Halo PWers~
Kita lanjut pelan-pelan ya. Dan untuk yang gak sabaran, bisa langsung baca di karyakarsa, sekalian ngesupport akun ini juga :D
Seorang laki-laki tua berusia satu abad lebih, masih terlihat segar. Sorot matanya tajam dengan telinga yang masih jelas untuk mendengar dan langkah kaki tegap berjalan dengan bantuan satu batang tongkat berkepala seekor ular naga, kini sedang lekat menatap ke arahku.
Tangannya masih nampak kekar, mengcengkram cangkir kopi, dan dengan sedikit jumawa, Sudirat meneguk kopi yang masih panas.
"Hah ... Iki kopine adem, Ndo " (Hah ... Ini kopinya dingin, Ndo.) Ucap mbah Sudirat sambil menyeka ujung bibirnya dengan ujung baju lengannya.
Aku yang melihat itu, hanya tersenyum seraya menuang kopi panas di atas piring kecil.
"Mosok toh, Kung?" (Masa, Kek?) Jawab Haryati seraya mencelupkan ujung jari ke dalam cangkir miliknya dan kembali menarik telunjuknya serta mengibas-ngibaskan jemarinya karena panas.
"Sesok ne balik meneh. Kui barangne digowo, yo Ndo. Simbah wes tuo, kui sing ngei dunyo kanggo awakmu, ojo sampe nasibmu podo karo adikmu ..." (Besok kalau balik lagi barangnya dibawa. Kakek sudah tua, jangan sampai nasibmu sama dengan adikmu ...)
Ucap mbah Sudirat yang ditujukan kepada cucunya.
"Biar sama Mbah aja barangnya. Saya sudah gak ingin semua itu, Mbah. Kalaupun nasib saya harus seperti Santi, ya gak apa-apa Mbah." Jawab Haryati tegas.
Mendengar jawaban cucunya yang seperti itu, mbah Sudirat mukanya memerah dengan sorot mata tajam menatap Haryati, cucunya.
"Ya sudah kalau itu keinginanmu, jangan menyesal nanti." Jawab mbah Sudirat seraya memberikan uang dan minta untuk dibelikan rokok pada Haryati.
Aku paham maksud dari mbah Sudirat pada Haryati. dan setelah Haryati pergi, dia memperingatkanku, "Jangan pengaruhi cucuku dengan ajaranmu. Dan lebih baik segera kamu jauhi Haryati, atau diantara kita ada yang mati!" Seru dengan tegas mbah Sudirat.
"Apa hubungannya dengan saya Mbah? Saya bukan suami Haryati dan saya tidak tahu apa-apa dengan semua ini." Jawabku.
"Aku tahu. Tapi kamu juga harus tahu, kalau cucuku jatuh hati padamu. Sebelum sesuatu terjadi padamu, jauhi Haryati dan jangan sekali-kali lagi, kamu pengaruhi dengan dalil-dalil agamamu! Biarkan Haryati seperti dulu, yang dia tahu adalah apa yang kuajarkan padanya.
Tuhanmu untukmu saja, dan aku juga sama punya Tuhan, hanya Tuhan kita berbeda … " Cetus mbah Sudirat.
Aku pernah diberitahu oleh Haryati, bahwa kakeknya adalah salah seorang pemuja, penguasa Pantai selatan.
"Sebelum saya berjumpa cucu Mbah, cucu Mbah sudah mengenal ajaran dan agama kami, dan saya sama sekali tidak pernah mempengaruhi cucu Mbah dengan keyakinan saya." Jawabku.
Tak berselang lama, Haryati telah kembali dari warung, dan aku segera berdiri dari tempat duduk, setelah telingaku mendengar suara gema adzan. Aku pun langsung berpamitan, meninggalkan mereka yang kini tengah terlibat dalam sebuah obrolan panjang.
Setelah selesai sholat isya, aku segera mempersiapkan diri untuk berjaga-jaga dari serangan ghaib milik mbah Sudirat. Dengan sebotol air, aku mencipratkan ke empat penjuru kamar dengan air yang sebelumnya telah kubacakan surah Yasin Tujuh Mubbin.
