Dengan sedikit tenaga tersisa, dia hempaskan tubuh kurusnya pada ilalang yang telah mengering. Sengaja dia membiarkan tubuhnya terbaring dalam posisi tubuh menghadap ke langit.
"Terimakasih Tuhan.." lirih suara bisikan itu terdengar seolah saling berebut tempat dengan desah nafasnya yang masih memburu.
Diantara redup sisa cahaya matahari yang juga terlihat lelah dan entah kenapa seolah turut pula menemaninya berbaring di ufuk sebelah timur, sedikit dari ribuan bintang yang selalu setia menemaninya di sepanjang usia hidupnya, menyapa.
"Selamat malam Joana..."
Meski telinganya tak pernah benar-benar mendengar suara bintang itu menyapa, gadis kecil itu tersenyum dan berbisik,
"Selamat malam teman…"
Sore itu rombongan terdiri dari sekitar 25 anak-anak berusia antara 12 hingga 14 tahun yang berasal dari suku Kimyal distrik Korupun, Kabupaten Yahukimo, Papua, akhirnya sampai pada perhentian ke 3, Sohopna.
Dua perhentian terdahulu yang telah mereka lewati adalah Juram dan Isi Mukla. Masih akan ada dua perhentian lagi harus mereka lalui yakni Jabi dan Jokosam.
Epik kisah perjalanan anak-anak berusia lulusan SD dari suku-suku di pedalaman di pegunungan tengah Jayawijaya Papua ini adalah rutinitas tahunan sebagai HARUS dalam makna tegas ketika hanya ingin SEKOLAH. Itu terjadi setiap bulan Juli pada setiap tahunnya.
Demi melanjutkan sekolah pada jenjang lebih tinggi yakni SMP, anak-anak dari suku Kimyal, Tukuni, Obini, Obukain, Yalimek dan masih banyak suku-suku yang lain yang berada di wilayah Korupun harus hijrah ke Wamena.
Ada jarak sekitar 100 Km dari Korupun ke Wamena. Itu tak seperti membuat sama ukuran pada baju kita. Itu tak seperti jarak Jakarta-Sukabumi yang bila ditempuh dengan jalan kaki hanya butuh waktu maksimal dua hari saja.
Dan siapakah orang gila masih ingin jalan kaki dari Jakarta ke Sukabumi?
.
.
Jarak terbentang itu harus ditempuh dengan berjalan kaki melintasi gunung dan lembah dengan hutan yang masih sangat lebat karena akses jalan raya memang tidak ada.
Bukan hanya itu, posisi letak dari suku-suku itu tinggal, terbentang pada ketinggian antara 1.000-2.000 meter di atas permukaan laut.
.
.
Seberapa ekstrim suhu pada ketinggian itu, bayangkan saja Dieng. Pada bulan-bulan tertentu, bahkan pada Dieng ada sebagian yang membeku. Dan itu berarti juga soal oksigen yang semakin tipis.
Naik turun gunung dengan medan ekstrim penuh jurang dan di beberapa tempat harus dilalui dengan menyeberangi sungai, itu harus dilakukan oleh anak-anak di mana dalam keseharian kita, pada usia seperti itu, banyak dari anak-anak kita yang masih harus disuap ketika makan.
Jangan berpikir bahwa mereka akan mampu pulang satu tahun sekali, tidak..! Paling cepat, mereka baru akan pulang tiga tahun kemudian setelah lulus SMP.
Dan itu bukan jaminan, kadang, bahkan teramat sering, anak-anak yang sudah keluar dari kampung halamannya tersebut baru akan pulang enam tahun kemudian saat telah lulus SMA.
.
.
"Bagaimana bila orang tua mereka sakit atau bahkan meninggal?"
Sampai hari ini, sinyal telephone masih menjadi barang langka di Korupun. Radio single sideband (SSB) masih menjadi andalan sejak 30 atau 40 tahun yang lalu.
Mereka hanya akan mendengar kabar itu melalui radio SSB tersebut. Berharap dapat pulang dan kemudian mengucapkan kata-kata perpisahan kepada mama dan bapak, itu adalah kemewahan tak masuk akal. Kecuali pesawat perintis.
