Pusara Waktu Profile picture
Mar 8, 2022 131 tweets 18 min read Read on X
ERIKA (Part 2)
- Keluarga Korban Santet -

Melihat raut muka Sinta yang begitu antusias dan terlihat polos, aku pun tersenyum mendengar pertanyaannya.
"Santet itu sudah ada pada jaman Rasul sekali pun, bahkan dalam sebuah hadist diterangkan bahwa pernah satu hari Rasul pernah disihir atau disantet oleh para dukun waktu itu, hingga beliau muntah darah dan malaikat jibril yang berdoa kepada Allah untuk kesembuhannya.
Terlepas hadist itu hadist yang lemah ataupun tidak, tidak harus diperdebatkan yang penting kita tetap berdoa saja memohon perlindungan kepada gusti Allah …" Jelasku kembali.
“Om Wi bisa gak ajarkan aku doa malaikat jibril yang Om Wi sebutin tadi, buat nyembuhin kak Erika. Kasihan dia sakit terus …" Pinta Sinta dengan wajah yang memelas dan terlihat sedih.
“Iya … Iya ... Nanti Om Wi ajarin Sinta. Sekarang yang penting Sinta sholat dulu ..." Jawabku.

Kembali kepada cerita. Mbah Man yang merasa hebat pada akhirny harus bertekuk lutut pada kekuatan supranatural yang dimiliki oleh lawan-lawannya itu,
yang pada akhirnya menjadi korban dari keganasan santet Pring Sedapur.

Kondisi Erika sendiri semakin bertambah parah. Satu jam sembuh, satu jam kemudian kambuh lagi, Erika sudah seperti orang yang gila, dia sangat suka berteriak-teriak,
tapi terkadang sifatnya berubah kembali seperti anak kecil lagi, dia bermain boneka atau main masak-masakan yang umum dimainkan oleh anak-anak kecil, hingga pada akhirnya di dalam rumah kini dijaga oleh empat orang paranormal yang secara bergantian melindungi Erika.
Aku sendiri sudah mulai merasa tidak betah dengan suasana di rumah ini, yang jelas kini auranya semakin terasa tidak karuana, karena mungkin banyaknya sosok dari dunia lain yang menjaga Erika pada saat ini, dan hal ini juga yang membuat kejiwaan Erika semakin memburuk.
Aku pun kemudian menyarankan kepada pak Kasran untuk memanggil Kyai agar Erika bisa diobati dengan cara yang lebih baik, tapi memang pada dasarnya keluarga ini memiliki paham yang berbeda, sehingga saranku pun diabaikan oleh pak Kasran.
Tidak jarang juga pak Kasran dan Istrinya melarangku untuk membaca doa-doa dihadapan Erika, aku yang merasa tidak dibutuhkan tentunya tidak ingin memaksakan diri untuk ikut membantu mereka, walaupun aku kasihan dengan kondisi Erika.
Pada suatu hari mbak Jum berpamitan kepadaku untuk istirahat dan pulang ke rumahnya di Klaten, karena merasa sakitnya tidak kunjung sembuh juga, dan atas perintah pak Kasran, aku pun mengantar mbak Jum pulang.
Selama di mobil mbak Jum banyak bercerita tentang rasa sakit yang dialaminya, dan setelah aku mengantar mbah Jum puloang, aku langsung secepatnya kembali menuju Jogjakarta.
Baru saja aku masuk ke halaman rumah, tiba-tiba saja terlihat bu Wandra mendatangiku dengan sedikit berlari, terlihat tergesa-gesa.

"Wi ... Wi ... Cepat masuk … Itu tolongin mbah Dirgo …" Ucap bu Wandra yang terdengar cemas.
Aku pun dengan segera memasuki rumah dan melihat mbah Dirgo yang sedang meracau sendiri.

"Saya harus menolong gimana Bu? Saya gak tahu apa-apa …" Jawabku.

"Terserah kamu mau dibacain apa-apa juga …!" Timpal bu Wandra dengan nada suara yang meninggi.
Aku menatap wajah mbah Dirgo, dan dia pun balik menatapku. Terdengar suaranya menggeram, seakan marah kepadaku, dan dengan segera aku membaca doa Jibril, dan langsung kuusapkan ke arah wajah mbah Dirgo. Seketika tubuhnya langsung ambruk.
Pak Kasran dan bu Wandra yang pada saat itu ada di tempat, hanya bisa melongo melihatku, dan mereka pun saling memandang heran.

"Eh, Wi … Cuma gitu aja? Padahal tadi aku sempat beradu tenaga dalam sampai tanganku bengkak begini ..." Ujar pak Kasran sambil menunjukan tangannya.
"Ah, Pah ... Itu paling kebetulan saja mungkin … "Timpal bu Wandra, seakan tidak percaya dengan apa yang sudah aku lakukan kepada mbah Dirgo.

