Deru suaranya saja sudah lebih dari cukup, apalagi saat menyaksikan bagaimana akselerasinya. DNA motor itu adalah balap.
Sebuah motor balap di kelas MotoGP mampu melaju dengan sangat cepat. Rekor tercepat saat ini adalah 362,4 kilometer per jam. Itu dicatatkan oleh unit Ducati Desmosedici GP dengan pembalap Johann Zarco pada 27 Maret 2021 di sirkuit Losail, Qatar.
DNA balapnya sudah langsung bicara sejak pertama mesin itu dinyalakan. Merdu raungan suara mesinnya sudah langsung bercerita tentang tenaga luar biasa besar yang dimilikinya. Dia tak tersanding untuk disejajarkan dengan motor pada umumnya.
Itu adalah ilustrasi sebagai jawaban saya atas pertanyaan teman terkait tingkat elektabilitasnya. Temanku bilang bahwa sosok dengan elektabilitas tinggi adalah dia yang pantas untuk dicalonkan pada pilpres 2024 kelak.
Dan elektabilitas selalu terkait dengan survei. Dia bilang, namanya tak pernah ada pada semua survei.
Benarkah?
Bila survei itu dibuat saat belum ada calon resmi dari sebuah partai misalnya, adakah tak mengandung maksud tersembunyi di sana?
Biasanya, itu terkait dengan maksud tertentu. Bisa jadi, itu hanyalah sebuah proyek. Itu bermakna portofolio.
.
.
Dan kita tahu apa itu portofolio.
Seorang pemimpin tak butuh portofolio yang harus diumbar. Pada saatnya kelak, ketika dari partainya telah memberi sinyal, seperti motor dengan DNA balap, dengan mudah dia akan melaju dan meninggalkan banyak para pesaingnya.
DNA balap yang dimilikinya, memberinya privilege hanya perlu melakukan tuneup kecil saja. Dia hanya butuh sedikit persiapan bukan polesan. Semua syarat yang akan dibutuhkan dalam kontestasi itu telah dia miliki.
"Tapi bukankah calon ideal adalah yang pernah menjadi Kepala Daerah? Pun pak Jokowi lewati kan?"
Yang jelas, dari tujuh Presiden yang kita miliki, hanya pak Jokowi yang benar-benar memiliki gelar komplit. Beliau memang secara sempurna menapaki anak tangga itu. Beliau memulainya dengan menjadi Walikota, lalu menjadi Gubernur sebelum akhirnya terpilih menjadi Presiden.
Bila ukurannya itu, bila sosok yang akan kita ambil adalah yang masuk dalam radar survey selama ini, muncul nama Ridwan Kamil. Dia pernah menjadi Walikota dan saat ini Gubernur.
Mau?
Atau bila ukurannya adalah pada jabatan apa terakhir pak Jokowi duduk sehingga alasan itu pantas, muncul nama Anis. Dia Gubernur DKI Jakarta sama dengan pak Jokowi sebelum menjadi Presiden kan?
Itu jelas mengada-ada. Itu sebuah syarat demi tendensius belaka.
"Ini pasti sedang promosi sosok Budiman Sudjatmiko kan?"
Lah emang Adian Napitupulu gak punya DNA balap seperti Budiman po?
Dua sosok tokoh reformasi ‘98 itu pantas kita sebut. Selain fakta bahwa mereka memiliki DNA pemimpin, mereka adalah sosok yang telah matang secara sempurna. Sama seperti bua, keduanya benar - benar matang di pohon bukan karena diperam.
Dijamin, bila salah satu atau keduanya suatu saat nanti benar disebut oleh PDIP sebagai kandidat bakal calon Presiden untuk partai tersebut, nama itu akan melesat dan langsung meninggalkan para pesaingnya.
Sepertinya tokoh reformasi butuh kita dorong UNTUK KEMBALI TAMPIL BUKAN SEKEDAR NYEMPIL.
NEGARA INI BUTUH SOSOK YANG TELAH TERUJI DAN MEMILIKI VISI BESAR NASIONALISME SECARA KOMPLIT.
Dia yang sejak awal memiliki DNA pemimpin tak butuh polesan. DNA tak pernah bohong
.
.
.
