Perempuan dan kelompok minoritas gender dan LGBTQ+ merupakan korban utang paling langsung. Utang sebagai bagian integral dari proses kapitalisme neoliberal semakin menyerang kehidupan sehari-hari; bahkan memilih untuk tetap hidup itu sendiri ‘menghasilkan’ utang. #LeftBookReview
Mekanisme utang sebagai respons khas neoliberal terhadap permasalahan ekonomi menyebabkan peran perempuan, transpuan, dan kelompok marijnal lainnya dalam penanggungan beban reproduksi sosial. Tenaga kerja mereka, walaupun esensial, sering terdevaluasi.
Utang menciptakan sistem ketaatan atau kepatuhan, baik di tingkat negara maupun rumah tangga. Tuntuan pembayaran utang seringkali membuat perempuan dan kelompok marjinal terperangkap di dalam bentuk hubungan yang abusive dan berbasis kekerasan heteropatriarkis.
Utang memaksakan solusi cepat untuk masalah yang diakibatkan upah kerja yang tak layak. Di sisi lain, kepercayaan terhadap subsidi dan pelayanan publik memudar. Kriteria ‘miskin’ yang diberikan negara sebagai syarat menikmati subsidi masih berlandaskan hierarki berbasis gender.
Secara sepintas utang terkesan meringankan kemiskinan—setidaknya dalam tingkat individu atau rumah tangga—tapi sebetulnya ia adalah sarana eksploitatif yang mengikat. Mikrokredit yang terkesan modern dan emansipatoris pada dasarnya menciptakan ruang eksploitasi baru.
A Feminist Reading of Debt (2021) membantu kita memahami dimensi yang luput dalam percakapan mengenai utang: dari reproduksi sosial, kaitannya dengan sistem finansial dan pembangunan, serta hubungannya dengan patriarki dan fasisme. #LeftBookReview
Banyak kemalangan, dari sosial hingga ekonomi, hari ini bermula dari dua buku yang dicuri dari rak sejarahmu. Pencurian dilakukan bukan cuma buat menghapus bukti kekejian, tapi juga memaksakan identitas dan kenyataan baru buatmu. Berikut ini beberapa halaman dari buku itu.
Pembantaian massal 1965–1966 lebih banyak menyisakan pertanyaan daripada jawaban. Orde Baru memang menutup semua celah, tapi hingga hari ini tantangan penelitian tak hanya datang dari negara, tapi juga dari masyarakat yang dilanda antikomunis akut.
Di balik megahnya narasi pariwisata budaya, Bali memendam kekelaman. Dalam pembantaian 1965–1966, hingga 100.000 orang Bali dibunuh dengan kejam—bahkan oleh tetangga dan keluarga sendiri—atas nama karma dan purifikasi tanah Bali.
Media sosial belakangan penuh sesak dengan permohonan bantuan: kebutuhan ICU, tabung oksigen, kondisi IGD, hingga kematian saat isoman. Kabar duka bergulir dengan cepat, dan terjadi kepada orang-orang terdekat. Kenapa, sebenarnya, kita bisa ada di titik ini?
Di atas kertas, sebetulnya Indonesia berpeluang melewati pandemi—atau minimal tidak ada dalam situasi seburuk ini. Beberapa prasyarat dan fasilitas sudah cukup menunjang. Namun, faktor kebijakan justru membuat peluang ini jadi sia-sia.
Semua potensi itu tidak bisa dimaksimalkan, dan saat keadaan memburuk di gelombang kedua, peluang untuk menyelamatkan banyak nyawa manusia terkikis. Kita semua tahu mengapa: sejak awal pandemi, pemerintah mengabaikan sains.
Terima kasih telah hadir selama masa pandemi. Meski hanya dalam rangkaian kata bijak, pemerintah telah berhasil membawa kita hingga hari ini. Kalimat-kalimat dari pemerintah begitu dalam, multidimensional, dan menghangatkan sanubari.
Berikut kami tweetkan
Pernyataan Sikap Bersama Lintas Iman
Lawan Oligarki dan Pertahankan Demokrasi!
Demokrasi Indonesia berada dalam periode yang kritis. Dalam kurun waktu yang singkat, pemerintah mengeluarkan sejumlah aturan dan kebijakan yang oligarkis, represif, dan anti-demokrasi.
Dengan memanfaatkan masa waktu akhir jabatan untuk mengesahkan produk-produk legislasi yang menindas rakyat dan mendukung kepentingan oligarki, para elit politik ini membajak demokrasi untuk kepentingan mereka dengan menggunakan legislasi dan represi.