cahyo ,
seolah dia tidak sudi membiarkan Brakaraswana mendapat sedikit saja kemenangan terhadap manusia.
“Sudah bisa bergerak?” tanya Cahyo.
Aku mengangguk dan mencoba untuk berdiri, seluruh tenagaku sudah habis, begitu juga dengan cahyo, semoga dengan ini semua sudah selesai.
“Ayo, kita selesaikan tugas terakhir kita..” Ucap cahyo.
Aku mengerti dengan apa yang dimaksud oleh cahyo, yaitu menguburkan dengan layak jasad dari mirah sang tumbal pertama sekaligus syarat Brakaraswana bisa terhubung dengan dunia ini.
Kami mengumpulkan tulang-tulang mirah satu persatu , dan keluar dari ruangan tempat di mana Mirah ditumbalkan.
“Tempat ini seharusnya tidak pernah ada…” ucapku sambil memperhatikan setiap sisi rumah tua yang terlihat mengerikan ini.
“Mungkin merobohkan rumah ini bisa jadi pilihan yang bijak, biar warga sini saja yang melakukan.. “ jawab Cahyo.
Kami berjalan keluar, terlihat dari luar rumah cahaya bulan bersinar menyinari hutan yang dipenuhi dengan pohon jati.
Cukup melegakan, tempat yang sebelumnya dipenuhi makhluk halus, kini terlihat sepi. Hanya serangga malam yang terdengar dari tempat ini. Entah mengapa hal ini menjadi terasa cukup aneh.
Sepanjang perjalanan ke desa kami tak banyak mengobrol ,
sepertinya tenaga kami sudah habis di pertarungan tadi hingga akhirnya kami sampai di penghujung hutan jati, dan pemukiman desa sudah terlihat dari sini.
“ Cahyo, Kita kuburkan di sini saja…” ucapku pada cahyo.
Cahyo mengerti, dia segera meletakan tulang mirah ,
dan kami mulai menggali dengan tangan kosong. Mau bagaimana lagi, kami tidak mungkin melibatkan warga desa mengenai cerita tentang mirah ini.
Kami menggali cukup lama , namun aku merasa cukup aneh,
sudah cukup lama waktu berlalu tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda subuh akan datang. Semua ini terasa begitu lama.
Lubang yang cukup dangkal mulai terbuat, kami bersiap meletakan jasad mirah di lubang itu. Namun ada sedikit rasa tidak nyaman dengan keadaan ini.
“Hentikan!!!”
Belum sempat meletakan jasad mirah, terdengar suara menggelegar memecah keheningan di tempat ini.
Sebuah benda dari langit terlihat meluncur jatuh ke tanah , dan menciptakan sebuah ledakan.
“Itu mata tombak pak kuswara!” Ucap Cahyo kepadaku.
Sebelum sempat menjawab hal yang sama sekali tak kusangka terjadi. Seperti sebuat kaca yang pecah, tempat kami berada berubah menjadi sebuah hutan jati yang dipenuhi ratusan makhluk halus. Hujan turun dengan deras membasahi tanah yang ada di sini.
“Cahyo… ini tidak mungkin” keluhku pada Cahyo.
“Sial, kita dikelabuhi.. terlambat sedikit saja Jasad mirah akan kembali ke tangan Brakaraswana” Ucap Cahyo dengan kesal.
“Wanasura!!!” teriak cahyo memanggil Roh pelindung andalanya , namun tak ada apapun yang terjadi.
Sepertinya ini juga bukan lagi di alam gaib.
Aku terduduk lemas, makhluk ini bukan lawan yang kuat bila kami berada dalam kondisi biasa, Namun saat ini tak ada satupun dari kami yang bisa menganganinya.
Cahyo terlihat tetap membacakan doa-doa dan ayat pelindung diri ,
terlihat dia belum mau menyerah dengan keadaan ini. Namun itu tidak banyak membantu , sekumpulan makhluk kerdil dengan wajah yang mengerikan mulai mengerubungi Cahyo.
“Cahyo , Lari!” Teriaku sambil berlari menjemput cahyo. Namun usahaku gagal,
sesosok tangan dari dalam tanah menggenggam kakiku. Aku berusaha melepaskan , namun tangan-tangan dari mayat hidup itu tetap bermunculan berusaha untuk menarikku ke dalam tanah.
“Jangan menyerah Danan, Makhluk jahanam itu tidak lagi bisa berurusan dengan dunia ini..
Aku tidak sudi dikalahkan sama setan remeh ini!” Ucap Cahyo.
Namun hal yang terjadi adalah sebaliknya, sebuah gigitan makhluk kerdil menyerang wajah cahyo. Cakaran demi cakaran menyusul merobohkan tubuhnya .
Aku meronta berusaha melepaskan diri ,
terlihat puluhan mayat hidup itu telah keluar dari dalam tanah memamerkan wajah busuk mereka di depan wajahku.
“Apakah ini akhirnya? “ ucapku dengan putus asa.
..
…
..
“jelema anu geus indit ulah balik, anu geus tenang ulah ngaganggu, anu teu tenang tanpa pamales kanyeri”
Sebuah mantra yang kukenal terdengar dengan samar, mata tombak Pak Kuswara kembali bersinar dan menyerang makhluk yang mengerumuniku dan cahyo.
Kami berusaha berdiri dan mencara asal suara itu.
“Danan.. itu…?” tanya cahyo
Sesosok pria tua berjalan mendekat dari kejauhan
“ Pak Kuswara ? Apa itu benar pak Kuswara?” Tanyaku sambil sedikit lega dan penasaran dengan kondisi beliau.
