✍Dr.Habib @muhsinlabib
Belakangan ini “umat Islam” menjadi frasa langganan yg kerap diucapkan oleh sebagian, bahkan sbagian kecil, org dari umat Islam sendiri, terutama menjelang konstestasi politik dlm skala nasional (pemilu) maupun regional (pilkada).
Frasa ini, terutama bila dijajakan oleh “marketer berbusana agamawan”, lebih ampuh mengeruk suara ketimbang money politics.
Umat adalah kata serapan dari “ummah” yang mengandung makna primer “beberapa orang” karena kesamaan tertentu. “Ummah” juga memiliki makna sekunder bagi seseorang yang diperlakukan sebagai beberapa orang karena keagungan kepribadiannya.
“Sungguh, Ibrahim adalah seorang umat (imam yg dapat dijadikan teladan), patuh kepada Allah dan hanif.” (QS. An-Nahl:120)
Kata umat yg mengandung makna dgn cakupan universal bisa mengandung makna khusus bila disandingkan dgn kata lain yg berposisi sebagai keterangan dan sifat.
Ia bisa disandingkan dengan nama seseorang atau apa pun, seperti kata “umat Muhammad” (ummah Muhammad) dan dengan kata ganti seperti firman Allah “Sesungguhnya umatmu ini adalah satu umat.” (QS. Al-Anbiya’:92)
Kata “umat Islam” berarti orang-orang yang dapat dianggap sebagai penganut Islam tanpa kekhususan tertentu. Dengan kata lain, kata ini mencakup siapa pun yang mengaku dan merasa sebagai Muslim terlepas apapun aliran, suku, daerah, dan ormasnya.
Karena itu, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut.
*Pertama,* tak ada seorang pun yang punya hak mengklaim “umat Islam” sebagai atribut eksklusif bagi diri dan kelompoknya.
*Kedua,* tak ada seorang pun yang berhak membatasi makna umat Islam dengan keyakinan kemazhaban dan pandangan khas kelompok, ormas, dan partai tertentu.
*Ketiga,* tak ada pula yang berhak mengatasnamakan pandangan dan sikap politiknya sebagai representasi pandangan dan sikap umat Islam.
*Keempat,* tak ada yang punya hak paten menjadikan “umat Islam” sebagai atribut dan nama khusus perkumpulan, organisasi, dan aliran tertentu, berapa pun jumlah pendukung dan anggotanya. Setiap Muslim berhak mengaku sebagai salah satu anggota dari umat Islam di muka bumi.
Atas dasar itu, apabila kata “umat Islam” yang bermakna luas dan mencakup semua Muslim ini dieksploitasi oleh kelompok tertentu, maka sangat mungkin eksploitasi itu memiliki sejumlah tujuan sebagai berukut.
_Pertama,_ membentuk kesan bahwa hanya dia dan kelompoknyalah yg berhak mengklaimnya. _Kedua,_ menghindari pertanggungjawaban hukum atas stiap pernyataan negatif yg memuat ujaran kebencian dan provokasi dg melibatkan semua individu Muslim yg berjumlah besar, dan bahkan mayoritas.
_Ketiga,_ melakukan intimidasi terhadap pihak tertentu, baik itu lawan politik, kelompok seagama yang tak sejalan dengan mereka, maupun kelompok tak seagama yang secara implisit diperlakukan sebagai lawan umat Islam.
_Keempat,_ menekan dan memaksa semua individu dan kelompok Muslim di luar kelompoknya untuk bergabung dan mendukungnya demi menghindari stigma “bukan umat Islam”.
_Kelima,_ menafikan eksistensi sosial yang terbentuk oleh identitas kebangsaan sebagai himpunan warga dengan keragamannya yang menjadi penduduk negara.
_Keenam,_ menafikan eksistensi entitas komunal lain yang terbentuk oleh identitas kesukuan, kedaerahan, kebudayaan dan lainnya.
Modus pencatutan nama umat dengan klaim mayoritas merupakan pola lama para oportunis pemburu kekuasaan sejak awal sejarah Islam dengan menyingkirkan kelompok seagama yang tak mendukung dengan stigma dari jamaah (mayoritas).
