Kenapa #GusDur jarang sekali berdalil (silakan baca semua buku dan kumpulan opininya, dan buktikan saya keliru!)? Padahal keduanya adalah jebolan pesantren salaf?
Saya menemukan jawabannya ketika 12 tahun lalu berkenalan dengan Mas Yahya Staquf di Leteh (dan diajak ke Jombang).
ينبغي أن يكون اعتماد العلماء في العلوم على بصيرتهم وإدراكهم وبصفاء قلوبهم
Seyogyanya, gandhulan pada ulama dalam perkara ilmu itu tentang kecerdasan mereka menaklukkan ilmu, dan kemurnian hati.
لا على الصحف والكتب ولا على ما سمعوه من غيرهم فإنه إن اكتفى بحفظ ما يقال كان وعاء للعلم لا عالما
Bukannya sekadar kitab (yang dihafal) atau yang dia dengar dari ulama lain. Jika sekadar kitab (dan hafal), maka dia bukan orang alim. Hanya seorang wadah informasi saja.
Begitu banyak santri yang “malakah” kitab kuning, mengutip maqalah-maqalah berbagai halaman, tapi hanya selesai pada kutipan.
Mereka tidak tahqiq karena hanya meniru ilmu dari ulama-ulama terdahulu, tanpa sekalipun ia kembangkan, tashawwurkan.
كان وعاء للعلم لا عالما
Kalau cuma bisa begini, maka mereka tidak ada bedanya dengan flesdis yang berisi data.
Ia memiliki banyak informasi, tapi tidak bisa mengembangkan informasi dan ilmunya.
“Kenapa saya jarang sekali mendapati Gus Dur berdalil tentang (contoh) ucapan selamat Natal, Mas?” tanyaku ke Mas Yahya Staquf.
“Karena sudah malakah, dan tidak perlu lagi untuk disebutkan. Yang dilakukan Gus Dur itu mengembangkan ilmu dari kiai-kiai yang mengajarinya.” jawabnya
“Kalau cuma dalil, semua orang bisa.
Lawong modal Google saja, semua orang merasa berhak jadi mufti.
Informasi itu banyak, dan mudah didapatkan. Tapi yang sulit adalah bicara tentang sesuatu, meski tidak ada referensinya dari ulama masa lalu.”
اعتماد العلماء في العلوم على بصيرتهم وإدراكهم وبصفاء قلوبهم
“Berpedoman bukan pada apa yang disampaikan, tapi bagaimana kecerdasan mereka, cara elaborasi mereka, dan kemurnian hati mereka.
Gus Dur itu alim. Sudah bisa berpikir seperti gurunya, dan hatinya bersih.”
“Tapi yang saya dengar, Gus Dur itu bukan ahli fikih. Jadi pendapatnya tidak muktabar.”
“Siapa bilang? Coba tanyakan ke kiai-kiai yang Gus Dur sowani. Apa ada yang ragu dengan kecerdasan, kealiman, dan kezuhudannya?!
Dari sisi zuhudnya saja, Kiai Husein bisa bikin satu buku!”
NB: Kiai Husein di sini ialah Kiai Husein Muhammad (Cirebon).
Kupikir-pikir, apa yang disampaikan Mas Yahya ada benarnya. Tentu konteks ngobrol waktu itu bukan tentang orang lain, tapi diriku sendiri yang sempat “meragukan” Gus Dur.
Betul, aku mengetahui maqalah ini dari Imam Ghozali jauh setelah obrolan itu terjadi. Entah setahun atau dua tahun setelahnya baru tahu, ternyata mereka berdua (Gus Dur dan Mas Yahya) tidak ngomong kecuali ada dasarnya.
Blas, gak ada dalil-dalilnya. Tidak seperti model tulisanku (atau santri lain):
“Hukum A begini, dalilnya ini dan ini, itu dan itu.”
Makanya, kalau sampai melihat ada santri di timeline yang tiap hari mengunggah kutipan kitab kuning, tapi ternyata tidak bisa berempati (karena saklek dengan dalilnya), tidak usah kaget.
Aku pun pernah jadi seperti itu. Pernah jadi “flesdis” doang.
وعَاء للْعلم لَا عَالما
👍🏻
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Tidak sepenuhnya setuju tentang hal ini, tapi masih bisa memaklumi kenapa logika (dan sains) dan kepercayaan (dogma) dianggap tidak memiliki hubungan epistemologis.
Quraish Shihab berada di posisi ini, yaitu dogma hanya bisa jadi landasan etis semata (bukan epistemologis).
Seseorang yang beriman memerlukan penjelasan kenapa ia bisa memercayai sesuatu. Begitupun orang yang memeluk agama memerlukan penjelasan kenapa ia memeluknya.
Bisa jadi penjelasan itu untuk dirinya sendiri, atau diberikan pada orang lain sebagai penjelasan.
Ikhtiar ini (menjelaskan kenapa ia bisa memiliki kepercayaan & memeluk sebuah agama) biasa dikenal dengan:
((( saintifikasi dogma )))
Secara mendasar keduanya (saind & dogma) sangatlah berbeda. Sains menerima falsifikasi (dikelirukan), sementara dogma tidak mengenal kekeliruan.
Aku gak kaya-kaya amat, juga gak miskin-miskin amat. Tapi ikut mensosialisasikan parkir untuk pejalan kaki. Kulakukan ke mas-mas dan ibu-ibu yang bikin warung di trotoar.
Gak aneh. Dan ini biasa saja. Meskipun negosiasi penerapan hukumnya bisa terjadi.
Di mana sok tertibnya?
🤔
Ada bocah yang nyegat & ngusir pemakai motor yang naik ke trotoar. Ada pula mas-mas yang ribut sama abang ojol karena nerabas mereka di trotoar.
Ini kalau tindakan mereka dianggap “sok tertib”, nanti yang dipersekusi justru si bocah & mas-mas tadi.
Waktu sudah pagi. Setelah Dusril, ada empat orang yang ngomong panjaaang sekali. Makanya saya usul untuk bikin Space ulang dengan mengajak Dusril berbicara lebih lama.
Akmal itu nganggep aku menutup diskusi (padahal tidak). Untuk diskusi, harusnya di MK (bukan di Twitter).