Surah Yasin Tujuh Nubbin ini sangat terkenal oleh para pengamal ilmu hikmah. Yasin Tujuh Mubbin sering kali digunakan sebagai sebuah doa untuk membentengi diri, juga membalikan serangan ghaib berupa santet, teluh, guna-guna, sihir, juga semua tipu daya setan. Setahuku selama ini,
memakai Yasin Tujuh Mubbin, sebagaimanapun ganasnya sebuah kiriman ghaib, maka dengan ijin Gusti Allah, maka semua serangan ghaib niscaya akan berbalik kepada pengirimnya.
Sampai tengah malam, tidak ada tanda-tanda dari serangan ghaib yang dikirimkan oleh mbah Sudirat. Sebuah suara yang keluar dari pukulan lonceng di salahsatu pos ronda pun terdengar, "Teng ... Teng ...", pertanda waktu sudah pukul 02.00 dini hari.
Aku segera beranjak untuk pergi ke kamar mandi dan dengan khusyu, aku membersihkan diri lalu menengadah ke langit. Semua terasa tenang, masih belum terlihat tanda-tanda kiriman dari mbah Sudirat.
Aku pun segera keluar dari kamar mandi yang terletak di luar rumah itu, dan baru saja langkah kakiku mendekati ke arah pintu masuk kamar, sebuah suara seperti orang berdehem jelas terdengar, “Ehem ... Hmm ..."
Spontan mataku melihat ke arah seumber suara, dan kini tampak seorang laki-laki tua dengan berpakaian serba hitam dan ikat kepala hitam, tengah berdiri di tanah kosong sebelah rumah. Aku segera melangkahkan kakiku untuk menghampiri sosok laki-laki tua tersebut.
"Assalamualaikum, Mbah ..." Salamku pada sosok laki-laki tua tersebut.
"Waalaikumsalam ..." Jawab laki-laki tua tersebut sambil berjalan ke arah kursi di tanah kosong tersebut.
Laki-laki tua itu segera duduk dan juga menggerakan tangannya sebagai isyarat, mempersilahkan aku untuk duduk. Aku pun duduk dihadapan seorang kakek tua dengan wajah yang begitu bersinar, yang sedaritadi terus tersenyum ke arahku.
"Penduduk di kampung ini memanggil Mbah dengan panggilan Mbah Among Rogo. Mbah tinggal di sebelah utara masjid. Besok menjelang magrib, datang ke tempat Mbah, ya." Ucap mbah Among Rogo mengawali pembicaraan.
"Nggeh, Mbah." Jawabku menganggukkan kepala.
"Mbah sengaja datang malam-malam begini untuk mengingatkanmu agar selalu berhati-hati bila berurusan dengan Sudirat. Semua warga kampung di sini tidak ada yang berani, apalagi berurusan dengan Sudirat, karena nyawa yang menjadi taruhannya.
Cuma itu saja yang ingin Mbah sampaikan, dan jangan lupa, besok mampir ke tempat Mbah. Mbah mau pulang, sebentar lagi adzan subuh." Ujar mbah Among Rogo, lantas berdiri.
Aku segera menyalami dan mencium tangan mbah Among Rogo, lalu mbah Among Rogo pun berlalu, berjalan dalam gelap malam. Satu kokok ayam jantan mengagetkanku, dan saat aku kembali menoleh mbah Among Rogo sudah tidak terlihat lagi, aneh pikirku.
Pada keesokan harinya selepas ashar, aku menceritakan pertemuanku dengan sosok mbah Among Rogo kepada Haryati.
"Mas, sampean itu kurang tidur, jadi yang dilihat tadi malam itu hanya halusinasi sampean saja. Mas, mbah Among Rogo itu hanya sebuah cerita turun temurun di desa ini.
Konon menurut orang-orang tua dulu, mbah Among Rogo merupakan salah seorang Senopati kerajaan pada jamannya, dan setelah tidak lagi mengabdi pada kerajaan, mbah Among Rogo kemudian mendirikan dusun ini. Mari saya antar ke kediaman mbah Among Rogo " Jelas Haryati.
