Lockdown membunuh lebih banyak orang dari pada Covid 19. Artikel ini menarik soal bagaimana lockdown sebenarnya lebih banyak mudharatnya dibanding manfaat. internationalaffairs.org.au/australianoutl…
Seperti yg kita ketahui Lockdown awalnya didasari model Neil Ferguson dari Imperial college. Sejak saat itu para pendukungnya mengikuti saran model tersebut religiously. Padahal model tsb sudah banyak yg debunking. Makanya pendukung Lockdown ini skrng lebih mirip agama.
Ketika awal2 model ini masih jd panduan banyak orang soal LD (ini sblm Fergusonnya sendiri akhirnya ketahuan melanggar aturan LD ya). Beberapa academic di Oxford mencoba membongkar modelnya. Kebetulan model ini di Github. Silahka kalau mau lihat isinya github.com/ImperialColleg…
Kesimpulan academic di Oxford tsb kurang lebih mirip. Model tsb selain sangat buggy jg akan memberikan hasil yg tdk konsisten. Sehingga mereka berkesimpulan "I can't believe anything that come out from this model!". Tapi ya pendukung LD masih tetap setia membela metode ini.
Jd jgn heran ketika ditunjukkan daftar kegagalan LD utk menekan laju infeksi dsri banyak kasus seperti India, Peru hingga Malaysia. Pendukung LD akan menemukan pembelaan. Mulai dari LD nya telat lah atau LD nya kurang ketat. Pembelaan serupa jg dgn mudah kita temukan di tanah air
Sementara disisi lainnya lockdown jg memakan korban. Karena banyaknya anak2 yg tidak diimunisasi. Para penderita cancer referral yg tdk terlayani dsbnya. Data di UK menunjukkan excess death (kematian tambahan) akibat lockdown measures itu 2 kali lipat dari kematian akibat Covid19
Makanya diawal saya katakan Lockdown ini bukan pilihan antara ekonomi dan nyawa. Tapi antara nyawa vs nyawa. Kita tinggal memilih nyawa siapa yg mau dikorbankan. Sayangnya pilihan Lockdown tdk memberikan banyak bukti kalau nyawa yg diselamatkan akan lebih banyak.
Celakanya lagi para pendukung LD ini (terutama di tanah air) adalah kaum menengah yg tinggal di rumah yg nyaman, wifi kencang, dan yg terpenting karir mereka tetap bisa moncer meskipun WFH. Sementara ada banyak orang tdk seberuntung itu, tinggal di rumah sempit dipemukiman padat.
Dalam pikiran mereka kalau kaum miskin yg tinggal berdempet2 dipemukian padat kalau ini dikasih makan, mereka akan diam dirumah, persis seperti ternak. Celakanya lagi mereka menuntut UU karantina kesehatan diberlakukan, dimana kaum menengah ini jg dikasih makan oleh pemerintah.
Seperti yg dibahas tadi, kelompok pendukung LD ini sebenarnya tdk banyak kena effect utk WFH. Penghasilan mereka tetap masuk, bahkan secara karir mereka pun masih bisa berkembang. Sementara kaum miskin akan kesulitan utk bangkit lagi, meskipun kebutuhan mereka selama LD dipenuhi
Sementara banyak data bisa dgn mudah bisa mereka access soal collateral damage dari stringent measurement atau lockdown ketat tsb. Mungkin karena excess death ini lebih banyak akan dialami oleh orang2 yg tinggal di lingkungan kumuh yg tdk sehat ya mereka fine2 saja dgn hal tsb
Tapi ya mereka bisa tetap tampil dgn virtue signalling di mana mereka adalah pihak yg membela kebenaran, berhati mulia dsbnya.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Tadi saya diwawancara oleh jurnalis narasinewsroom terkait twit lama saya ini. Kebetulan juga Jakarta saat ini sedang dilanda musibah banjir. Saya baru menyadari ada hal yg luput saya jelaskan ketika membuat serial twit ini. Mengenai polemik soal betonisasi.
Saya sbnrnya bingung kenapa dlm narasi2 dari beberapa orang yg katanya aktivis lingkungan ketika mengkritisi penanganan banjir yg sblmnya dilakukan adalah mendemonisasi pembetonan pinggir sungai atau yg mereka sebut betonisasi.
Narasi yg dibangun seolah2 betonisasi ini solusi penanganan banjir yg tidak bersahabat dgn lingkungan dan tidak indah dilihat dsbnya. Padahal betonisasi ini bukanlah solusi itu sendiri tapi merupakan implikasi dari keterbatasan yg dihadapi oleh Jakarta saat ini.