Bagiku sendiri itu adalah hal yang wajar, saat orang yang merasa tinggi, meremehkan orang yang berada di bawahnya,
dan aku pun tidak terlalu kaget dengan perlakuan bapak dan ibu Kasran

Mbah Dirgo kini mulai tersadar, dan Erika tertawa-tawa sambil mengacak-acak rambutnya. Tiba-tiba saja Pak Kasran dan istrinya serta mbah Dirgo terpental,
tapi tidak lama kemudian terdengar suara klakson mobil berbunyi dari arah luar gerbang, kemudian dua orang laki-laki terlihat setengah berlari masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa, berusaha untuk kembali menyadarkan Erika.
Kedua orang itu berhasil menangkan Erika, dan Erika pun jatuh terkulai tak sadarkan diri.

Setelah kejadian itu, aku kemudian mengantarkan mbah Dirgo sampai keluar gerbang, dan mengobrol sedikit dengannya di luar gerbang.

"Maaf Mas, Mas ini darimana asalnya?” Tanyanya penasaran
Aku pun segera menjawab dengan menyebutkan asalku.

"Panggil saja saya Wi, Pak …" Sambil mengulurkan tangan, mengajaknya bersalaman.

"Saya Mbah Dirgo …" Ucapnya sambil menjabat tanganku.
"Tadi bu Kasran di dalam bercerita, bahwa sampean yang menyadarkan saya. Terima kasih ya, Wi" Ucapnya.

"Bukan saya Pak, tapi gusti Allah. Saya tidak bisa apa-apa tanpa kehendakNya …" Jawabku sambil mengacungkan telunjuk ke atas.
"Saya paham Wi, tapi syareatnya sampean." Jawab mbah Dirgo.

"Bukan sampean Pak, tapi Wi.. Saya jadi segan dipanggil sampean sama orang tua" Ujarku sambil tersenyum.

Sepulangnya mbah Dirgo, aku segera kembali masuk ke dalam rumah dan terdengar suara Erika yang berteriak-teriak,
dan kini teriakannya juga disertai dengan silat ghoibnya. Dua orang yang menjaga Erika terlihat sibuk, mereka mulai kewalahan untuk menenangkan Erika dan mencoba untuk meladeni silat ghoibnya.
Terlihat dari gerakan Erika, dia berada di atas angin dan mengungguli kedua orang yang menjaganya. Salah seorang dari dua orang itu kemudian memukul tengkuk Erika dari belakang dan seketika itu pula Erika kembali ambruk.
Berita sakitnya Erika pada akhirnya sampai juga ke kampusnya, hingga banyak dari teman-temannya berdatangan untuk menengok keadaan Erika.

"Kasihan ya Erika …" Ujar salah satu teman Erika pada kawan di sebelahnya.
Aku pun menjadi lumayan sibuk pada hari itu, karena mbak Jum sendiri belum bisa kembali bekerja, jadi mau tidak mau, aku harus melayani teman-teman Erika. Dan pada saat aku sedang menyuguhkan air minum di ruang tengah,
secara tidak sengaja aku mendengar percakapan tiga anak gadis yang tengah duduk di kursi ruang tengah.

"Eh, mungkin gak Erika diguna-guna sama si Robi yang ditolak cintanya sama Erika?" Ucap salahsatu teman Erika yang berkaca-mata.
"Ah, kamu itu Rin … Ini jaman sudah maju, mana ada lagi yang kaya begituan …" Jawab salah satu gadis yang sedang duduk di sebelah kirinya.

"Tapi, bisa juga kan?" Timpal gadis berkaca-mata.
"Iya juga sih …" Jawab gadis di sebelahnya, sambil memandang ke arahku, tersenyum.

Aku pun membalas senyuman anak itu, sambil kembali menyuguhkan gelas di atas meja. Dan hingga sampai malam, teman-teman Erika terus berdatangan, silih berganti.
Menjelang maghrib akhirnya mbak Jum pun datang dengan ditemani seorang perempuan setengah baya. Setelah mengantar perempuan setengah baya itu ke ruang tengah, mbak Jum kemudian menghampiriku di pendopo sudut taman,
dan bercerita bahwa dia di telepon oleh ibu Wandra untuk mencari "orang pintar" untuk dibawa kemari, agar bisa membantu menyembuhkan Erika.
"Dek Wi, itu namanya mbah Rus. Dia salahsatu orang yang biasa menangani hal-hal seperti ini di daerahku, Klaten sana …" Ucap mbak Jum.

"Ohh, begitu ..."Jawabku singkat.

"Dek Wi, sudah ngopi belum?" Tanya mbak Jum.
Aku menjawab dengan menggelengkan kepala.

"Ya sudah, mbak buatkan sekalian ya …" Jawab mbak Jum sambil melangkahkan kakinya ke arah dapur.

Aku pun mengikuti langkah kaki mbak Jum dari belakang.
"Eeee, kok ngikut ... Kangen ya?" Celoteh mbak Jum dengan sudut matanya yang berkedip ke arahku.