Setelah berjalan tidak begitu lama, sampailah aku dan Haryati pada sebuah tempat yang dinaungi cungkup, dan penduduk sekitar menyebutnya dengan sebutan "kepunden", aku sendiri tidak tahu apa itu arti "kepunden" itu.
Aku langsung duduk bersila dan mengirimkan doa di kepunden mbah Among Rogo. Aku fokus berdoa dalam keadaan memejamkan mata, dan tak lama batinku mendengar sebuah bisikan, "Le, kowe iki udu mung berurusan karo Sudirat, tapi wes duwe urusan karo penguasa gua Raja naga.
Kowe mesti ngati-ngati, Le." (Nak, kamu ini bukan hanya berurusan dengan Sudirat, tapi kamu sudah berurusan dengan penguasa gua Raja naga. Kamu harus hati-hati.)
Aku hanya bisa terdiam, dan mengangguk ketika mendengar pesan yang terus diucapkan berulang oleh mbah Among Rogo. Setelah itu aku kemudian membuka mata, dan kembali beranjak pulang bersama Haryati.
***
Hari ketujuh setelah acara doa arwah, Haryati memutuskan untuk kembali ke kota bogor. Semua barang-barang sudah masuk ke dalam mobil, dan Haryati pun sudah berpamitan kepada semua saudara-saudarinya, juga mbah Sudirat.
Mbah Sudirat sendiri hanya memandangi kami, yang akan pergi, sambil terus mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke atas tanah.
Aku segera menyalakan mesin mobil dan secara perlahan mobil pun berjalan. Baru saja keluar dari pekarangan rumah, dua buah suara bersusulan kemudian terdengar,
"Darrrt! Darrrt!!". Aku begitu kaget dan secara spontan berhenti, lalu turun untuk memeriksa.
"Ya Allah ..." Batinku, saat melihat dua ban belakang mobil meletus, pecah.
"Ini tidak masuk akal." Pikirku.
Haryati akhirnya memutuskan untuk menunda kepulangannya dan menunggu keesokkan harinya. Sudut mataku menangkap satu senyum sinis dari bibir mbah Sudirat.
Malam itu, aku baringkan tubuhku di atas kasur kamar belakang. Aku mengingat semua kejadian tadi,
juga tingkah polah mbah Sudirat, dan aku segera beranjak tatkala teringat petuah mbah Among Rogo untuk selalu berhati-hati, karena mungkin saja semua yang terjadi itu tidak terlepas dari perbuatan mbah Sudirat.
Aku pun kemudian mencipratkan air di ke empat penjuru kamar, setelah dibacakan Yasin tujuh mubbin.
Sri hayati, adik Haryati nomor lima, tiba-tiba pada tengah malam berteriak—teriak dan mengatakan bahwa dirinya diajak pergi oleh dua sosok wanita berkamben hijau.
Sri Hayati sendiri sudah bersuamikan empat orang dan semua suaminya meninggal, begitu juga dengan ke empat anaknya. Seperti halnya Haryati, Sri juga trauma dan pada akhirnya memutuskan untuk tidak bersuami lagi, dan kini Sri mengalami kejadian yang sama dengan adiknya Santi,
tapi aku berpikir ini adalah sebuah pancingan agar aku keluar dari benteng Yasin mubbin, karena tumbal turunan akan minta persembahan setahun satu nyawa.
Mau tidak mau aku harus keluar untuk menghampiri Sri, yang kini sedang kerasukan. Dengan mata kepalaku sendiri,
aku melihat tubuh Sri yang kini sedang kaku di ruang tengah. Lidahnya terjulur, seakan ada yang sedang mencekiknya, sedangkan kedua tangannya terlihat seperti sedang mehanan cekikan. Dan mata batinku melihat dua ekor ular besar sedang membelit tubuh Sri.
“Lepaskan dia! Aku yang sedang kalian cari!!" Bentakku sesaat setelah kedua mataku terpejam.
"Bagus kalau kamu tahu." Jawab salah satu dari keduanya
Kedua sosok ular itu pun kemudian melesat keluar menembus dinding rumah.