“Jadi , pusaka pengganti raga itu benar-benar ada?” tanya cahyo yang juga sedikit lega.
Pusaka mata tombak terbang setinggi-tingginya ke atas,
dan jatuh kembali ke tanah. Berbeda dari sebelumnya semua makhluk halus yang menginjak tanah terbakar dengan serangan itu.
Kami berusaha berdiri dan mencoba mendekati Pak Kuswara.
Tunggu… kami terhenti sejenak, orang itu sama sekali tidak mirip dengan pak kuswara.
Yang terlihat adalah Seorang pria tua dengan janggut putih panjang dan baju hitam yang terlihat lusuh. Itu… Mbah Wira??
Aku merasa heran , kalau yang menggunakan pusaka ini Mbah Wira, Bagaimana dengan pak Kuswara?
“Mbah Wira! Jelaskan semua ini!”
Teriakku padanya.
Mbah wira menghela nafas, semua serangan-serangan yang mengarah kepada kami dihalau semua oleh mata tombak pak Kuswara. Tak ada lagi makhluk halus yang bisa mendekati kami.
Mbah wira mendekat, seolah bersiap untuk menjelaskan.
“ Sebelum Brakaraswana menghabisi Kuswara, Kuswara membacakan mantra dan mengarahkan mata tombak ini pada jasadku yang kalian bawa..” Cerita Mbah Wira.
“Selesaikan semuanya… itu ucapan terakhir Kuswara yang terdengar dari mata tombak ini,
dan setelah kalian membawa jasadku ke alam ini, sukmaku yang terjebak di tubuh pemberian Brakaraswana kembaliTubuh ini, dan sepertinya kekuatan dari Kuswara memulihkan tubuhku” lanjutnya
Aku dan cahyo setengah tidak mempercayai hal ini.
“Pak Kuswara!Bagaimana dengan Pak Kuswara?”
tanyaku pada mbah wira.
Dia menghela nafas , dan menggelengkan kepalanya.
“Tidak mungkin ada yang bisa selamat dari serangan sebrutal itu..” Ucap mbah wira.
Seluruh tubuhku mulai bergetar mendengar jawaban mbah wira.
“Tapi… Pusaka pengganti raga?” tanyaku.
“Tidak ada lagi pusaka seperti itu, kalaupun ada kamupun tau sendiri cara menggunakanya” jawab mbah wira.
Aku mengingat ke belakang, kujang pusaka pengganti raga harus dibawa oleh pemiliknya bukan diserahkan pada orang lain.
Lalu yang diserahkan kepada anak kecil bernama Gio itu apa?
“Tidak mungkin! Tidak mungkin pak Kuswara mati!” Aku berteriak sekencang kencangnya , rasa emosiku meluap mengingat bagaimana caria pak kuswara mati.
Brakaraswana menyerangnya dengan brutal menarik lenganya hingga terputus dan melumat kepalanya hingga tak berbentuk.
“Danan! Cukup danan.. cukup!” Teriak cahyo sambil menahan air matanya juga.
“Aku belum pernah beremu dengan orang sebijak dia ..” Ucapku pada cahyo.
“Kalau begitu kita pastikan kematianya tidak sia-sia” Ucap cahyo sambil berdiri dan mengikatkan sarungnya.
Semua terjadi begitu cepat ,
Aku dan cahyo membacakan Doa dan ayat untuk melindungi kami dari serangan makhluk ghaib dan serangan mata tombak yang diarahkan Mbah wira menghabisi semua makhluk halus yang ada di hutan ini.
Cahaya matahari mulai muncul,
kami membawa jasad mirah keluar hutan dan menguburkanya di pinggir desa. Tak lupa doa-doapun kami panjatkan agar Mirah bisa tenang untuk pergi ke alam baka.
Mbah wira terlihat masih di pinggir hutan.
Terlihat tubuhnya kembali mengeriput dan terlihat lemah. Kamipun menghampiri Mbah Wira.
“ Aku tak bisa lagi bertemu dengan warga desa” Ucap Mbah Wira.
Kami mengerti kondisi mbah wira.
Seandainya warga desa mengetahui semuanya itu akan menyulutkan emosi warga, bila ada yang dendam dengan mbah wira , itu akan menumbulkan dosa baru lagi.
“Lalu apa rencana mbah wira?” tanya cahyo.
“Aku akan menghabiskan akhir hayatku menjaga hutan ini ,
seandainya aku bisa mati biarkan hutan ini menjadi tempat istirahat terakhirku” jawab mbah wira
Mbah wira mengeluarkan mata tombak pak kuswara , terlihat benda itu segera melesat ke langit dan hilang dari pandangan kami.
“Kekuatan Candramukti sudah melindungi desa ini cukup lama melalui Pak Kuswara, sepertinya tugasnya sudah selesai” Ucap mbah wira.
“Kami doakan yang terbaik untuk mbah wira , semoga mbah wira bisa menemukan jalan penebusan atas dosa-dosa mbah wira”
ucapku sembari meninggalkan hutan jati dan mbah wira di sana.
Cahaya matahari terlihat begitu terang , hawa pagi yang sejuk sungguh terasa sangat nyaman. Sebuah kebahagiaan yang disediakan oleh Tuhan yang jarang sekali kita hargai .
Kami kembali ke rumah Bu Ranti, terlihat Kang Asep dan pak kepala desa sudah ada di rumah Bu Ranti.
“Mas Danan… Mbah wira! Tubuh mbah Wira teh kabeuleum! Terbakar!” teriaknya padaku dengan panik. Sepertinya mereka berkumpul karena cerita kang asep ini.
“Kang Asep , Bu Ranti,dan Pak Kades.. mohon sabar sebentar ya, kami akan ceritakan semuanya” jawabku.
