Laporan tahun lalu dari para peneliti Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (#IPCC) sudah memberikan peringatan soal apa yang akan terjadi pada sistem iklim kita, dan kemana kita akan menuju jika tindakan yang diperlukan tidak dilakukan.
Nah, para peneliti kembali lagi.
Berikut beberapa hal yang bisa kita harapkan untuk dipelajari lebih lanjut berdasarkan laporan kedua dari empat bagian penilaian IPCC itu:
#LaporanIPCC akan menjadi penting untuk berbagai diskusi kebijakan dalam menghadapi isu mendesak soal adaptasi serta kerugian dan kerusakan.
Mari pastikan para peneliti benar-benar didengar dan sains dibarengi dengan tindakan untuk melawan #KrisisIklim.
Selengkapnya:
Look up! Peringatan Lain dari Para Peneliti Iklim IPCC Segera Hadir
Apa yang terjadi di Desa Wadas hanyalah satu dari sekian banyak konflik agraria yang pernah terjadi. Intimidasi yang disusul dengan penangkapan warga terjadi diberbagai daerah perlawanan.
Intimidasi sering terjadi seiring gerakan warga yang ingin memperjuangkan hak memperoleh informasi jelas dan lingkungan hidup sehat.
Saatnya kita bersuara agar pemerintah tidak semena-mena untuk mencapai tujuan pembangunan versi mereka.
Wadas adalah desa yang diberkahi kesuburan dan pertaniannya produktif. Dengan tanah yang subur, tak heran mayoritas masyarakat Wadas berprofesi sebagai petani yang bergantunh pada tanah dan alam. Komoditasnya hingga milliaran lho.
Sayangnya semua itu terancam oleh pertambangan batuan andesit guna mendapat material urug untuk pembangunan “Bendungan Bener”.
Sejak kemarin siang, ratusan personil Brimob berkumpul di Polres Purworejo, dan mendirikan beberapa tenda di dekat pintu masuk Desa Wadas). Anehnya, di malam hari listrik di Desa Wadas mati, sedangkan desa lain di sekitar Wadas tetap menyala. #WadasMelawan
Pagi ini Uut, seorang warga Desa Wadas, ditangkap paksa oleh aparat bersenjata untuk dibawa ke Polsek Bener. Kondisi sinyal dan internet yang terganggu membuat warga Wadas kesulitan untuk berkomunikasi.
Mungkin tidak sedikit dari kita bertanya-tanya, kenapa Indonesia mengimplementasikan Co-Firing? Kenapa sekarang? Bahan bakarnya dari mana saja? Bagaimana dampaknya?
-A Thread-
Co-Firing sudah digunakan sejak akhir 1990-an di sejumlah negara. Namun, Indonesia baru akan mulai menjadikan Co-Firing sebagai salah satu cara untuk menurunkan emisi karbon. Sayangnya masih banyak hal tentang Co-Firing yang belum dirasa jelas.
Co-Firing di Indonesia akan menggunakan sampah & limbah hasil perkebunan, seperti akasia, sawit, dan sengon dijadikan sebagai bahan baku co-firing. Bahan tersebut merupakan jenis tanaman yang membutuhkan banyak lahan. Artinya bisa menjadi celah tindakan deforestasi lagi dan lagi.
Manusia memang diberikan kelebihan akal dan pikiran, tapi bukan berarti manusia lebih penting dibanding entitas lainnya. Konsep manusia sebagai pusat kehidupan ini dikenal sebagai antroposentrisme. Ibarat piramida, dalam konsep ini manusia diletakkan di paling atas. #Ummah4Earth
Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya sehingga diberi amanah untuk menjadi khalifah di Bumi.
Sayangnya banyak sekali manusia yang memiliki pola pikir seperti ini sehingga seringkali mengorbankan Bumi dan isinya demi memenuhi keserakahannya.
Pelemahan ekosistem hutan dan sumber daya alam membuat manusia kehilangan tempat serapan alamiah dan rentan kebakaran hutan & lahan (Karhutla). Di musim penghujan, banjir tidak dapat ditepis. Lalu, di musim kemarau, asap tebal harus menghiasi langit.
Di tahun 2021, banyak warga harus menderita karena banjir. Mundur ke tahun 2015-2019, napas warga tercekat karena kabut asap tebal imbas karhutla yang masif. Di Kalimantan Tengah, angka titik panas yang mencapai 4.000 titik merugikan secara multidimensional.
Situasi pun terus memburuk, hingga Gugatan Warga Negara (Citizen Law Suit/CLS) dilayangkan pada Pemerintah Indonesia. Melalui Putusan Nomor 118/Pdt.G/LH/2016/PN Plk, warga menang, namun hingga saat ini, Pemerintah Indonesia belum menjalankan putusan pengadilan dengan baik.