Aku segera menyapukan kedua telapak tanganku pada wajah Sri, kemudian memintanya untuk kembali ke kamar. Aku beranjak secepat mungkin untuk kembali ke kamarku, duduk bersila sambil menutup mata, memfokuskan hati dan pikiranku.
"Lebih baik kalian kembali kepada yang mengirim kalian, si tua bangka yang tak punya hati itu!!" Bentakku.
"Kurang ajar!! Berani-beraninya kamu menyuruh kami untuk pulang, hah!" Jawab sosok wanita yang bertubuh pendek, yang dibarengi dengan sebuah desisan.
"Kalian bukan lawanku. Suruh Sudirat yang berhadapan denganku!!" Kali ini aku memang sengaja bersikap jumawa sambil menyilangkan pedang Sirr Yasin.
***
Sinar perak yang berkelebat disertai dengan desingan angin dari setiap kibasan membuat nyali salah satu wanita siluman ular itu surut, dia mundur selangkah ke belakang.
"Jangan takut Rayi. Anak manusia ini hanya menggertak kita." Ujar salah satu wanita siluman ular yang bertubuh agak pendek, sambil mengibaskan selendang hijau miliknya.
Satu hawa dingin menyeluru mengarah ke arah dadaku, disusul oleh sebuah serangan yang sama, yang datang dari sebuah kibasan selendang. Dua hawa dingin menyeluru dari arah yang berbeda, aku segera memutar pedang Sirr Yasin untuk menangkis dua hawa dingin yang datang itu,
"Des ... Des ..." Dua hawa dingin yang menyerang, berbenturan dengan angin dari putaran pedang Sirr Yasin.
Dua wanita siluman ular itu pun saling beradu pandang melihat benturan itu yang kemudian disertai dengan anggukan kepala.
Kedua wanita siluman ular kemudian merapatkan kedua telapak satu sama lain, disertai dengan sebuah teriakan. Kedua telapak yang bersatu, kemudian dipukulkan ke arahku, yang kemudian mengeluarkan sebuah larik sinar hijau.
Aku yang sudah waspada, dengan segera memukulkan telapak tanganku ke atas tanah. Dengan energi Zalzalah, disusul dengan pukulan Jibril untuk menyongsong larik sinar hijau yang menderu itu. Dua kekuatan pun saling beradu, yang kemudian menimbulkan gema membahana,
disusul sebuah guncangan yang dashyat. Pukulan Zalzalah mengakibatkan dua wanita siluman ular terpental, melihat hal itu, segera pedang Sirr Yasin berkelebat, lalu terdengar suara jeritan dari kedua wanita siluman,
seiring dengan menggelindingnya dua kepala wanita siluman ular itu. Setelah mengucap dan sujud syukur, aku segera memungut dua kepala dari wanita siluman yang kini sudah berubah menjadi dua kepala ular biasa.
***
Pagi-pagi sekali mbah Sudirat sudah duduk di kursi kayu, di tanah kosong sebelah rumah. Jari-jari tangannya penuh dengan hiasan batu akik, juga sebuah gelang akar bahar dengan bentuk seekor Naga, melilit di pergelangan tangannya yang tengah memegang cangkir kopi.
"Mana itu sopirmu, Ndo?" Tanya Mbah Sudirat pada Haryati yang sedang duduk menemaninya.
Aku yang sedaritadi menyaksikan dari balik jendela, langsung keluar dari kamar dan melangkah lewat pintu belakang, sementara Haryati lewat pintu depan.
"Assalamualaikum, Mbah …" Salamku.
"Heh ..." Jawab ketu mbah Sudirat.
Aku segera duduk dihadapan mbah Sudirat. Aroma darah begitu kentara tercium dihidungku, yang keluar dari badannya. Orang seperti mbah Sudirat, yang bersekutu dengan siluman ular memang bisa dikatakan jarang sekali tersentuh air,
jadi jangankan untuk bersuci, kadang mandipun belum tentu satu bulan sekali.
"Kamu siapa namanya, Le?" Tanya mbah Sudirat.
"Saya biasa dipanggil Wi, Mbah." Jawabku sambil menyebutkan nama panggilanku.
