BUKAN SOAL MOBIL |anda tak mampu mencapai kecepatan itu, aturan yang ada tak memberi izin. Pada ruas jalan tol, kecepatan maksimal diizinkan adalah 100 km/jam. Di atas batas kecepatan itu anda akan dianggap melanggar dan sanksi menanti.
Itu batasan pertama. Itu batasan yang dengan mudah dapat dilanggar dengan banyak alasan yang dapat diperdebatkan. Soal sanksi, itu nilai relatif dan tak sama pada setiap orang.
Batasan kedua, biasanya terkait keamanan anda sendiri. Entah karena faktor mobil atau kondisi jalan, pada kecepatan 160 km/jam misalnya, anda mulai berpikir ulang untuk injak gas lebih dalam lagi. Anda mulai berhitung nyawa. Nalar mulai mengambil alih.
"Batasan ke tiga?"
Semakin lama, raungan sirine dari mobil polisi itu terdengar makin samar. Itu dirasakan oleh Paijo yang 15 menit yang lalu dikejar mobil patroli berkecepatan tinggi. Jarak keduanya kini semakin jauh.
Bukan karena mobil patroli itu tak mampu melaju secepat mobil Paijo, petugas polisi di balik kemudi mobil tersebut tahu diri bahwa di atas segalanya, keselamatan dirinya tetap adalah yang utama.
Pada Paijo yang dikejar, dia tak sedang berpikir bahwa nyawanya lebih berharga. Ada yang jauh lebih penting bahkan dari nyawanya sendiri.
Paling tidak, itulah alasan sesaat kenapa Paijo demikian nekad melajukan kendaraannya dengan kecepatan tak masuk akal. Konon, nyawa anaknya berjarak dengan sempitnya waktu dan maka harus sesegera mungkin sampai di Rumah Sakit.
Pada titik itu, tak ada batasan bagi nalar dapat kita carikan alasannya. Subyektifitas Paijo tak sedang memiliki toleransi terhadap apapun selain nyawa anaknya. Benar dan salah bukan lagi sebagai rujukan utama.
Batas dari seluruh batas yang ada, terpaksa dilanggar oleh Paijo.
Pada sisi lain, tak terlalu berlebihan bila Paijo adalah Rusia, dan driver mobil patroli yang terpaksa harus berhenti demi keselamatannya sendiri adalah Amerika Serikat dengan Nato nya.
Dan apakah batas terakhir dari seluruh batas yang ada telah dilanggar Rusia, tak lain dan tak bukan adalah NUKLIR. Nekad tindakan Rusia yang seolah tanpa nalar yang akan terus dilawan oleh Amerika dengan Nato nya hanya akan berakibat semua musnah.
Paling tidak, potensi ke arah itu menjadi sangat terbuka.
.
.
"Apa bukti bahwa itu terkait nuklir?"
"Apa Anda ingin perang nuklir?!” ini pertanyaan balik dari Menteri Pertahanan Perancis Florence Parly dalam sebuah wawancara radio di Paris, Perancis, saat dia ditanya apakah Perancis akan mengirimkan bantuan militer untuk mempertahankan Ukraina.
Menhan Perancis seolah ingin menegaskan bahwa tak ada satu pun negara Eropa, juga Amerika Serikat yang menginginkan bentrokan militer langsung dengan Rusia karena Federasi Rusia adalah negara berkekuatan nuklir. Meski hadir fakta bahwa Rusia sengaja melanggar misalnya.
Dan maka Amerika Serikat dengan Nato nya tak mau nekad. Dan maka Ukraina terpaksa ditinggal sendirian. Dan maka rakyat Ukraina harus berjuang sendiri.
Apakah dengan demikian AS dan Nato nya dapat kita sebut pengecut? Dengan malu-malu anda, saya dan hampir seluruh warga dunia mungkin akan berdalih : "demi keselamatan yang lebih besar KENAPA TIDAK?"
Meski harus meninggalkan rakyat Ukraina sendirian? Meski berbiaya mahal dengan menginjak keadilan itu sendiri?😡
Apakah peristiwa itu kelak akan menjadi pintu masuk pembenaran bagi China untuk kasus Taiwan misalnya? Perdebatan akan panjang, dan Nuklir sebagai pembatas akhir, bukan mustahil justru akan selalu dimanfaatkan.
Meski mobil patroli itu dengan terpaksa tak lagi harus mengejar Paijo, bukan berarti tindakan Paijo dapat dibenarkan. Paijo tetap harus dihukum. Tindakannya telah merusak tatanan hidup.