Dan itu hanya akan dinikmati oleh mereka yang memiliki uang. Bagi anak-anak tersebut, itu mustahil. Orang tua mereka kebanyakan adalah petani ubi.
Duapuluh hingga tigapuluh anak-anak yang seharusnya masih dalam pengawasan orang tua itu, kini harus sudah berjuang sendiri. Mereka harus sudah berpisah, dan itu diawali dengan perjalanan yang sangat panjang, melelahkan dan bahkan dengan bertaruh nyawa.
Tak ada jaminan mereka tak mendapatkan kecelakaan ditengah jalan. Terperosok ke dalam jurang, tergelincir saat mendaki tebing bahkan hingga ancaman binatang buas, anak-anak itu harus menanganinya sendiri.
Berbekal ubi dan keladi mentah dan nanti baru akan dibakar setiap mereka berhenti saat istirahat. Kadang, mereka pun sudah sangat bersyukur ketika memiliki bekal untuk dimakan. Terkadang, mereka harus mampir dan meminta kepada petani saat mereka melewatinya.
Mengambil tebu ditengah jalan kemudian mendapat hukuman dengan cara dipukul hanya karena mereka haus, bukan peristiwa yang jarang terjadi.
>>>>>>
Mereka sudah harus mendapatkan ujian luar biasa berat pada umur yang tak seharusnya. Seharusnya, mereka masih berhak untuk mendapat peluk dan cium orang tua.
"Bangun..!! Ayo semua bangun" teriak Ebisanga Wahla anak laki-laki dengan badan paling besar itu bersemangat.
Baginya, jarak 2 malam dan 3 hari lagi perjalanan menuju Wamena sudah semakin dekat. Itu memberinya semangat. Dia sudah sibuk membuat bangun teman-temannya pada pukul 3.30 dini hari.
Segera Malius Mirin, Abesa Sub dan Memesin Busup sebagai sesama anak laki-laki turut membangunkan banyak saudaranya yang masih terlelap.
Sementara itu, jauh di barat sana, di tempat dimana semua hal terpenuhi, di sebuah tempat yang konon merasa tinggi dan angkuh dengan tersematnya nama ibu kota pada dirinya, triliunan rupiah disebar hanya demi rebutan kekuasaan. Demo atas nama apapun dibuat dan dibiayai.
Kadang, dengan standar moral nya yang merasa lebih tinggi, mereka berteriak bahwa separatis di Papua terlalu dimanja.
Mereka merasa tidak diperlakukan secara adil hanya karena polisi tak galak pada separatis itu.
Bergegas Joana membakar keladi dan ubi pada bara bekas api unggun yang dibuat malam sebelumnya. Keladi dan ubi itu akan dimakan bersama sebagai sarapan sebelum anak-anak itu kembali melanjutkan perjalanannya.
Masih tersisa tiga hari perjalanan dengan dua tempat bermalam akan masih mereka singgahi.
.
.
Dari mulutnya yang mungil itu terdengar Joana bernyanyi :
"Morning has broken like the first morning.
Blackbird has spoken like the first bird.
Praise for the singing, praise for the morning, Praise for them springing fresh from the world…"
Melalui lagu itu dia hanya mencoba untuk selalu bersyukur dalam segala hal. Sekaligus untuk menghadirkan wajah mamanya yang entah kenapa telah dia rindukan meski baru berpisah dua hari yang lalu. Lagu itu selalu dia nyanyikan bersama mamanya.
Pukul 5.30 tepat saat pagi mulai merekah, ke 25 anak-anak itu kembali melanjutkan perjalanannya dalam mencari jawab makna masa depan.
Seperti sebuah kemurnian yang turun dari langit, kemurnian hati anak-anak dari budaya yang juga masih sangat murni itu akan turut memberi warna Wamena.
Mereka adalah anak-anak yang berasal dari negeri yang selalu tertutup awan karena tingginya tanah tempat mereka lahir. Mereka adalah anak-anak langit.
.
.
.
.
_____________❤️🧡💛💚💙💜🤎🖤🤍
Ilustrasi diambil dari berbagai sumber.
Koreksi : sebelah barat.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Tiba-tiba profil Desa Punjulharjo Rembang di Jawa Tengah itu menjadi buah bibir. Tak butuh waktu lama, kunjungan mulai dari warga biasa hingga pejabat diterima desa tersebut. Itu dimulai ketika di desa tersebut ditemukan sebuah kapal pada Juli 2008.