Pernyataan-pernyataan tajam dan kasar Habib Kribo tak ditanggapi oleh yang dikritik atau dilaporkan tapi malah diserang dengan meme yang isinya tak berkaitan dengan isi pernyataannya. Ini justru kian melejitkan nama dan kribo-nya.
*1.* Dia adalah seorang yang punya status sama dengan tokoh-tokoh yang dihormati massanya karena statusnya. Kasarnya, sama-sama punya kartu.
*2.* Dia bukan youtuber, pegiat medsos dan buzzer profesional yang sengaja membranding diri demi meluaskan ketenaran dan mengundang viewer,
Dan kamu melihat berhala-berhala itu
memandang kepadamu, padahal ia tidak melihat.
[7:198]
Umumnya, apa yang terlihat, seperti itu yang kita pikirkan.
Jadi sebenarnya, yang terlihat adalah pikiran kita sendiri,
bukan sesuatu itu, bukan hakikat itu.
Jika ingin melihat dengan jernih, jangan berpikir saat
sedang melihat. Berpikir ketika sedang melihat akan
menghalangi dan mengurangi sesuatu yang terlihat.
Ketika seorang pesuluk melihat, di dalam dirinya
kosong dari segala bentuk pengetahuan.
Melihat bagi pesuluk adalah kesadaran dan juga
tindakan.
Karena tidak mengerti tentang Syiah, banyak orang mudah menerima info dan doktrin yang menyudutkan Syiah.
Karena info-info dan anggapan sesat dan kafir disebarkan secara konsisten dan inten terutama, maka sebagian masyarakat pun membenci Syiah
Karena membenci Syiah, maka sah difitnah.
Namun fitnah takkan pernah sempurna dan mudah dipatahkan, terutama bila dilakukan oleh orang-orang yang hanya bermodal kepandiran dan kebencian.
*Perhatikan premis-premis dalam penalaran sebagai berikut :* ...👇
1. Menuduh pemerkosa para santriwati sebagai Syiah dengan bermut'ah berarti menganggap Herry dan para santriwati melakukannya dengan ijab kabul atas dasar kerelaan bersama.
Mungkin sebagian besar orang terutama yang berotoritas menjaga keamanan memperlakukan ekstremisme dan radikalisme sebagai fenomena konkret berupa kelompok tertentu dalam perkumpulan tertentu.
Ekstremisme dan Intoleransi bukan di kelompok ini dan organisasi itu, bukan pula di pesantren sana dan kampus sini. Ia adalah entitas abstrak yang tersimpan rapi dalam ragam teks yang telah dihadiskan.
Sebelum muncul sebagai sebuah fenomena sosial yang sistemik dan masif, ekstremisme dan radikalisme adalah aksi persekusi, intimidasi dan diskriminasi.
Heran! Hampir semua orang mengaitkan kekerasan bertajuk agama, ekstremisme dan gerakan bersenjata yang memimpikan negara Islam dengan Timur Tengah dan Arab seolah itu baru muncul setelah tragedi 9/11 sambil menyebut Suriah sebagai contoh.
Padahal lama nian di sini gerakan bersenjata domestik seperti NII/DI TII telah muncul bahkan hingga kini masih tersisa.
Heran! Hampir semua mengaitkan konflik horisontal dan segala fenomena kekerasan sosial dengan Arab seolah semua keburukan terjelma dalam satu ras dan hanya terjadi di satu wilayah.
Perlu dipahami Agama itu tidak hanya cinta dan tidak hanya damai. Kalau agama hanya cinta damai maka Karbala tidak ada, tdk ada perjuangan, tdk ada kesyahidan, semuanya pd rangkul-rangkulan krn smuanya damai.
Kita memang harus mengutamakan cinta dan damai tapi saat kita ditindas kita harus melawan. Jadi agama itu adalah keseimbangan antara damai dan perlawanan, antara cinta dan benci. Benci dalam pengertian ini adalah benci yang positif (baraah) menolak.
Kalau kita bilang A'udzubillahi, itu artinya kebencian [Baro'ah]. "Aku berlindung dari setan" itu artinya membenci. Tidak mungkin berdamai dan mencintai setan.