Aku dan Cahyo membersihkan tubuh dan mengganti baju , segelas teh hangat yang disediakan Bu Rati terasa begitu nikmat, seolah ini adalah minuman terenak di dunia ini.
Cukup panjang waktu yang kami habiskan untuk menceritakan kejadian semalam , Pak kades setengah tidak percaya atas apa yang terjadi. Bu Ranti terlihat sedih mendengar kondisi pak kuswara walau aku tak menceritakan secara detail bagaimana pak kuswara meninggal.
“Kang asep , Tubuh mbah wira yang kang asep jaga adalah tubuh pemberian brakaraswana.. maka tidak heran jika tubuh itu terbakar saat makhluk itu kembali ke neraka” jelas cahyo
“Iya mas… tapi teh, sekarang mbah wira bagaimana?” tanya Kang asep.
“ Dia memilih untuk menghabiskan akhir hayatnya di hutan jati dan mencari cara untuk menebus dosa-dosanya” jawabku
Pak Kepala desa berusaha mengerti atas semua kejadian ini,
Dia terlihat cukup tenang saat tahu keadaan desa sudah aman dan tidak ada lagi yang akan mati karena makhluk pencari tumbal.
“Mas Danan, Mas Cahyo.. terima kasih atas bantuan kalian , saya akan mencari cara untuk menjelaskan ini ke warga. Saya ijin pamit”
Ucap pak kepala desa sambil meninggalkan rumah bu Ranti.
..
..
Sudah seminggu semenjak kejadian di Imah leuweung , tidak ada kejadian ghaib lagi dan desa mulai beraktifitas seperti biasa. Cahyopun terlihat sudah menyiapkan perlengkapanya dan bersiap kembali ke Klaten.
“Cahyo, Terima kasih atas bantuanmu disini… aku berhutang budi lagi” Ucapku pada cahyo.
“Kamu ngomong apa? Jangan sekali-kali kamu menahan diri apabila butuh pertolongan, Aku bakal marah kalau itu terjadi” ancam Cahyo.
Aku tersenyum, sebuah anugrah yang sangat luar biasa bisa kenal dan memiliki sahabat seperti Cahyo.
“Danan, kalau sudah selesai dengan urusanmu di sini segeralah kembali ke Jogja.. ingat masih ada urusan yang harus kita selesaikan di sana” Ucapnya dengan nada serius
Aku mengerti dengan yang Cahyo maksudkan , akupun mengangguk memberikan jawaban setuju atas kata-katanya.
..
..
SELESAI
EPILOG
Desa Sukmaraya , sebuah desa kecil di kaki gunung Gede dengan pemandangan alam yang sangat memukau. Terlihat sebuah pohon beringin raksasa berdiri kokoh di tengah-tengah desa itu.
Langit sudah memerah dan hari sudah mulai malam,
namun tidak biasanya terlihat seorang anak kecil berjalan mendekati pohon beringin raksasa itu.
Anak kecil itu mendekat, namun ia ragu-ragu, beberapa kali Iya mencoba berbalik untuk membatalkan niatnya.
“Hihihii…. Kamu.. Gio Kan? “
Terdengar suara dari atas pohon beringin , jelas itu bukan suara manusia.
Anak kecil itu terjatuh, iya tetap tidak akan biasa dengan apa yang dilihatnya.. sesosok anak perempuan bergelantungan diantara akar beringin dengan kepala yang terpisah dari badanya.
“i…. ini” Bocah itu memberanikan diri.
Ia menyerahakan sebuah benda berbentuk kalung.
“Da… dari mana kamu dapatkan benda ini?” tanya makhluk itu pada bocah itu.
“Pak… pak kuswara” jawabnya dengan terbata.
Makhluk itu mendekat mengambil benda itu , seketika wujud makhluk itu bersinar, dan ketika sinar itu hilang wujudnya kembali menjadi menjadi anak kecil yang terlihat polos.
“Apa yang terjadi dengan bagas?... Maksudku Kuswara” tanya mirah pada bocah itu.
“ Pak Kuswara sudah pergi duluan , kamu sudah bisa menyusul” ucap anak itu dengan polos.
Makhluk itu berjalan , ia mencoba keluar dari bayangan pohon beringin dengan sedikit ragu.
“Ini kalung miliku, Kuswara pernah cerita.. ibuku memberikan ini padanya saat aku menghilang”
Cerita makhluk itu.
Terlihat perbincangan polos antara kedua anak kecil itu, tidak terlihat aneh, yang sedikit berbeda mereka tidak berada di alam yang sama.
“Aku tidak pernah menyangka , Kuswara menghabiskan hidupnya untuk menyelamatkanku..” ucap makhluk itu yang terlihat murung.
“Sekarang semua sudah selesai, semoga kalian bisa main bareng lagi ya disana!” Ucap bocah itu
Makhluk itu meneruskan langkahnya keluar dari bayangan pohon beringin. Benar saja tidak ada makhluk apapun yang berusaha menyerang. Sebaliknya, Cahaya hangat menyelimuti tubuh makhluk kecil itu menuntunya ke sebuah tempat.
Terlihat seorang anak laki-laki menjemputnya dari dalam cahaya itu.
Sambil menitikan air mata perempuan kecil itu tersenyum dan berlari menyambut tangan yang menjemputnya.
Suara senjata beradu di tengah rumah terpencil di pinggir hutan. Bukan sebuah kekacauan, namun sebuah pemandangan unik dimana seorang pendekar bertarung melawan lebih dari lima anak- anak kecil.
“Eyang! Ini jurus kodok terbang dari bukit nestapa!”