"Genit, ah …" Jawabku dingin sambil mendahuluinya berjalan.

Aku kemudian menuju kamar mandi untuk bersuci untuk menunaikan sholat maghrin, karena kebetulan sudah terdengar adzan.
Setelah aku menunaikan kewajibanku, aku kemudian kembali ke pendopo di halaman depan, dan kini kulihat pak Kasran sedang duduk menyendiri di kursi tamu teras. Wajahnya terlihat kuyu dan murung.
Sesekali nampak dia menyeka keringat dengan sapu tangan putihnya. Pak Kasran sadar akan kehadiranku, ketika dia melihat ke arah pendopo, dan tak berselang lama, kemudian pak Kasran pun berjalan menghampiri, dan duduk di sebelahku.
"Wi, besok carikan kambing hitam ya …" Ucap pak Kasran membuka obrolan.

"Maksud Bapak kambing hitam gimana, Pak?" Jawabku memastikan.

"Kambing yang semua bulunya hitam." Jelasnya.

"Iya, Pak …" Anggukku mengiyakan perintahnya.
Pak Kasran kemudian menyodorkan beberapa lembar uang dan secarik kertas yang bertuliskan barang-barang yang harus dibeli.

"Semua itu untuk acara ruwatan buang sengkolo Erika, Wi …" Ujar pak Kasran sambil berlalu dihadapanku.
Keesokan harinya setelah dua ekor kambing dan kebutuhan lainnya tersedia, aku diminta untuk menyembelih kambing-kambing itu, lalu menanam dua kepala kambing di tempat yang berbeda,
satu di halaman depan, dan satunya lagi di belakang rumah tidak jauh dari kamarku.

Sepasang paha kambing diletakan diatas tampah dan tersimpan di sudut halaman belakang. Satu lagi diletakan di bawah rindangnya pohon mangga.
Aku hanya diam saja tanpa bertanya ini dan itu, hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh pak Kasran. Selepas isya, kemudian aku duduk di kursi plastik di belakang rumah, sambil meminum secangkir kopi. Entah aku juga tidak tahu, apakah kebtulan atau tidak,
tapi kali ini aku menyeduh kopi yang terasa pahit. Sambil duduk dan minum kopi, aku pun membakar sebatang rokok.

Tiba-tiba saja perasaanku menjadi tidak enak, sudut mataku seakan ingin terus menatap ke arah tampah yang berisi sepasang paha kambing,
dan tanpa kusadari air liur menetes dari sudut bibirku.

Dadaku bergetar hebat dan aku seakan-akan melihat sebuah sosok yang sedang berjalan dengan ke empat kakinya, menghampiri tampah yang berisi sepasang paha segar.
Sosok itu kemudian memalingkan wajahnya dan mengaum ke arahku.

"Wangsadireja …" Cetusku.

Sosok belang putih itu kembali memalingkan mukanya dan kemudian duduk melahap sepasang paha kambing.
Aku memang tidak pernah dan sama sekali tidak melakukan apa yang dilakukan oleh almarhumah nenekku dulu, yang setiap hari tertentu selalu menyuguhkan sesaji dan melakukan ritual.
Bagiku, jika Wangsadireja ingin ikut denganku, silahkan, jika tidak pun tidak apa-apa, toh aku punya Tuhan yang maha segalanya.

Saat tengah asik melahap paha kambing itu, tiba-tiba satu sosok macan kumbang hitam terlihat meloncat,
dan kini dua sosok binatang buas saling berhadapan, saling mengitari dan mengaum. Sepertinya sosok macan luwing tidak senang dengan kehadiran Wangsadireja.
Aku menarik nafas dan memperhatikan prilaku dua sosok binatang yang hadir dari dunia lain pada malam itu. Pergumulan dua sosok itu pun terjadi dan macan luwing tersudut. Dia merebahkan badannya dengan kedua cakar terangkat ke atas,
sedangkan Wangsadireja berdiri mengaum menandakan kemenangannya.

Dan tak lama kemudian, macan luwing pun berkelebat meninggalkan Wangsadireja yang kini tengah melahap daging segar itu.
"Ahh … Sama saja … Gak di alam manusia, gak di alam lain. Sebuah perebutan selalu saja terjadi …" Gunanku dalan batin.

Seakan mendengar suara batinku, Wangsadireja kembali mengaum., dan aku hanya tersenyum sendiri melihatnya.
"Kok senyum-senyum sendiri, dek Wi ..." Suara mbak Jum yang tiba-tiba terdengar mengagetkanku.

"Hayo … Senyumin siapa?" Kembali mbak Jum bertanya.

