"Jangan libatkan dia! Siapa kamu? Kenapa mengenalku!?" hardik pak Salundik.
Mahluk yang bersemayan di tubuh Bawi kembali tertawa melengking.
"Apa yang kau ambil harus dikembalikan. Yang ditawarkan tidak bisa ditarik lagi. Adat diisi, janji dilabuh.
Wahai Salundik, manusia pilihan Sangiang. Kik...kik...kik..."
Pak Salundik tersentak, lalu mundur dua langkah. Matanya melotot-lotot karena kaget.
"Kasno, sudah saatnya kita pulang!"
Pak Salundik bergegas keluar kamar dengan wajah pucat pasi. Entah apa maksud ucapan mahluk itu, aku bergegas mengejar.
"Pak...Pak Salundik!"
Pak Salundik melangkah tergesa dengan mulut terkunci rapat.
"Pak Salundik, apa maksud Bawi? Apa maksudnya aku jadi penukar nyawa? Pak!? Pak Salundik!?"
Pak Salundik terus melangkah, tidak menghiraukan seruanku. Aku semakin kesal dengan orang tua ini, seperti ada yang ia sembunyikan.
Setelah membuka pintu, mendadak Pak Salundik terdiam mematung. Kupanggil berulang-ulang, ia hanya diam Saja. Aku mulai merasa ada yang janggal, karena ia hanya berdiri, menatap kosong ke arah luar. Wajahnya berkeringat dan nafasnya terdengar sangat kencang tak beraturan.
Keherananku segera terjawab, tatkala terdengar suara desis yang sangat kencang. Ternyata tepat di depan pintu, ada ular sebesar pergelangan tangan tengah menghadang.
Seeshh...seshh...
Ular berwarna hitam itu meliuk sejengkal demi sejengkal ke dalam rumah, seiring pak Salundik yang bergerak mundur perlahan. Lidahnya yang bercabang terus menjulur keluar masuk, mencari sasaran.
Kami semua menjadi tegang, ketika ular itu sekonyong-konyong memipihkan kepala seperti sendok. Kepalanya mendongak setinggi lutut, bergerak ke kiri dan ke kanan. Tak ingin celaka, aku bersiap lari ke arah dapur. Namun sial, pak Salundik keburu mencengkram erat lenganku.
"Bergerak mendadak, ia akan menyerangmu," ujar pak Salundik gugup.
Benar saja, ular itu ganti sasaran. Kepalanya yang pipih kini mengarah ke kakiku. Seketika lututku lemas dan tubuhku tak bisa bergerak, ketika taring penuh bisa mencuat di mulut ular itu.
Di samping, pak Salundik terus mundur selangkah demi selangkah. Orang tua ini sepertinya sengaja menjadikanku umpan. Dengan cemas, aku berdoa dalam hati berharap selamat. Untung saja doaku langsung terkabul. Dari belakang, Ukar datang dengan membawa tombak.
"Jangan dibunuh!" Hardik pak Salundik.
"Ini Hanjaliwan, bukan kobra biasa. Membunuhnya, sama saja cari perkara. Keluarganya akan datang menuntut balas."
Gantian, kini Ukar yang gemetaran. Tombak yang ia pegang bergetar hebat hingga menimbulkan suara.
Ular itu justru mendekat ke arah Ukar yang ketakutan.
"Ambilkan garam," pinta pak Salundik.
Semua yang di dalam rumah tidak bergerak, berdiri menahan nafas karena takut.
"Ambilkan garam, atau di antara kita akan ada yang mati!"
Kali ini, nada suara pak Salundik meninggi.
Mertua pak Gerson bergegas ke dapur. Mungkin karena ia udah sepuh, hingga sadar diri untuk ambil resiko. Aku mundur hati-hati, melangkah perlahan hingga posisiku kini tepat berada di belakang Pak Salundik.
Setidaknya, bila hewan ganas itu menyerang ada pak Salundik yang jadi penghalang.
