Mungkin tidak sedikit dari kita bertanya-tanya, kenapa Indonesia mengimplementasikan Co-Firing? Kenapa sekarang? Bahan bakarnya dari mana saja? Bagaimana dampaknya?
-A Thread-
Co-Firing sudah digunakan sejak akhir 1990-an di sejumlah negara. Namun, Indonesia baru akan mulai menjadikan Co-Firing sebagai salah satu cara untuk menurunkan emisi karbon. Sayangnya masih banyak hal tentang Co-Firing yang belum dirasa jelas.
Co-Firing di Indonesia akan menggunakan sampah & limbah hasil perkebunan, seperti akasia, sawit, dan sengon dijadikan sebagai bahan baku co-firing. Bahan tersebut merupakan jenis tanaman yang membutuhkan banyak lahan. Artinya bisa menjadi celah tindakan deforestasi lagi dan lagi.
Dalam rangka mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% di tahun 2025, melalui RUPTL 2021-2030 pemerintah telah menghitung estimasi kebutuhan biomassa untuk 52 lokasi dimana mencapai 8 juta ton/tahun HTE (Hutan tanaman energi) dan 900 ribu ton/tahun sampah.
Artinya butuh pasokan bahan baku biomassa yang cukup besar & stabil untuk keberlangsungan co-firing.
(Sumber: RUPTL 2021-2030)
Kendala kebutuhan bahan baku biomassa bahkan sudah terasa dalam tahap uji coba co-firing. Salah satunya yakni pada PLTU Jeranjang NTB akibat sekam padi bersifat musiman yang bahkan belum bisa memenuhi kebutuhan 3% kadar campuran yang setara 15 ton/hari/unit pembangkit.
Pemanfaatan cangkang sawit sebagai biomassa juga menunjukkan adanya peluang untuk menambah pembukaan lahan sawit. Selama ini sawit telah menghasilkan jejak karbon yang cukup besar di Indonesia bahkan menjadi penyebab utama deforestasi yang memperburuk tingkat emisi.
Penggunaan sampah sebagai salah satu campuran co-firing harus dibarengi dengan teknologi air pollution control (APC) yang bagus. Jika tidak, risiko polutan beracun harus dihadapi oleh masyarakat.
Co-firing juga tidak memberikan kontribusi penurunan emisi GRK yang signifikan. Porsi biomassa hanya 1-5% dan sisanya 95% tetap menggunakan batubara. Perlakuan tersebut pada PLTU batubara hanya akan mengurangi emisi GRK sebesar 5,4%.
Padahal menurut perhitungan PLN, dibutuhkan 5 juta ton/tahun wood pellet atau 738.000 ton/tahun pellet sampah untuk memenuhi 1% co-firing per tahun pada 18.000 MW PLTU batubara yang sudah ada.
Di sisi lain, biaya investasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebagai energi bersih sudah lebih murah dibanding PLTU batubara.
(Sumber: ESDM, 2020 dalam webinar Katadata)
Vietnam telah membuktikan bahwa potensi PLTS sangat tinggi. Vietnam berhasil meningkatkan kapasitas PLTS-nya dari 2015-2020 hingga mencapai 3.300 kali lipat.
Tantangan co-firing lainnya juga terletak pada kelayakan ekonomi. Klaim bahwa biomassa dapat diperoleh dengan harga lebih rendah cukup sulit, mengingat:
- Membutuhkan volume lebih besar yang meningkatkan biaya transportasi
- Adanya potensi penurunan efisiensi boiler
Dengan segenap tantangannya, biaya co-firing akan lebih mahal dibanding batubara. Hal ini bisa kembali menjadi beban PLN. Yang perlu kita waspadai jika pada akhirnya berdampak pada harga listrik dan kembali dibebankan ke masyarakat.
Jika melihat kontribusi Co-Firing terhadap krisis iklim dengan skema yang dibuat oleh pemerintah, co-firing merupakan solusi semu untuk memenuhi komitmen iklim Indonesia. Dan hal ini akan berlangsung selama PLTU masih dipertahankan dan menjadi sumber emisi GRK.