"Gak, Mbak …" Jawabku dengan membalas senyumnya.
"Nah gitu dong ... Senyum buat aku aja daripada senyumin paha kambing itu …" Sambil menunjuk ke arah tampah yang teronggok di sudut. Dan Ketika aku melirik ke arah sudut itu, Wangsadireja sudah tidak lagi di sana.
Tengah malam, aku seperti biasa, bangun untuk urusanku dengan Sang Pencipta dan setelah menjalani semuanya, aku pun melangkah ke luar kamar, lalu kembali duduk di kursi plastic di depan kamarku.
Tak berapa lama berselang, kemudian terdengar langkah kaki dari arah samping, mendekat berjalan ke belakang dan ternyata itu adalah perempuan paruh baya yang tadi datang bersama mbak Jum, Mbah Rusmini namanya, dan biasa dipanggil dengan mbah Rus.
Mbah rus berjalan di tengah malam sambil melemparkan bunga setaman di kantong plastik yang sedang di jing-jing di tangan kirinya, sambil mulutnya terus berkomat-kamit saat menaburkan kembang setaman tersebut.
Tiba-tiba saja menghentikan aktivitasnya saat berada tepat di sampingku.

"Mas ... Sampean kerja di sini toh?" Sapanya dalam logat jawa yang kental.

"Nggeh, Mbah …" Jawabku dibarengi dengan mencium tangannya sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua.
"Hati-hati ya, Mas ... Rumah ini cukup wingit …" Ujar mbah Rus memperingatiku.

" Iya, Mbah ..." Jawabku sambil menganggukkan kepala.

Lalu mbah Rus meneruskan langkahnya ke arah sudut, di mana tampah berada.
Tak berselang lama, kini terdengar suara dari mbah Rus yang seakan-akan berbicara dengan semua penghuni ghaib yang berada di rumah ini.

"Hai ... Makhluk dari alam lain … Makhluk dari kegelapan dunia lain … Terimalah sesaji persembahan ini …
Jika kalian bermaksud baik, maka tetaplah di sini untuk menjaga rumah ini, dan jika kalian bermaksud tidak baik, maka pergilah dan anggap sesaji ini sebagai penebus kesalahan para penghuni dari rumah …" Ucapnya lantang.
Aku yang melihat dan mendengar apa yang mbah Rus lakukan, hanya tersenyum, mengingat apa yang sudah Wangsadireja lakukan kepada sesembahan itu.

"Persembahan ini sudah diterima, tapi bukan oleh para penghuni rumah ini, melainkan oleh Wangsadireja.
Sari patinya makanan ini sudah tidak ada …" Gumamku dalam hati, setelah mendengar apa yang mbah Rus katakana.

Pada saat itu aku melihat Wangsadireja sedang menjilati cakar-cakarnya yang terkena darah dari paha kambing yang sudah disantapnya.
"Hati-hati ya Wi …" Pesan mbah Rus, sebelum beranjak pergi ke arah depan,dan meninggalkan aku yang tengah duduk di depan kamar.

Sepulangnya mbah Rus, kondisi Erika masih tidak mengalami perubahan juga.
Sebentar Erika sadar dan sebentar kemudian dia kembali lagi meracau dengan tidak jelas.

Pada hari itu, aku bersama pak Kasran kemudian membawa Erika kepada salah satu pisikolog, untuk mencoba juga mengobati kejiwaan Erika dari sisi medis,
dan aku pun menunggu di halaman parkir dan pak Kasran membawa anaknya ke dalam.

Aku tengah asik menikmati sebatang rokok di bawah sebuah pohon yang cukup rindang di halaman parkir, tak berapa lama pak Kasran kembali ke luar dengan tergopoh-gopoh menghampiriku.
"Wi ... Tolong ... Tolong Erika ... Dia mengamuk di ruang dokter. Aku gak sanggup buat menahannya …" Ujar pak Kasran dengan napas yang masih tersenggal-senggal.
Aku langsung mematikan rokokku, dan setengah berlari meninggalkan pak Kasran di belakangku dan segera menuju ke ruang dokter. Di luar ruangan, aku melihat sang dokter yang sedang ketakutan, menunggu di depan pintu.
Aku bertanya kepadanya, dimana Erika berada, dan dia menunjukkan sebuah ruangan yang sudah dia kunci dari luar, agar Erika tidak kabur. Aku pun memasuki ruangan itu, setelah pintu dibukakan oleh sang dokter.
Kini terlihat keadaan di ruangan itu sudah porak poranda, dan Erika tengah memainkan jurus-jurus silatnya, seolah mengetahui akan kedatanganku. Tanpa berlama-lama, Erika langsung menyerangku yang baru saja masuk,
dengan melayangkan pukulan ke arah ulu hati, dan disusul gerakan kakinya yang mengarah ke arah leher.

Aku yang melihat gerakan Erika segara bergerak ke samping dan menundukan kepala, dan secepatnya tanganku menangkap pergelangan kaki Erika,
kemudian mendorong tubuhnya sampai terjerembab dan bergulingan di atas lantai.

