"Ngger iki Jagad taline wis pedot.
Iki wayah kucing do kerah. Rerebutan balung.
Yen pengen Selamet. Mulo sing akeh te'e ndungo, ben tentrem Dunyone.
Syarate GULO KLOPO JANUR KUNING."
___
Maknane kurang lebih:
Wong sak niki, tepo slero wis ora ono.
Konco (sejati) wis logko.
Konco iku ngancani dewe nak nembe apes.
Jaman sak niki, sambung rakete ati meh ora ono.
Saiki konco sesuk musuhan.
Saiki musuhan sesuk kancanan.
Gulo klopo niku.
Nduwe urat sing manis. Lego karo sopo wae. Rak usah mikir pie wong iku, sing penting niti awak'e dewe jejeg teteg nggondeli Allah Ta'ala.
Janur kuning niku.
Ojo gampang muring-muring.
Ati sing memes koyo Janur. Ojo kaku koyo watu senajan nompo perkoro sing ora enak ning Ati.
Lintas Ziarah dan Bertawassul di KH. Nur Muhammad Magelang
Sekilas Sejarah
KH. Nur Muhammad Ngadiwongso dulu adalah Ulama sakti yang menjadi guru Pangeran Diponegoro sekaligus patih di Magelang.
KH. Nur Muhammad juga terkenal penyebar agama islam di wilayah Salaman, Kabupaten Magelang. Makamnya banyakdikunjungi peziarah dari luar daerah hingga luar Jawa.
Karomahnya
1. Pertemuan KH. Nur Muhammad dan Mbah Dalhar saat Berhaji
Kiai Ahmad Dalhar, Watucongol, Muntilan, Magelang suatu saat melakukan rangkaian ibadah haji. Ia bertemu dengan seorang lelaki yang sebelumnya belum pernah bertemu sama sekali.
Gus Baha : "Jangan terlalu membesar-besarkan hal yang berpotensi membuat orang biasa jadi susah menjalankan syariat Islam".
“Hindarilah omongan seperti misalnya saat bulan ramadhan: "Rugi, ramadhan hanya setahun sekali kok gak sholat tarawih di masjid berjama'ah."
Itu namanya tak menghargai perasaan orang.
“Di luar sana itu, ada satpam, penjaga toko, tukang ojek, tukang parkir, dan banyak pekerja di malam hari yang mungkin menangis di dalam hati. Mereka juga ingin tarawih, tapi apa daya mereka sedang bekerja.”
“Tarawih itu sunah. Sementara mencari nafkah itu wajib. Menghindari diri dari kemiskinan secara ekonomi supaya tidak menjadi beban orang lain, itu hal yang paling utama".
Bertemu dengan guru saat hati galau gundah gulana itu sungguh menentramkan. Banyak pertanyaan2 di hatiku, kenapa begini kenapa begitu, kenapa hidupku gini amat?kenapa orang itu gitu amat sama aku?kenapa di hidupku harus ketemu orang ini?bla bla bla.
Dan tanpa aku curhat, sambat beliau ini seperti tau isi pikiran dan hatiku. Lalu beliau bercerita panjang lebar, memberikan petuah2nya.
" Kita itu mesti belajar ridho, nggak usah bahas ikhlas itu ketinggian. Ridlo dulu...ridlo menerima hidup kita, ridlo menerima orang2 yg ada di sekitar kita, ridlo menerima situasi yg sedang dihadapi, belajar ridlo menerima semua yg menjadi bagian dari hidup kita?"
Kyai Idris Kamali, Menantu Kyai Hasyim yang Jika Namanya Disebut, Jin Lari Tunggang Langgang.
(Ditulis oleh Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, dikutip dari buku “Tokoh Besar di Balik Layar, Biografi Almarhum KH. Idris Kamali”).
KH. Idris Kamali adalah sepupu ibu saya, Afifah binti Harun bin Abdul Jalil. Kalau KH. Idris bin Kamali bin Abdul Jalil. Kiai Abdul Jalil berasal dari Ndoro, Pekalongan. Pergi ke Kedondong Cirebon, mendirikan pondok di Kedondong. Kini pondok tersebut sudah tidak ada.
Punya anak namanya Kiai Kamali dan Kiai Harun.
Kiai Kamali berangkat ke Mekkah, mukim di sana. Semua anaknya pun lahir di sana. Setelah pulang, Kiai Idris mesantren (menjadi santri) di Tebuireng Jombang, dan diambil menantu oleh Hadratus Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari.
Di tanah Jawa ini, yang paling ditakuti oleh penjajah Belanda adalah santri ngaji dan ahli tarekat.
Ada seorang santri yang juga penganut tarekat bernama Abdul Hamid. Ia lahir di dusun Tegalrejo, Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta.
Pertama kali ia ngaji kepada Kyai Hasan Besari Tegalsari, Jetis Ponorogo. Ia ngaji kitab kepada Kyai Taftazani, Kartosuro. Ia ngaji Tafsir Jalalain kepada Kyai Baidlowi Bagelen, yang dikuburkan di Glodegan, Bantul, Yogyakarta.
Terakhir ia ngaji ilmu hikmah kepada Kyai Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang.
Seperti diketahui bahwa di daerah eks Karisidenan Kedu (Temanggung, Magelang, Wonosobo, Purworejo, Kebumen) ada dua kyai yang masyhur, yaitu Kyai Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang