Malam Satu Suro : Ruwat Deso, Danyange Teko.

@bacahorror @threadhorror #bacahorror Image
Disclaimer !
Sebelum memulai cerita, nama tokoh dan lokasi kejadian akan saya samarkan untuk menghormati kepercayaan masyarakat di desa ini. Bagaimanapun saling menghargai kepercayaan adalah kewajiban seorang manusia

Dan bagi yang mengerti lokasi, harap disimpan sendiri saja.
Malam Satu Suro atau nama lain dari Malam Tahun Baru Islam adalah merupakan malam yang disucikan dan di istimewakan bagi umat Islam dan penganut kepercayaan Kejawen.
Mereka mempercayai bahwa pada malam satu suro segala kebaikan dan keburukan dalam satu tahun akan berpusat di malam itu.

Itulah mengapa para penganut spiritual terkait berlomba lomba untuk berikhtiar dan bersemedi guna untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Tentunya, definisi malam satu suro pada setiap daerah maupun manusia pasti berbeda beda. Namun tujuan utamanya tetap dalam rangka memperingati tentang Tahun Baru Islam.
Berbicara mengenai malam satu suro, saya pernah mempunyai pengalaman antara menggelitik dan sedikit ngeri.

Pengalaman yang menjadikan saya sebagai pribadi yang lebih bisa menghargai keyakinan antara sesama manusia.
Hari itu saya ingat sebagai pengalaman pertama saya mengikuti rangkaian kegiatan malam satu suro. Karena sebelumnya saya tidak pernah mengikutinya, cuma curi dengar dari para lelaku spiritual. Dan cerita yang dituturkan pun selalu menggugah antusias saya
Suatu kebetulan karena saat masih ikut mbak kerja di desa S*****, saya berkesempatan untuk ikut dan berpartisipasi dalam rangkaian acara malam satu suro yang kemudian acara tersebut disambung dengan acara Ruwah Desa.
Ruwah desa/ruwatan desa merupakan serangkaian acara yang bertujuan untuk membersihkan desa dari bala' (musibah) dan segala penyakit. Yang nantinya harapan agar desa tersebut kembali menjadi desa yang sehat dan makmur
Sore hari selepas kerja, saya bersama rekan kerja senior saya sebut saja namanya Mas Toni sepakat mengikuti rangkaian malam suro dan ruwat deso.

Kebetulan beliau bekerja di sektor penanggungan jawab desa tempat kami bekerja.
"wes ndang adus, mariki nyusul abah" (cepat mandi, habis ini jemput abah).

Abah sendiri merupakan salah satu dari sesepuh desa. Biasanya dalam menyiapkan sesuatu di desa, Abah lah yang bagian membeli segala macam benda dan persiapan untuk acara.
Selesai mandi, saya dan mas Toni menjemput abah. Rumah abah juga merupakan salah satu rumah terbesar di desa tersebut.

Tak menunggu lama, Abah pun masuk kedalam mobil. Bau bauan khas seperti remason dan kayu putih langsung mengharumi seisi mobil.
"ayo ndang budal, selak kebengen tekan pasar" (ayo berangkat, nanti kemalaman sampai pasar) kata abah.

Mobil kami melaju, sepanjang perjalanan abah bercerita mengenai persiapan ruwat desa yang juga menjadi acara pada malam nanti
"ruwat deso iki gunane ben desone aman, gak nok bala', gak nok penyakit, gak nok gagal panen. Ben deso iku rukun, masyarakat e sehat"
(Ruwat desa itu tujuannya supaya desanya aman, terhindar dari musibah, penyakit, sampai gagal panen. Supaya desa rukun dan masyarakatnya sehat)
"Biasane ruwat deso ngoten niku nopo mawon acaranipun bah?" (Biasanya ruwat desa acaranya apa saja mbah?) Tanya mas Toni

"Yo akeh, cuma sing paling penting ya syukuran terus nanggap wayang kulit. Ben danyang e seneng"
(Ya banyak, cuma yang penting ya seperti syukuran dan menggelar pagelaran wayang kulit. Biar danyangnya senang) kata abah

"Danyang niku nopo bah" (Danyang itu apa bah?) Saya ikut menyaut.

"Danyang iku sing nungguk deso, bahurekso deso, sing babat alas deso"
(Danyang itu yang menunggui desa, leluhur desa, yang membuka desa ini).

