Lintas Ziarah dan Bertawassul di KH. Nur Muhammad Magelang
Sekilas Sejarah
KH. Nur Muhammad Ngadiwongso dulu adalah Ulama sakti yang menjadi guru Pangeran Diponegoro sekaligus patih di Magelang.
KH. Nur Muhammad juga terkenal penyebar agama islam di wilayah Salaman, Kabupaten Magelang. Makamnya banyakdikunjungi peziarah dari luar daerah hingga luar Jawa.
Karomahnya
1. Pertemuan KH. Nur Muhammad dan Mbah Dalhar saat Berhaji
Kiai Ahmad Dalhar, Watucongol, Muntilan, Magelang suatu saat melakukan rangkaian ibadah haji. Ia bertemu dengan seorang lelaki yang sebelumnya belum pernah bertemu sama sekali.
Di antara percakapan keduanya sebagai berikut:
“Nama anda siapa?” tanya Mbah Dalhar
“Nur Muhammad”
“Asli mana?”
“Magelang”
“Lho, lha saya ini juga asli Magelang. Anda mana?”
“Salaman”
“Salamannya mana?”
“Ngadiwongso”
Ngadiwongso adalah salah satu desa di Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Dengan kata lain, Kiai Dalhar dan Kiai Nur Muhammad satu kabupaten, tapi beda kecamatan.
Setelah berbicara panjang lebar, Kiai Nur Muhammad berpesan kepada Mbah Dalhar
“Besok, kalau pulang, bila ada waktu silahkan mampir, pinarak ke rumah saya ya!”
Waktu bergulir hingga cukup lama, Mbah Dalhar tidak segera berkunjung.
Begitu pula sebaliknya, Kiai Nur Muhammad juga belum pernah mendatangi rumah Mbah Dalhar sejak kali pertama bertemu saat musim haji kala itu
2. Orang meninggal Menjamu Orang Hidup
Suatu saat, Mbah Dalhar mendapat undangan sebuah acara pada satu tempat, pada era di mana belum banyak masyarakat yang mempunyai kendaraan mewah seperti sekarang ini.
Waktu itu Mbah Dalhar diantar oleh H Bukhari, hartawan asal Desa Tirto, Grabag, Magelang.
Selepas pulang dari acara, mobil yang ditumpangi Mbah Dalhar tiba-tiba mogok di tengah jalan. Antara Mbah Dalhar dan H Bukhari tidak tahu di desa mana tepatnya mereka berhenti sekarang ini.
Keduanya hanya paham kalau mobil mereka sedang mogok di wilayah Kecamatan Salaman. Keduanya mencoba bertanya kepada warga sekitar.
“Maaf, Tuan, kalau boleh tahu, numpang nanya nih. Ini desa apa ya?”
“Oh, ini desa Ngadiwongso, Ndoro,” begitu jawab penduduk setempat.
“Lho, kebetulan sekali. Kalau begitu kita mampir saja ke rumah KH Nur Muhammad. Dia itu kawan baik saat aku haji dulu, katanya ia bertempat tinggal di desa Ngadiwongso,” kata Mbah Dalhar kepada H Bukhari sembari mengingat, menerawang beragam kenangan indah bersamanya.
Mbah Dalhar kembali mencoba bertanya kembali pada warga yang barusan ditanya itu, “Apakah Tuan tahu alamat KH Nur Muhammad?”
“Oh, iya, di sebelah sana, Ndoro,” jawabnya sembari memberikan arah yang jelas, alamat tidak terlampau jauh dari lokasi.
Bersama H Bukhari, Mbah Dalhar menuju dan kemudian sampai di rumah tujuan, kediaman Kiai Nur Muhammad. Rumahnya persis di samping rumpun bambu nan asri. Dan di sana, layaknya tamu terhormat, keduanya dijamu istimewa.
Saking istimewanya, jamuan makanan dan minuman yang disajikan oleh Kiai Nur Muhammad ini membuat H Bukhari tidak akan pernah lupa semasa hidupnya di dunia.
Bagaimana tidak? Setelah menyantap menu sajian Kiai Nur Muhammad, H Bukhari mengaku tak pernah merasa lapar dan dahaga sama sekali. Selain itu, ia menjadi tak punya ketertarikan dengan ragam makanan apapun setelah menikmati hidangan Kiai Nur.
Baginya, selama hidup, kelezatan makanan apapun tidak ada yang sebanding dengan milik Kiai Nur Muhammad.
Sekitar sepuluh hari berselang, H Bukhari yang disebut masyarakat sekitar sebagai hartawan kaya raya mendapat undangan pada sebuah acara keluarganya di suatu daerah.
Sampai saat itu pula, ia masih merasakan kenyang atas makanan sepuluh hari silam. Ia juga masih tak punya selera makan. Namun, ia kalah ketika tuan rumah sedikit menegurnya karena kurang melegakan hati penyedia makanan.
“Iya ya, kalau anda itu memang orang kaya, pasti tidak berkenan makanan orang miskin seperti kami ini,” kata tuan rumah, memelas.
Merasa tidak enak hati, sekaligus iba, H Bukhari memaksa diri untuk menyantap sajian.
Nahas, kenikmatan kenyang yang tidak kunjung hilang sejak sepuluh hari lalu itu lenyap, menghilang seketika. Ia kembali merasa lapar dan merasakan sebagaimana sebelum memakan pemberian Kiai Nur Muhammad.
H Bukhari pun kaget dan bertanya-tanya, “ada apa ini sebenarnya?”.
Setelah ia telisik mendalam, ia kemudian mendapati jawabnya. Ternyata Kiai Nur Muhammad sudah wafat beberapa waktu lalu.