Dengan cepat Erika pun bangun kembali dan langsung melancarkan serangan berikutnya. Aku hanya bisa berkelit menghindari serangannya
dan mencari kesempatan untuk merubuhkan Erika tanpa melukai fisiknya lebih jauh.

Setelah cukup lama aku menghindari dan menangkis serangan-serangan Erika, kini aku melihat sebuah kesempatan yang tidak aku sia-sia kan.
Aku kembali membuat Erika terjungkal, dan kali ini Erika tidak langsung bangun lagi. Aku pun dengan segera menghampirinya dan berlutut di hadapan Erika yang tengah terbaring.
Segera kuusap wajahnya, setelah membacakan doa-doa. Tubuh Erika langsung lunglai, dan tak berapa lama kemudian Erika tersadar, dia membuka matanya, kemudian melihat mengitari sekeliling ruangan.
"Ini ada apa Om Wi …" Tanya Erika yang baru saja siuman dengan wajah kebingungan.

Sebelum aku menjawab, dari arah belakangku terdengar suara pintu yang terbuka, dan pak Kasran pun melangkah masuk menghampiri.
"Syukurlah nak, kamu sudah sadar sekarang." Ujar pak Kasran sambil mencoba membangunkan Erika dan memapahnya berjalan.

Aku segera mendahului pak Kasran dan Erika melangkah menuju lahan parkir.

Di dalam mobil pak Kasran bertanya kepadaku.
"Wi ... Sekarang aku paham ... Sebenarnya kamu punya kemampuan tentang hal-hal yang di luar nalar ya? Saya kemarin-kemarin terlalu angkuh, merasa hebat dan menganggap semuanya bisa dibeli dengan uang,
padahal saya tidak ada apa-apanya dan tidak bisa berbuat apa-apa juga, sehingga saya meremehkan kamu, Wi …” Ujar pak Kasran membuka obrolan di dalam mobil, dengan wajah yang terlihat menyesal dan putus asa.
“ … Lihat keadaan Erika Wi ... Padahal sudah berapa banyak orang-orang pintar yang saya datangkan, tapi kondisi Erika semakin tidak karuan, dan penyakitnya pun tidak jelas, entah sudah berapa banyak konseling dengan beberapa ahli kejiwaan,
sudah berulang-ulang juga melakukan terapi, tetapi tetap saja hasilnya nol besar ... Menurutmu Wi, langkah selanjutnya harus bagaimana?" Lanjut pak Kasran meminta saran kepadaku, yang diakhiri dengan hembusan napas yang panjang,
"Meminta sama Yang Maha Kuasa, Pak …" Jawabku singkat.

"Eh Wi, kemarin sore aku mendengar suara Sinta sedang mengaji. Apa kamu yang mengajarinya Wi?" Tanya pak Kasran, penasaran.

"Saya diminta sama anak bapak untuk mengajarinya, Pak.
Saya mana berani kalau tidak diminta tolong sama anak bapak." Jelasku.

"Ya sudah … Nanti sekalian ajarkan Bapak mengaji juga ya, Wi …" Tukasnya pak Kasran, yang kemudian memejamkan mata karena kelelahan.
Semenjak saat itu, sesudah aku mengantar pak Kasran ke kantornya, aku tidak langsung pulang ke rumah, tapi pak Kasran memintaku untuk mengajarinya mengaji. Aku pun mengiyakan permintaan pak Kasran, dan mengajarinya sebentar,
sebelum kembali pulang ke rumah. Tidak jauh dengan pak Kasran, ibu Wandra pun tiba-tiba saja memintaku untuk mengajarinya mengaji, aku pun tidak bisa menolak permintaannya.
Malam itu, angin berhembus dengan kencang. Hujan turun dengan lebatnya. Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari arah pintu kamarku. Aku pun beranjak dari kasurku untuk membukakan pintu. Dan setelah kubuka,
kini kulihat mbak Jum tengah tertawa sambil bertelanjang dada.

Secepatnya aku langsung menyambar kain sarung, untuk menutupi bagian dadanya. Aku pun langsung mencoba untuk menyadarkan mba Jum
dan tak berapa lama kemudian, mbak Jum pun tersadar.

Tiba-tiba saja, setelah mbak Jum tersedar, dia langsung memeluk tubuhku sambil menangis menangis sejadi-jadinya. Aku langsung bertingkah kikuk, bingung apa yang harus aku lakukan,
Aku pun segera beristigfar, dan cepat-cepat membawa mbak Jum untuk masuk dalam kamarnya, dan meminta mbak Jum untuk mengenakan kembali bajunya. Setelah mbak Jum selesai memakai bajunya, kemudian dia bercerita.
Tiba-tiba saja kepala mbak Jum terasa berat, begitu pula dengan dadanya, terasa sesak. Setelah itu pandangannya memudar dan menjadi gelap. Aku langsung menyarankan agar mbak Jum lebih banyak untuk mengingat Tuhan dan memohon perlindungannya.
Setelah mbak Jum mulai tenang, aku pun langsung berpamitan kepadanya untuk kembali ke kamarku, karena aku tidak mau berlama-lama di sana. Aku takut godaan iblis, membuatku melakukan hal yang tidak-tidak kepada mbak Jum.
Pagi ini pak Kasran tidak pergi ke kantor, jadi aku hanya mengantar bu Wandra ke kantornya. Ibu Wandra yang biasa duduk di belakang, pagi itu tiba-tiba saja memilih untuk duduk di depan, di sampingku yang mengemudi.
"Wi ... Ibu betu- betul lelah dengan semua ini …" Ucap bu Wandra membuka obrolan.