Saya baru tau kalau ternyata di desa itu terdapat Danyang yang dipercaya orang melindungi dan menjaga desa.

Satu jam kemudian, mobil sudah tiba di pasar daerah
Hiruk pikuk para pembeli seperti antusias, terutama di bagian jual bunga dan wewangian. Abah turun di salah satu kios, kami mengikutinya dari belakang.

Abah menunjuk banyak sekali barang barang yang akan dibeli, sayangnya saya tidak tau nama nama barang tersebut.
Cuma beberapa barang seperti bunga tujuh rupa, dupa, kendi, lonceng, dan kloso (karpet dari anyaman bambu).

Setelah dirasa cukup, abah kemudian membayar dan kami bagian membawa barang barang tersebut masuk kedalam mobil.
Dalam perjalanan kembali menuju desa, mas Toni coba bertanya

"Telas pinten niku wau sedanten bah?" (Habis berapa banyak buat itu semua bah?)

"Yo sek titik, gak jangkep seyuto hahaha" (ya masih sedikit, gak sampai sejuta hahaha) abah tertawa
Aku dan mas Toni saling lihat. Lantas daripada kikuk, akhirnya kami ikut sedikit tertawa agar suasana terlihat cair.

"Mek Titik, soale wayang kulite mek sak gebyaran maeng isuk. Kari persiapan syukuran karo ruwat ngko bengi"
(Cuma sedikit karena wayang kulitnya cuma sebentar tadi pagi. Tinggal persiapan syukuran dan ruwat nanti malam)

Sampai balai desa, barang barang tadi kami turunkan. Bertepatan pula dengan selesainya orang orang melaksanakan sholat maghrib.

"Wes ndang sholato sek, mariku lanjut"
(Sholat maghrib dulu sana, habis itu lanjut lagi) tutur abah.

Kami berdua melaksanakan sholat. Selepas itu kami membantu abah dan orang orang desa untuk menata balai desa yang akan dijadikan sebagai acara tasyakuran.
Berbagai elemen masyarakat datang meramaikan. Orang tua, anak anak, sampai para remaja sibuk membawa berbagai macam makan makanan seperti jajan pasar hingga hasil dari kebun dan sawah warga.

Setelah itu semua duduk memutar, rapi dan khidmat.
Pak lurah berdiri, menyampaikan sambutan dan harapan agar desa ini nantinya menjadi desa yang makmur dan sentosa. Di penghujung, salah satu sesepuh desa memimpin berdoa yang kemudian dilanjutkan dengan makan besar.

"Mariki melu aku, muter deso ya"
(Habis ini, ikut aku keliling desa ya) ucap abah.

"Nggeh bah, tenang mawon" (Iya bah, tenang saja) ucapku dan mas Toni hampir serempak.

Selepas tasyakuran, para warga kembali kerumah masing-masing. Hanya beberapa warga yang masih jagongan.
Dan beberapa lagi menata balai desa yang nantinya akan digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan acara malam satu suro.

Saya dan mas Toni masih menikmati teh hangat dan gorengan yang sudah mulai adem, sampai abah muncul dan mengajak kami untuk berkeliling desa
Berbekal senter, bertiga dengan abah kami kelilingi desa. Saat itu waktu menunjukkan masih pukul setengah 9 malam. Dan lokasi pertama yang dituju ialah makam desa.

Memang, makam sekarang sudah banyak yang dikasih penerangan seperti lampu. Namun tetap saja, auranya selalu berbeda
Abah didepan, saya ditengah dan mas Toni dibelakang.

Oh iya, hampir lupa. Mas Toni ini adalah type orang yang indera ke enamnya sedikit lebih baik dari manusia pada umumnya. Jadi sedikit banyak, mas Toni bisa melihat dunia "mereka".
Nisan nisan itu tampak tenang, walaupun sebagian sudah kotor oleh tanah. Kami menuju tengah makam dimana ada pohon beringin besar tumbuh disitu.

Abah menyuruh kami untuk duduk, beliau berdoa, aku melihat mas Toni. Wajahnya menunduk, lalu aku melihat sekeliling, sepi.
Abah membakar dupa, kemudian kembali berdoa. Mas Toni masih menunduk. Hawa yang sunyi dan bebauan wangi dupa perlahan merubah hawa menjadi dingin. Semilir angin yang lewat menambah mencekam suasana.