Seorang anak melakukan sebuah gerakan lucu sambil mengayunkan tongkat kayunya yang panjang.
“Heh! Kertasukmo, mana ada kodok bisa terbang?!” Ucap pendekar itu sambil tertawa dan menghindarinya.
“Hahaha! Dia emang hobinya gitu, Eyang Daryana! Ngasi nama jurus aneh-aneh, tapi gerakannya nggak jelas!” Tawa Purbawengi yang masih mencari celah untuk menyerang Daryana dengan sebuah senjata pisau di tangannya.
“Biarin! Kata Bapak, ngasi nama jurus harus keren biar lawan gentar!” Balas Kertasukmo.
Brakk!! Brakk!! Brakk!!
Beberapa pukulan sekaligus menjatuhkan anak-anak yang mengepung Daryana.
“Aduh! Sakit, Eyang!” Keluh Wirabumi yang terjatuh merasakan pukulan paling keras diantara yang lainnya. Namun dengan segera Daryana mengulurkan tangannya.
“Maaf, Eyang sengaja. Karena kelak, kamulah yang akan menjadi pelindung mereka semua..” Ucap Daryana
Wirabumi tak lagi mengeluh. Ia berdiri dengan bangga mendengar ucapan Daryana, Eyang kebangganya itu.
Mereka pun berkumpul kembali ke pendopo untuk beristirahat sekaligus menghabiskan waktu di sana.
Itu adalah terakhir kalinya Daryana menemui cucu-cucunya. Perjalanan hidupnya membuatnya menemui wanita-wanita hebat yang mengaguminya.
Keempat istri Daryana terpencar di berbagai daerah dan dari mereka lahirlah orang tua dari Wirabumi, Kertasukmo, Purbawengi, dan keturunan Sambara yang lain.
Setelah menyempurnakan Ajian Pemutih Raga, Daryana melakukan perjalanan untuk mencari ayahnya Widarpa Dayu Sambara. Setidaknya di umur sehatnya ia ingin melakukan perjalanan, dan memastikan keadaan ayahnya yang telah lama menghilang dan tak lagi menemuinya.
Sama seperti Widarpa, walau keberadaanya menghilang dari keluarganya, ia telah meninggalkan serpihan-serpihan kesaktiannya yang mungkin bisa akan berguna bagi keturunannya kelak. Sebelum dirinya menua, Daryana berniat mengamalkan ilmunya serta menemukan ayahnya itu.
Cahyo kembali ke desa itu, tempat dimana ia telah berdosa pada penduduk yang tinggal di sana. Sebuah desa yang dihuni oleh Trah keluarga yang mengucilakna dirinya. Trah Rojobedes...
Semoga teman-teman berkenan meninggalkan komen setelah membaca part ini..
Wabah di desa Darmo Kulon menewaskan lebih dari dua puluh nyawa. Anggoro sudah berusaha semaksimal mungkin, namun ia tak mampu berbuat banyak kepada mereka yang sudah sekarat.
Setidaknya, kedatangan Anggoro menghentikan jumlah korban yang terus bertambah.
“Ustad. Apa yang terjadi antara Mas Cahyo dan Raden Suto Benggolo di bukit? Mengapa Mas Cahyo tidak kembali ke sini?” Anggoro terlihat cemas saat mengetahui Ustad Imran kembali tanpa Cahyo.
“Tidak usah khawatir. Mas Cahyo baik-baik saja. Pasti kamu juga dengar suara khas knalpot vespanya saat melintas tadi, kan?”
Anggoro memang mengingat suara berisik yang melintasi desa setelah subuh. Ia baru sadar bahwa itu suara motor tua milik Cahyo.
“Lantas kenapa Mas Cahyo tidak kembali ke desa, Ustad?”
Ustad Imran menghela nafas menunjukkan wajahnya yang bingung menjelaskan apa yang terjadi.
“Apa yang ia hadapi jauh lebih besar dari bencana yang ada di desa ini, Mas Anggoro. Sesuatu yang benar-benar tak terbayangkan oleh manusia pada umumnya..”
Anggoro membaca raut muka Ustad Imran. Ia mencoba memahami kegelisahan dalam dirinya. Namun satu kabar dari Ustad Imran cukup membuat Anggoro dan warga desa lega.
Ustad Imran mengatakan bahwa tanah di desa Darmo Kulon sudah diruwat. Tak ada lagi kutukan yang mengikat desa tempat mereka tinggal. Jasad-jasad sudah bisa dimakamkan di tanah mereka.
Mendengar kabar itu, warga desa, terutama mereka yang ditinggalkan oleh keluarganya tak mampu menahan air mata.
Kini mereka benar-benar terlepas dari kutukan Raden Suto Benggolo. Namun Ustad Imran sendiri belum bisa tenang. Semua tidak ada artinya jika Cahyo gagal menangani sosok yang jauh lebih berkuasa dari Raden Suto Benggolo itu.
“Setidaknya saya ingin menyampaikan, jika suatu saat ia membutuhkan kemampuan medis saya, saya siap membantu Mas Cahyo kapan saja..” Anggoro membersihkan tangannya sambil menatap langit pagi hari di desanya. Ustad Imran mendekat dan berdiri di sebelahnya.
Bau Melati yang semula menenangkan kini berubah menjadi isyarat kematian.
Sosok pendendam yang membawa ketakutan untuk warga desa. Ia tak akan tenang sebelum dendamnya terpuaskan.
#bacahorror @bacahorror
Namaku Arya, seorang jurnalis lepas yang terbiasa menggali cerita kriminal, misteri, hingga horor.