Mertua pak Gerson melangkah hati-hati dan Pak Salundik langsung menyambar toples garam dari tangannya.
Hanjaliwan itu semakin marah ketika pak Salundik mengambil sejumput garam dan merapalkan doa-doa dalam bahasa Dayak.
Ular ganas itu menarik mundur kepalanya yang pipih, siap menyerang. Sepasang taring dengan bisa menetes mencuat dari mulutnya yang terbuka lebar.
Bagai pegas, kepala ular itu melesat cepat menyasar paha pak Salundik. Seketika kami menjerit histeris dan berhamburan lari ke dapur, meninggalkan pak Salundik sendirian di depan.
Praak...!
Mendadak ular itu terpental membentur dinding lalu hempas ke lantai kayu. Rupanya, lemparan garam berhasil menghantam kepala ular itu, tepat sebelum taringnya menancap di paha pak Salundik.
Kami bernafas lega, melihat ular itu menggeliat kesakitan. Selang beberapa saat, mahluk mematikan itu meliuk-liuk, keluar melewati pintu. Sejurus kemudian, terdengar suara tawa cekikikan dari kamar Bawi, seiring hanjaliwan itu menghilang dalam kegelapan malam.
*****
Jam yang menempel di dinding menunjukkan pukul setengah 8 malam lewat beberapa menit. Malam semakin mencekam seiring berisiknya suara-suara binatang dari hutan. Aku mengucap syukur dalam hati, setelah yakin kobra jadi-jadian itu sudah benar-benar pergi.
Tidak ada pembicaraan di dalam rumah karena semua orang masih tegang dan syok. Sedangkan Bawi sudah kembali tenang di dalam kamar, meski mulutnya masih mengucap tolong tanpa suara.
Aku juga tidak habis pikir dengan isi kepala pak Salundik. Entah kenapa ia begitu takut dengan sosok itu, sosok kamiyak. Kata-kata yang keluar dari mulut Bawi juga jadi pertanyaan di benakku, kenapa aku tiba-tiba tersangkut paut dalam peristiwa ganjil ini.
Setelah menghabiskan sebatang rokok, pak Salundik mengajakku permisi.
"Kasno, Ayo! Nanti keburu malam."
Aku mengangguk lantas mengiringi langkahnya keluar rumah. Meski jengkel, aku tidak ingin berdebat.
Sementara itu Pak Gerson dan Ukar hanya mengantar kami sampai pintu, tidak mau ke dermaga. Aku bisa mengerti kekecewaan mereka, karena aku juga kecewa dengan keegoisan pak Salundik.
Ketika menginjakkan kaki di pekarangan, malam yang dingin langsung terasa menusuk kulit. Dalam keadaan listrik padam, suasana desa benar-benar sepi. Aku berjalan mengikuti pak Salundik yang melangkah di depan.
Cahaya senter ia sorotkan ke atas tanah, kadang ke kiri kadang ke kanan. Ketika hampir melewati pagar, mendadak pak Salundik berhenti. Tatkala ia berbalik, tanpa sengaja aku menubruk tubuhnya.
"Dasar, Kasno!" sungutnya gusar.
Aku menelan ludah karena malu. Pak Salundik lantas menyorot rumah-rumah kosong di kiri dan kanan bergantian. Rumah-rumah itu terlihat seram karena tidak ada penghuni. Hanya ada gelap dan pengap, aku bergidik ngeri.
Bulatan cahaya senter menyusuri tiap sudut rumah senti demi senti. Entah apa yang ia cari, beberapa kali aku kaget saat cahaya senter menyorot sosok hitam berdiri, yang ternyata hanyalah pot bunga yang digantung.
Pak Salundik lalu menyorot kolong rumah yang gelap, sepertinya ada sesuatu yang bersembunyi. Aku deg-degan saat samar terlihat sepasang mata. Terkena cahaya senter, mata itu bersinar dalam gelap, menyala bagai api.