Sampai abah menyuruh kami berdiri. Abah memberi hormat. Entah kepada siapa
Kemudian abah berkata bahwa sudah selesai dan kami berjalan meninggalkan makam.

Keluar makam, wajah mas Toni sedikit agak pucat namun sudah lebih tenang. Ia mengatakan bahwa di pohon tadi, ada mahluk menyerupai kera berbadan gempal sedang menatap dari atas. Sorot matanya tajam
Maka dari itu mas Toni lebih memilih menunduk. Abah yang tahu, hanya berkata

"Mahluk iku wes suwe ndek kunu, bahkan sakdurunge beringin iku cukul. De e gak bakal ganggu, ancen omahe ndek kunu" (Mahluk itu sudah lama disitu, jauh sebelum beringin itu tumbuh, dia tidak menggangu-
-memang rumahnya ya disitu).

Walaupun bekerja sebagai penanggung jawab desa, baru kali ini mas Toni melihat penghuni dari makam desa.

Selanjutnya abah menuntun kami ke sungai batas desa. Lokasinya paling jauh, dan berada disekitar barongan (pepohonan bambu)
Kami berjalan menuju dam (pintu air), melewati rindangnya pohon bambu. Decitan suara bambu yang tertiup angin membuatku merinding, lagi lagi mas Toni hanya menunduk, kali ini sambil mencengkram bahuku.

Aku yg ketakutan pun juga menggandeng tangan abah yang ada didepan.
Hingga akhirnya kami sampai di dam. Abah melemparkan beberapa bunga ke sungai setelah itu kami disuruh duduk. Abah membakar dupa, kemudian memulai berdoa.

Tampak air yang semula tenang mendadak menjadi deras beriak bersuara.
Aku melihat mas Toni, ia cuma menyuruh agar aku membaca doa. Aku berdoa, hanya al fatehah saja namun tetap ku ulang ulang.

Sampai abah selesai berdoa dan mengajak kami kembali. Sesampainya di jalan desa, abah bercerita bahwa di dam tadi ada sosok buaya putih
Dulu buaya putih ini merupakan sosok yang diminta pemerintah kolonial untuk membantu kelancaran pembangunan dam agar pondasinya kokoh dan kuat, tentunya dengan imbalan tumbal manusia.

Namun karena dam sudah jadi, maka sosok buaya putih ini hanya menjadi penunggu saja.
"tapi kudu ati ati, soale sosok bajul putih ngunu iku iso dimanfaatno menungso sing niate elek" (Tapi harap tetap hati hati, soalnya sosok buaya putih bisa dimanfaatkan oleh manusia yang punya niat jelek) lanjut abah.
Sementara di pepohonan bambu tadi, mas Toni berkata melihat ada sosok tinggi besar hitam bermata merah atau yang sering disebut sebagai Genderuwo.

Mas Toni ini rupanya walau bisa melihat "mereka" tapi tetap saja takut bila sosok yang dilihatnya berukuran sangat besar
"Mpun mantun ta bah?" (Sudah selesai bah?) Tanyaku

"Sek, kari siji ngkas. Nang watu punden. Maringunu balik nang balai deso" (Tinggal satu lagi. Ke Batu Punden. Habis itu balik ke balai desa)

Kami melanjutkan perjalanan
Agar sedikit mengusir rasa takut, abah menceritakan sejarah desa ini dari waktu ke waktu. Dulu yang nampak hijau asri, sekarang sedikit demi sedikit sudah dibangun pabrik pabrik industri.

"Tapi masio ngunu tradisi gak oleh mati. Soale tradisi iku salah siji jati dirine menungso"
"Tapi meski begitu, tradisi tidak boleh punah. Karena tradisi merupakan salah satu dari jati diri seorang manusia" tutur abah.

Memang apa yang dikatakan abah ada benarnya. Mengingat akhir akhir ini, pemuda-pemudi bangsa kita seperti tidak peduli dengan tradisi nenek moyangnya
Padahal tanpa jasa nenek moyang dan leluhur kita, kita semua tidak daoat merasakan enaknya hidup seperti sekarang ini.

Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, dan kami sudah tiba di watu punden. Punden sendiri memiliki banyak arti, namun umumnya sebagai tempat yang dikeramatkan
Karena punden tersebut merupakan tanda bahwa leluhur pernah melakukan semedi/berdoa di tempat itu.

