Suatu ketika ada salah satu cucu Kiai Umar bin Abdul Mannan asal Mangkuyudan, Solo, yang sangat rewel. Bahkan, setiap hari orang tuanya harus begadang hingga dini hari karena ulah sang bayi yang selalu menangis tersedu.
Penyebabnya pun tak diketahui dengan jelas dan berbagai cara yang telah dilakukan orang tua dalam rangka menenangkan sang buah hati, juga tak menuai hasil sama sekali.
Merasa tak tahan terhadap sikap sang anak, orang tua tersebut berinisiatif
untuk sowan kepada Kiai Umar agar disuwuk, didoakan supaya sang bayi mendapat ketenangan. Ia kemudian matur kepada kiai, “Mbah niki pripun,putra kula kok rewel sanget (Mbah ini bagaimana, kok anak saya rewel sekali)?” Mendengar aduan orang tua sang bayi, Kiai Umar malah tersenyum
dan menimang-nimang bayi tersebut. Kemudian ia berkata, “Iki ora nangis iki, bayi iki lagi nderes, lagi ngaji. Ayo sing banter ngajine, ayo sing kenteng nderese! (Bayi ini (hakikatnya) tidak sedang menangis, bayi ini sedang mendaras Al-Qur’an. Ayo yang keras ngajinya,
ayo yang kuat tadarusnya!),” kata Kiai Umar seraya mengelus-elus sang bayi.
Mendengar hal tersebut, kedua orang tua tersebut hanya bisa mengamini saja. Berharap apa yg dikatakan kiai pengasuh Pesantren Al Muayad Mangkuyudan Solo ini menjadi doa yang terkabul di kemudian harinya.
Dan ternyata benar.
Seiring berjalannya waktu. Sang bayi tumbuh menjadi pribadi yang cinta akan Al-Qur’an. Hal itu terbukti dengan berhasilnya ia mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an 30 juz, di usianya yang masih belasan tahun.
Dari kisah tersebut dapat diambil hikmah bahwa dalam menanggapi kenakalan buah hati—atau segala sesuatu yang timbul darinya yang tak mengenakkan hati—sebaikanya ditanggapi dengan kata-kata yang positif. Jangan malah mengelurkan kata-kata kotor atau mengumpat sang anak,
yang bisa jadi itu malah menjadi doa buruk yang terkabulkan. Na’udzubillah. (Ulin Nuha Karim) Kisah ini pernah dituturkan Pengasuh Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo Tanggungharjo Grobogan, KH Muhammad Shofi Al Mubarok yang juga salah satu cucu KH Umar bin Abdul Mannan Solo.
Alhamdulillah semoga bermanfaat....
Silakan ikuti terus @sejarahulama untuk melihat postingan penting lainnya.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Rais Am Jam'iyah Ahlith Thariqah Mu'tabarah An-Nahdliyiah (JATMAN) Habib Luthfi bin Yahya mengingatkan, jangan pernah tinggal muthalaah (mengkaji). Selain itu, seorang santri meskipun telah menjadi ulama terkenal tetaplah bersikap sebagaimana santri di depan guru-gurunya.
Berikut tiga pesan Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan:
1. Gemarlah Mengkaji Kitab (Muthalaah)
"Ya, saya ingatkan agar kita jangan bosan muthalaah dan jangan bosan mengulang-ngulangnya walaupun kitabnya cuma sekali. Karena kalau rajin muthalaah dengan berkah mu’allif,
insya Allah difutuh (dibuka) oleh Allah SWT," tuturnya.
"Imam-imam kita itu karya-karyanya luar biasa, Imam Ibnu Hajar tiap malam baca shalawat sebanyak 20 ribu, Imam Nawawi 40 ribu, dan Syaikh Abi Zakariya al-Anshari tiap malam baca shalawat sebanyak 30 ribu,
Suatu ketika Mbah Yai Hamid turun dari mobil dan disambut kerumunan ribuan umat islam..
