Thread by @sdenta

Dari POV dokter, otonomi pasien itu juga yang utama. Pasien dewasa dianggap sudah mampu berpikir yang terbaik buat dirinya sendiri. Jadi kalo sakit, ga mau ke RS takut dicovidkan? Ya ga perlu ke RS. Ga mau divaksin? ya silahkan. Gak percaya dokter? tentu boleh. Bebas kok. 🙂

Harapannya tentu gitu, tapi sulit juga kan ngatur2 mau orang itu kayak apa. Ya silahkan kalo mau mempengaruhi orang lain.. Semoga orang lain tidak ikut terbawa pengaruh jelek, dari siapapun itu yang membawa narasinya..🙏🏻

https://twitter.com/ogawa_sora/status/1424184210386874377

Pasien juga boleh banget berubah pikiran, dari yg sebelumnya ga percaya, terus pas sakit pengen diobatin ya gpp, tetep akan diobatin sesuai prosedur. Atau dari yang percaya, tapi berubah pikiran ingin menghentikan pengobatan saat sakit, atau ga mau lanjut vaksin, juga gpp.🙏🏻

Nah ini sudah masuk ranah kebijakan pemerintah, kebijakan kesehatan, kehidupan sosial masyarakat, bukan cakupan etika profesional hubungan dokter-pasien. Etika do no harm itu mengikat dokternya, bukan mengikat pasien. Ada komite etik dokter, gak ada kan komite etik pasien. 🙂

https://twitter.com/zahraibadina/status/1424252067170848775

Bagi saya, ini sudah masuk ranah kebijakan kesehatan/aturan formal. Dokter sebagai individu, dalam hubungan profesionalnya dengan pasien, tidak bisa dan tidak akan mampu memaksa pasien melakukan sesuatu di luar kehendak mereka. Dokter tidak sepowerful itu..🙏🏻

https://twitter.com/kasyafi27/status/1424343352355348485

Saya kasih contoh lain, pada pasien HIV yang perilakunya belum bisa dikontrol, apakah dengan semata2 berpegang pada adagium “dapat menimbulkan bahaya bagi komunitas luas” lalu dokter bisa dengan leluasa membuka status HIVnya? Tidak bisa. Kecuali ada aturan hukum yg mengikat.