WADAS BUKAN KEDUNG OMBO DAN JOKOWI BUKAN SOEHARTO
.
.
.
Kegilaan macam apa telah melanda kaum itu sehingga mereka tergoda membuat narasi seolah Jokowi adalah representasi dari Soeharto pada suatu saat dulu.
Mereka berteriak bahwa paham degil otoritaritarianisme telah hinggap pada sosok Jokowi dan maka dia layak menjadi seperti Soeharto.
Mereka bilang bahwa Wadas adalah Kedung Ombo versi Jokowi.
Benarkah?
Bahkan pilihan kata "NGAWUR", itu masih terdengar amat sangat sopan untuk menggambarkan kedegilan tersebut. Itu seperti Paijo yang beli velg dengan ring 23 inch tapi sudah berasa punya Mercy SL 63 AMG dengan mesin V8 nya.
Dia sudah bercerita bagaimana hebat tarikan dan merdu suara mesin V8 nya sambil membawa poto velg 23 inch nya itu.
.
.
Serius, itu konyol banget.
Kedung Ombo adalah waduk, sementara Wadas adalah quarry. Quarry adalah lokasi penambangan tanah atau batuan yang digunakan untuk keperluan proyek.
Kedung Ombo seharusnya disandingkan dengan bendungan Bener. Tapi, itu pun masih seperti kita bicara mobil bak terbuka dengan rasa dump truck.
Kedung Ombo memiliki cangkupan genangan mencapai 6.576 Hektar sementara pada bendungan Bener kurang dari 600 hektar.
Kedung Ombo menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Boyolali, Grobogan. Pada bendungan Bener tak ada data adanya desa yang secara utuh ditenggelamkan.
"Sudah ga usah banyak omong! Jokowi sama dengan Soeharto karena keduanya sama-sama menggunakan aparat saat pembebasan tanah milik rakyat kan??"
Bukankah Polisi hadir karena adanya permintaan?
Bukti bahwa Surat PUPR No : UM 0401.AG.3.4./45 Tanggal 3 Februari 2022 dan AT.02.02/344-33.06/II/2022 Tanggal 4 Februari 2022,
dari Kementerian ATR/BPN Kabupaten Purworejo yang meminta institusi itu hadir dalam rangka pengukuran tanah jelas adalah terkait terpenuhi prosedur baku.
.
.
Alasan lain, bukankah secara perdata perkara itu sudah selesai? Pemerintah telah di PTUN kan oleh salah satu pihak namun hingga kasasi apa yang dilakukan oleh pemerintah dianggap tidak salah prosedur. Bila hukum adalah panglima, seharusnya ini sudah clear.
Jadi, bila Polisi tak hadir setelah diminta secara resmi sekaligus berdasar atas adanya putusan pengadilan, itu justru adalah bentuk pelanggaran dari institusi tersebut. Terkait adanya kekerasan, harus dibuktikan secara adil. Bukan subyektifitas masing-masing pihak.
Pada Kedung Ombo, ganti rugi yang konon seharusnya Rp 3.000, permeter pada tahun 1985 tapi pada faktanya warga hanya menerima Rp 250 saja.
Tidak dengan warga pada proyek bendungan Bener Kabupaten Purworejo ini.
Harga awal yang pemerintah tetapkan sesuai nilai pasar untuk daerah itu yakni sebesar Rp. 60.000 permeter. Harga itu ditolak warga dan namun akhirnya kedua pihak sepakat dengan nilai Rp. 120.000 per meter. Itu belum termasuk nilai ganti rugi tanaman di atasnya.
Jadi, minimal warga masih akan mendapat Rp160.000 per meter.
.
.
Dan hal paling penting, peristiwa Wadas jelas bukan seperti apa yang terjadi pada Kedung Ombo pada sisi sosok yang turut hadir di sana.
Romo Mangun dan hingga Gus Dur yang konon hadir untuk rakyat di Kedung Ombo tentu tak bisa disamakan dengan sosok Dandy maupun Asfinawati yang terlihat hadir pada cerita Wadas. Serius, itu beda banget.
.
.
Konon, Romo Mangun bersama Romo Sandyawan dan K.H. Hammam Ja'far, pengasuh pondok pesantren Pebelan Magelang rela mendampingi warga yang masih bertahan di lokasi,
dan membangun sekolah darurat untuk sekitar 3500 anak-anak, serta membangun sarana seperti rakit untuk transportasi warga yang sebagian desanya sudah menjadi danau dan namun tetap bertahan tinggal di sana.
.
.
Ya, rezim pak Harto tetap menggenangi desa yang masih dihuni oleh lebih dari 6000 rakyatnya sendiri. Secara perlahan dan pasti, senti demi senti rumah-rumah warga negara itu terendam tanpa mereka dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa pasrah.
Meski pada perkara ini bila merujuk pada putusan pengadilan pemerintah seolah merasa telah berada pada posisi benar, itu bukan berarti mereka boleh suka-suka.
Ada kabar bahwa pembayaran ganti rugi yang sejak dari 2019 masih belum selesai. Itu jelas kabar tak baik. Harus segera diselesaikan sesuai kontrak.
.
.