Adrenalin selalu terpacu saat menemukan kisah misteri yang belum terungkap, dan biasanya aku mendapatkan info dari kantor, narasumber, atau teman-teman.
Tapi kali ini, sumbernya berbeda.
Berulang kali aku bermimpi tentang sebuah desa. Desa yang selalu sunyi saat malam tiba, penduduknya dicekam ketakutan oleh sosok tak kasat mata yang meneror mereka.
Ada legenda yang mengatakan bahwa manusia, hanya menempati satu dari sekian ribu alam yang diciptakan oleh Yang Maha Pencipta.
Alam manusia, alam roh, alam mimpi, alam antara, akhirat, khayangan, atau berbagai macam nama yang sering tersebut di berbagai kepercayaan mungkin memiliki tempat tersendiri yang tak mudah dijangkau oleh manusia.
Tapi di balik itu, setiap alam memiliki ikatannya sendiri dan saling mempengaruhi dengan caranya sendiri.
Tapi satu alam pernah mati menyisakan kesadaran yang memaksa dirinya sebagai alam untuk mendapatkan energi hidup dari alam lain.
Alam itu sadar bahwa tak ada makhluk yang berhak memiliki keinginannya sendiri. Jika hanya ada satu kesadaran untuk semua makhluk di satu alam, maka alam itu akan bangkit menjadi alam yang terkuat.
Jagad Segoro demit. Hanya amarah dan nafsu yang diizinkan untuk ada di sana. Setiap makhluk perlahan akan melupakan dirinya dan menjadi satu kesadaran dengan alam itu.
Hanya kegilaan dan kekacauan yang terus ada mengorbankan darah dan nyawa untuk kembali lahirnya sebuah alam yang telah mati.
Akan ada waktunya alam ini merebut alam manusia untuk menjadi bagian darinya..
***
Dananjaya Sambara. Itu namaku, dan aku adalah seorang manusia. Iya! Aku benar-benar manusia. Namun saat ini aku terpaksa menjebak diriku di alam tempat bangsa setan, dan lelembut berasal. Sesuatu yang mengerikan akan terjadi jika kami tidak menghentikannya.
Sebuah peperangan antara makhluk yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu akan terjadi dan mengoyak batas alam antara alam manusia dan Jagad Segoro Demit. Aku di sini untuk menghentikan itu semua.
Tapi, sepertinya keberadaanku tidak dibutuhkan.
Di hadapanku berdiri seorang sesepuh leluhur Trah Sambara yang telah mengurung dirinya di Jagad Segoro Demit Selama ratusan tahun. Seseorang yang menjaga kesakralan Trah Sambara dari alam terkutuk.
Eyang Wirabumi Dayu Sambara.
“Terlemah?” Gumamku saat Eyang Wirabumi mendakwaku sebagai trah sambara yang terlemah. Aku tak bisa membantahnya, mungkin ucapannya benar. Aku memang tidak memiliki ajian-ajian sesakti Paklek dan Jagad.
“Bagaimana bisa kalian membawa manusia seperti dia ke alam ini?! Apa tidak ada pilihan lain!!” Teriak Eyang Wirabumi pada Nyi Purbawengi dan Eyang Kertasukmo.
Mereka tak menjawab dan memilih mundur sambil tersenyum. Aku menoleh pada Nyi Sendang Rangu dan ia justru berpaling seolah tak ingin terlibat dengan permasalahan Trah Sambara.
“Arrrgggh!! Mengapa kalian jadi setolol ini! Jangan salahkan aku jika dia mati dalam pertempuran!” Teriaknya sambil berpaling membuang muka, namun baru melangkah sesaat ia kembali menoleh ke arahku dan menunjukkan jarinya ke wajahku.
“Dan kau! Jangan sampai kau menjadi batu sandungan untuk kami!” Ancam Eyang Wirabumi.
Aku berusaha untuk tidak merespon apapun. Selain tidak mengerti dengan keadaan di alam ini, Eyang pasti punya alasan untuk sebegitu selektifnya menilai aku dan yang lain.
“Dia hanya tidak ingin ada lagi yang mati..” Ucap Nyi Purbawengi.
“Percayalah, walau perangainya buruk dia salah satu leluhur kita yang paling baik,” Tambah Eyang Kertasukmo.
Aku hanya menghela nafas sambil berusaha tersenyum. Perangai emosinya itu memang sedikit mirip dengan Eyang Widarpa. Seandainya Eyang masih ada, mungkin akan seru jika mereka berdua bertemu.
“Kepala Ki Kundawayan itu, apa eyang yang menghabisinya?” Tanya Mas Jagad.
Tak hanya Mas Jagad, aku pun merasa penasaran bagaimana makhluk sekuat itu dan hampir membunuh kami bisa takluk begitu saja.
Eyang Wirabumi mencabut keris dari kepala itu. Ia melangkah menuju sebuah ruangan dimana terdapat sebuah cermin di sana.
“Aku melihat semua pertarungan kalian dari Koco Benggolo. Ledakkan kekuatan telur jagat membuatnya lemah, saat tiba di Jagad Segoro Demit, kami menggunakan kesempatan itu untuk menghabisinya..” Jelas Eyang Wirabumi.
“Kami?” Paklek bertanya.
Eyang Wirabumi memalingkan wajahnya dari cermin dan kembali menatap ke arah kami.
“Aku tidak seorang diri di sini, leluhur kalian yang lain terpencar di alam ini. Mereka menghimpun kekuatan dan memburu danyang yang bersekutu dengannya.”
Aku semakin penasaran dengan wujud dari leluhur-leluhurku. Hampir setiap dari mereka memiliki sifat yang berbeda, dan kehebatannya sendiri-sendiri. Setiap kemampuan itulah yang menurun kepada kami.
