(1) Awalnya SARS CoV 2, dianggap low pathogenic karena sel-sel tempatnya berikatan ada di saluran nafas bagian atas. Beda dengan SARS CoV 1 dan MERS yang di paru-paru, sehingga begitu terinfeksi, langsung bergejala dan cendreung berat kondisinya.
(2) Karena perbedaan tersebut, pada Covid-19 dapat terjadi tanpa gejala, atau ringan saja. Tapi ternyata, SARS CoV juga bisa menyebar sampai ke paru-paru dan bagian tubuh lain. Maka gejalanya juga bisa menjadi berat bahkan kritis dan fatal.
(3) Maka kemudian kita peroleh data, CFR Covid di bawah SARS CoV 1 dan MERS. Tapi daya tularnya jauh berlipat ganda. Akibatnya jumlah kasusnya sangat tinggi, jumlah kematian juga tinggi. Dampaknya besar bagi kesehatan, juga sosial ekonomi.
(2) Karena perbedaan tersebut, pada Covid-19 dapat terjadi tanpa gejala, atau ringan saja. Tapi ternyata, SARS CoV 2 juga bisa menyebar sampai ke paru-paru dan bagian tubuh lain. Maka gejalanya juga bisa menjadi berat bahkan kritis dan fatal.
(1) Metode PCR sudah lama dikenal, bukan baru ada setelah adanya covid. Digunakan di banyak tujuan pemeriksaan: genetik, diagnostik, pengembangan obat, sampai survei epidemiologi.
Basisnya sama "PCR", penggunaannya sesuai target yang hendak diperiksa.
(2) Waktu flu burung pun kita gunakan PCR. Basis metodenya sama. Bedanya di targetnya: waktu itu virus avian influensa, sekarang SARS CoV2. Waktu SARS CoV 1 dan MERS pun sama: pakai PCR juga.
Di luar itu, untuk penanganan kasus infeksi lain seperti monitoring hepatitis...
(3) .. monitoring hepatitis B dan C, dilakukan juga metode PCR.
Kan hanya mendeteksi bagian virus? Tidak bisa membedakan virus hidup atau mati?
Benar, begitu juga waktu flu burung, SARS CoV 1. MERS dan Hepatitis. Hasilnya kita terima, tidak kita permasalahkan.
(1) Pernah dengar pengambilan sampel yang disebut Pap's Smear? Tentu ini khusus bagi Istri, anak, Ibu atau saudara perempuan kita.
Bersediakah bila misalnya dalam sehari atau dalam waktu dekat, dilakukan Pap's Smear sampai 5 kali?
Bagi pasien tentu sangat tidak nyaman.....
(2) Bagi pasien tidak nyaman, bagi kualitas sampel pun tidak optimal, karena setelah pengambilan sampel pertama, perlu waktu untuk memulihkan kondisi mukosa tempat pengambilan sampe.
Begitu juga sebenarnya pada Swab untuk Tes Covid. Maka tidak tepat bila melakukannya....
(3) Maka tidak tepat bila melakukannya sampai sekian kali secara berturut-turut bahkan pada 1 hari. Anjuran jarak waktu yang optimal adalah minimal 24 jam dari swab sebelumnya.
Kalau tidak optimal, maka risikonya pemeriksaan mudah terjadi negatif palsu. Maka diberi jarak ....
Karena paling jauh waktu itu adalah penularan dari hewan ke manusia, itupun dengan jumlah kasus sedikit. BELUM ada bukti penularan dari manusia ke manusia. Maka...
(2) Maka beda dengan covid justru penularan antar manusia.
Waktu flu burung, flu babi, fokusnya: menjauhkan manusia dari hewan, "menghilangkan" hewan yang terinfeksi agar virusnya tidak menyebar, memberikan vaksinasi bagi hewan agar tidak terinfeksi, membersihkan kandangnya ...
(3).. kandangnya untuk mencegah penyebaran, mencegah sementara lalu lintas hewan antar daerah berkasus tinggi dengan daerah sekitarnya.
Itu yang kita lakukan sekarang terhadap covid, melalui protokol kesehatan dan vaksinasi. Tentu saja, tidak bisa kita perlakukan manusia ....
(1) Case Fatality Rate (CFR) itu berbeda dengan Infection Fatality Rate (IFR). Untuk CFR selama pandemi, berbasis jumlah kematian dan kesembuhan dari kasus konfirmasi. CFR final baru nanti selesai pandemi.
IFR membutuhkan data total semua orang yang terinfeksi. Sumbernya...
(2) Sumbernya dari tes massal di masing-masing wilayah atau negara. Atau estimasi secara statistik berbasis survei epidemiologi (dengan mengingat kinetika terdeteksinya antibodi). Atau ada yang estimasi dari jumlah kasus dan angka reproduksinya, diekstrapolasikan masyarakat luas.
Banyak pertanyaan hasil tes antibodi paska vaksinasi. Saya selalu jawab "Alhamdulillah, sudah cukup, yang penting sudah ada". Belum ada kesepakatan berapa yang cukup. Bahkan seandainya "rendah sekali" pun, tetap bersyukur sudah ada sel memorinya.
"Kok beda-beda satuannya?"
Karena beda metode pengukuran walau targetnya sama, satuannya bervariasi. WHO menetapkan standar, satuannya BAU/mL. Muncul angka konversi setiap metode. Maka hitung dulu konversinya, menjadi BAU/mL, baru dibandingkan.
"Sebenarnya butuhnya berapa sih?"
Belum ada kesepakatan. Yang ada baru laporan awal. Untuk mencegah gejala ringan pada angka 18 BAU/mL. Pada penelitian tersebut, dirinci lagi per jenis gejala, tapi kisarannya memang pada angka 18 BAU/mL tersebut.
Perhitungan saya, berbasis data harian BNPB 22-28/9/2021:
Angka positivitas (PR) Jakarta 0,89% Luar Jakarta 11,52% (keterangan rinci di gambar).
Usul, 80 rb PCR/hari dari 851 lab selama 3 pekan, diikuti tracing-treatment, Angka Positivitas akan benar-benar terkendali.
Aminn.
Tes antigen positif, 99,99% PCR nya positif. Kalau beda, masalahnya di alat atau caranya. Bila tes antigen negatif, cukup besar kemungkinan PCR nya positif. Terutama bila kontak erat atau gejala khas.
Bila tes antigen positif, segera ditindaklanjuti, tidak perlu menunggu hasil PCR. Sebaliknya bila tes antigen negatif, baru ditindaklanjuti dengan tes PCR sebelum memutuskan simpulan akhir. Hal ini termuat eksplisit dalam Kepmenkes 3602/2021.