Sepasang mata itu terlihat mengawasi kami, bergerak hati-hati di bawah kolong rumah panggung. Entah mahluk apa dibawah situ, yang jelas bulu tengkukku merinding. Yang jelas, mahluk itu seperti mencari celah untuk menyerang.
"Astagfirullahul azim!"
Aku mengucap istighfar saat mata itu bergerak cepat ke arah kami. Dengan ganas, mahluk dengan mata menyala itu bergerak cepat menerjang kami yang belum siap. Aku dan pak Salundik melompat hampir bersamaan karena kaget seraya menjerit ketakutan.
"Dasar, kucing!" Aku memekik kencang.
"Kasno ini, bikin kaget saja!" seru pak Salundik gusar sembari mengelus dada.
Beberapa waktu aku dan pak Salundik mengatur nafas, ternyata hanyalah kucing kampung yang mencari tikus.
Setelah agak tenang, pak Salundik kembali menyoroti rumah kosong tetangga pak Gerson. Kali ini cahaya senter ia arahkan ke rumah berlantai dua. Aku jadi ikut penasaran apa yang sebenarnya ia cari. Tatap mataku mengikuti cahaya senter itu menyusuri rumah tua yang terbengkalai.
Deg!
Jantungku berdegup cepat saat di lantai dua, cahaya senter menyorot sepasang tangan di kaca jendela.
Kreet...kreet...
Jari-jari kurus terlihat tengah mencakar-cakar kaca jendela, menimbulkan bunyi berdecit.
Perlahan, dari bawah ada kepala muncul hingga wajahnya yang pucat utuh terlihat.
"Pak...disitu! Pak!"
Panik, aku menunjuk-nunjuk ke jendela. Meski tidak terlalu jelas, di jendela itu terlihat samar wajah pucat seorang wanita tengah tersenyum ke arah kami.
Wajahnya keriput dan matanya bolong.
Bleeb !
Pak Salundik mematikan senter hingga rumah itu tidak lagi terlihat. Aku mengucap takbir berulang-ulang untuk menenangkan diri.
Tubuhku berkeringat meski malam terasa sangat dingin. Perasaanku menjadi tidak nyaman ketika kurasakan ada hawa dingin di bagian tengkuk. Konon, kata orang bila kita merasa udara dingin tiba-tiba, pertanda kita sedang berpapasan dengan mahluk halus.
Tik...tik...
Terdengar suara air menetes. Aku menoleh ke samping, kulihat pak Salundik hanya berdiri mematung. Ada yang aneh, kenapa pakaiannya basah dan serba hitam?
Deg!
Aku ingin menjerit tapi mulutku terkunci. Kakiku juga tak bisa digerakkan karena mati rasa. Di samping, berdiri seorang wanita tua yang menatap lurus ke rumak pak Gerson.
Disinari temaram cahaya bulan, wajahnya terlihat pucat, keriput lagi buruk. Di sela rambut putihnya yang acak-acakan, kulihat ujung bibirnya tersenyum.
Aku semakin gemetaran ketika ia menoleh secara perlahan ke arahku.
Nenek itu, seketika tertawa patah-patah membuat bulu kudukku merinding.
"Kik...kik...kik..."
Mendadak, kurasakan tenggorokan seperti terbakar saat jari-jarinya yang kurus mencekik batang leherku.
Jambri rupanya tak bisa berharap banyak pada aparat kepolisian yang lamban. Dengan segenap tekad, ia bergerak melakukan penyelidikan hingga akhirnya berhasil meringkus pembunuh anak dan cucunya.
-Utas-
Kamis (10/10/24) sekira pukul 09.00 WIB, Jambri dilanda gelisah. Sedari pagi, anak perempuannya yang bernama Vina belum juga datang. Pesan whatsapp yang ia kirim hanya centang satu.