Mari kita bayangkan, apa kira-kira yang akan terjadi jika program Co-Firing ini betul-betul bergulir? Pemerintah seharusnya betul-betul beralih ke energi bersih dan terbarukan, bukan pada solusi keliru yang penuh resiko dan membutuhkan investasi lebih besar.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Manusia memang diberikan kelebihan akal dan pikiran, tapi bukan berarti manusia lebih penting dibanding entitas lainnya. Konsep manusia sebagai pusat kehidupan ini dikenal sebagai antroposentrisme. Ibarat piramida, dalam konsep ini manusia diletakkan di paling atas. #Ummah4Earth
Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya sehingga diberi amanah untuk menjadi khalifah di Bumi.
Sayangnya banyak sekali manusia yang memiliki pola pikir seperti ini sehingga seringkali mengorbankan Bumi dan isinya demi memenuhi keserakahannya.
Pelemahan ekosistem hutan dan sumber daya alam membuat manusia kehilangan tempat serapan alamiah dan rentan kebakaran hutan & lahan (Karhutla). Di musim penghujan, banjir tidak dapat ditepis. Lalu, di musim kemarau, asap tebal harus menghiasi langit.
Di tahun 2021, banyak warga harus menderita karena banjir. Mundur ke tahun 2015-2019, napas warga tercekat karena kabut asap tebal imbas karhutla yang masif. Di Kalimantan Tengah, angka titik panas yang mencapai 4.000 titik merugikan secara multidimensional.
Situasi pun terus memburuk, hingga Gugatan Warga Negara (Citizen Law Suit/CLS) dilayangkan pada Pemerintah Indonesia. Melalui Putusan Nomor 118/Pdt.G/LH/2016/PN Plk, warga menang, namun hingga saat ini, Pemerintah Indonesia belum menjalankan putusan pengadilan dengan baik.
Selama 5 tahun terakhir (2015-2020) Indonesia masih didaulat sebagai salah satu negara penyumbang emisi GRK terbesar di dunia dengan kapita pertumbuhan emisi yang tinggi (sejumlah 5,8%). Jumlah tersebut bahkan belum memperhitungkan dampak dari alih guna lahan dan kehutanan.
Alih-alih beralih pada energi bersih, pemerintah memilih melanggengkan batubara lewat teknologi Co-firing dan CCS (Carbon Capture and Storage), serta ekspansi sawit lewat biofuel.
Padahal, peluang Indonesia dalam melakukan transisi energi yang benar-benar hijau begitu besar jika pemerintah mau melangkah serius dan ambisius.
Kekerasaan terhadap perempuan tidak hanya dapat berasal dari keluarga terdekat, lingkungan sekolah atau pekerjaan namun juga dapat berasal dari kebijakan negara.
Berdasarkan data Catatan Tahunan Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia pada 2020 mencapai 299.911. Kondisi tersebut semakin diperburuk dengan disahkannya Undang-undang (UU) Cipta Kerja, Oktober 2020 lalu.
Buruh perempuan semakin mengalami kondisi yang pelik. Mereka terpaksa juga harus menghadapi situasi kerja yang semakin buruk.
Insinerator itu alatnya, sedangkan proses pengelolaan sampah dengan suhu tinggi (sekitar 850-1400 derajat celcius) disebut insinerasi.
Proses ini diyakini mampu mengurangi volume sampah hingga 90%. Sampah yang menumpuk banyak itu bakal dibakar dan menjadi abu.
Sayangnya, masih buruknya kondisi pemilahan sampah di Indonesia bikin sampah yang masuk ke dalam insinerator beragam. Sehingga karakteristik abu sisa pembakaran yang dihasilkannya pun beragam. Bahkan bisa menjadi berbahaya karena berpotensi mencemari tanah.
Kalau banjir sudah datang, macam-macam pernyataan menyalahkan muncul.
"Salah mereka nih buang sampah sembarangan!",
"Salah pemerintah nih nggak menanggulangi banjir dengan baik",
dan yang paling absurd "Salahnya hujan nih!"
Hemmm emang bener salahnya hujan?
[UTAS]
Curah hujan dalam beberapa bulan ke belakang memang sedang meningkat, dan berbagai kejadian banjir terjadi di beberapa titik di Indonesia. Ingat dong bencana banjir di Kalimantan Selatan pada Januari lalu? Apakah curah hujan yang tinggi menyebabkan banjir dimana-mana?
Banjir disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor diantaranya:
1. Fenomena iklim musiman (musim hujan, la Niña, perubahan iklim) 2. Biofisik (topografi, sistem sungai / drainase, tanah) 3. Unsur antropogenik (tata guna lahan, deforestasi, sistem kanal / drainase, pola pemukiman)