__________
Gambar diambil dari mana-mana
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kiamat. Mungkin itulah satu-satunya kata paling sepadan untuk menggambarkan skala luar biasa mengerikannya kondisi Pompeii pada 24 Agustus tahun 79 M. Itu sekitar 2000 tahun yang lalu.
Kota pelabuhan besar dan modern di Italia pada zaman Romawi kuno itu tiba-tiba "dipaksa hilang" dalam seketika. Dalam seketika, kota itu tertimbun material panas debu gunung Vesuvius yang meletus dengan skala luar biasa.
Pada tahun 1748 kota ini digali. Seperti membebaskan jiwa-jiwa terperangkap, bangunan-bangunan berikut segala isinya yang terbebaskan itu segera bercerita.
Tiba-tiba, wayang harus dimusnahkan. Ini jelas kegilaan. Ini kedegilan tak masuk akal yang tak pantas keluar dari mulut orang waras.
Meski kalimatnya seolah hanya saran agar para pemiliknya membuang koleksi wayang tersebut karena terkait satu dan lain hal, pilihan kata "MUSNAHKAN" telah menimbulkan marah.
Wayang adalah salah satu alasan terkait pengakuan resmi dunia internasional pada sebuah bangsa. Bangsa yang sama, dia juga dianggap telah memberi peninggalan luhur dalam rupa bangunan candi.
WADAS BUKAN KEDUNG OMBO DAN JOKOWI BUKAN SOEHARTO
.
.
.
Kegilaan macam apa telah melanda kaum itu sehingga mereka tergoda membuat narasi seolah Jokowi adalah representasi dari Soeharto pada suatu saat dulu.
Mereka berteriak bahwa paham degil otoritaritarianisme telah hinggap pada sosok Jokowi dan maka dia layak menjadi seperti Soeharto.
Mereka bilang bahwa Wadas adalah Kedung Ombo versi Jokowi.
Benarkah?
Bahkan pilihan kata "NGAWUR", itu masih terdengar amat sangat sopan untuk menggambarkan kedegilan tersebut. Itu seperti Paijo yang beli velg dengan ring 23 inch tapi sudah berasa punya Mercy SL 63 AMG dengan mesin V8 nya.
Ketika muncul cerita bombastis dengan bumbu berlebihan dan kemudian akun seperti tante Mar terserah serah, Beni Kabur hingga Lizal Lamli turut "ndomoleng" di sana, otomatis nalar kita sebagai program, segera akan menyangkal.
Biasanya itu hoax! Demikian kata si nalar.
Pada cerita Wadas, bukankah itu lebih tepat bila ditarik pada reaksi wajar sebuah peristiwa terkait kelompok pro dan kontra warga yang tanahnya mau dibeli oleh negara?
Yang pro pingin kejelasan tanahnya yang sudah ditaksir itu jadi dibeli atau engga dan yang kontra khawatir kalau tanah tetangganya benar dibeli negara, pasti menyulitkan posisinya kelak.
Beruntunglah anda yang berseberangan dengan pemerintah dan namun hidup pada era Presiden Jokowi. Kritik sebagai bagian normal demokrasi, entah kenapa justru berubah menjadi arena bagi hadirnya hujatan dan hinaan.
Hinaan pada fisik dan pribadi Presiden, itu tak membuat anda dipidana. Atas nama kebebasan dan Demokrasi, kita berujar bangga boleh mencaci.
.
.
Jaman pak SBY, sepanjang tak mencaci dan menuduhnya, itu juga masih dapat toleransi. Yang penting, jangan masuk ranah fitnah atau hujatan fisik. Bila ya, itu tak ada toleransi baginya.
Dengan sedikit tenaga tersisa, dia hempaskan tubuh kurusnya pada ilalang yang telah mengering. Sengaja dia membiarkan tubuhnya terbaring dalam posisi tubuh menghadap ke langit.
"Terimakasih Tuhan.." lirih suara bisikan itu terdengar seolah saling berebut tempat dengan desah nafasnya yang masih memburu.
Diantara redup sisa cahaya matahari yang juga terlihat lelah dan entah kenapa seolah turut pula menemaninya berbaring di ufuk sebelah timur, sedikit dari ribuan bintang yang selalu setia menemaninya di sepanjang usia hidupnya, menyapa.