Dari agak kejauhan ada seseorang mbatin dalam hatinya, "wah enak ya jadi kiai, kemana mana dikasih amplop, coba satu hari 3 tempat saja,
pasti sudah banyak itu"
Tiba2 mbah yai Hamid memanggil orang tersebut, orang tersebut pun kaget, wah kok bisa beliau memanggil saya diantara ribuan orang, kenal saya juga tidak.. Wah jangan2 saya itu wali.. 😅
Akhirnya orang itu mendekat ke kiai Hamid, lalu kiai Hamid bilang "nanti ikut saya ya!!"
Betapa bahagianya orang itu merasa dispesialkan kiai Hamid..
Ikut saya ya, nanti naik mobil bersama saya..
Tp ada syaratnya, kamu bawa gelas isi air ini dan jangan sampai tumpah..
Karomah Kiai Hasan Abdillah: Hadir Langsung di Dunia Nyata, Padahal Sudah Wafat
Ada beberapa cerita yang tidak mungkin terjadi jika dipandang secara akal. Akan tetapi, apa yang Allah SWT berikan pada kekasihnya tentu bisa saja terjadi.
Seperti yang diceritakan para alumni santri almaghfurlah KH. Hasan Abdillah. Para alumni santri tersebut mengaku kejadian semacam ini adalah bukti bahwa Kiai Hasan mengakui/ngakoni para santrinya dunia akhirat.
Diceritakan oleh Muhammad Sulhan, bahwa suatu malam ia pergi mengaji
di Barat pasar Glenmore, sedangkan istrinya di rumah. Tiba-tiba ada Kiai Hasan Abdillah datang ke rumah Muhammad Sulhan dan berpesan pada istrinya:
“Wengi iki ojo turu (malam ini jangan tidur)” pesan Kiai Hasan.
Ketika Muhammad Sulhan pulang ngaji sekitar jam 02:00 dini hari,
“Kalau ente tanya, siapa yang paling berpengaruh di antara guru-guru besar yang telah menempa saya. Wah, sulit bagi saya untuk membedakan.
Sebab semua berpengaruh di bidangnya masing-masing," tutur KH. As’ad Syamsul Arifin dalam Memoar Tempo edisi 2 September 1989.
Kalau ente tanya," lanjut Kiai As'ad, "berapa puluh kitab yang saya pelajari di pondok ketika itu. Saya juga sulit menjawabnya.
Tapi yang jelas, kitab-kitab yang pernah saya pelajari itu, serasa masih melekat dalam pikiran saya.”
Pernyataan Kiai As’ad tersebut, jika kita merujuk kepada tulisan KH Abdul Moqsith Ghazali, Wakil Ketua LBM PBNU, yang berjudul “Nasab Ilmu KHR As’ad Syamsul Arifin”,
KH. Ahmad Asrori Al Ishaqi (1951-2009), merupakan mursyid thariqah Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah yang juga seorang pengasuh Ponpes Al-Fithrah Kedinding, Kota Surabaya. Beliau putra dari KH. Utsman Al-Ishaqi.
Ulama kharismatik yang juga pemimpin Majelis Dzikir Al Khidmah tersebut, tercatat pernah belajar di Ponpes Darul Ulum Jombang, Al Hidayah Kediri, Al Munawir Krapyak dan Buntet Cirebon.
Selain mengasuh Al Khidmah, KH. Asrori awalnya hanya menerima beberapa anak yang dititipkan jamaah pengajian tarekat untuk belajar agama.
Lambat laun, semakin banyak jamaah yang menitipkan anaknya untuk belajar. Kiai Asrori kemudian berinisiatif memindahkan aktivitas tarekatnya
Rasa tawadlu dan hormat yang demikian besar KH. Hasan Mangli (Mbah Mangli) kepada para kiai dan gurunya, sudah menjadi cerita yang banyak diketahui publik.
Salah seorang kiai pernah bercerita, bahwa dirinya melihat sendiri Mbah Hasan Mangli saat sowan ke ndalem KH. M. Arwani Amin, mulai dari teras sudah bersimpuh dan masuk ke ndalem sambil ‘’ngesot’’ saking tawadlu kepada kiainya.
Cerita soal sikap tawadlu dan hormat yang demikian besar Mbah Hasan Mangli kepada kiai dan gurunya, juga diceritakan salah satu puteranya, Gus Ahmad Ridho. ‘’Bapak Saya beberapa kali bilang, "(Saya bisa begini karena barokah dari kiai dan guru,