Beruntunglah anda yang berseberangan dengan pemerintah dan namun hidup pada era Presiden Jokowi. Kritik sebagai bagian normal demokrasi, entah kenapa justru berubah menjadi arena bagi hadirnya hujatan dan hinaan.
Hinaan pada fisik dan pribadi Presiden, itu tak membuat anda dipidana. Atas nama kebebasan dan Demokrasi, kita berujar bangga boleh mencaci.
.
.
Jaman pak SBY, sepanjang tak mencaci dan menuduhnya, itu juga masih dapat toleransi. Yang penting, jangan masuk ranah fitnah atau hujatan fisik. Bila ya, itu tak ada toleransi baginya.
Paling tidak, beliau pernah datang langsung dan melaporkan sosok yang dianggap telah melakukan fitnah dan pencemaran nama baik justru saat beliau masih menjabat sebagaiPresiden.
Presiden melaporkan warga negaranya sendiri dengan datang secara langsung pada aparat kepolisian. Itu terjadi pada tahun 2007. Mungkin, itu lah satu-satunya sebuah laporan pernah diterima Polda Metro Jaya dengan pelapor seorang Presiden.
Jaman pak Harto, emmm…ilang sudah masa depan anda. Bahkan bila itu berupa kritik bagi pemerintahannya. Bukan hinaan pada pribadinya apalagi hujatan pada anak dan keluarganya. Hampir tak ada sosok bahkan meski terindikasi ODGJ yang nekat melakukan hal itu.
Petisi 50 yang terdiri dari banyak jenderal yang mencoba mengkritisi pemerintahan, itu sudah cukup alasan membuat banyak sosok jenderal itu tak bisa hidup tenang. Tak aman dan hingga tak bisa bepergian bahkan hingga pada anggota keluarganya.
Yang hilang tak berbekas dan hingga dipenjara hanya karena isu atau fitnah saja banyak sekali. Sebut saja sosok Pak De. Atau Wiji Thukul hingga Marsinah.
"Koq Budiman masih hidup kalau benar dia melawan rezim itu?"
Dia menjadi target tembak di tempat bukan katanya. Bahwa Budiman selamat selain karena berita tentangnya sudah mendunia, ketika dia tertangkap tangan dia tidak sedang demo & secara kebetulan disaksikan oleh banyak warga masyarakat.
Dia ditangkap dalam persembunyian di rumah warga di sebuah perumahan di Bekasi.
.
.
Dalam proses penangkapannya, rezim Orde Baru sempat dibuat marah. Ketika sampai beberapa lama aparat tak mampu mengendus keberadaan Budiman, cara mafia pun digunakannya.
Ibu dan dua adik perempuannya dijadikan "sandera".
"Pada satu malam di tengah pelarian kami terjadi peristiwa yang membakar amarahku. Nampak di televisi Ibu dan dua adik perempuan ku.
Sambil menangis, Ibu dan kedua adik perempuan-ku dipaksa oleh Kejaksaan Agung untuk memintaku agar menyerah kan diri. " Demikian tertulis dalam biografinya.
.
.
Adakah peristiwa seperti itu bukan sebuah kegilaan? Negara menyandera warga negaranya sendiri. Dan itu dilakukan oleh rezim Orde Baru.
Dan pada faktanya, Budiman dan beberapa temannya pun baru tertangkap karena salah satu anak buahnya telah lebih dahulu tertangkap dan kemudian dijadikan penunjuk arah dengan "ancaman".
"Dari pojok ruangan kulihat ada Ndaru di sana, dengan wajah bengkak dan kuyu. Ia seperti baru saja mengalami penyiksaan hebat." Tulis Budiman dalam biografinya.
Seorang warga negara di "bon" demi menangkap seorang Budiman Sudjatmiko.
Hal seperti itu tak mungkin terjadi pada era Jokowi. Antek asing, kodok, PKI hingga julukan plonga plongo sebagai hinaan fisik. Belum kita bicara ribuan meme yang dengan mudah kita temukan.
Sang ibu yang dulu sempat dijadikan “sandera” itu pada akhirnya dapat berjumpa dengan anaknya meski pada acara sidang di pengadilan dengan posisi anaknya yang sedang didakwa dengan tindakan makar.
Dia divonis bersalah pada rezim ORBA pada 1996 dengan hukuman 13 tahun penjara dan namun mendapat amnesti pada pemerintahan Abdulrahman Wahid tahun 1999.
.
.
.
_____________
Gambar dan video diambil dari mana-mana.😊
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
WADAS BUKAN KEDUNG OMBO DAN JOKOWI BUKAN SOEHARTO
.
.
.