Apa yang membuat penemuan itu begitu spektakuler adalah usia dari kapal itu. Penanggalan karbon atas estimasi berapa usia kapal tersebut ternyata adalah lebih dari 1400 tahun. Kapal itu berasal dari abad 6 atau 7 M. Itu bahkan lebih tua dibanding usia Candi Borobudur.
Dengan lebar 5 meter dan panjang lebih dari 15 meter, itu adalah kapal dengan ukuran sedang.
"Berarti itu adalah bukti valid bahwa pada tahun 600 an bangsa kita telah berlayar dong?"
Ketika berat otak kita hanya berkisar 2% saja dari berat tubuh namun dia meminta jatah paling besar yakni lebih dari 20% oksigen yang dibutuhkan tubuh, kita tahu di mana sentral dari tubuh itu berada.
Bisa dibilang otak adalah bagian sangat atau bahkan paling penting.
.
.
Dan kita tahu bahwa oksigen adalah energi. Oksigen bersama makanan yang ada di dalam tubuh kita bergabung untuk menghasilkan energi. Itu dipakai untuk menggerakkan kerja organ tubuh.
Energi terbesar seolah diperuntukkan bagi otak kita jelas berbicara tentang fungsi sentral otak pada tubuh.
Ketika kabar bahwa di Kalimantan Utara akan dibangun PLTA dengan kapasitas hingga 9.000 MW, itu jelas bukan kabar biasa saja.
Kebencian hanya berjarak setipis rambut dibelah 7 dengan ngawur sebuah tindakan.
Ungkapan Susi Pudjiastuti saat berkeluh kesah tentang pesawatnya yang konon dikeluarkan paksa dari sebuah hanggar di Kabupaten Malinau langsung menyasar nama Jokowi.
Bukan hanya puluhan atau ratusan komentar dalam nada caci maki pada pemerintah sebagai jawaban pada akun twitternya, ribuan.
Pemerintahan Jokowi langsung dibuat terkait dengan Susi yang kini telah berada di luar pemerintahan. Habis manis, sepah dibuang, begitu kira-kira sebuah ilustrasi ingin dibuat relevant. Susi yang tak lagi di dalam pemerintahan kini seolah pantas untuk diperlakukan tidak adil.
Anda mungkin tak percaya bahwa sosok Soeharto yang pada suatu saat dulu pernah sangat berkuasa sekaligus sangat ditakuti itu ternyata juga punya rasa takut.
Bukan pada sesama jenderal. Itu perkara mudah baginya. Lihat saja Petisi 50 yang terdiri dari banyak petinggi militer yang pernah tak sepakat dengannya dapat dia buat tak berkutik.
Pada seorang anak muda bernama Budiman Sudjatmiko dia pernah merasa frustasi.
"Apa buktinya?"
Pak Harto bukan tipe yang senang dengan banyak bicara. Lirikan mata dengan tanda tertentu sudah lebih dari cukup sebagai perintah bagi anak buahnya untuk melakukan sebuah maksud tertentu.
Jadi gini ceritanya kalo Pak Harto mancing. Dah tahu siapa pak Harto kan?
Hobi beliau ada dua. Golf dan mancing di laut. Mancing di empang kek Satpam komplek gitu gak pernah. Apalagi ikut-ikutan galatama.
Minimal sebulan sekali di hari Minggu beliau mancing di Kepulauan Seribu.
Kebiasaan mancing beliau itu mancing dari perahu kayu kecil nelayan dengan kapasitas 10 orang maksimal. Perahu dengan single engine 25 PK itu di lambungnya tertulis 'Semar'.
Bila wacana itu keluar dari mulut Rocky Gerung, itu masih masuk akal. Jadwal pemilu dapat dimundurkan karena adanya contoh kasus dimana cerita yang sama pernah terjadi.
Dan karena pernah terjadi namun kemudian peristiwa itu tak pernah digugat, maka secara logika itu bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan.
Logika ingin ditarik Bahlil adalah konstitusi memang tak bicara tentang penundaan pemilu namun sejarah mencatat bahwa baik penundaan maupun mempercepat pelaksanaan pemilu pernah negara ini alami.