Padahal, anak pertamanya itu sudah berjanji akan datang pagi-pagi sekali untuk membantu ibunya membuat kue. Selain itu, Jambri dan istrinya juga sudah tak sabar hendak bertemu cucu mereka.
Mansur (57) alias Terosman alias Kete membunuh majikannya Dasrullah (45) dengan sadis. Sesudah itu kelamin korban dipotong, diiris-iris, direbus, dikasih garam dan bawang lalu dijadikan lauk makan nasi.
-Utas-
Mansur adalah lelaki yang dikutuk kemiskinan. Keadaan yang demikian membuatnya jadi bengis, sadis dan penuh amarah menyala.
Jauh sebelum jadi pembunuh,-lalu menyantap kemaluan korbannya,- Mansur hanyalah buruh upah tani. Hasilnya pas-pasan.
Sehari makan nasi, dua hari makan angin. Begitulah setiap hari.
Jika ada panggilan, ia membantu menanam atau menuai padi. Jika tidak ada, Mansur menjadi pencuri kelas teri. Apapun ia curi demi mengganjal perut anak dan istri.
Kamis 26 September 2019 adalah hari yang kelam bagi KM (17). Jam menunjukan pukul 07.30 pagi, KM menggali lubang sedalam 30 sentimeter menggunakan cangkul dan linggis di pekarangan pondoknya yang reot.
Di belakang, sang ayah Robendi (43), mengawasi dengan mata merah menyala.
“Barake! Mun jida, ikau ji pateikuh! (Cepat! atau kamu yang kubunuh!)” ancam Robendi dengan suara menggelegar.
Dengan tangan gemetar, remaja pria itu memasukan jasad adik sekaligus keponakannya ke dalam lubang galian.
Sesekali ia meringis, babak belur di sekujur badan akibat gebukan ayah kandung belum sepenuhnya pulih.
Jumat malam 23 September 2022, hujan gerimis mengguyur kota Palangkaraya. Suasana malam terlihat sepi di kawasan Jalan Cempaka, Kelurahan Langkai. Tidak ada lalu lalang kendaraan, tidak pula orang-orang yang berkeluyuran.
Dinginnya cuaca membuat warga memilih tidur lebih awal di balik selimut yang hangat.
Jam menunjukkan pukul 22.30 WIB ketika MY (17) terbangun dari tidur. Suara bantingan keras di kamar sebelah membuatnya terjaga. Seketika ia merinding.
Samar-samar ia mendengar suara rintihan manusia dan tebasan parang mengoyak daging. Remaja putri itu langsung tercekat, terdengar suara jerit kesakitan sang ayah.
MY lantas beranjak dari kasur dengan perasan cemas.
Hantu sandah merupakan salah satu hantu khas kalimantan tapi kurang populer dibandingkan kuyang. Sandah merupakan salah satu jenis kuntilanak dengan ciri khas wajah selebar nyiru.
Konon, wajahnya yang lebar merupakan kutukan karena telah mengguna-gunai / menundukan suaminya dengan cara yang kotor.
Kata orang, semasa hidup hantu sandah memberi makan/ minum suaminya menggunakan minyak perunduk yang dicampur darah haid, pakaian dalam-.
"Ritual Pesugihan Sate Gagak di Makam Massal Korban Kerusuhan"
Sebuah kisah dari seorang kawan yang kini mendekam di penjara.
@IDN_Horor @bacahorror @P_C_HORROR
#bacahoror #threadhoror #ceritaserem #malamjumat
-Bismillah, kita mulai...
30 menit menuju pukul 12 malam, kami berlima harap-harap cemas. Sejak magrib, kami memang berkumpul di sini, di komplek kuburan massal korban peristiwa berdarah belasan tahun silam.
Semakin malam, udara terasa semakin dingin, sementara suara serangga, burung hantu dan hewan-hewan malam semakin riuh. Pohon-pohon yang mengelilingi kumpulan nisan tanpa nama ini bergoyang pelan tertiup angin, membuat suasana malam ini terasa semakin meresahkan.