"Oh ngono toh. Endi anah buahku? Kowe apake, ra ono balik?"
(Oh gitu toh. Mana anak buahku? Kamu apakan, ko gak ada pulang?) Mbah Sudirat kembali bertanya.
"Anah buah jenengan sing pundi, Mbah? Kulo mboten ngertos. " (Anak buah yang mana, Mbah? Saya tidak mengerti.) Jawabku.
"Kamu itu pura-pura bodoh, dan jangan main-main. Cepat kembalikan ular-ular itu!" Kali ini mbah Sudirat berbicara tanpa basa-basi lagi.
"Maaf, Mbah. Mereka sudah pulang, tinggal kepalanya yang saya kubur dibawah pohon mangga itu. "
Jelasku sambil menunjuk ke arah pohon mangga dengan ibu jariku.
"Setan alas! Kowe wes wani-wani mateni boloku!!" (Setan alas! Kamu sudah berani-beraninya membunuh kawan-kawanku!!" Seru mbah Sudirat sambil menggebrak meja.
"Pilihannya cuma dua Mbah, membunuh atau terbunuh. Saya pikir, mbah juga akan melakukan hal yang sama bila berada diposisi saya." Jawabku dengan tetap bersikap santun.
Suara langkah Haryati, kemudian menghentikan obrolanku dengan mbah Sudirat.
"Mbah, saya mau pulang nanti siang. Saya pamit ya, Mbah …" Ucap Haryati berpamitan.
Mbah Sudirat hanya mengangguk, lantas tangannya merogoh saku bajunya.
"Ndo, ini uang buat bayar gaji sopirmu. Berikan." Ujar mbah Sudirat.
"Mas Wi, itu dikasih sama Mbah. " Ucap Haryati.
Aku yang mendengar itu segera menerima uang yang diberikan oleh Haryati. Dan setelah siang datang, kami pun segera berangkat.
Selama dalam perjalanan pulang, tidak ada kendala sama sekali,
hanya saja perasaanku menjadi tidak enak dan aku seakan akan merasakan ada yang sedang mengikuti, tapi aku hanya diam. Sebenarnya aku ingin menolak pemberian dari mbah Sudirat, tapi aku juga harus menjaga perasaan Haryati.
Setibanya di rumah, setelah semua barang-barang bawaan masuk ke dalam, kami dismabut oleh anak-anak yatim piatu, juga anak-anak terlantar yang selama ini ditanggung kehidupannya oleh Haryati, mereka menyalami bergantian menyalami kami.
" Ti, ada kain hitam yang gak kepake?" Tanyaku.
" Sa ... Lisa … Tolong ambilkan kerudung mamah yang warna hitam, ya sayang." Ucap Haryati pada Lisa, anak angkatnya yang berusia 10 tahun.
"Iya, Mah ..." Jawab Lisa seraya berlari menuju kamar Haryati, dan tak lama kemudian datang dengan membawa sebuah kerudung berwarna hitam, lalu menyerahkan kepada Haryati.
"Ini Mas, tapi ngomong-ngomong buat apa sih, Mas?" Tanya Haryati dengan sedikit heran.
"Buat ini, Ti ..." Jawabku sambil menunjukan uang yang diberikan oleh mbah Sudirat.
***
Satu jam lebih riuh suara kebahagiaan di dalam Barak menggema, sebelum malam memasuki kata larut. Lantaran kedatangan Dasio beserta keluarga kecilnya, menjadi satu obat tersendiri bagi Kisman, Nanang dan beberapa teman yang lainnya.
Kegusaran begitu dirasa menusuk relung batin Dasio, setelah tahu siapa sosok Sanusi sebenarnya. Bayang-bayang kematian pun tetiba menghimpit pikiran, bersama dengan kengerian-kengeriannya.
Sebelum aku menceritakan kisah ini, aku ingin meminta maaf bukan maksudku untuk membongkar aib orang yang sudah meninggal,
tapi tujuanku menceritakan kembali kisah ini adalah supaya kalian yang membaca kisahku ini bisa mengambil pelajaran dari Almarhum, khususnya untuk kaum Laki-Laki.