"Iya Bu, saya paham …" Jawabku singkat.

"Ini semua berawal dari mbahnya Erika yang sangat menyayangi Erika, sehingga menanamkan pendamping-pedamping yang tak terlihat untuk menjaganya,
hingga Erika menjadi perempuan yang tidak mengenal rasa takut, dan menjadi sosok yang pemberani, terlalu pemberani untuk seorang perempuan.
Belum lagi ditambah dengan kakeknya yang mengingkan Erika sebagai orang yang akan menjadi generasi penerus dalam hal-hal kebatinan, dan pewaris tunggal seluruh ilmu-ilmunya …" Jelas bu Wandra dengan pandangan menerawang ke depan,
Untuk sesaat ibu Wandra menghentikan ceritanya, dia terlihat menunduk dan menghela napas yang panjang.

"Meski Aku dan papahnya Erika tahu, tapi kami gak bisa menolak dan membantah perintah Romo. Erika memang punya kemampuan untuk berkomunikasi dengan makhluk-makhluk astral,
kadang juga dia seolah-olah bisa membaca pikiran orang lain, tapi saat ini, aku betul-betul kasihan melihat keadaan Erika, dan aku betul-betul lelah Wi ..." Lanjut bu Wandra yang tanpa sadar menyandarkan kepalanya di bahuku.
Terang saja aku jadi gelagapan serba salah dan salah tingkah, menyetir pun aku jadi tidak bisa untuk fokus. Ibu Wandra paham dengan tingkahku dan kemudian berkata, "Kupinjam bahumu untuk bersandar sebentar ya Wi ..." Sambil jemari lentiknya berada di atas pahaku.
Aku segera menarik jemari tangan bu Wandra dan kemudian memindahkannya. Ibu Wandra tersenyum memandangku, dan disusul dengan mengangkat kepalanya dari bahuku.

"Maaf bu, saya jadi gak enak hati ..." Ujarku setelah bu Wandra memperbaiki posisi duduknya.
"Aku paham kok, Wi ..." Jawab bu Wandra dengan dibarengi dengan sebuah senyuman.

"Hmm ... Godaan datang dari bu Wandra dan mbak Jum … Ada-ada saja …" Gumamku dalam hati.
Malam itu Mbah Rus kembali datang ke rumah ini atas undangan dari bu Wandra, untuk kembali mencoba mengobati Erika. Asap yang berasal dari dupa-dupa sudah mulai mengepul, mengeluarkan wangi yang semerbak di ruang tengah.
Sebuah wadah plastik berisi air dan bunga setaman dan beberapa piranti sesaji telah tersedia.

Mbah Rus kini tengah duduk sambil mengeluarkan sebilah keris yang berluk tujuh, dengan pamor manik-manik di gagangnya.
Aku yang memang berada di ruang tengah, dan dipanggil untuk sekedar menemani mbah Rus, kemudian langsung terkesiap.

Bagaimana tidak, karena kini aku sedang menyaksikan sebuah aksi dari keris Naga Sosro,
sebuah keris yang bisa terbilang legendaris. Aura gelap tiba-tiba saja langsung menyelimuti, suasana menjadi begitu hening.

Erika yang biasa berteriak-teriak seakan di bungkam mulutnya.
Sebuah keris langka dan banyak diburu oleh para spritualis, kini sedang berada di tangan mbah Rus.

Mbah Rus pun kini berkomat-kamit, membacakan mantra-mantra yang tidak aku pahami, setelah itu langsung memasukan ujung keris Naga sosro ke dalam baskom yang berisikan air.
Tiba-tiba saja air dalam baskom yang awalnya tenang, kemudian mulai bergejolak, suasana pun ruangan pun berubah, terasa berat. Tapi tak berselang lama kemudian kembali tenang.
"Jum ... Jum ... Ambilkan mangkok, cepat!" Perintah mbah Rus memecah keheningan dalam ruangan.

Mbak Jum pun segera beranjak ke arah dapur dan kembali datang dengan membawa sebuah mangkuk dan memberikannya kepada mbah Rus.
Kemudian tangan mbah Rus mengambil sedikit demi sedikit kembang yg berada dalam baskom ke dalam mangkuk tersebut, dan meminta ibu dan bapak Kasran mendekatinya

"Kita akan lihat siapa pelaku dari semua ini.." Ujar mbah Rus sambil memercikan air ke arah mata kedua suami istri itu
"Pandangilah air dalam baskom dan lihatlah siapa pelakunya …" Pak Kasran dan istrinya segera mengalihkan pandangannya ke dalam air dalam baskom plastik itu.