Kegilaan macam apa telah melanda kaum itu sehingga mereka tergoda membuat narasi seolah Jokowi adalah representasi dari Soeharto pada suatu saat dulu.
Mereka berteriak bahwa paham degil otoritaritarianisme telah hinggap pada sosok Jokowi dan maka dia layak menjadi seperti Soeharto.
Mereka bilang bahwa Wadas adalah Kedung Ombo versi Jokowi.
Benarkah?
Bahkan pilihan kata "NGAWUR", itu masih terdengar amat sangat sopan untuk menggambarkan kedegilan tersebut. Itu seperti Paijo yang beli velg dengan ring 23 inch tapi sudah berasa punya Mercy SL 63 AMG dengan mesin V8 nya.
Ketika muncul cerita bombastis dengan bumbu berlebihan dan kemudian akun seperti tante Mar terserah serah, Beni Kabur hingga Lizal Lamli turut "ndomoleng" di sana, otomatis nalar kita sebagai program, segera akan menyangkal.
Biasanya itu hoax! Demikian kata si nalar.
Pada cerita Wadas, bukankah itu lebih tepat bila ditarik pada reaksi wajar sebuah peristiwa terkait kelompok pro dan kontra warga yang tanahnya mau dibeli oleh negara?
Yang pro pingin kejelasan tanahnya yang sudah ditaksir itu jadi dibeli atau engga dan yang kontra khawatir kalau tanah tetangganya benar dibeli negara, pasti menyulitkan posisinya kelak.
Dengan sedikit tenaga tersisa, dia hempaskan tubuh kurusnya pada ilalang yang telah mengering. Sengaja dia membiarkan tubuhnya terbaring dalam posisi tubuh menghadap ke langit.
"Terimakasih Tuhan.." lirih suara bisikan itu terdengar seolah saling berebut tempat dengan desah nafasnya yang masih memburu.
Diantara redup sisa cahaya matahari yang juga terlihat lelah dan entah kenapa seolah turut pula menemaninya berbaring di ufuk sebelah timur, sedikit dari ribuan bintang yang selalu setia menemaninya di sepanjang usia hidupnya, menyapa.
Tiba-tiba profil Desa Punjulharjo Rembang di Jawa Tengah itu menjadi buah bibir. Tak butuh waktu lama, kunjungan mulai dari warga biasa hingga pejabat diterima desa tersebut. Itu dimulai ketika di desa tersebut ditemukan sebuah kapal pada Juli 2008.
Apa yang membuat penemuan itu begitu spektakuler adalah usia dari kapal itu. Penanggalan karbon atas estimasi berapa usia kapal tersebut ternyata adalah lebih dari 1400 tahun. Kapal itu berasal dari abad 6 atau 7 M. Itu bahkan lebih tua dibanding usia Candi Borobudur.
Dengan lebar 5 meter dan panjang lebih dari 15 meter, itu adalah kapal dengan ukuran sedang.
"Berarti itu adalah bukti valid bahwa pada tahun 600 an bangsa kita telah berlayar dong?"
Ketika berat otak kita hanya berkisar 2% saja dari berat tubuh namun dia meminta jatah paling besar yakni lebih dari 20% oksigen yang dibutuhkan tubuh, kita tahu di mana sentral dari tubuh itu berada.
Bisa dibilang otak adalah bagian sangat atau bahkan paling penting.
.
.
Dan kita tahu bahwa oksigen adalah energi. Oksigen bersama makanan yang ada di dalam tubuh kita bergabung untuk menghasilkan energi. Itu dipakai untuk menggerakkan kerja organ tubuh.
Energi terbesar seolah diperuntukkan bagi otak kita jelas berbicara tentang fungsi sentral otak pada tubuh.
Ketika kabar bahwa di Kalimantan Utara akan dibangun PLTA dengan kapasitas hingga 9.000 MW, itu jelas bukan kabar biasa saja.
Kebencian hanya berjarak setipis rambut dibelah 7 dengan ngawur sebuah tindakan.
Ungkapan Susi Pudjiastuti saat berkeluh kesah tentang pesawatnya yang konon dikeluarkan paksa dari sebuah hanggar di Kabupaten Malinau langsung menyasar nama Jokowi.
Bukan hanya puluhan atau ratusan komentar dalam nada caci maki pada pemerintah sebagai jawaban pada akun twitternya, ribuan.
Pemerintahan Jokowi langsung dibuat terkait dengan Susi yang kini telah berada di luar pemerintahan. Habis manis, sepah dibuang, begitu kira-kira sebuah ilustrasi ingin dibuat relevant. Susi yang tak lagi di dalam pemerintahan kini seolah pantas untuk diperlakukan tidak adil.