KH. Ahmad Asrori Al Ishaqi (1951-2009), merupakan mursyid thariqah Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah yang juga seorang pengasuh Ponpes Al-Fithrah Kedinding, Kota Surabaya. Beliau putra dari KH. Utsman Al-Ishaqi.
Ulama kharismatik yang juga pemimpin Majelis Dzikir Al Khidmah tersebut, tercatat pernah belajar di Ponpes Darul Ulum Jombang, Al Hidayah Kediri, Al Munawir Krapyak dan Buntet Cirebon.
Selain mengasuh Al Khidmah, KH. Asrori awalnya hanya menerima beberapa anak yang dititipkan jamaah pengajian tarekat untuk belajar agama.
Lambat laun, semakin banyak jamaah yang menitipkan anaknya untuk belajar. Kiai Asrori kemudian berinisiatif memindahkan aktivitas tarekatnya
ke Kedinding Lor pada 1985. Di tempat ini, beliau memiliki sepetak lahan yang di atasnya kemudian dibangun ponpes.
Seiring bergulirnya waktu, Ponpes Al Fithrah pun terus berkembang dan Majelis Al Khidmah mempunyai cabang di beberapa kota di seluruh Indonesia.
In Frame: masa muda KH. Asrori Al Ishaqi
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى ال سيدنا محمد
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
“Kalau ente tanya, siapa yang paling berpengaruh di antara guru-guru besar yang telah menempa saya. Wah, sulit bagi saya untuk membedakan.
Sebab semua berpengaruh di bidangnya masing-masing," tutur KH. As’ad Syamsul Arifin dalam Memoar Tempo edisi 2 September 1989.
Kalau ente tanya," lanjut Kiai As'ad, "berapa puluh kitab yang saya pelajari di pondok ketika itu. Saya juga sulit menjawabnya.
Tapi yang jelas, kitab-kitab yang pernah saya pelajari itu, serasa masih melekat dalam pikiran saya.”
Pernyataan Kiai As’ad tersebut, jika kita merujuk kepada tulisan KH Abdul Moqsith Ghazali, Wakil Ketua LBM PBNU, yang berjudul “Nasab Ilmu KHR As’ad Syamsul Arifin”,
Rasa tawadlu dan hormat yang demikian besar KH. Hasan Mangli (Mbah Mangli) kepada para kiai dan gurunya, sudah menjadi cerita yang banyak diketahui publik.
Salah seorang kiai pernah bercerita, bahwa dirinya melihat sendiri Mbah Hasan Mangli saat sowan ke ndalem KH. M. Arwani Amin, mulai dari teras sudah bersimpuh dan masuk ke ndalem sambil ‘’ngesot’’ saking tawadlu kepada kiainya.
Cerita soal sikap tawadlu dan hormat yang demikian besar Mbah Hasan Mangli kepada kiai dan gurunya, juga diceritakan salah satu puteranya, Gus Ahmad Ridho. ‘’Bapak Saya beberapa kali bilang, "(Saya bisa begini karena barokah dari kiai dan guru,
Baru belakangan ini saya tahu kalau Gus Dur sudah beberapa kali berkunjung ke Ponpes Annuqoyyah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura.
Awalnya, saya kira beliau itu hanya datang satu kali saja, yakni pada tahun 2000, tepatnya di saat beliau masih menjabat presiden RI, tapi ternyata tidak. Yang paling banyak tahu perihal ini tentu saja Kiai Zamiel karena setiap ke Guluk-Guluk,
Gus Dur biasanya langsung ‘jujug’ (menuju) ke ndalem Kiai Abdul Basith, ayah Kiai Zamiel.
Saat pertama datang ke Guluk-Guluk, Gus Dur menjumpai Kiai Abdul Basith AS dan minta diantarkan ke komplek pemakaman pendiri PP Annuqayah, yakni Kiai Muhammad Asy-Syarqawi.
[utas]
🍂 KISAH HIKMAH KETIKA IMAM AHMAD BIN HANBAL DIKATAKAN BUTA ⠀
⠀
“Apakah kamu buta?” ⠀
⠀
Beberapa orang bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal rohimahulloh
⠀
“Berapa jumlah orang yang sedang sholat?” ⠀
⠀
Beliau menjawab : “hanya satu..” ⠀
⠀
Mereka bertanya :
“apakah Engkau buta?” ⠀
Beliau menjawab :⠀
⠀
العمى هو أن الأشخاص الذين يغلقون أعينهم لا يرون أرملة تحمل عبئًا ثقيلًا يجعل رأسها يؤلمها 1. Buta itu bagi orang yang memejamkan matanya untuk tidak melihat seorang janda memikul beban berat yang membuat kepalanya sakit.
⠀
⠀
▪الأعمى من توجه للقبلة وأدار ظهره للأيتام والفقراء" 2. Buta itu bagi orang yang selalu menghadap Kiblat namun membelakangai anak-anak yatim dan orang-orang fakir (tidak menghiraukan mereka).
Kejadian nyata, saat Gus Dur dicium tangannya oleh Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa. Waktu itu Gus Dur bersama KH. Maman Imanul Haq sedang berada di bandara. Tiba-tiba Habib Mundzir al-Musawa yang hendak dakwah ke Papua menghampiri
dan menciumi tangan Gus Dur seraya bersimpuh di hadapan Gus Dur.
Lalu Kyai Maman bertanya, “Ada apa Bib?”
“Kalau wali ya Gus Dur, Kang Maman,” jawab Habib Mundzir al-Musawa.
Lalu Gus Dur bertanya kepada Kyai Maman, “Itu siapa?”
“Habib Mundzir, Pak,” jawab Kyai Maman.
“Kalau ingin tahu wali yang muda ya Habib Mundzir. Tapi usianya tidak panjang,” kata Gus Dur kemudian.
Dan ternyata betul apa yang dikatakan Gus Dur waktu itu, Pimpinan Majelis Rasulullah Saw. Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa itu kemudian meninggal dalam usia yang masih muda.
[utas] Cerita Mbah Akhyar (teman masa kecil Gus Maksum di Kanigoro) Tentang Kyai Jauhari
Dahulu antara tahun 1930-an sebuah desa bernama desa Kanigoro di kecamatan Kras, kabupaten Kediri, adalah daerah abangan yang masyarakatnya minim sekali pengetahuan agama.
Tak sedikit dari mereka adalah orang-orang PKI. Daerah itu rawan sekali kejahatan, pembunuhan, sabung ayam, dan kemaksiatan.
Melihat keadaan seperti itu, dua tokoh agama yang berstatus kakak beradik asli dari Kanigoro, yaitu H. Abdulloh (kakek Mbah Akhyar),
dan adiknya H. Khusnan
Tidak tega melihat keadaan masyarakat Kanigoro yang penuh kemaksiatan.
Sehingga kedunya sowan ke Lirboyo menghadap Romo Kyai Abdul Karim. Kemudian Haji Khusnan mengutarakan pendapatnya kepada Romo Kyai Abdul Karim agar segera mengirimkan tokoh agama/figur