“Wirabumi, kau sudah mendapatkan pusaka itu?” Eyang Kertasukmo tiba-tiba membuka pembicaraan. Namun Eyang Wirabumi membalasnya dengan menggeleng dan menghela nafas.
“Aku hampir tidak percaya jika pusaka ratu ular itu memang ada di alam ini. Sudah ratusan tahun aku mencarinya, petunjuk yang kita miliki menuntun kami ke hasil yang kosong..”
Aku dan Paklek mempertanyakan apa yang dimaksud pusaka ratu ular itu? apa pusaka itu sepenting itu hingga leluhur kami mencari selama ratusan tahun.
“Eyang, apa pusaka ratu ular memang sepenting itu?” Tanyaku pada Nyi Purbawengi.
Nyi Purbawengi mengajak kami untuk duduk di ruangan itu. Koco benggolo terlihat menutup dengan sendirinya ketika kami menjauh. Sekilas aku melihat bayangan dua orang perempuan yang berjalan di sebuah desa tua. Tapi apa yang kulihat itu tidak untuk kubahas saat ini.
“Pusaka Ratu Ular merupakan penentu perang para danyang di zaman dulu. Kami semua hampir musnah oleh kekuatannya…” Jelas Nyi Purbawengi.
Ia menceritakan saat Danyang putih dan trah sambara berhasil menghentikan peperangan dengan menaklukkan danyang hitam, ada sosok danyang dari bukit pesisir yang berkhianat. Ia menggunakan pusaka ratu ular yang seketika memakan ratusan nyawa untuk membangkitkan kembali kekuatan danyang hitam.
“Pengkhianat?” Tanyaku.
Nyi Purbawengi mengangguk. Danyang itu menitiskan kekuatan dewi samudera, namun ia lahir dari tanah terkutuk.
“Siapa? Apa namanya dikenal di alam manusia?” Tanya Mas Jagad.
“Manusia memujanya untuk menanti berkah alam, namun ada yang menyembahnya untuk mendapatkan kekayaan. Di alam manusia ia merupakan sosok anggun yang dikenal dengan nama Dewi Naganingrum..” Eyang Kertasukmo mencoba menjelaskan.
Ia menambahkan bahwa nama dan sosok anggun itu hanyalah kedok. Wujud sebenarnya adalah seekor ular raksasa yang menguasai tanah bukit pesisir.
“Berarti saat ini dia ada di alam manusia?” Aku memastikan.
“Naganingrum hidup di dua alam. Ia mempunyai raga yang terkurung di alam ini, dan roh di alam manusia..” Jelas Nyi Purbawengi.
Braakk!!!
Pukulan keras Eyang Wirabumi menghantam lantai kayu bangunan itu.
“Kupastikan ia akan mati tak bersisa saat berhadapan denganku!!” Teriak Eyang Wirabumi.
Aku merasa ada permasalah pelik yang membuat Eyang Wirabumi begitu dendam dengan sosok Naganingrum itu.
Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba koco benggolo memantulkan cahaya api yang begitu pekat. Eyang Wirabumi meninggalkan tempatnya dan bergegas menghampiri cermin itu. Ia buru-buru mengambil kerisnya lagi dan hendak meninggalkan ruangan.
“Eyang?! Ada apa?!” Tanyaku.
Jagad menatap ke koco benggolo dan wajahnya seketika diliputi amarah.
“Brengsek! Mereka membakar satu bangunan yang menampung puluhan anak kecil! Apa yang mereka lakukan?!”
Aku menghampiri ke arah mas jagad, dan pemandangan mengerikan itu benar-benar terpampang di koco benggolo. Suara anak-anak yang berteriak ketakutan pun terdengar samar dari cermin itu.
Eyang Wiraguna berhenti sejenak dan memanggil kami.
“Kalian! Ikut denganku?!” teriaknya tertuju kepada kami bertiga.
Aku menoleh ke arah Eyang Kertasukmo, Nyi Purbawengi, dan Nyi Sendang Rangu. Mereka mengangguk memberi isyarat agar kami mengikuti eyang Wirabumi.
Cahyo mendapat kabar dari Danan di mimpinya yang aneh. Danan memperingatkan bahwa yang paling berbahaya dari Perang Para Danyang berasal dari alam manuisa
Samar-samar suara gemeretak di kamar terdengar dari benda-benda yang berada di sekitarku. Tapi, aku masih terus tertidur dengan gelisah. Sebuah mimpi yang aneh tiba-tiba mengusik tidurku.
“Cahyo! Kami salah! Masalah terbesar ada di alam manusia!” Tiba-tiba aku melihat Danan di mimpi yang seolah begitu nyata.
Terlihat Danan, Paklek, Mas Jagad dan beberapa wujud yang tak dapat kulihat dengan jelas tengah berlari di alam yang penuh dengah kekacauan itu.
“Danan? Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa berbicara padaku dari sana?!” Aku masih tak bisa menilai apa yang terjadi. Namun kekuatan dalam mimpi itu bahkan kurasakan di sekitar tubuhku.
“Pusaka-pusaka sakti mandraguna berserakan di tempat ini. Aku menggunakan koco benggolo untuk menyampaikan ini padamu!
Dengar baik-baik, Jul! Perang Para Danyang terjadi karena pengkhianatan mereka yang diberkahi semesta! Hentikan mereka!”
Krakk!!!
Suara cermin yang pecah terdengar bersama hilangnya penglihatan di mimpiku. Aku terbangun bersama benda-benda yang berjatuhan di sekitarku. Samar-samar aku pun mendengar sisa suara raungan wanasura yang ikut merasakan kekuatan itu.