"Dek Wi ... Aku kok gak melihat apa-apa dalam baskom itu, cuman air biasa doang …" Bisik mbak Jum di telingaku.
Aku hanya menempelkan jari telunjuk dibibirku, sebagai jawaban atas pertanyaan dari mbak Jum.

"Coba cerita siapa yang terlihat dalam baskom itu?" Tanya mbah Rus pada bapak dan ibu Kasran.

"Saya melihat empat orang yang berbeda, Mbah …" Jawab bu Wandra.
"Sebutkan saja …" Lanjut kembali mbah Rus.

Bu Wandra pun kemudian dengan segera menerangkan ke empat sosok yang kini sedang dilihatnya dalam baskom air tersebut.

"Itu semua adalah orang-orang yang mengirimkan penyakit ke dalam rumah ini.
Sekarang mari kita lihat siapa dalang dari semua ini …" Ucap mbah Rus.

Sambil kembali memasukan bunga setaman ke dalam mangkuk dan segera berkomat-kamit, jari-jemari tangannya memasukan kembali kemenyan arab ke dalam bara api di atas dupa.
Kali ini keris naga sosro di putar-putarkannya di atas baskom yang berisi air itu dan kembali memasukan ujung keris dalam baskom, setelahnya.

"Hmm ... Mbah Rus hebat juga …" Gumamku dalam hati.
Kali ini pak Kasran kemudian yang menjelaskan apa yang dilihatnya di dalam baskom. Hanya dua raut wajah yang tergambar dalam air itu, satu sosok pemuda dan satu sosok lagi adalah sosok seorang perempuan yang sebaya dengan bu Wandra.
Tiba-tiba air yang berada di dalam baskom kemudian bergejolak dan tak berselang lama terdengar suara ledakan dari arah depan. Dupa yang berada di depan mbah Rus itu kemudian meledak, yang disertai dengan bara api yang berhamburan.
Air dalam baskom pun bertumpahan dengan baskom yang terbelah. Bu Wandra menjerit dan mundur sambil menepis bara api yang menempel di bajunya, begitu juga dengan pak Kasran yang terpental ke belakang.
Mbak Jum menjerit sambil menutupi mukanya dengan telapak tangan, dan aku pun sama, ikut terpental dan bergulingan di atas lantai.

Sebetulnya sesaat sebelum itu terjadi, aku mendengar suara Auman dari Wangsadireja dan sudah mencoba menahan serangan yang tidak terlihat,
Aku berusaha melindungi orang-orang di sekitarku. Dadaku terasa sesak seakan dihimpit oleh sebuah batu besar, dan mbah Rus pun kulihat dalam kedaan terkapar dan muntah darah, dengan beberapa potong bara api yang menempel di wajahnya.
"Malam yang luar biasa …" Batinku berkata.

Mbah Rus dengan susah payah kemudian berusaha untuk bangkit dan kembali duduk sambil mendekapkan dadanya.

"Hanya pemilik keris setan kober yang mampu melawan kekuatan kerisku ini …" Ujar mbah Rus,
Seolah menghiraukan rasa panas, mbah Rus memunguti serpihan bara api yang kini menempel wajahnya.

"Saya gak sanggup untuk melawannya, Pak …" Ujar mbah Rus yang diselingi dengan batuk-batuk dan kembali memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Tiga hari berselang setelah kejadian itu, dan mbak Jum mengabarkan padaku bahwa mbah Rus telah meninggal dunia.

"Innalillahi wa’inna ilaihi roji’un ... Begitu dahsyatnya pengirim santet ini, hingga menelan korban mbah Man dan juga Mbah Rus yang sedang berusaha mengobati Erika …
Kondisi di dalam rumah kini terasa semakin panas. Sosok-sosok astral semakin banyak dan semakin betah tinggal di rumah itu. Bagaimana tidak betah, karena setiap yang mengobati Erika selalu dari kalangan para dukun yang mempunyai banyak pendamping dari alam lain,
Pertengkaran pun kerap terjadi antara pak Kasran dan bu Wandra, dan tak lupa juga kondisi Erika yang tingkahnya semakin hari semakin menggila. Mbak Jum pun menjadi semakin bertingkah agresif di depanku,
dan bu Wandta yang kini diam-diam mulai mencari perhatianku juga. Aku juga manusia biasa yang tidak munafik dengan semua itu, dan sebisa mungkin aku menjaga diriku agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang dilarang.
Di sisi lain, pak Kasran pun mulai melakukan hubungan dengan seketarisnya, dan semua aku ketahui saat tidak sengaja aku memasuki ruangan kantornya untuk mengajari mengaji. Aku melihat pak Kasran tengah bermesraan, dengan sekertarisnya itu.
Aku pun segera membalikan badan, dan mencoba beranjak dari ruangan itu, tapi tiba-tiba terdengar suara pak kasran memanggilku dari arah belakang.

