THE GREAT RESIGNATION – What Drives Them to Quit Their Job?
Disaat kita takut resign karna situasi pandemic yg belum terkendali, di US justru orang-orang pada resign dari kerjaannya.
Fenomena ini oleh ekonom sana disebut The Great Resignation.
Let’s spill the tea. 🍵
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Thanks buat @HRDBacot yg pertamakali angkat isu ini ke timelineku.
Sebelum masuk bahasan, aku mau survey kayak biasanya. Apa penyebab utama kalian memutuskan resign?
Istilah “The Great Resignation” pertamakali diperkenalkan oleh Anthony C. Klotz, professor di Texas A&M University.
Dia memprediksi kalo fleksibilitas WFH selama pandemic akan membuat orang jadi punya prioritas lain.
Gak mau burnout lagi dan pengen work-life nya seimbang.
Berbeda dengan early taun 2020 dimana angka unemployment tinggi karna faktor layoff atau PHK, tren belakangan ini menunjukkan ada peningkatan orang yg resign dengan sukarela.
Agustus lalu tercatat 4,3 juta orang resign dari pekerjaannya menurut data biro ketenagakerjaan di US.
Ndak heran kalo kemudian angka lowongan pekerjaan atau job opening jg menanjak seiring makin banyak orang yg resign.
Ini fenomena menarik yg justru kondisinya agak terbalik dengan kita. Disini, kita cenderung takut buat resign karna lowongan kerjanya juga sangat terbatas.
Ada beberapa faktor yg menyebabkan banyak pekerja rame-rame memutuskan resign, diantaranya ada yg takut covid, upah murah, perjalanan jauh, hingga nemu karir goal baru.
Apalagi buat yg udah biasa WFH, mereka pengen kualitas work-life balancenya jadi lebih baik.
Dalam riset lain yg dilakukan @Limeade, 40% orang yg memutuskan resign adalah karna faktor burn out.
34% karna faktor perubahan struktur atau strategi perusahaan. 20% karna faktor kerjaan yg gak bisa fleksibel WFH.
Sisanya krna faktor minimnya apresiasi dan benefit yg ada.
Fleksibilitas waktu bekerja sepertinya emang jadi pertimbangan baru masyarakat US dalam memilih kriteria pekerjaan.
Itu terlihat dari sebanyak 54% pekerja pengen tetep bisa WFH bahkan ketika pandemic nantinya berakhir dan kehidupan kembali normal.
Dan fenomena Great Resignation ini bisa dikatakan cukup merata hampir di seluruh negara bagian US.
Georgia, Kentucky, dan Idaho disebut sebagai wilayah yang punya resignation rate tertinggi per data Agustus 2021 kemarin.
New York yg relatif rendah angka resign-nya.
Sektor manufacturing masih menjadi sektor yg dominan memiliki angka resign tertinggi.
Disusul oleh finance, perusahaan teknologi, hingga pekerja di kalangan bidang kesehatan.
Padahal angka resign sebetulnya sempet turun dari Desember hingga Februari.
Tadi udah disebutkan sekilas data statistic kenapa banyak orang mengajukan resign.
Kali ini kita coba urai lebih dalam apa alasan di balik keputusan mereka.
Penjelasan ini kurangkum dari beberapa artikel – thanks to Washington Post, Forbes, dan Harvard Business Review.
Health Concern
Bagi mereka yg punya isu terkait kesehatan, kembali masuk kerja normal itu nightmare banget buat mereka.
Apalagi kalo banyak diantara mereka yg gak mau divaksin.
Sehingga lebih baik resign dan cari pekerjaan yg memberinya akses full time WFH.
Ini terjadi pada Katherine Vickery, salah satu pekerja di sebuah Universitas.
Dia pernah menderita pneumonia cukup parah pada tahun 2015.
Aktivitas normal yg tidak mewajibkan masker dan ada yg gak mau divaksin memberinya ketakutan tersendiri. Akhirnya dia resign.
Burnout
Bagi sebagian orang, pandemi covid bikin burnout luar biasa. Salah satu sebabnya adalah banyak perusahaan melakukan PHK besar-besaran pd awal tahun 2020.
Efek dari PHK ini berdampak langsung pada staff-staff yg tersisa. Kerjaan mereka jadi dobel-dobel. Stress. Capek.
Ini terjadi pd John Smith yg bekerja sbg manager operasional perusahaan outsourcing di Cleveland, US.
Pandemi membuat beberapa orang harus dapet perawatan medis dan isolasi mandiri. Kondisi ini membuatnya harus mengerjakan beberapa tugas sekaligus.