Danan dan Cahyo terpisah di alam yang berbeda. Garis keturunan Trah Sambara memiliki takdir untuk berdiri di tengah perseteruan makhluk-makhluk yang merasa menguasai bagian dari alam.
@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht
SENDANG MAYAT
Suara mesin sepeda motor memecah keheningan di jalan setapak yang dikelilingi hutan-hutan menuju sebuah desa. Berkali-kali aku mengingatkan Mas Sapta yang menjemputku dengan motor tuanya untuk berhati-hati, namun rasa cemasnya akan keadaan keluarga dan warga desa tak bisa ditutupi.
Namaku Anggoro. Seorang dokter yang sedang menjalankan tugas di salah satu kota besar di Jawa Barat. Namun kemarin, bapak meneleponku dan memintaku untuk pulang.
“Pulang ya, Le… Bapak takut, mungkin saja hal buruk akan terjadi pada sama bapak. Setidaknya sebelum hal buruk itu terjadi, bapak pengen ketemu kamu..”
Kata-kata itu terus terngiang membuatku tak mungkin lagi menolak untuk pulang.
Bapak juga mengatakan bahwa seandainya aku bisa kembali, mungkin saja aku bisa membantu akan apa yang terjadi di desa. Sesuatu yang mengerikan terjadi di sana.
Belasan warga, mati…
Mas Sapta yang menjemputku di terminal pun menceritakan dengan tubuh yang gemetar dan lemas. Ia melihat sendiri bagaimana tetangga yang masih saudara jauh dengannya mati dengan tubuh yang menghitam dan bagian tubuhnya putus satu persatu. Dan saat ini, di rumah bapak masih terdapat beberapa warga yang bernasib serupa.
“Bangunan itu masih belum dibongkar?”
Aku bertanya pada Mas Sapta sambil menunjuk beberapa sisa rumah-rumah tua yang sudah hancur di salah satu sisi hutan. Hanya tersisa sebagian tembok-tembok saja yang sudah ditumbuhi tanaman merambat dan lumut.
Sisa dinding-dinding bangunan di sana sudah terkelupas dan menunjukkan tumpukan bata yang masih tebal. Ada sebuah sumur yang sepertinya juga sudah lama tidak digunakan.
“Nggak ada yang berani, Mas Anggoro. Katanya masih ada yang punya. Takut salah..”
Aku hanya menggeleng melihat sisa-sisa bangunan yang sudah ada sejak aku kecil. Entah kapan terakhir kali bangunan itu berbentuk rumah dan ditinggali, bapak pun tidak bisa menjawab.Gapura desa Darmo Kulon pun terlihat di hadapan kami, namun aku tak menyangka bahwa keadaan di desa begitu gelap.
Semua rumah mematikan lampu dan hanya ada beberapa obor yang dibuat menggunakan botol kaca yang menyala di beberapa sudut jalan.
“Gelap sekali, Mas? Mati listrik?” Tanyaku.
“Sengaja, Mas.. Kami semua mematikan listrik, mengunci semua pintu, tidur di lantai, supaya setan-setan yang mengutuk desa kami tidak masuk ke desa ini..”
“Masih percaya begituan?”
“Entah, Mas. Dari dulu desa kita percaya hal seperti itu setiap ada wabah..”
Aku memang mengingat beberapa kebiasaan-kebiasaan warga yang sekarang sudah kuanggap tidak masuk akal. Semenjak aku merantau dan mengenal dunia luar, beberapa hal di desaku terasa tidak relevan.
Brakkk!
“Sakiiit…. Sakit… hentikan!”
Tiba-tiba seorang perempuan menerobos keluar rumah. Ia berjalan dengan tangan dan kakinya yang kaku dengan sebagian kulitnya sudah terlihat bisul, bercak, hingga bagian yang menghitam. Matanya terus melotot tanpa bisa berkedip.
Mas Sapta pun mengerem motornya mendadak. Cahaya lampu menyinari sosok perempuan yang terlihat mengerikan di gelapnya malam. Aku pun turun dari motor untuk melihat lebih jelas, namun sosok itu lebih dahulu mengenaliku.
Bibirnya tiba-tiba tersenyum. Ia mengangkat tangannya dan mencoba meraihku.
“Anggoro…” Senyumnya terlihat aneh dan membuatku bergidik ngeri. “To—long…”
Belum sempat mendekat ke arahku, tiba-tiba jari-jari wanita yang telah menghitam itu terpisah dari tubuhnya dan jatuh ke tanah. Wajahnya terus menatapku namun tak lagi bergerak. Satu tangannya masih berusaha meraihku, namun jari-jarinya jatuh satu persatu.
Aku mengenali perempuan itu.
“Mu—murni? Kamu Murni, kan?” Aku memastikan bahwa di hadapannya adalah teman masa kecilku. Namun sudah terlambat cukup lama. Tubuh murni tak lagi bertahan, tubuh itu pun terjatuh tak bernyawa setelah beberapa bagian tubuhnya terpisah. Satu lagi korban jiwa terjadi di desa Darmo kulon.
***
Kedatanganku yang disambut dengan kematian Murni, teman masa kecilku membuat diriku terpuruk. Aku pun kembali ke rumah ayahnya yang merupakan seorang mantri di desa itu dengan wajah yang kusut.
“Kulo nuwun. Bapak, ini Anggoro…” Ucapku sambil mengetuk pintu yang terkunci dari dalam. Terlihat seseorang berusaha berjalan dengan cepat dengan kakinya yang tertatih untuk membukakan pintu.
“Alhamdulillah, Le.. kamu datang juga..” Sambut bapak yang bernafas lega melihat kedatanganku.