Pada awalnya pak Kasran berbasa basi kepadaku,
dan ditengah obrolan kami, aku melihat pak Kasran merogoh sesuatu dari dalam laci mejanya, dan langsung mneyodorkanku sebuah amplop berwarna cokelat, yg ternyata berisi uang. Tentu saja aku mengerti apa maksud dari pak Kasran memberikanku amplop ini, amplop untuk menutup mulutku
“Bapak tidak perlu memberi saya uang hanya untuk menutup mulut saya. Tanpa diberi uang pun saya akan menutup mulut saya …" Ujarkuku setelah sang sekretaris keluar dari ruangan.
"Aku percaya padamu Wi, tapi ambilah uang ini untuk keperluanmu …" Ucap pak Kasran yang memaksaku untuk mengambil amplop berisi uang itu.

Aku pun beranjak dari ruangan pak Kasran dengan perasaan yang campur aduk.
Sebetulnya aku tidak terlalu perduli dengan keluarga pak Kasran, apalagi setelah melihat kelakuan pak Kasran, yang dalam kondisi seperti ini malah berbuat hal yang tidak-tidak, bukannya lebih mendekat kepada Tuhan. Yang aku khawatirkan hanya Erika, apalagi si kecil Sinta.
Bersambung part 3...

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Pusara Waktu

Pusara Waktu Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @pusara_waktu

Aug 4, 2022
SEWU NDAS - TUMBAL SERIBU KEPALA
BAB.IV : Tumbal Pertama

@IDN_Horor

@bacahorror

#bacahorror #horor #KISAHNYATA Image
***
Satu jam lebih riuh suara kebahagiaan di dalam Barak menggema, sebelum malam memasuki kata larut. Lantaran kedatangan Dasio beserta keluarga kecilnya, menjadi satu obat tersendiri bagi Kisman, Nanang dan beberapa teman yang lainnya.
Read 398 tweets
Jul 19, 2022
SEWU NDAS - TUMBAL SERIBU KEPALA
BAB.III : Keluarga Yang Terusir

@IDN_Horor @bacahorror
#bacahorror #horor #KISAHNYATA
Yuk Lajut lagi~
...

Kegusaran begitu dirasa menusuk relung batin Dasio, setelah tahu siapa sosok Sanusi sebenarnya. Bayang-bayang kematian pun tetiba menghimpit pikiran, bersama dengan kengerian-kengeriannya.
Read 150 tweets
Jun 17, 2022
SEWU NDAS - TUMBAL SERIBU KEPALA

- HOROR THREAD -

Sebuah kisah kelam berdasarkan kejadian nyata. Terjadi di tahun 80an, bahkan sampai sekarang.

@menghorror @issssss___ @autojerit @Penikmathorror @ceritaht @IDN_Horor @bacahorror

#bacahoror #penikmathoror #horor #KISAHNYATA Image
DILARANG KERAS MEMBAGKAN KISAH INI DALAM BENTUK APAPUN DI LUAR TWITTER, TANPA SE-IZIN PENULIS!
Hola PWers~
Sambil menunggu rame, boleh minta retweet dan likenya dulu?

Terima kasih :)
Read 641 tweets
Jun 13, 2022
"DILARANG MENYEBARKAN KISAH INI DALAM BENTUK APAPUN, TANPA SEIZIN PENULIS!"
Yuk kita mulai berkisah lagi, PWers~
Read 83 tweets
Jun 9, 2022
Sebelum aku menceritakan kisah ini, aku ingin meminta maaf bukan maksudku untuk membongkar aib orang yang sudah meninggal,
tapi tujuanku menceritakan kembali kisah ini adalah supaya kalian yang membaca kisahku ini bisa mengambil pelajaran dari Almarhum, khususnya untuk kaum Laki-Laki.
Read 73 tweets
May 26, 2022
JAREK TANGKUP
(Tolakan Pengundang Bala)

- HOROR THREAD -

@issssss___
@autojerit
@Penikmathorror
@ceritaht
@IDN_Horor

#horor #kisahnyata #bacahoror Image
Hallo PWers~
Kita mulai berkisah lagi ya :D

Oh ya sebelumnya, kisah ini akan sedikit slow updatenya, bahkan malam ini pun, baru sebatas teaser dulu sampai agak senggang waktuna nanti :D

Yuk langsung mulai~
"Sampeyan wes roh, Yu. Kang Sakir muleh?" (Kamu sudah tau, Yu. Kang Sakir pulang?)

"Sopo seng ngabari?" (Siapa yang memberi tau?) Ucap Menik, seorang wanita berumur 43 tahunan, balik bertanya kepada Asti, tetangganya.
Read 81 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(