Watu punden ini bentuknya seperti batu besar biasa, cuma dikasih pagar dari kayu untuk mengelilinginya. Dibawahnya batu terdapat sesajen yang sepertinya masih baru
Kami duduk, seperti biasa abah menyalakan dupa dan berdoa. Aku melihat mas Toni. Kali ini dia tidak menunduk tapi mulutnya seperti berdoa. Aku pun kemudian ikut berdoa.

Disini tak ada hal ganjil seperti dua tempat sebelumnya. Semua lancar hingga abah selesai berdoa
"Wes ayo balik, ndang dimarikno cek gak suwe suwe" (Ayo kembali, semoga cepat selesai biar tidak lama lama) kata abah.

Kami berjalan meninggalkan watu punden, menuju ke balai desa. Dan disinilah nanti puncak kegiatan malam satu suro dilaksanakan.
Jam menunjukkan tengah malam lewat 10 menit. Sampai balai desa, rupanya sudah disiapkan area untuk melaksanakan ritual suro. Para sesepuh desa berkumpul terlebih dahulu.

Melakukan doa bersama kemudian bersama sama duduk menghadap kiblat.
Abah berkata "Fokus, nek wedi dungo ae. Nek ono opo opo ojo mlayu. Meneng ae ambek dungo. Pokok ojo metu sakdurunge acara mari. Nek gak wani mending metu saiki" (Fokus, kalau takut berdoa saja. Kalau ada apa apa jangan lari. Diam dan berdoa. Sebelum acara selesai jangan lari-
Dan memang kalau tidak berani, mending keluar saja sekarang). Aku liat mas Toni. Ia tampak ragu, tapi aku meyakinkan bahwa semua bakal baik baik saja selama kita berdoa.

Akhirnya kami berdua setuju untuk ikut. Selepas itu lonceng dibunyikan, tanda ritual suro telah dimulai.
Para lelaku spiritual tampak khusyuk berdoa. Wangi dupa menusuk hidung. Suasana sangat tenang dan sunyi. Bahkan tidak terasa ada angin yang lewat.

Aku melihat sekeliling, nampak khidmat. Mas Toni pun memejamkan mata sambil berdoa. Sampai sekitar 15 menit kemudian. .
Terdengar suara seperti petasan. Meledak dengan amat keras. Aku membuka mata, nampak tak ada yang bergeming. Semua tetap khusyuk berdoa

Tiba tiba terdengar letusan suara kedua. Aku hampir mau bangkit, namun tanganku digenggam oleh mas Toni. Seakan mengingatkanku agar tetap fokus
Keringat dingin mulai membasahi keningku. Bacaan doa pun semakin tidak karuan. Aku melihat didepan tumpukan sesaji dan dupa, membumbung seperti asap berwarna merah.

Tipis, namun kemudian berbau gosong dan sangit. Aku memejamkan mata, kuharap tidak melihat wujud aneh aneh
Tiba tiba genggaman tangan mas Toni menguat, aku tak berani membuka mata. Sampai aku dengan seperti suara kemerincing lonceng yang di ikatkan di kaki. Seperti yang dimiliki oleh penari jaranan/reog.

Ramai riuh. Aku sedikit mengintip, namun tak ada aktivitas lainnya disini
Aku kembali memejamkan mata, tubuhku sudah mulai basah oleh keringat. Sampai kemudian lampu mendadak mati. Walaupun kututup mata, aku bisa sedikit merasakan kalau lampu telah mati.

Aku mengintip, memang gelap gulita. Hanya terlihat nyala dupa. Aku menutup mata lagi
Kemudian dari arah belakang, terdengar suara halaman balai desa seperti disapu menggunakan sapu ijuk.

Jelas sekali kudengar. Namun aku tak berani menoleh. Dsn genggaman tangan mas Toni semakin erat. Tak bisa kubayangkan sosok apa yang dilihatnya saat itu.
Sampai aku sedikit lelah dan pasrah menerima keadaan ini. Dengan mata tertutup aku berharap acara ini segera selesai.