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Bukan melulu terkait sensitif dan maka kudu hati-hati, ini lebih terkait dengan rumitnya masalah itu ditinjau dari banyak perspektif dengan masing-masing aspek memiliki banyak simpul tak mudah diurai.
Ajakan mendukung Rusia dengan alasan bahwa Barat dengan AS sebagai motor di balik semua permasalahan ini jelas terlalu dangkal. Pun mendukung Ukraina karena Rusia dianggap telah melanggar hukum Internasional tentu juga tak semudah kita berucap.
Dan maka, bisa dibilang, tak banyak politisi kita berani bicara perkara itu secara terbuka.
Waktu bukan sekadar jarum jam yang terus berputar tanpa henti. Waktu, di sana ada makna uang, kesempatan dan hingga karya yang terus bergulir tanpa ujung demi mengukir makna hidup yang tiada hentinya.
Waktu hanya menjadi pengikat dan kemudian mengungkung kebebasan kita manakala kita jatuh pada makna menunggu. Menanti perintah atau komando.
Kebebasan waktu, hanya terjadi pada orang yang mampu memberikan segala karya, cipta, dan karsanya bagi semua.
Dan kebebasan waktu itu sekarang ada pada kita. Karya dan karsa Indonesia sebagai Presidensi G20 dinanti oleh dunia.
Bila ada salah satu negara dari Eropa Barat yang akan segera merespon perkembangan di Ukraina, bukan mustahil itu adalah Jerman. Jerman bagian timur secara geografis sangat dekat dengan Ukraina dan hanya berjarak Polandia di timurnya.
Dan benar, di utara, Jerman langsung melakukan antisipasi dan dikabarkan telah bersiap memimpin 1.610 pasukan. Itu terdiri dari personil tentara Jerman, Norwegia dan Latvia.
Kepada Presiden Latvia Egils Levits, Kanselir Jerman Olaf Scholz berkata, Jerman punya hak untuk berperang. Pernyataan itu dia katakan pada 17 Februari 22 saat menyertai 350 pasukan dari negaranya bergabung dengan pasukan Nato yang terpusat di negara itu.
KAREL DOORMAN PUN MENYELINAP PERGI.
.
.
SEPERTI DI UJUNG SENJA KITA MASIH TERUS BERDEBAT MENCARI JAWAB DAN SESEKALI MELIRIK PADA RUMPUT YANG BERGOYANG. SIAPA TAHU DI SANA ADA JAWABNYA.
.
.
.
.
Janjinya, sesuai kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, konon Belanda akan kembali bicara soal Papua barat. Bukan setahun atau dua tahun, bahkan hingga 10 tahun kemudian niat itu tak pernah mereka wujudkan.
Presiden Soekarno pun marah. Ide mengambil paksa beliau gaungkan. Menjadi masalah, negara ini tak memiliki alutsista memadai bagi pengambilan paksa tersebut.
Pilihan pertama, pada AS lah kita utarakan niat untuk membeli alutsista..
Sebelumnya, pasukan Yuan tercatat sempat berhenti di Ko-lan atau Pulau Belitung pada bulan Januari 1293. Pada Februari 1293, Ike Mese dan salah seorang komandan bawahannya berangkat terlebih dahulu untuk membawa perintah Kaisar mereka ke Singasari.
Pasukan utama dibawah Ike Mese itu lalu berlayar ke Karimunjawa, dan dari sana mereka berlayar ke Tuban.
Mereka membagi pasukan menjadi dua bagian. Pasukan pertama akan turun ke darat dan pasukan yang kedua tetap menggunakan perahu.
DI LAUT ARMADA MONGOL BUKAN LAWAN SEIMBANG PELAUT NUSANTARA
.
.
.
Ketika lebih dari 500 kapal dan 40.000 pasukan harus dikerahkan oleh Dinasti Mongol saat menginvasi Jepang namun pada invasinya di Nusantara
mereka justru harus perlu menerjunkan armada kapal perangnya hingga jumlah mencapai 1.000 kapal namun pasukan yang disertakannya hanya 20 hingga 30 ribu saja, ini tentu terkait strategi.
.
.
Ini terkait dengan kelebihan lawan yang berbeda-beda yang akan mereka hadapi kelak.
Dan terkait strategi perang, pada saat itu, Mongol adalah jagonya. Buktinya adalah Eropa Timur meliputi Rusia, Ukraina, Polandia, Bulgaria, hingga Asia Tengah dan Asia dimana China, India hingga Pakistan mereka gulung dalam satu libasan saja pada perang yang mereka kobarkan.