Terkait kabar bahwa segelintir orang mulai menyamakan peristiwa Wadas dengan Kedung Ombo, jelas terlalu berlebihan. Itu dapat diartikan bahwa mereka mulai main dengan cara kasar. Mereka mulai bermain dengan cara-cara tak beradab. Dan itu bukan sifat oposisi, itu provokator.
Pun pada penyamaan antara Jokowi dengan Soeharto hanya gara-gara Wadas, itu pasti berasal dari mulut yang perutnya sudah terlalu lapar. Tak ada lagi istilah haram dalam kamusnya.
Jokowi memang jauh dari kata sempurna namun jelas bukan Soeharto. Dalam banyak hal, dia justru berada pada posisi sebaliknya.
.
.
.
.
_____________________
Gambar ambil dari mana-mana
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ketika muncul cerita bombastis dengan bumbu berlebihan dan kemudian akun seperti tante Mar terserah serah, Beni Kabur hingga Lizal Lamli turut "ndomoleng" di sana, otomatis nalar kita sebagai program, segera akan menyangkal.
Biasanya itu hoax! Demikian kata si nalar.
Pada cerita Wadas, bukankah itu lebih tepat bila ditarik pada reaksi wajar sebuah peristiwa terkait kelompok pro dan kontra warga yang tanahnya mau dibeli oleh negara?
Yang pro pingin kejelasan tanahnya yang sudah ditaksir itu jadi dibeli atau engga dan yang kontra khawatir kalau tanah tetangganya benar dibeli negara, pasti menyulitkan posisinya kelak.
Beruntunglah anda yang berseberangan dengan pemerintah dan namun hidup pada era Presiden Jokowi. Kritik sebagai bagian normal demokrasi, entah kenapa justru berubah menjadi arena bagi hadirnya hujatan dan hinaan.
Hinaan pada fisik dan pribadi Presiden, itu tak membuat anda dipidana. Atas nama kebebasan dan Demokrasi, kita berujar bangga boleh mencaci.
.
.
Jaman pak SBY, sepanjang tak mencaci dan menuduhnya, itu juga masih dapat toleransi. Yang penting, jangan masuk ranah fitnah atau hujatan fisik. Bila ya, itu tak ada toleransi baginya.
Dengan sedikit tenaga tersisa, dia hempaskan tubuh kurusnya pada ilalang yang telah mengering. Sengaja dia membiarkan tubuhnya terbaring dalam posisi tubuh menghadap ke langit.
"Terimakasih Tuhan.." lirih suara bisikan itu terdengar seolah saling berebut tempat dengan desah nafasnya yang masih memburu.
Diantara redup sisa cahaya matahari yang juga terlihat lelah dan entah kenapa seolah turut pula menemaninya berbaring di ufuk sebelah timur, sedikit dari ribuan bintang yang selalu setia menemaninya di sepanjang usia hidupnya, menyapa.
Tiba-tiba profil Desa Punjulharjo Rembang di Jawa Tengah itu menjadi buah bibir. Tak butuh waktu lama, kunjungan mulai dari warga biasa hingga pejabat diterima desa tersebut. Itu dimulai ketika di desa tersebut ditemukan sebuah kapal pada Juli 2008.
Apa yang membuat penemuan itu begitu spektakuler adalah usia dari kapal itu. Penanggalan karbon atas estimasi berapa usia kapal tersebut ternyata adalah lebih dari 1400 tahun. Kapal itu berasal dari abad 6 atau 7 M. Itu bahkan lebih tua dibanding usia Candi Borobudur.
Dengan lebar 5 meter dan panjang lebih dari 15 meter, itu adalah kapal dengan ukuran sedang.
"Berarti itu adalah bukti valid bahwa pada tahun 600 an bangsa kita telah berlayar dong?"
Ketika berat otak kita hanya berkisar 2% saja dari berat tubuh namun dia meminta jatah paling besar yakni lebih dari 20% oksigen yang dibutuhkan tubuh, kita tahu di mana sentral dari tubuh itu berada.
Bisa dibilang otak adalah bagian sangat atau bahkan paling penting.
.
.
Dan kita tahu bahwa oksigen adalah energi. Oksigen bersama makanan yang ada di dalam tubuh kita bergabung untuk menghasilkan energi. Itu dipakai untuk menggerakkan kerja organ tubuh.
Energi terbesar seolah diperuntukkan bagi otak kita jelas berbicara tentang fungsi sentral otak pada tubuh.
Ketika kabar bahwa di Kalimantan Utara akan dibangun PLTA dengan kapasitas hingga 9.000 MW, itu jelas bukan kabar biasa saja.
Kebencian hanya berjarak setipis rambut dibelah 7 dengan ngawur sebuah tindakan.
Ungkapan Susi Pudjiastuti saat berkeluh kesah tentang pesawatnya yang konon dikeluarkan paksa dari sebuah hanggar di Kabupaten Malinau langsung menyasar nama Jokowi.
Bukan hanya puluhan atau ratusan komentar dalam nada caci maki pada pemerintah sebagai jawaban pada akun twitternya, ribuan.
Pemerintahan Jokowi langsung dibuat terkait dengan Susi yang kini telah berada di luar pemerintahan. Habis manis, sepah dibuang, begitu kira-kira sebuah ilustrasi ingin dibuat relevant. Susi yang tak lagi di dalam pemerintahan kini seolah pantas untuk diperlakukan tidak adil.