Dia burnout dan minta resign.
Re-Thinking About Life
Pandemi memaksa sebagian pekerja untuk WFH. Nah, WFH ini membuat waktu seseorang jadi lebih fleksibel.
Yang biasanya jam 6 pagi udah berdesakan di kereta, eh dia baru bangun dan sempet olahraga pagi.
Mereka lalu merenung tentang goal hidup mereka.
Ini dialami oleh Maria Ibgui, praktisi keuangan dengan pengalaman kerja hampir 20 tahun.
Dia resign dan menghabiskan masa pandemi buat prioritaskan mental health dan keluarganya.
Dari situ dia pengen mencoba eksplorasi bidang baru yg belum pernah dilakukannya.
Seperti yg pernah kubahas dalam thread terpisah, angka turn over karyawan yg terlalu tinggi itu ngasih damage gede buat perusahaan, apalagi kalo yg resign adalah top talent.
Pindahnya ke perusahaan competitor yg bisa ngasih upah dan benefit lebih pula.
Sehingga perusahaan di US perlu sekiranya mempertimbangkan tiga hal : (1) Fleksibilitas jam kerja (2) Payment & benefit, (3) Evaluasi corporate culture.
Harus beneran mulai concern mengurai akar masalah yang membuat seseorang akhirnya berani memutuskan resign.
FLEXIBILITY
Jika emang suatu pekerjaan bisa dilakukan, dimonitoring, dan dievaluasi secara maksimal dengan WFH, kenapa harus dipaksa balik kantor?
Maksimalkan aja sistem WFH yg udah berjalan dengan baik sehingga karyawan juga jadi punya work-life balance yg lebih baik.
PAYMENT & BENEFIT
Udah jadi rahasia umum kalo gaji adalah salah satu dasar pertimbangan orang ngajuin resign. Apalagi kalo ada tawaran bagus diluar sana.
Kalo emg gak pengen kehilangan SDM terbaiknya, ya jangan ragu apresiasi mereka dengan gaji dan benefit yg layak.
CORPORATE CULTURE
Salah satu trigger orang burnout dalam kerjaannya mungkin karna corporate culture yg gak sehat.
Pekerjaan yg normalnya dikerjain 3 orang, dipaksakan harus selesai dengan dihandle 1 orang.
Kultur kayak gini perlu dievaluasi kalo gak mau top talentnya resign.
Itu sedikit gambaran sih gaes yg menjelaskan fenomena the Great Resignation di US.
Aku sendiri ndak tau fenomena ini akan bertahan sampai berapa lama.
Sebab orang nantinya juga butuh uang dan perusahaan juga butuh karyawan.
Mari kita terus simak saja.
[THREAD – END]
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ketika kita menentukan harga pada suatu produk, tentu kita SUDAH menghitung komponen-komponen cost yg melekat disana, baik itu fixed ataupun variable cost.
Baru selisih antara harga dan cost itu yg nanti jadi margin profit.
Pro-kontra Permendikbud ini menarik.
Yg satu bersikeras ini diperlukan untuk melindungi para korban kekerasan seksual.
Yg satu bersikeras aturan itu membuka penafsiran lain soal legalitas seks bebas.
Jadi, titik tengah yg bisa disepakati soal ini idealnya gimana?
Di twitter space Jumat kemarin, aku mendengar banyak cerita tentang kita yg pernah mengalami kegagalan.
At some points, we all experienced a failure in our life. Dalam tulisan kali ini, cuman pengen bilang kalo – you did well enough.
Kita sekarang hidup di era yg memandang kehidupan sbg kompetisi. Terlebih sejak adanya social media yg semakin masif.
Jika ada orang yg bisa punya rumah pada usia 25 tahun, maka itu dipandang sebagai target yang harus bisa kita capai juga. Kalo dia bisa, mestinya kita jg dong.
Lalu kita yg saat itu masih di usia muda, berusaha sekuat tenaga untuk bisa mencapai target yg kita sudah tetapkan tadi.
Mengorbankan banyak hal, termasuk waktu untuk rileks, demi bisa fokus mengejar ambisi.
The reality is…. some of them make it, and some others don’t.
Agama itu emang soal iman kok. Emg ada riwayat hadits soal Rasulullah yg penasaran ingin lihat wujud malaikat Jibril.
Apa yg disampaikan Ust. Abdul Somad ini pernah dijelaskan sama Gus Baha juga kok. Ini dipersoalkan karna yg bicara Ust. Abdul Somad aja. Buat konten julid.