Aku mencium tangan bapak dan segera memeluknya. Tubuhnya terlihat semakin kurus dan aku merasakan bahwa ia menanggung beban yang tak biasa.
“Pak Parmin, Tasnya Mas Anggoro izin saya masukkan ke dalam, ya..” ucap Mas Sapta.
“Iyo, Le. Matur nuwun yo..” (Iya, Nak. Terima kasih ya…) Balas Bapak yang bergegas mengajakku masuk ke dalam.
Baru beberapa langkah memasuki ruangan aku sudah mencium bau yang berbeda. Kadang tercium bau rempah-rempah obat, kadang tercium bau yang cukup busuk. Terdengar suara dengkuran dan rintihan dari dalam rumah.
“Nanti kamu tidur di rumah sapta saja ya, Le. Beberapa warga nggak punya keluarga, jadi bapak ngerawat mereka di rumah.” Jelas Bapak yang sepertinya menyadari gelagatku yang tidak nyaman.
“Ndak, Pak. Anggoro bantu bapak rawat mereka. Sekarang Anggoro sudah jadi dokter, jadi harusnya lebih mengerti, Pak…” Balasku.
Tidak mungkin aku meninggalkan bapak dalam keadaan seperti ini. Sejak kecil, bapak merawatku seorang diri setelah ibu meninggal di umurku yang masih lima tahun. Ia membiayai kebutuhanku dengan profesinya sebagai mantri yang pendapatanya tidak seberapa itu.
Walaupun rumah kami sederhana, uang kami tidak banyak, Bapak bercita-cita menyekolahkan aku hingga jadi dokter agar bisa lebih baik darinya dan bisa membantu lebih banyak orang. Sudah jelas gelar yang kumiliki saat ini adalah hasil keringatnya.
“Bapak tahu, kamu pasti lebih ngerti, Le. Tapi takutnya apa yang terjadi di desa ini belum tentu bisa ditangani oleh manusia biasa,” Balas bapak.
Aku hanya menggeleng mendengar jawaban bapak. Namun aku tak membalas pernyataan nya itu. Aku tak ingin menyinggungnya dengan tanggapanku mengenai hal-hal mistis.
Berbagai dugaan sudah berkecamuk di kepalaku. Malam itu juga aku membersihkan diri, mengenakan perlengkapanku, sarung tangan, dan masker untuk memeriksa warga desa.
Mereka semua memiliki gejala yang sama. tubuh yang kaku, bisul di telapak kaki, hingga kulit yang seperti luka bakar, hingga hitam membusuk. Saat itu aku mengurungkan niat untuk menyentuh mereka.
“Bapak..”
Aku mendekat ke arah bapak sambil mengamati beberapa bagian tubuhnya. Sepertinya belum ada gejala-gejala di tubuh bapak.
“Gimana, Le?” Mata bapak menaruh banyak harap kepadaku.
“Setelah ini kita pisahkan warga yang sehat dengan yang sakit. Besok akan saya panggil bantuan tim medis.” Aku menjelaskan pada bapak dengan serius mungkin. “Desa ini terkena wabah kusta..”
Mata bapak terbelalak mendengar pernyataanku. Sepertinya ia tidak menyangka penyakit itu akan menjangkit warga desa.
“Kamu yakin, Le? Ini bukan kutukan yang disebabkan karena itu…”
Aku menggeleng sambil melepas sarung tanganku dan menepuk pundak bapak.
“Yakin, Pak. Tidak usah khawatir tentang apa yang terjadi tujuh tahun lalu. Toh warga desa juga sudah sepakat mengambil keputusan ini…”
Bapak menghela nafas dan sedikit membuang muka. Sepertinya ia merasa tidak nyaman dengan tanggapanku.
“Kalau bukan kutukan, kenapa mereka teriak-teriak kesetanan tiap malam, Mas? Ada yang kelihatan ketakutan, ada juga yang seperti kesurupan..” Mas Sapta tidak ingin percaya begitu saja.
“Bisa jadi halusinasi. Tapi kalau memang ada faktor lain, kita harus cari tahu. Tenang saja, Itu juga kan tujuanku ke sini,” Balasku.
Aku menelpon kenalan-kenalan tenaga medis yang bisa menghubungkanku ke rumah sakit terdekat. Aku menjelaskan tentang wabah kusta yang terjadi di desaku dan meminta mereka membuat leprasorium darurat di desaku secepatnya.
Saat itu Mas Sapta menghampiri bapak dan terlihat tengah berbincang dengan raut wajah serius. Sepertinya ada yang ingin mereka sampaikan kepadaku.
“Mas Anggoro. Kalau bisa menyempatkan waktu sebentar lagi, saya dan bapak mau ngajak mas Anggoro ke suatu tempat,” Ajak Mas Sapta.
“Malam-malam gini?” Balasku.
Mas Sapta menoleh ke arah bapak, dan bapak mengangguk menyetujuinya.
“Di keadaan ini kita nggak tahu bahwa ada nyawa yang bisa melayang jika kita menunda beberapa detik saja. Jadi saya rasa Mas Anggoro harus mengetahui hal ini secepatnya..” Balas Mas Sapta.
“Bapak juga ikut, Le. Kita cuma bisa sampai kesana dengan berjalan kaki. Sambil ada yang mau bapak ceritakan juga..” Tambah Bapak.
Mendengar mereka berbicara seperti itu, sepertinya hal yang ingin mereka sampaikan adalah hal yang penting. Aku pun meminta waktu sebentar untuk bersiap-siap sementara mereka membuat obor yang akan kami gunakan untuk perjalanan kami.