Atas permintaan mas @budimandjatmiko dan sambil nunggu apakah Biden memang bisa secure Pensylvania dan Nevada utk memastikan road to 270 electoratnya. Saya mau cerita pandangan saya soal Laïcité di Prancis dan juga perkembangan politik US serta kira2 dampaknya utk Indonesia
Terus terang saya ga terlalu paham soal ini. Jadi mungkin banyak informasi yg saya gunakan perlu di periksa ulang. Mungkin saya mulai dari Laïcité di Prancis yg akhir2 ini ternyata cukup heboh dibahas di Indonesia. Sementara di UK sini berita soal ini tdk terlalu terdengar.
Seperti sama2 kita ketahui konteks Laïcité sudah ada Prancis sejak Revolusi Prancis abad 18 yg mengakhiri konstitutional monarki nya Prancis dan membuat Louis XIV dieksekusi mati. Prancis juga memisahkan pengaruh Gereja dgn pemerintahan pada masa itu.
Hari ini sdh lbh dari 14 hari UK melonggarkan status stay at home ordernya ke Stay Alert. Artinya sdh satu masa inkubasi virusnya. Sejak masy. UK keluar menikmati sinar matahari, kasusnya malah turun. Pdhl ketika keputusan tsb dibuat banyak yg bilang akan naik secara eksponensial
Artinya paper2 yg menyebutkan orang2 yg dipaksa utk berada dlm karantina memiliki resiko lebih tinggi untuk tertular ini benar. Sehingga jangan heran kalau beberapa negara yg sudah lockdown ketat kurvanya malah meningkat. medrxiv.org/content/10.110…
Data di UK ini kemungkinan akan mendorong negara2 lain akan membuka lockdownnya meskipun kurva mereka masih naik. Terlebih lagi kematian akibat dari lockdown ini lebih banyak dari nyawa yg diselamatkan. Mulai dari ancaman kelaparan, naiknya angka kematian akibat stress
Ok saya jelaskan kenapa Lockdown itu ga bisa menjamin bisa flattening the curve di Pandemic ini. India sudah mulai lockdown pada tanggal 23 Maret, dan semua tau bagaimana kerasnya lockdown di India. Law enforcement dengan cara kekerasan. Polisi memukuli warganya yg berani keluar
Lalu apakah India berhasil flattening the curve? Data per hari ini sih trend penularan masih naik. Padahal sudah 45 hari lebih penduduk India dlm keadaan lockdown yg ketat. Data penularan itu jg inline dgn data kematian di India yg trend nya juga naik.
Apakah India tidak berhasil Lockdown nya? masalah pertama yg akan terjadi akibat lockdown adalah ancaman kelaparan. India sudah mengalami itu saat ini. Lalu apakah penduduk India jd melanggar aturan?Ternyata warga India lebih takut dipukuli dari pada kelaparan. Jadi masih tertib
Mumpung lg lowong, mau menunaikan janji utk mengulas bahasan diskusi saya dgn mas @ainunnajib seperti yg disampaikan oleh mas @budimandjatmiko bbrp hari yg lalu. Seperti yg dibahas sblmnya saya berpendapat utk menghadapi wabah ini adalah seperti lari marathon, bukan lari sprint
Sebelumnya saya mau disclaimer, saya tdk menentang lockdown dan jg tdk mendukung strategi percepatan terbentuknya herd immunity seperti yg sering kita dengar. Saat ini saya tinggal di UK, asal muasal rencana spt ini, jd saya tau rasanya berada di negara yg mengambil langkah ini.
Belajar dari kasus2 pandemic terdahulu, mulai dari H1N1 2009, SARS hingga Spanish Flu 1918 ini terjadi dlm waktu lebih dari 1 tahun. Selain itu pandemic tsb jg terjadi dlm beberapa gelombang. Pandemic Covid19 yg kita lihat saat ini kemungkinan besar baru 1st wave saja.
Terus terang saya tdk terlalu suka dengan ide lockdown ketat seperti di Wuhan, Italy ataupun India. Tapi sepertinya ide ini yg disukai oleh kebanyakan orang. Mulai dari para middle class yg khawatir thd penularan Covid19 hingga aktivis dan SJW meminta segera diberlakukan Lockdown
Saya lbh suka model physical distancing seperti di bbrp negara Scandinavia ataupun di Eropa, sambil berupaya melakukan upgrade kapasitas pelayanan kesehatan khusus utk Covid19 dgn penambahan jumlah ventilator. Ini jg lbh baik dari pd keluar banyak uang utk pengadaan alat testing
Tapi saya jg bisa paham soal penerapan status darurat sipil sebelum penerapan karantina wilayah dlm skala besar seperti permintaan banyak orang. Status darurat sipil ini yg saat ini banyak ditentang oleh banyak orang. Tapi mungkin ini ada beberapa pertimbangan yg bisa kita teliti