Banyak kemalangan, dari sosial hingga ekonomi, hari ini bermula dari dua buku yang dicuri dari rak sejarahmu. Pencurian dilakukan bukan cuma buat menghapus bukti kekejian, tapi juga memaksakan identitas dan kenyataan baru buatmu. Berikut ini beberapa halaman dari buku itu.
Pembantaian massal 1965–1966 lebih banyak menyisakan pertanyaan daripada jawaban. Orde Baru memang menutup semua celah, tapi hingga hari ini tantangan penelitian tak hanya datang dari negara, tapi juga dari masyarakat yang dilanda antikomunis akut.
Di balik megahnya narasi pariwisata budaya, Bali memendam kekelaman. Dalam pembantaian 1965–1966, hingga 100.000 orang Bali dibunuh dengan kejam—bahkan oleh tetangga dan keluarga sendiri—atas nama karma dan purifikasi tanah Bali.
Pembunuhan massal anggota dan simpatisan PKI adalah titik balik dalam sejarah Indonesia kontemporer. Sejak itu, liberalisme berkembang mengikuti konsolidasi pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto.
Salah satu hal tragis dari pembasmian PKI adalah dihancurkannya Lekra. Visi Lekra membuka potensi budaya kritik yang sehat untuk menyusun bentuk seni dan kebebasan. Lekra hendak mengembalikan kebudayaan ke tangan pencipta kebudayaan, yakni rakyat sendiri.
Gerakan komunis antikolonial Indonesia menciptakan budaya perlawanan yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari rakyat kelas bawah. Perjuangan ini berhasil memobilisasi gerakan populer, mengikutsertakan masyarakat dari beragam suku, agama, dan gender.
Konsep “turun ke bawah” adalah inovasi khas Indonesia yang dimulai sebagai metode kerja seniman Lekra hingga diterima Politbiro PKI. Ironisnya, konsep ini sedemikian ampuh hingga diselewengkan Orba dan di masa ini diagungkan politisi saat menjaring suara.
PKI bukanlah identitas dan entitas tunggal. Setiap periode kepemimpinan menentukan PKI yang berbeda. Pemetaan perihal anomali kepemimpinan PKI dari masa ke masa dapat menyibak mitos-mitos yang tercipta atau sengaja diciptakan dalam sejarah Indonesia.
Umar Said rajin menulis tentang Indonesia sekalipun berada di tempat jauh. Ia pernah menulis: simpatisan Orba dan Suharto juga terdapat di partai-partai lain. Kalimat itu terbukti, semua partai 'menjadi Golkar' sekalipun diisi orang-orang anti Orba.
Akrab dengan nyinyiran itu? Di luar arus utama, topik '65 tak bertendensi romantik. Ia masalah serius. Perlu ruang yang bebas dari ancaman untuk mengkajinya. Progres cuma bisa lahir dari dinamika kritik sebagai pijakan buat move on. indoprogress.com/2010/10/traged…
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Perempuan dan kelompok minoritas gender dan LGBTQ+ merupakan korban utang paling langsung. Utang sebagai bagian integral dari proses kapitalisme neoliberal semakin menyerang kehidupan sehari-hari; bahkan memilih untuk tetap hidup itu sendiri ‘menghasilkan’ utang. #LeftBookReview
Mekanisme utang sebagai respons khas neoliberal terhadap permasalahan ekonomi menyebabkan peran perempuan, transpuan, dan kelompok marijnal lainnya dalam penanggungan beban reproduksi sosial. Tenaga kerja mereka, walaupun esensial, sering terdevaluasi.
Utang menciptakan sistem ketaatan atau kepatuhan, baik di tingkat negara maupun rumah tangga. Tuntuan pembayaran utang seringkali membuat perempuan dan kelompok marjinal terperangkap di dalam bentuk hubungan yang abusive dan berbasis kekerasan heteropatriarkis.
Media sosial belakangan penuh sesak dengan permohonan bantuan: kebutuhan ICU, tabung oksigen, kondisi IGD, hingga kematian saat isoman. Kabar duka bergulir dengan cepat, dan terjadi kepada orang-orang terdekat. Kenapa, sebenarnya, kita bisa ada di titik ini?
Di atas kertas, sebetulnya Indonesia berpeluang melewati pandemi—atau minimal tidak ada dalam situasi seburuk ini. Beberapa prasyarat dan fasilitas sudah cukup menunjang. Namun, faktor kebijakan justru membuat peluang ini jadi sia-sia.
Semua potensi itu tidak bisa dimaksimalkan, dan saat keadaan memburuk di gelombang kedua, peluang untuk menyelamatkan banyak nyawa manusia terkikis. Kita semua tahu mengapa: sejak awal pandemi, pemerintah mengabaikan sains.
Terima kasih telah hadir selama masa pandemi. Meski hanya dalam rangkaian kata bijak, pemerintah telah berhasil membawa kita hingga hari ini. Kalimat-kalimat dari pemerintah begitu dalam, multidimensional, dan menghangatkan sanubari.
Berikut kami tweetkan
Pernyataan Sikap Bersama Lintas Iman
Lawan Oligarki dan Pertahankan Demokrasi!
Demokrasi Indonesia berada dalam periode yang kritis. Dalam kurun waktu yang singkat, pemerintah mengeluarkan sejumlah aturan dan kebijakan yang oligarkis, represif, dan anti-demokrasi.
Dengan memanfaatkan masa waktu akhir jabatan untuk mengesahkan produk-produk legislasi yang menindas rakyat dan mendukung kepentingan oligarki, para elit politik ini membajak demokrasi untuk kepentingan mereka dengan menggunakan legislasi dan represi.