Lonceng berbunyi kembali, aku belum berani membuka mata. Sampai abah menepuk nepuk tanganku. Kulihat sekitar, semua sudah kembali normal.
Kemudian abah menyuruhku dan mas Toni untuk minum sambil menenangkan diri. Kemudian abah bertanya apa saja yang kami alami. Aku menceritakan apa yang aku dengar dan liat karena jujur aku sendiri tidak melihat ada rupa/sosok

Namun berbeda dengan apa yang diceritakan oleh mas Toni
Ia bercerita bahwa letusan pertama tadi, adalah seperti ada api yang jatuh menuju sesajen. Letusan kedua api tersebut kembali terbang.

Dan saat mati lampu, mas Toni melihat ada sosok nenek nenek berpakaian adat desa hadir di depan para sesepuh desa.
Sedikit bungkuk dan rambut putihnya terurai menutupi wajahnya. Saking ketakutannya, ia menggenggam tanganku tadi.

Abah mengatakan bahwa nenek tersebut adalah salah satu danyang di desa ini.

"Sek uti, kakung e durung metu. Berarti deso sek aman"
(Masih nenek, kakeknya belum muncul. Berarti keadaan desa masih aman). Abah berkata bahwa penunggu desa ini adalah sepasang kakek-nenek.

Bila salah satu diantaranya menampakkan diri, desa diperkirakan masih dalam kondisi aman.
Namun bila kedua sosok ini muncul, biasanya menjadi pertanda bahwa akan ada hal buruk akan terjadi.

Abah berkata bahwa masing masing desa mempunyai sosok Danyang yang berbeda beda. Di desa sebelah abah pernah melihat penampakan harimau putih saat diundang memimpin tasyakuran.
"kabeh balik maneh nang awak e dewe. Abah mek ngormati tradisie mbah mbah buyut." (Semua kembali ke kepercayaan sendiri sendiri, Abah cuma menghormati tradisi mbah buyut)

Kulihat jam, sudah pukul 2 dinihari. Abah mengajak kami untuk tidur dirumahnya.
Beliau mengajak tidur dirumahnya agar kami tidak sawanen (ketakutan). Dan kami pun menyetujui ajakan abah.

Sampai esok hari setelah sarapan saya pamit pulang. Karena memang hari libur juga. Kami mengucapkan terimakasih kepada abah.

"Ojo kapok yo le, hahaha"
(jangan kapok ya nak, hahaha) guyon abah. Mas Toni yang wajahnya masih mecucu karena guyonan abah cuma manggut manggut saja.

Setelah mengantar mas Toni akupun pulang menuju rumah.
Tradisi malam satu suro memang dilaksanakan berbeda beda oleh setiap manusia. Tergantung dari niat dan kebutuhan manusia itu sendiri.

Namun tradisi ini hanya salah satu dari sekian ribu tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia
Dan kita sebagai manusia, wajib untuk menghormati tradisi tradisi tersebut.

Karena bagaimanapun mereka beribadah sesuai dengan cara dan keyakinan mereka masing masing. Kita sebagai manusia tidak berhak untuk melarang atau bahkan menuduh salah cara orang lain beribadah.
Saya kunamus, terimakasih sudah membaca.

Selamat malam.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Kunamus~

Kunamus~ Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @nizaramadhan08

19 Jul
Kita mulai dari sini Image
Disclaimer !!!
Semua nama orang, tempat, dan waktu kejadian saya samarkan guna untuk menjaga privasi. Bagi yang sudah mengetahui nama lokasi sesungguhnya, saya harap cukup disimpan sendiri saja.
Kejadian ini saya ceritakan berdasarkan sudut pandang dari saksi mata yang mana beliau juga teman baik saya semasa di kampus dulu

Maka untuk menghormati beliau, mari saling menjaga privasi di tweet ini
Read 191 tweets
18 Jul
Desa gondho mayit. Koyok pernah tau moco, ndek ndi yo tapi 🤔
Tapi antara percaya sama ndak sih, keberadaan tempat tempat seperti itu memang nyata adanya. Hanya saja kadang banyak orang tidak berani bertutur kata lebih karena memang ada harus ucapan yg dijaga. Seperti tata krama, misal
Begitupun di daerah kabupaten M*******, ada salah satu desa yang konon dipercaya sebagai tempat untuk melakukan hal diluar nalar guna untuk memuaskan hawa nafsu seseorang.

Sebenere pengen bikin thread, cuma situasi sedang gak kondusif si. Mungkin beberapa hari lagi bakal mulai
Read 4 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(