Sedangkan jenazahnya dimakamkan di pemakaman yang di sampingnya ada rumpun bambu persis dengan ciri-ciri sekitar perumahan di mana ia mendapat jamuan makan bersama Kiai Dalhar.
Ia menarik kesimpulan, bahwa ia sedang menerima jamuan dari orang yang sudah meninggal.
Dan kisah ini menunjukkan tentang kebenaran sebuah ayat yang menyatakan, orang yang meninggal di jalan Allah itu tidaklah mati. Mereka hanya pernah merasakan mati sekali saja. Setelah itu mereka hidup kembali dan diberi rezeki oleh Allah SWT
Jangan engkau menyangka orang yang meninggal di jalan Allah itu mati, melainkan mereka hidup dihadapan Allah dan diberi rizqi. (Q.S: Ali Imron: 169)
Kisah ini disarikan dari mauidzah hasanah KH Thoifur Mawardi pada acara Haul Masyayikh dan Khotmil Qur’an Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Surakarta, Jawa Tengah.
Gus Baha : "Jangan terlalu membesar-besarkan hal yang berpotensi membuat orang biasa jadi susah menjalankan syariat Islam".
“Hindarilah omongan seperti misalnya saat bulan ramadhan: "Rugi, ramadhan hanya setahun sekali kok gak sholat tarawih di masjid berjama'ah."
Itu namanya tak menghargai perasaan orang.
“Di luar sana itu, ada satpam, penjaga toko, tukang ojek, tukang parkir, dan banyak pekerja di malam hari yang mungkin menangis di dalam hati. Mereka juga ingin tarawih, tapi apa daya mereka sedang bekerja.”
“Tarawih itu sunah. Sementara mencari nafkah itu wajib. Menghindari diri dari kemiskinan secara ekonomi supaya tidak menjadi beban orang lain, itu hal yang paling utama".
Bertemu dengan guru saat hati galau gundah gulana itu sungguh menentramkan. Banyak pertanyaan2 di hatiku, kenapa begini kenapa begitu, kenapa hidupku gini amat?kenapa orang itu gitu amat sama aku?kenapa di hidupku harus ketemu orang ini?bla bla bla.
Dan tanpa aku curhat, sambat beliau ini seperti tau isi pikiran dan hatiku. Lalu beliau bercerita panjang lebar, memberikan petuah2nya.
" Kita itu mesti belajar ridho, nggak usah bahas ikhlas itu ketinggian. Ridlo dulu...ridlo menerima hidup kita, ridlo menerima orang2 yg ada di sekitar kita, ridlo menerima situasi yg sedang dihadapi, belajar ridlo menerima semua yg menjadi bagian dari hidup kita?"
Kyai Idris Kamali, Menantu Kyai Hasyim yang Jika Namanya Disebut, Jin Lari Tunggang Langgang.
(Ditulis oleh Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, dikutip dari buku “Tokoh Besar di Balik Layar, Biografi Almarhum KH. Idris Kamali”).
KH. Idris Kamali adalah sepupu ibu saya, Afifah binti Harun bin Abdul Jalil. Kalau KH. Idris bin Kamali bin Abdul Jalil. Kiai Abdul Jalil berasal dari Ndoro, Pekalongan. Pergi ke Kedondong Cirebon, mendirikan pondok di Kedondong. Kini pondok tersebut sudah tidak ada.
Punya anak namanya Kiai Kamali dan Kiai Harun.
Kiai Kamali berangkat ke Mekkah, mukim di sana. Semua anaknya pun lahir di sana. Setelah pulang, Kiai Idris mesantren (menjadi santri) di Tebuireng Jombang, dan diambil menantu oleh Hadratus Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari.
Di tanah Jawa ini, yang paling ditakuti oleh penjajah Belanda adalah santri ngaji dan ahli tarekat.
Ada seorang santri yang juga penganut tarekat bernama Abdul Hamid. Ia lahir di dusun Tegalrejo, Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta.
Pertama kali ia ngaji kepada Kyai Hasan Besari Tegalsari, Jetis Ponorogo. Ia ngaji kitab kepada Kyai Taftazani, Kartosuro. Ia ngaji Tafsir Jalalain kepada Kyai Baidlowi Bagelen, yang dikuburkan di Glodegan, Bantul, Yogyakarta.
Terakhir ia ngaji ilmu hikmah kepada Kyai Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang.
Seperti diketahui bahwa di daerah eks Karisidenan Kedu (Temanggung, Magelang, Wonosobo, Purworejo, Kebumen) ada dua kyai yang masyhur, yaitu Kyai Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang
Wong iku iso ketularan karek sepiro senenge. Mbah Kung (KH. Maimoen Zubair), riyen nate ziarah dateng makame Imam Syadzily, bareng ziarah Mbah Kung ketularan, amergi olehe ziarah tenanan, ziarah iku (jusuman wa arwahan) yo awake yo atine.
(Seseorang itu bisa ketularan (Wali Allah) dilihat seberapa besar rasa cintanya. Mbah Maimoen, dahulu pernah ziarah ke makam Imam Syadzili, dan saat itu juga Mbah Maimoen ketularan (keshalehan Imam Syadzili), karena saat berziarah begitu khusyuk, ziarah lahir dan batin.)
Imam Syadzily, niku Imam ingkang Kramat, ben tahun berangkat Haji, Imam Syadzily nate dungo nyuwun marang Gusti Allah, supados di paringi sedo nek tanah sek gak tau di gawe maksiat, Imam Syadzily sedo wekdal berangkat ibadah Haji, teng daerah asmane Humaisiroh.